《Nuansa》 Chapter 1 - Kehidupan Nuansa Hidup dalam kesulitan, makan makanan hasil tanaman sendiri, tinggal di sebuah gubuk di daerah terpencil dan sekolah terputus pada usia 13 tahun tak membuat seorang gadis bernama Nuansa kehilangan harapan untuk mencapai kehidupan yang serba berkecukupan dan bahagia tentunya. Nuansa Indahsari nama lengkapnya, kebahagiaan mungkin bisa diraihnya, sebab bahagia itu relatif, namun kecukupan mungkin agak sulit untuk diraihnya. Sebagai anak tunggal, Nuansa adalah harapan satu-satunya kedua orangtuanya yang kini mulai menginjak usia tua. Sang ayah yang dulu berprofesi sebagai seorang kuli bangunan, kini sudah sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja lagi. Ibunya membuat keripik singkong yang kemudian dijual oleh Nuansa ke warung-warung, kantor-kantor, sekolah-sekolah dan tempat umum lainnya. Mereka memang petani singkong yang menjadikan singkong sebagai makanan sehari-hari mereka dan menjadikan singkong sebagai harapan hidup pula. Lewat singkong yang diolah menjadi keripik, keluarga Nuansa mendapatkan keuntungan paling tinggi hanya pada angka Rp. 120.000. Sejak dirinya sudah tidak bisa bekerja lagi, ayah Nuansa juga ikut membantu anak dan istrinya mengolah dan menjual keripik singkong home industri mereka. Sebenarnya Nuansa sudah lama melirik banyak pekerjaan yang menghasilkan lebih banyak pendapatan, ia sudah pernah mendaftar untuk menjadi Cleaning Service, SPG, Asisten Rumah Tangga, Karyawan Rumah Makan dan lain sebagainya, namun ia selalu ditolak karena pendidikan akhirnya membuat para calon bosnya memundurkannya sebelum sempat menerimanya. Dengan begini, Nuansa selalu bermimpi kalau suatu saat nanti dirinya dan kedua orangtuanya bisa memiliki kehidupan yang serba berkecukupan, mimpinya bukan untuk memiliki kehidupan seperti Cinderella yang pada akhirnya menikah dengan seorang Pangeran setelah melewati kehidupan yang sulit, Nuansa hanya menginginkan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan keluarganya yang sekarang lewat usaha positif dirinya dan kedua orangtuanya, itu saja. Namun mungkin Tuhan belum menjadikan hari ini sebagai saatnya mereka untuk mereka hidup berkecukupan, tapi bukan berarti hal itu akan membuat Nuansa berhenti untuk bermimpi. Nuansa, gadis berusia 21 tahun yang selalu berpikir hal apa kira-kira yang bisa mengubah kondisi ekonomi keluarganya. Ia tidak menginginkan pekerjaan kotor yang menghasilkan uang secara instan, gadis itu tetap mengutamakan usaha baik yang menghasilkan hasil yang baik pula. Meski sebenarnya sebuah jalan untuk mengubah hidupnya ada di hadapannya, yaitu menikah dengan seorang Polisi pelanggan setia keripik singkongnya, Nuansa tidak mau menikah dengan Polisi tersebut. Ia tahu bagaimana sang Polisi menyukainya, Polisi itu sangat baik, dan si Polisi muda tahu bagaimana kehidupan Nuansa yang semakin membuatnya terkagum pada gadis itu, tapi Nuansa tidak memiliki rasa yang sama pada sang Polisi. Polisi muda bernama Reynand tersebut pun tahu kalau Nuansa tidak membalas perasaannya, namun bukan berarti ini menjadi celah bagi Reynand untuk menyerah memperjuangkan cintanya kepada Nuansa. Nuansa sudah beberapa kali menceritakan tentang Reynand kepada orangtuanya, mereka pun sudah memberikan restu apabila Nuansa ingin menikah dengan Reynand demi memiliki kehidupan yang lebih baik, namun semuanya kembali kepada Nuansa lagi, gadis itu tidak mau menikah dengan Reynand. Reynand sendiri adalah Polisi baru yang belum diperhitungkan kinerjanya, kehidupannya agak lebih bagus dalam segi ekonomi dari pada Nuansa. Dan hari ini seperti biasa, Nuansa pun mengantar pesanan Reynand ke kantor Polisi tempat Reynand bekerja pada sore hari. "Tinggal enam bungkus?" tanya Reynand sembari menghitung jumlah keripik singkong di keranjang Nuansa yang tersisa. "Ya, hari ini banyak yang beli," ucap Nuansa. "Yasudah, kalau begitu aku beli semuanya." "Eh? Tapi biasanya kau kan cuma beli empat bungkus, apa enam tidak kebanyakan? Aku tahu kau selalu membagi keripik yang kau beli dariku kepada yang lain, tapi bukankah jumlah kalian terlalu sedikit untuk menghabiskan enam bungkus?" Baru saja Reynand akan menjawab, namun seorang seniornya yang bernama Taufan menyelanya. "Kau tahu Nuansa? Sebenarnya enam bungkus itu memang terlalu banyak, tapi kami disini, sebagai teman-teman sejati Reynand, rela kekenyangan keripik singkongmu agar dia bisa memperjuangkan cintanya padamu melalui keripik-keripik itu," ujar Taufan, Reynand lantas menjadi salah tingkah. "Hei! Apa kau tidak memikirkan mereka?!" kata Nuansa pada Reynand setelah mendengar pengakuan Taufan. "Jangan dengarkan dia, dia bohong, kami semua disini sangat menyukai keripik singkong buatan ibumu. Kau tahu? Setiap hari ketika aku membeli keripikmu, mereka selalu merasa kekurangan dengan empat bungkus yang kubeli, jadi seharusnya mereka tidak keberatan kalau aku membeli enam bungkus," papar Reynand. Nuansa lalu melirik Taufan. "Tentu aku berbohong, hahahaha. Baiklah, akan kubiarkan kalian berdua dulu, pasangan yang sedang di mabuk cinta seharusnya memiliki banyak waktu untuk berdua," ucap Taufan, ia lalu pergi ke ruangan lain. Reynand kemudian merogoh sakunya dan mengambil dompetnya, pria itu lantas mengeluarkan selembar uang Rp. 100.000 dari dompetnya. "Ini, jangan dikembalikan, kalau kau memberi kembaliannya padaku, aku akan bersumpah badanmu menjadi bau," ujar Reynand. "Tapi-" "Kau mau badanmu jadi bau dan kau dihindari semua orang?" Nuansa lalu terkekeh. "Kau ini. Terima kasih." "Sama-sama." Reynand ikut tertawa. "Jadi, aku telah memikirkan sesuatu," sambung Reynand. "Sepertinya setiap orang selalu berpikir, jika tidak, itu namanya otak sudah tidak berfungsi dan itu sama saja dengan ''selamat jalan''," kata Nuansa. "Hahaha, aku tahu, yang kumaksud lain." "Apa?" Nuansa bertanya sambil melemparkan sebuah senyuman. "Aku sudah memutuskan untuk menemui orangtuamu untuk meminta restu dari mereka." Senyuman di wajah Nuansa seketika pudar. "Tidak apa-apa jika kau belum bisa mencintaiku, aku yakin, suatu saat nanti kau akan bisa mencintaiku, kau hanya butuh waktu dan proses, dan aku memahami hal itu. Tapi yang terpenting, kita harus mendapatkan izin dari orangtua kita dulu," jelas Reynand. "Mmm, bagaimana dengan orangtuamu? Kau sudah meminta restu dari mereka? Aku rasa akan lebih bagus jika kau meminta restu dari mereka dulu." "Jawabanmu! Apa itu artinya kau sudah membalas perasaanku padamu?!" Nuansa terlihat bingung untuk menjawabnya, Reynand salah paham, gadis itu tetap tidak bisa mencintainya. "Astaga, Nuansa! Akhirnya penantianku berakhir! Aku sudah tidak sabar untuk berada di pelaminan bersamamu!" lanjut Reynand. "Engh, Reynand, tapi ..." "Ok! Ok! Baiklah! Aku akan meminta restu pada orangtuaku dulu, baru aku akan menemui orangtuamu. Oooh kau tidak akan bisa membayangkan betapa bahagianya aku saat ini, sampai mungkin aku bisa menghabiskan enam bungkus keripik ini!" sela Reynand. ''Bagaimana ini? Bagaimana cara menjelaskan padanya kalau aku tidak bisa mencintainya dan mungkin tidak akan pernah bisa? Jika menjelaskan hal itu saja tidak bisa, lalu bagaimana aku akan menjelaskan kalau aku menolaknya?'' batin Nuansa. Ia lalu hanya tersenyum melihat Reynand yang terlihat begitu bahagia. Chapter 2 - Pacar Sewaan Nuansa sedang dalam perjalanan pulang sekarang. Ia terus memikirkan cara agar memberitahu Reynand bahwa ia menolak pria itu. Di tengah jalan, gadis itu berpapasan dengan teman lamanya, temannya semasa SD dulu bernama Fani. "Nuansa!" seru Fani. "Fani?" ucap Nuansa, ia terlihat tidak percaya dengan sosok yang dilihatnya sekarang. Mereka berdua kemudian berpelukan. "Ke mana saja kau? Aku mencarimu ke mana-mana," ujar Nuansa. "Aku sekarang berkuliah di luar kota. Kebetulan karena beberapa hari ini adalah hari libur, aku bisa pulang dan harus kembali lagi lusa. Bagaimana denganmu?" tanya Fani. "Engh, kau melihatnya sendiri, aku masih sama." Fani kemudian merasa tidak enak hati. "Mau ikut aku beli milkshake? Akan kubelikan untukmu juga." "Milkshake?" "Sshht, tidak usah banyak tanya. Ayo." Mereka berdua lantas menghampiri sebuah gerai khusus minuman-minuman kekinian yang letaknya tak jauh dari kantor polisi tempat Reynand bekerja. "Jadi, bagaimana hasil penjualanmu? Sepertinya sudah sangat meningkat," tanya Fani sembari menikmati milkshakenya. "Ehm, kebetulan saja hari ini sedang laku keras. Semuanya masih sama seperti dulu." "Bagaimana dengan bibi dan paman?" "Fani, bisakah kita tidak membicarakan ini? Maksudku, aku tahu kau bermaksud baik, tapi, aku tidak ingin kau jadi merasa kasihan atau sejenisnya. Bagaimana dengan pekerjaan? Apa kau tahu lowongan pekerjaan yang bagus untukku?" "Baiklah, aku paham dengan hal itu. Pekerjaan? Sekarang kan zaman internet, kenapa kau tidak mencari lowongan pekerjaan di internet saja?" "Seperti apa?" "Menjual keripik singkongmu di toko online, membuat konten video. Entahlah, keduanya sangat bagus untukmu, kurasa. Kau bisa berfokus ke konten pembuatan olahan singkong jika kau mau membuat video." "Bagaimana kalau aku rugi?" "Hahaha, resiko kerugian untuk berjualan online hampir mendekati nol persen. Asalkan kau memiliki ponsel pintar dan kuota data, kau bisa sukses besar." "Ponsel?" "Ya," ucap Fani sambil mengangguk dan tersenyum. "Tidak ada pilihan lain selain ponsel?" "Kenapa?" "Aku ... Tidak memilikinya, hehehe." "Hmm, kupikir bisa saja, kau bisa ke warnet misalnya. Tapi, aku tidak yakin kalau toko online bisa dijalankan secara lancar melalui komputer." "Jadi, inilah akhirnya, tampaknya takdirku adalah untuk menjadi penjual keripik singkong." "Kau bisa menulis secara online dan mendapatkan komisi, jika kau suka menulis tentunya." "Itu menarik, tapi sayangnya aku tidak memiliki bakat untuk menulis sama sekali." Mereka kemudian terdiam. Fani lantas menatap Nuansa seraya tersenyum. "Tidak apa, aku yakin ada cara lain," ujar Fani. "Lupakan saja. Terima kasih untuk milkshakenya, ini enak. Pulanglah, kau pasti dicari oleh orangtuamu," kata Nuansa. "Tunggu sebentar." Fani lalu masuk ke dalam gerai itu, dan menghampiri seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi kasir, tampaknya wanita itu adalah pemilik gerai minuman ini. "Nyonya, apa ada lowongan pekerjaan di sini?" tanya Fani. "Tidak," jawab si ibu dengan singkat. Dari kejauhan, Nuansa terkekeh, Fani pun kembali ke kursinya. "Sudahlah, kubilang lupakan saja," ucap Nuansa. "Eh, bagaimana denganmu?" sambung Nuansa. "Apanya?" tanya Fani. "Apa sudah ada pria yang menyukaimu?" "Kenapa tiba-tiba kau bertanya begitu? Apa kau sendiri sudah dilamar?" "Hmmm, ya." "Uuuh, siapa pria beruntung itu?" "Aku masih belum memberikan jawabanku, karena ... Hei! Aku bertanya padamu! Kenapa kau bertanya balik sebelum menjawab?" "Hehehe, sebenarnya aku sudah bertunangan." "Eh?!" Nuansa sontak memeriksa jari manis Fani. Ia menemukan sebuah cincin di jari manis kanan Fani. "Apa aku kenal dengan tunanganmu? Apa dia teman kita semasa sekolah dulu?" "Ehehe, tidak. Dia teman kuliahku." "Ceritakan padaku, bagaimana rasanya bertunangan itu? Pasti sangat indah dan menyenangkan, bukan?" Fani lantas tersenyum dan mengkedip-kedipkan kedua matanya. "Ya. Dan hal itu hanya bisa dirasakan, bukan diceritakan. Tapi, tunggu! Aku punya ide! Aku punya ide!" "Hah? Apa? Apa?" "Kau jadi pacar sewaan saja!" "Pacar? Sewaan?" "Iya, sebentar, aku buka situsnya." Fani lalu membuka ponselnya dan membuka sebuah situs yang memungkinkan penggunanya untuk menyewa seorang pacar sewaan. "Nah, ini. Di sini, kau bisa mendaftar untuk menjadi pacar sewaan. Isi biodata lengkapmu, lalu masukkan tarif sesuai kemauanmu dan tinggal tunggu penyewa datang untuk menyewamu sebagai pacar pura-puranya," papar Fani. "Tapi, tidakkah pekerjaan ini beresiko tinggi? Ya ... Kau tahulah maksudku." "Tidak, situs ini seratus persen aman, situs ini memiliki kantor di setiap provinsi di Indonesia. Si penyewa juga harus mengisi data dirinya secara benar dan asli, sebab akan ada orang dari kantor yang mendatanginya nanti untuk memastikan bahwa dia adalah orang baik-baik ketika dia menyewa seorang pacar sewaan. Jadi yang disewa akan baik-baik saja." "Pihak situs ini benar-benar akan mendatangi si penyewa?" "Tentu, sampai sekarang tidak ada kejadian pelecehan atau apalah karena situs ini. Aku menjaminnya, situs ini sangat aman." "Hmmm, baiklah, kau bisa daftarkan aku?" "Ok, aku akan mengisi data dirimu dulu." Fani lalu fokus pada ponselnya dan mengisi data diri Nuansa untuk mendaftarkannya sebagai ''yang disewa''. "Kau mau pasang tarif berapa?" tanya Fani. "Memagnya rata-rata orang pasang tarif berapa?" Nuansa bertanya balik. "Macam-macam, tak menentu. Ada yang sejuta perminggu, ada yang tiga ratus ribu perhari dan ada juga yang sepuluh juta perbulan." Nuansa kemudian tampak berpikir. "Aku menyarankan dua ratus ribu saja perhari," ucap Fani. "Jangan, itu kemahalan. Pasang tarif dua ribu perhari saja," ujar Nuansa. Fani sontak terkejut dengan usulan Nuansa barusan. "D-dua ribu? Kau bercanda?" "Tidak, ini strategi bisnisku, kau pahamlah." Fani berpikir sejenak. "Ah ... Baiklah, kau memang pandai. Ok, aku pasang tarif dua ribu perhari." "Dengan begini, akan ada banyak yang mau denganmu, jadi besok kau sudah bisa dapat penyewa. Besok temui aku lagi di sini, kita lihat pria mana yang kau pilih," sambung Fani. "Jadi, aku tidak perlu ke warnet lagi?" tanya Nuansa. "Kupikir awalnya kau akan memasang tarif ratusan ribu, tapi jika begini jadinya, dalam beberapa jam saja pasti kau sudah mendapatkan banyak calon penyewa." "Baiklah. Terima kasih atas semuanya." "Sama-sama, senang bisa membantu sahabat lamaku ini." Nuansa lalu terkekeh kecil. "Aku pulang dulu, ya." "Sampai jumpa besok!" seru Fani, Nuansa hanya tersenyum. Sesampainya di rumah, Nuansa disambut oleh ibunya yang terlihat cemas. Mungkin karena Nuansa tidak pernah pulang semalam ini, ibunya jadi khawatir. "Nuansa, dari mana saja kau?" tanya Durah, ibunya. "Aku mendapatkan pekerjaan baru, ibu!" kata Nuansa sembari memeluk ibunya dengan kegirangan. "Hah?" Durah kelihatan bingung dan sedak nafas karena pelukan Nuansa. "Aku akan menjadi pacar sewaaan!" "Pacar sewaan? Kau ini ada-ada saja! Tidak! Tidak! Ibu tidak setuju!" "Ibu, dengar dulu." Nuansa lalu menjelaskan semuanya, dari awal hingga akhir secara rinci. Durah kemudian mempertimbangkan keputusannya. "Bagaimana? Ibu setuju, kan?" tanya Nuansa usai menjelaskan semuanya. "Terdengar bagus, tapi ... Bagaimana dengan usaha keripik singkong kita?" ucap Durah. "Aku akan meminta bayaran perhari, jadi ibu dan ayah tidak perlu membuat keripik singkong lagi." "Kau menjaminnya? Maksud ibu, apa pekerjaan ini bisa dijadikan harapan?" "Tentu saja! Aku menjaminnya seratus persen!" "Hmm, baiklah, ibu setuju." "Mwah! Mwah! Terima kasih ibu! Aku yakin kalau pekerjaan ini akan mengubah hidup kita! Ngomong-ngomong, keripik singkong kita habis terjual hari ini," ujar Nuansa seraya menciumi pipi Durah. Durah terlihat bahagia ketika mengetahui bahwa keripik singkongnya ludes terjual hari ini. "Ada apa ini? Kenapa kalian berisik sekali?" tanya Arfan, ayah Nuansa yang keluar dari dalam rumah mereka karena mendengar suara istri dan anaknya yang terdengar sangat gembira. Nuansa dan Durah lantas tersenyum mendengar pertanyaan itu. Chapter 3 - Lelang Hari ini, Nuansa tidak mampir ke kantor Polisi tempat Reynand bekerja. Usai berjualan, ia langsung datang ke gerai minuman yang kemarin ia datangi bersama Fani, karena memang mereka sudah membuat janji untuk bertemu lagi di tempat tersebut. Namun, tampaknya Nuansa datang terlalu awal, sebab Fani belum tiba di gerai itu. Kebetulan ada beberapa orang yang melirik dagangannya, karena memang keripik singkongnya tidak habis hari ini. Hal ini pun mampu mengusir rasa bosan Nuansa yang menunggu Fani. Hingga keripik singkongnya habis, Fani baru datang dengan mobilnya seorang diri. "Aku terlambat, ya? Maaf, maaf," ucap Fani. "Tidak, hanya terlambat beberapa menit saja, untungnya ada beberapa orang yang membeli keripik singkongku, jadi aku tak terlalu bosan menunggumu," ujar Nuansa. "Syukurlah." "Jadi, bagaimana?" "Milkshakenya dua, ya!" pinta Fani kepada salah satu karyawan di gerai itu. "OOOHHHH KAU TIDAK AKAN PERCAYA INI," sambung Fani yang menjawab pertanyaan Nuansa. "Hm? Memangnya kenapa?" tanya Nuansa. Fani berseru, "Kau mendapatkan lima ribu calon penyewa!" Nuansa sontak terkejut dan membentuk huruf O pada mulutnya. "Kau serius?" Nuansa memastikan. "Astaga! Untuk apa aku bercanda? Lihat ini." Fani menunjukkan penawaran untuk Nuansa yang semakin bertambah. "Kau memiliki strategi yang brilian." Fani memuji Nuansa. Ia lalu membuka lelang, di mana yang melelang Nuansa dengan harga paling tingggi, akan menjadi orang yang mengontrak Nuansa. "Mana mungkin dua ribu perhari?" canda Nuansa. Mereka berdua kemudian tertawa terbahak-bahak. Ya, tarif yang dipasang oleh Fani hanyalah pancingan bagi para pria yang mencari harga murah untuk menyewa pasangan palsu. Karena situs itu menjamin penyewa dan orang yang disewa tidak akan menipu, jadi pria-pria yang mau dengan Nuansa itu tidak ragu untuk menyewanya. Ketika Fani membuka lelang, 2500 pria berpartisipasi dalam lelang itu, dan 2500 lainnya memilih mundur. Tawaran pertama langsung mencapai angka Rp. 100.000 untuk 1 hari, alias 50 kali lebih besar dari harga asli yang dipasang oleh Nuansa dan Fani. Alhasil, sekitar 2000 pria langsung mundur seketika, karena masih ada beberapa pacar sewaan lain yang memasang tarif yang sama, meskipun jumlahnya bisa dihitung. Lalu, diantara 500 yang tersisa, seorang pria memasukkan angka Rp. 200.000, dan setelahnya 250 pria mundur. Fani dan Nuansa belum menghentikan lelang itu, dan ini sangat mengasyikkan bagi mereka. Pria lain memasukkan Rp. 500.000 dan ia bertahan menjadi pelelang dengan harga tertinggi. Setelah beberapa menit, 200 pria lain mundur, dan belum ada penawaran yang lebih tinggi lagi, jadi Nuansa dan Fani pun berniat untuk menghentikan perlelangan itu, namun secara mengejutkan, ada 1 pria yang baru masuk ke dalam perlelangan itu dan langsung menawar dengan harga Rp. 5.000.000!. Nuansa pun dengan cepat menghentikan perlelangan itu. Ia dan Fani lantas berteriak kegirangan. Nuansa akan dikontrak dengan harga Rp. 5.000.000 perhari. "Ok, sekarang mari kita kirim pesan ke pria ini," kata Fani. "Siapa namanya?" tanya Nuansa. "Tunggu sebentar, sepertinya berawalan dari huruf N juga, sama sepertimu." Nuansa lalu tersipu malu. "Namanya ... Neptunus?" ucap Fani yang terlihat heran dan tidak menyangka. "Hah?" Nuansa juga tak kalah heran. Siapapun pasti tahu bahwa Neptunus adalah nama sebuah Planet, meskipun diambil dari nama dewa lautan Romawi, tapi orang-orang lebih tahu bahwa Neptunus adalah nama Planet, wajar memang jika Fani dan Nuansa jadi terlihat bingung. "Kau tak salah baca?" tanya Nuansa. "Kau lihat saja sendiri." Fani memberikan ponselnya ke Nuansa. Nuansa kemudian membaca nama pria yang menyewanya sebagai pacar dengan harga Rp. 5.000.000 itu. "Neptunus Bimasakti." Ia dan Fani lantas saling melirik. "Namanya bagus, tapi, kira-kira bagaimana dia dipanggil?" kata Nuansa. "Entahlah, tapi kurasa nama ayahnya adalah Jupiter Bimasakti," canda Fani, mereka berdua lalu terkekeh. "Ok, kau ingin mengatakan apa padanya sebagai salam perkenalan?" tanya Fani. "Katakan ''Halo, tunggu aku di sana, aku masih di Saturnus''," jawab Nuansa, keduanya kemudian tertawa lagi. "Ok, baiklah, kali ini serius. Kau mau bilang apa?" "Katakan ''hai'' saja dulu." "Ok." Fani lantas mengirim pesan ''Hai'' ke Neptunus. "Tapi, apa kau berpikir kalau kalian akan menjadi pasangan yang serasi?" tanya Fani. "Kenapa?" Nuansa bertanya balik. "Inisial nama kalian sama-sama huruf N, bukankah itu menggemaskan?" "Hahaha, dia hanya pacar palsuku, lagi pula aku belum tahu bagaimana orangnya." "Bagaimana kalau dia cool? Tampan? Atau romantis?" "Memangnya aku harus bagaimana menurutmu? Aku hanya di kontrak olehnya, kami bukan pasangan asli, itu pun kalau dia menandatangani kontraknya." "Hmmm. Hei, dia membalas." "Apa katanya?" "Dia bilang, ''Aku sudah menandatangani kontraknya, aku mengontrakmu selama satu bulan dan aku akan membayarmu perhari. Temui aku besok di sini''. Dia kemudian memberikan alamat lengkap restoran yang akan jadi tempat kalian bertemu." "Baiklah." "Kau akan menandatangani kontraknya?" "Bisa kulihat foto-fotonya dulu?" "Tentu saja, astaga kenapa aku tidak kepikiran akan hal itu dari tadi?" Fani dan Nuansa lalu melihat foto-foto Neptunus. Pria itu tinggi, tampan dan terlihat cool. Dan sepertinya dia berasal dari rakyat kelas atas. "Dia lumayan," ujar Fani. "Umurnya berapa?" tanya Nuansa. "Dua puluh tiga, tidak beda jauh denganmu." "Hmm, baiklah, aku akan menandatangani kontraknya." "Ok." Fani lantas memencet tombol ''TANDATANGANI KONTRAK''. "Kau akan menjadi pacar sewaannya mulai lusa," jelas Fani. "Lusa?" kata Nuansa. "Ya, dia ingin kalian bertemu besok di restoran yang dia sudah kirimkan alamatnya untuk pendekatan. Kalian akan menghabiskan waktu untuk berkenalan besok." "Dan besok kau akan pergi?" Fani kemudian tersenyum. "Kita akan bertemu lagi, pasti. Dan berjanjilah kalau ketika kita bertemu lagi, kau akan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari sekarang." "Aku berjanji." Nuansa lalu memeluk Fani. "Terima kasih banyak, Fani, kau sudah banyak sekali membantuku," ucap Nuansa. "Itulah gunanya sahabat, hanya ini yang bisa kulakukan untukmu, maaf." "Tidak, kau sudah banyak sekali berjasa dalam hidupku." "Sudahlah. Besok malam kau akan bertemu dengan penyewamu, dan paginya dia akan di datangi oleh pihak situs ini. Kemudian bulan depannya, kau sudah mendapatkan seratus lima puluh juta." Nuansa tersenyum. "Aku jadi tidak sabar untuk bertemu dengannya. Tapi, apa dia akan menerimaku? Maksudku, sepertinya derajat kami sangat berbeda, kau tahulah, aku terlalu jauh dibawahnya secara keuangan." "Jangan khawatir, kau kan hanya pacar sewaannya." Nuansa lalu terkekeh. "Benar juga." Mereka berdua lalu menikmati milkshake masing-masing. "Nuansa, aku punya satu nasihat untukmu," ucap Fani. "Apa?" tanya Nuansa. "Pekerjaan ini memang aman melalui situs ini, tapi tidak salah kan jika kau tetap berhati-hati terhadap pria ini?" "Jangan khawatir, aku tahu bagaimana cara menendangnya. Aku tahu di mana kelemahan pria." "Hahahaha." ''Neptunus, bagaimana orangnya, ya? Sesuai dengan ekspektasiku tidak, ya? Apa dia humoris? Romantis? Pendiam? Ramah?. Apapun itu kuharap dia adalah pria yang baik. Aku jadi tidak sabar untuk bertemu dengannya,'' batin Nuansa. Chapter 4 - Ukuran BH Nuansa pulang cepat hari ini demi menghindari keterlambatan untuk pertemuannya dengan Neptunus. Ia tidak tahu bagaimana sifat pria itu, siapa tahu gampang marah, jadi sebisa mungkin dirinya menghindari hal-hal yang bisa membuat kliennya kesal. "Kau yakin akan menemuinya dengan penampilan seperti ini?" tanya Durah yang meragukan penampilan putrinya yang tampil tomboi sederhana kali ini. "Kenapa aku harus ragu?" Nuansa bertanya balik. "Kau akan bertemu dengan klien, ibu pikir akan lebih bagus jika kau menggunakan pakaian yang sedikit formal, karena kau tidak memiliki gaun atau sebagainya, setidaknya pakai pakaian yang lebih rapi." "Hm, ayah setuju," tambah Arfan. "Pakaian formal apa yang aku punya? Seragam SD?" canda Nuansa. "Tidak masalah dengan penampilanku, aku akan menjadi diriku sendiri di hadapannya, walaupun aku tidak tomboi sebenarnya, tapi, aku hanya ingin berpenampilan sesuai dengan kemampuanku. Lagi pula aku hanya akan menjadi pacar pura-puranya, bukan pacar betul-betul," sambungnya. Mendengar itu, Durah dan Arfan lantas saling melirik. "Baiklah jika menurutmu itu yang terbaik. Kami akan selalu mendukungmu," ucap Durah. Nuansa kemudian memeluk kedua orangtuanya. "Aku berangkat dulu." Nuansa berpamitan. "Hati-hati, jaga dirimu," ujar Arfan. "Ok." Nuansa lalu pergi menuju restoran yang sudah ia janjikan dengan Neptunus. Karena menurut alamat yang diberikan oleh Neptunus, letak restoran itu tak jauh dari rumahnya (hanya sekitar 30 menit jika berjalan kaki), Nuansa pun memutuskan untuk pergi ke restoran itu dengan berjalan kaki. "Woah, ini restorannya?" gumam Nuansa yang terpana melihat restoran romantis itu. "Kalau begini pertemuan kami akan terasa seperti kencan," lanjutnya. Gadis itu lalu masuk ke dalam restoran romantis tersebut. Saat mencapai pintu, Nuansa disambut oleh seorang penjaga pria yang menggunakan kemeja dan celana panjang. "Selamat datang, Nona," sambut si penjaga yang terheran-heran dengan setelan pakaian Nuansa. "Iya, terima kasih," kata Nuansa dengan ramahnya. "Maaf, Nona, anda datang untuk makan?" "Aku tidak berpikir kalau restoran adalah tempat untuk berenang." "Maksud saya, anda memesan meja nomor berapa dan atas nama siapa?" "Makan di sini harus memesan meja dulu? Apa meja makan yang kalian miliki hanya sedikit?" "Itu peraturan jika ingin makan di sini, pelanggan harus memesan meja dulu beberapa jam sebelum makan malamnya." "Begitu, ya. Hmm, aku tidak yakin, apa ada pria bernama Neptunus Bimasakti yang memesan meja di sini?" "Nomor mejanya berapa ya, Nona?" "Aku tidak tahu, dia tidak memberitahuku." "Baiklah, saya akan masuk sebentar untuk menanyakan pesanan meja atas nama Neptunus Bimasakti. Mohon tunggu di sini sesaat, ya, Nona." "Ok, aku tunggu." Si penjaga lantas masuk ke dalam restoran tersebut, dan tidak sampai 1 menit kemudian, ia keluar lagi. "Silakan masuk, Nona," ucap si penjaga. "Tunggu, itu artinya Neptunus Bimasakti memang memesan meja di sini?" tanya Nuansa. "Ya." ''Oh, Fani benar, sepertinya tidak akan ada penipuan,'' batin Nuansa. Nuansa lalu diantar ke sebuah meja dengan 2 kursi yang berhadapan. Meja itu dekat dengan kolam renang besar yang dihiasi oleh bunga mawar yang membentuk simbol cinta. Di sekeliling pinggir kolam itu, hanya ada 5 set meja lain selain meja yang dipakai oleh Nuansa, jadi pemandangannya sangat luas. Plus, pembicaraan para pasangan tidak akan bisa terdengar oleh pasangan lain, sebab jarak dari satu meja ke meja yang lain memang cukup jauh. Nuansa pun menunggu kedatangan Neptunus sembari terus mengingat wajahnya agar ia bisa memastikan bahwa ia telah bertemu dengan Neptunus Bimasakti. Sekitar 10 menit setelah menunggu, Nuansa melihat seorang pria dengan kacamata hitam dan tuxedo datang mendekatinya. Pria itu berperawakan persis seperti Neptunus. "Nuansa Indahsari?" ujar pria itu pada Nuansa. Suaranya terdengar sangat macho di telinga Nuansa, membuat jantungnya jadi berdebar 2 kali lebih kencang. "I-iya," jawab Nuansa yang gugup, wajahnya seketika berubah menjadi merah merona. ''Kenapa aku jadi gugup?'' batin Nuansa. "Aku Neptunus Bimasakti, kau bisa memanggilku dengan nama Neptunus, ya aku tahu itu agak sedikit panjang, tapi jangan protes," ucap Neptunus sembari duduk dan melepaskan kacamatanya ''Dia agak sedikit cerewet, tapi tetap terlihat mengesankan,'' batin Nuansa yang tak henti-hentinya mengagumi Neptunus. "Baiklah," kata Nuansa. "Jadi, kau dipanggil dengan nama apa? Indah? Sari?" tanya Neptunus. "Nuansa, nama panggilanku adalah Nuansa," jawab Nuansa. Neptunus terdiam sesaat. "Well, baru kali ini kutemukan orang dengan nama panggilan yang tak kalah panjang dari nama panggilanku." Nuansa terkekeh kecil. "Jadi, kau dua puluh satu tahun, ya?" ucap Neptunus. "Dan kau dua puluh tiga." "Kau tidak benar-benar tomboi, ya, kan?" "Engh, kurasa begitu." "Kenapa kau begitu kaku?" "Benarkah? Maksudku, aku biasa saja." "Ya, seharusnya kau menggunakan gaun yang berkilau, bukan berpenampilan seperti ini, jadi tentu kau biasa saja." "Bukan, bukan, bukan begitu maksudku. Maksudku, aku juga tidak kaku sepertimu." "Kalau begitu, berikan setidaknya aku satu pertanyaan." "Tunggu, apa? Bukankah seharusnya kau yang bertanya-tanya padaku?" "Ladies first, aku akan bertanya setelah kau bertanya. Aku hanya akan menanyakan satu pertanyaan padamu." "Apa? Umur? Status? Alamat rumah?" "Itu semua pertanyaan bodoh, kau sudah mencantumkannya di data dirimu." "Oh, iya, hehehe." "Silakan bertanya." "Ke-" "Tapi setelah makan. Mulutmu bau, pasti kau belum makan, kan?" sela Neptunus. Nuansa pun secara refleks mencium aroma mulutnya yang memang bau. "Kau cukup peka sebagai pria," ucap Nuansa. "Semua orang akan sangat peka dengan bau mulutmu itu." "Apa ini mengganggu?" "Untuk itulah aku memesan makanan beberapa jam yang lalu." Beberapa pelayan lalu datang mengantar makanan yang dipesan oleh Neptunus. "Ok," ujar Nuansa. Mereka lalu langsung menyantap makanan masing-masing dengan cukup lahap. "Ini enak, pasti harganya mahal," ucap Nuansa usai menghabiskan makanannya "Mhm, gajimu sehari dariku saja tidak akan cukup untuk membayar semua ini," kata Neptunus. Mendengar itu, Nuansa yang sedang minum pun tersedak. "Jadi, apa pertanyaanmu untukku?" sambung Neptunus yang juga sudah selesai makan. "Aku menganggap tidak sopan jika aku terlalu banyak bertanya kepada kau klienku, jadi ... Aku hanya akan bertanya, kenapa kau menyewaku? Maksudku, aku tahu aku tidak berhak menanyakan hal ini, tapi, kau sendiri yang memintaku untuk bertanya, ya ... Kau pahamlah." "Keluargaku dan teman-temanku mendesakku untuk mencari pasangan, mereka bilang jika aku terlalu lama sendiri, maka aku tidak akan pernah move on dari mantan kekasihku." "Dan pada kenyataannya kau memang tidak pernah move on darinya, kan? Itulah kenapa kau menyewaku?" "Aku move on, tapi hanya terlalu sulit untuk mencari gadis yang tepat." "Kenapa? Apa kau trauma karena diputuskan oleh mantanmu itu?" "Kau yakin ada gadis yang sanggup memutuskanku apabila mereka berpacaran denganku?" "Hehehe, tidak." "Bagus. Aku ditinggal mati olehnya, sekarang kau tahu." Nuansa terdiam sejenak. "M-maaf." "Tidak apa." ''Pantas saja dia sulit untuk move on,'' batin Nuansa. "Ok, bisa aku bertanya sekarang?" ujar Neptunus. "Kau bisa bertanya sesuka hatimu," ucap Nuansa. "Tapi kau harus menjawabnya, sebab aku hanya akan menanyakan satu pertanyaan." "Tentu aku akan menjawab." Neptunus lantas mendekatkan wajahnya ke wajah Nuansa dan menatapnya secara seksama. Hal ini tentu saja membuat jantung Nuansa berdebar semakin kencang dan terus mengencang. "Berapa ukuran BHmu?" tanya Neptunus. Nuansa melongo. "Hah?". Chapter 5 - Ratu Drama "BH? Maksudmu ..." "Tentu saja, BH yang mana lagi memangnya?" ucap Neptunus. "Kau ..." "Kau berusaha melecehkanku?!" sambung Nuansa. "Ooh, pekerjaan ini memang tidak benar. Aku mundur! Tidak jadi kuambil lima jutamu!" Ia lantas berdiri dan bersiap untuk pergi. "Mau ke mana kau?" tanya Neptunus. "Ke kantor Polisi dan melaporkanmu! Aku punya teman dekat, dia seorang Polisi!" jawab Nuansa. "Kau yakin?" "Kenapa tidak?! Aku telah mengalami tindakan pelecehan darimu! Dasar pria kurang ajar!" "Kau tahu? Aku punya enam mantan kekasih dan aku tahu ukuran BH mereka semua." "Eh?" "Ya." "Apa kau gila?" "Mereka bersedia memberitahukan kepadaku ukuran BH mereka, jadi aku tidak melecehkan mereka." "Tapi aku tidak murahan seperti mereka!" "Apa kau memikirkan keuntunganku mengetahui ukuran BHmu?" "Engh, tidak." "Duduklah dulu." "Jangan coba-coba kau hipnotis aku!" "Aku tidak punya bakat untuk menghipnotis. Satu-satunya bakat yang kupunya hanya berhasil mengetahui ukuran BH semua mantanku." "Kau menjijikkan." Nuansa lalu kembali duduk. "Hahaha, benarkah?" "Dasar otak mesum! Kau pasti melakukan sesuatu dengan mantan-mantanmu, kan? Kau menggunakan kekayaanmu untuk membuat mereka mau menjadi murahan, kan?! Atau kau mau berpacaran dengan mantan-mantanmu hanya karena ukuran dada mereka yang diatas rata-rata, ya?! Kau memang kurang ajar!" seru Nuansa sembari menutupi dadanya dengan tangannya. "Aku lebih menyukai perempuan rata dari pada yang berisi, meskipun mantan-mantanku memiliki ukuran yang bervariasi." "HEH!" "Aku serius, agak risih bagiku melihat perempuan yang ''besar'' ketika berlari. Aku seperti merasakan beban mereka." Nuansa secara refleks menjitak kepala Neptunus. "Hei, aku ini klienmu!" ucap Neptunus. "Berhentilah berbicara tentang dada! Dan jangan coba-coba kau berusaha mencari tahu ukuran BHku apa lagi menatap dadaku!" Mendengar hal itu Neptunus pun mengerjai Nuansa dengan cara menatap dadanya. Nuansa langsung menyadari hal itu. "Iiiihhh!!!" Gadis itu bangkit dari kursinya dan memilih berdiri di belakang Neptunus. Neptunus pun hanya bisa tertawa geli. "Jangan ketawa kau! Tidak ada hal yang lucu di sini!" kata Nuansa. "Ok, ok. Pemikiranmu tentang aku salah besar," ujar Neptunus. "Aku akui kalau mungkin aku sedikit mesum dan sejenisnya, tapi aku tidak pernah berusaha melecehkan perempuan, aku bahkan tidak pernah berpikir untuk melakukannya. Semesum-mesumnya aku, aku tahu batasannya," lanjutnya. "Menanyakan ukuran BH kepada perempuan yang baru kau kenal tidak termasuk sebagai tindakan pelecehan?" "Tidak, tidak sama sekali." "Otakmu bergeser atau bagaimana?" "Hahaha. Aku bertanya ukuran BH kepada mantan-mantanku karena aku membelikan mereka empat belas BH pada hari valentine, dan aku berencana untuk membelikannya juga untukmu. Aku tidak bercanda soal ini, karena aku telah menghabiskan uang-uangku untuk membeli ratusan BH untuk mantan-mantanku dulu." "Alasan saja! Hari valentine masih lama! Dan aku hanya akan menjadi pacarmu selama satu bulan! Tidak lebih dan aku tidak mau melebihkan! Kau menjijikkan!" Ggrrrhhh." "Loh? Kau tidak berdoa agar kita bisa memperpanjang kontrak dan kau akan mendapatkan miliaran Rupiah?" "Tidak untukmu! Kau jorok sekali! Lagi pula kenapa kau harus membelikan BH untuk mantan-mantanmu dulu? Masih banyak hadiah romantis yang tidak menyinggung bagian sensitif." "Seperti apa? Bunga? Cokelat? Makan malam romantis? Maaf, tapi aku ini Neptunus Bimasakti, namaku anti-mainstream dan segala tindakanku juga harus anti-mainstream tapi tidak melanggar aturan." "Ya, tapi ... kenapa harus BH? Orangtuaku saja tidak pernah menanyakan ukuran BHku, dan kau yang baru kukenal berani-beraninya menanyakan hal itu!" "Karena bagian yang dilindungi oleh BH adalah hal terfavoritku dari wanita." "Kau ....!" "Apa? Wajar, kan? Aku ini pria normal, jadi wajar jika aku suka dengan bagian itu." "Argh!" Nuansa hanya bisa kesal dan diam melihat sikap pria yang baru dikenalnya ini, ia kemudian kembali duduk. Neptunus benar-benar pria dengan otak termesum yang pernah dikenalnya, dan Nuansa tidak habis pikir bagaimana bisa Neptunus tidak ragu untuk membicarakan hal-hal seperti itu dengan orang yang baru dikenalnya, terlebih lagi Nuansa adalah seorang perempuan. "Hm? Kau duduk lagi? Tidak jadi melaporkanku ke teman Polisimu itu? Atau dia hanya Polisi-polisian? Hahahaha," ejek Neptunus. "Tunggu sampai kau ditangkap olehnya," ucap Nuansa. "Aku? Ditangkap? Oleh Polisi-polisian itu? Hahahaha. Kau bisa menjadi seorang pelawak terkenal, leluconmu sangat mengocok perutku." Neptunus tertawa terbahak-bahak sampai Nuansa terheran-heran melihatnya. "Dia benar-benar Polisi, dan tentunya tidak memiliki pikiran kotor sepertimu." "Ah, iya, iya. Tapi aku pasti jauh lebih tampan darinya, kan?" tanya Neptunus seraya mengedipkan mata kanannya dan menopang dagunya pada telapak tangan kanannya. "Ew." Nuansa bergidik jijik. "Maksudku, aku tidak menyangka kalau kau seperti ini orangnya." "Ekspektasi selalu tak sesuai dengan realita, ya? Yah ... Kupikir tadi kau akan pergi meninggalkanku dan tidak menjadi perempuan murahan, tapi rupanya realitanya berbeda." "Apa maksudmu? Kau mengatakan aku ini murahan?" "Tentu saja. Kau tadi merasa dilecehkan, tapi tiba-tiba kau bertahan karena seratus lima puluh juta. Di mana harga dirimu?" Nuansa sontak saja terkejut mendengar ucapan Neptunus barusan. Air matanya langsung menetes secara otomatis. "Ratu drama," ejek Neptunus. Nuansa kemudian menghapus air matanya. "Kau baru mengenalku beberapa menit, dan kau hanya mengetahui namaku, tidak dengan kisah hidupku. Jadi kuberitahu padamu Tuan sombong dan mesum, jika bukan karena kehidupanku yang sulit, aku tidak akan pernah kenal denganmu, dan tentunya aku tidak akan pernah mau berkenalan denganmu. Kita di sini sama-sama tahu bahwa kita tidak bisa membatalkan kontrak secara resmi jika kita belum melewati waktu yang telah ditentukan sebelumnya, jadi sebaiknya kau gunakan kesempatan ini untuk tahu bagaimana kehidupanku. Kuharap dengan melihat kehidupanku, kau lebih tahu bagaimana caranya menghargai wanita, bagaimana caranya bersikap pada orang yang baru dikenal, bagaimana caranya menjaga perasaan orang lain dan bagaimana caranya agar tidak sombong, sehingga kau tidak sembarangan menanyakan ukuran BH para wanita. Terima kasih untuk makan malamnya, kuharap otakmu sedikit tercubit sehingga kau paham, berapa banyak dosa dan kesalahan yang sudah kau perbuat, bahkan untuk aku yang baru kau kenal. Permisi!" Nuansa lantas bangkit dari duduknya dan berniat untuk pergi. "Dan satu lagi, aku masih punya harga diri dan selalu akan memilikinya! Sampai kapanpun aku tidak akan memberitahumu ukuran BHku dan terima kasih atas tawaran empat belas BHmu, aku menolaknya," lanjut Nuansa. Ia lalu pergi meninggalkan Neptunus. "Hei, kau mau ke mana?! Kau bersikap sangat buruk pada klienmu!" seru Neptunus. "Aku pikir kau bersikap jauh lebih buruk kepadaku!" ujar Nuansa. "Tapi aku membayarmu!" Nuansa kemudian berhenti melangkah dan berbalik badan. "Aku tidak dibayar untuk memberitahumu ukuran BHku!" Gadis itu lantas kembali berjalan. "Hei, tunggu!" "Jangan ikuti aku jika kau tidak mau mobil mewahmu menjadi hancur! Karena rumahku berada di gang yang sempit!" Neptunus lalu mengubur niatnya untuk mengejar Nuansa saat ia mendengar hal itu. "Besok kujemput kau! Aku harus memperkenalkanmu kepada keluargaku!" teriak Neptunus. "Dia dengar tidak, ya?" gumamnya. "Hm, tidak apalah," sambungnya. Neptunus lantas tersenyum saat mengingat wajah Nuansa lagi. ''Hei, nama lengkap dan wajahnya cukup cocok. Aku seperti melihat nuansa yang indah dari sebuah sari bunga ketika melihat wajahnya. Tapi dia sedikit sulit untuk dirayu sepertinya,'' batin Neptunus. Chapter 6 - Hawa Panas Sesampainya di rumah, Nuansa disambut oleh kedua orangtuanya yang terheran dengan kepulangannya yang begitu cepat. "Kenapa kau pulang cepat sekali? Apa semuanya berjalan lancar?" tanya Durah, ia semakin heran melihat Nuansa yang terlihat kesal. Baru saja Nuansa akan menjawab semuanya dengan jujur, namun sebuah pemikiran terlintas di kepalanya, ''Jika aku mengatakan kalau Neptunus itu orangnya mesum dan menyebalkan, pasti ayah dan ibu akan menyuruhku mundur karena takut terjadi sesuatu padaku. Padahal jika kuingat lagi, Neptunus sepertinya tidak memiliki niat jahat kepadaku. Dan aku tidak boleh berhenti disini, selama Neptunus tidak kelewatan bagiku, aku akan tetap maju dan tidak akan membiarkan siapapun menyuruhku untuk mundur walaupun tingkah pria itu benar-benar menyebalkan.'' "Tentu semuanya baik-baik saja, ibu," jawab Nuansa. "Kau yakin?" Giliran Arfan yang bertanya. "Wajahku tidak meyakinkan ayah?" "Bukan begitu maksudnya, Nuansa. Kau pulang sangat cepat, mana ada pertemuan pertama kali dalam urusan bisnis dengan klien hanya memakan waktu satu jam lima belas menit. Satu jam adalah waktu tempuhmu pulang-pergi dari sini ke restoran itu. Jadi, apa yang kalian bicarakan dalam waktu lima belas menit?" tambah Durah. "Kami ... Kami hanya makan dan membuat persetujuan, perjanjian dan peraturan saja. Selebihnya kan sudah beres, kami hanya perlu bertatap muka dan yasudah, apa lagi?" "Hanya lima belas menit?" "Engh ... Waktu adalah emas bagi Neptunus, jadi dia tidak mau membuang-buang waktu untuk berkenalan dengan orang yang hanya akan menjadi kekasihnya selama sebulan." "Hmmm, begitu ya. Neptunus itu bagaimana orangnya?" "Dia ... Dia ... Dia adalah pria yang baik." "Lagi?" "Cukup ramah dan ... agak tinggi." "Jadi tingginya agak jauh darimu?" "Ya." ''Maksudku tinggi hati,'' batin Nuansa. Durah dan Arfan kemudian saling melirik. "Ok. Berarti mulai besok kau adalah kekasihnya dan mulai besok kau akan mendapatkan gaji pertamamu," ucap Durah. "Nah, benar sekali," ujar Nuansa. "Yasudah, ayo kita masuk dan tidur." ''Huft, aman,'' pikir Nuansa. Bulan telah berganti dengan Matahari, Nuansa bersiap untuk menyambut hari ini dan menjalani aktifitas seperti biasanya: berjualan keripik singkong. "Kau yakin akan berjualan lagi?" tanya Arfan kepada putrinya saat Nuansa sedang bersiap untuk berangkat. "Ayah, bukan berarti karena kita akan mendapatkan lima juta perhari, kita akan meninggalkan dagangan kita. Kita harus giat mencari uang, tidak peduli dengan jumlah yang kita dapat, yang penting kita sudah berusaha dengan cara yang positif," kata Nuansa. "Tapi bagaimana dengan Neptunus? Kau adalah kekasihnya mulai hari ini," ucap Durah. "Dia hanya akan membutuhkanku pada sore hingga malam hari, tenang saja." "Kau tahu dari mana?" tanya Durah. "Dia itu pebisnis, jadi dia pasti sibuk." "Jangan asal menduga, Nuansa." "Ibu jangan khawatir, dugaanku ini pasti benar." "Yasudah, aku berangkat dulu, ya!" sambung Nuansa yang langsung pergi usai menyalami kedua orangtuanya. Gadis itu pun berjalan keluar dari gang sempit rumahnya dan berniat untuk berkeliling ke tempat biasanya. Saat Nuansa keluar dari gang di mana rumahnya berada, ia melihat sebuah mobil mewah terparkir di sebrang gang rumahnya. Baru kali ini gadis itu melihat ada mobil mewah yang beredar di lingkungan rumahnya. Namun Nuansa memilih cuek dan tidak memikirkan mobil itu, apa lagi ia langsung mendapatkan pelanggan pertama ketika keluar dari gang itu. Pelanggan pertamanya hari ini adalah seorang wanita dengan anak balitanya yang menaiki motor. Wanita ini adalah langganan Nuansa, jadi ia dan Nuansa memang agak akrab, dan mereka mengobrol sebentar. "Mobil siapa itu, ya?" tanya wanita itu. "Yang terparkir di sana itu?" Nuansa bertanya balik tanpa melihat ke arah mobil mewah yang dimaksudnya dan yang dimaksud wanita tersebut. Karena mobil yang mereka maksud memang sama: mobil yang terparkir di sebrang gang rumah Nuansa. "Iya. Tidak pernah aku lihat ada mobil mewah di sini." "Entahlah, aku juga awalnya sedikit heran, orang kaya mana yang berkunjung ke sini? Terpikir olehku saja tidak pernah, makanya ketika melihat mobil mewah seperti itu ada di sini aku juga heran, tapi yasudahlah, buat apa dipikirkan, bukan mobil kita juga." "Hahahaha, kau benar. Aku pergi dulu, ya, aku harus masak untuk makan siang." Nuansa tidak menggubris ucapan wanita itu barusan karena ia tiba-tiba fokus pada anak wanita tersebut. Balita itu terus melihat ke arah Nuansa, tapi Nuansa tidak yakin bahwa pandangan mata balita itu mengarah padanya. "Nuansa! Nuansa!" panggil wanita itu. "Hah? Iya? Apa?" ujar Nuansa yang baru sadar jika mereka berdua akan pulang. "Aku pulang dulu." "Oh, iya, hati-hati di jalan, ya." "Iya." Usai ibu dan anak itu pergi, Nuansa mengernyitkan dahinya sebab masih merasa heran dengan anak wanita langganannya itu. "Dia melihat ke arahku? Apa yang salah denganku?" gumam Nuansa sembari melihat sekujur tubuhnya. "Tidak ada," sambungnya. Gadis itu pun lantas berjongkok meraih memegang keranjangnya dan berniat untuk melanjutkan kegiatan berdagangnya. ''Tapi sepertinya dia melihat ke belakangku,'' batin Nuansa, ia pun kembali berdiri tanpa mengangkat keranjangnya. Nuansa merasakan ada hawa panas di belakangnya saat ia berdiri, jadi ia pun berbalik badan dan mendapati Neptunus yang hanya berjarak 20 cm darinya. Karena jarak mereka yang begitu dekat, Nuansa jadi seolah menabrak Neptunus dan langsung terjatuh ke belakang sebab ia kaget dengan keberadaan Neptunus. Tapi untungnya Neptunus dengan sigap menopang tubuh Nuansa sehingga gadis itu tidak jadi jatuh dan posisi mereka sekarang bak pasangan yang sedang berdansa. Neptunus dan Nuansa terlibat dalam kontak mata yang cukup lama di pinggir jalan, tempat yang sangat umum. Namun sesaat kemudian keduanya ''tersadar''. "Aku menunggumu dari tadi," kata Neptunus. Bukannya berbicara juga, Nuansa malah menampar pipi Neptunus dengan cukup keras, sampai Neptunus mengaduh. "Ada apa denganmu?! Kenapa kau menamparku?!" tanya Neptunus di saat mereka masih dalam posisi yang sama. "Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku! Ini di pinggir jalan! Apa yang orang pikir tentang kita nanti?! Lagi pula aku tidak bersedia untuk berada dalam posisi yang seperti ini denganmu!" ujar Nuansa. "Lalu? Apa masalahnya dengan pikiran orang?" "Orang-orang akan berpikir yang tidak-tidak tentang kita! Ya ampun! Otakmu sudah benar-benar dikubur oleh pikiran kotormu itu!" "Kau lihat ini ya. Hei orang-orang! Lihat kami! Kami sedang dalam posisi yang gadis ini tidak bersedia untuk melakukannya denganku!" seru Neptunus. "Hei! Kau sudah gila?! Iihh! Kau memang gila! Lepaskan aku!" Nuansa berusaha melepaskan dirinya dari Neptunus, namun tangan Neptunus terlalu besar, sehingga ia tidak bisa membebaskan dirinya sendiri. "Hei orang-orang! Kenapa kalian tidak melihat kami?! Kau lihat sendiri, kan? Tidak ada yang peduli dengan kita," ucap Neptunus. Nuansa lantas menamparnya untuk yang kedua kalinya sampai membuat pria itu sedikit kaget dan seketika melepaskan Nuansa. Tentu saja Nuansa terjatuh karena Neptunus melepaskannya. "Ah!" Nuansa berteriak. "Hei, ternyata kau penjual keripik singkong, ya?" kata Neptunus usai mengusap-usap pipinya yang terasa sakit, ia lantas mengangkat keranjang keripik singkong itu. "Ayo ikut aku ke mobil," lanjut pria itu. "S-setidaknya bantu aku du-lu!" ujar Nuansa yang berusaha bangkit, namun Neptunus memilih cuek dan menyebrang ke arah mobilnya. Nuansa lalu menyusulnya usai berhasil bangkit. Gadis itu kemudian masuk ke dalam mobil Neptunus dan mendapati pria itu sedang memakan keripik singkongnya. Baru saja Nuansa akan protes, Neptunus langsung menutup mulut gadis itu dengan jari telunjuknya sampai ludah Nuansa berlepotan. "Tapi itu keripik-" "Sshhhtt. Diam saja kau, akan kubayar semua ini. Cek bangku belakang, aku sudah membeli BH dengan semua ukuran untukmu, karena aku tidak tahu ukuran BHmu." Neptunus menyela Nuansa. ''Astaga, pria ini benar-benar tidak waras,'' batin Nuansa. Chapter 7 - Selamat Datang di Istanaku Nuansa membongkar isi belanjaan Neptunus yang semuanya hanya BH dengan semua ukuran. Ia masih tidak tahu ke mana mereka akan pergi sekarang, dan ia belum bertanya sejak Neptunus menginjak gas sebab ia fokus membongkar BH-BH itu. "Kau menerimanya?" tanya Neptunus yang menyetir sembari memakan keripik singkong. "Mau bagaimana lagi? Apa yang akan oran-orang pikir tentangmu jika kau yang memiliki BH-BH ini?" "Untuk membuat orang-orang tidak berpikir yang aneh-aneh tentangku karena BH-BH itu, maka aku tidak perlu menunjukkan kepada mereka kalau aku punya BH." "Oh, iya, hehehe." "Tapi kupikir kau menolaknya. Jika kau menolaknya tidak apa." "Kau memaksa, jadi yasudah, terpaksa aku mengambilnya." "Hei, kau menolaknya mentah-mentah semalam, dan aku tidak memaksamu untuk mengambilnya setelah aku membeli semua itu." "Sebenarnya BH-BHku sudah mulai ada bintik-bintik hitam, jadi tidak masalah jika aku ambil ini." Neptunus lantas hanya mendengus. "Yasudah, terima kasih untuk BH-BH ini," ucap Nuansa, ia lantas meraih keranjang keripiknya dan berniat untuk keluar dari mobil itu dengan membawa serta BH-BH yang dibeli Neptunus. Gadis itu tidak sadar bahwa ia sedang berada di mobil yang jalan. Nuansa pun lalu membuka pintu mobil tempatnya duduk dan terkejut setengah mati ketika menyadari bahwa mobil itu sedang dalam keadaan jalan, hampir saja kakinya keluar tadi. "Apa yang kau lakukan?!" tanya Nuansa usai menutup pintu mobil itu lagi. "Sekarang? Sedang mengendarai mobilku sambil memakan keripik singkong ini. Keripik singkongmu enak, aku tidak menduga kalau kau pandai memasak," jawab Neptunus. "Hehehe, terima kasih, tapi itu buatan ibuku, maksudku, hei! Aku tidak meminta penilaianmu tentang keripik singkong itu! Sejak kapan mobil ini jalan?!" "Sejak kau memeriksa BH-BH itu." "Kau mau membawaku ke mana?! Aku harus berjualan!" "Kau ini pacar sewaanku, jadi aku berhak untuk mengajakmu pergi ke mana saja, aku membayarmu." "Tapi-" "Aku akan memperkenalkanmu kepada keluargaku." "Apa?" "Aku sudah mengatakannya semalam padamu." "Kau tidak mengatakannya!" "Aku mengatakannya! Tapi kau pergi begitu saja!" "Eh?" "Sudahlah, lupakan saja. Kau dengar atau pun tidak tentang semalam, aku tetap berhak membawamu ke rumahku bahkan tanpa perjanjian." "Iya, tapi-" "Tidak usah khawatir tentang daganganmu, aku akan mengurusnya." "Oh? Hahahaha." "Kenapa?" tanya Neptunus seraya mengernyitkan dahinya. "Tidak ada, kau hanya terlihat seperti anak manja yang selalu di manjakan dengan kekayaan, jadi aku tidak yakin kau mau menjual keripik-keripik itu." "Hei, aku ini klienmu, bicara yang sopan sedikit." "Hahaha, ok, ok." Suasana menjadi hening untuk beberapa saat. "Jadi, sehari-hari kau bekerja sebagai penjual keripik singkong?" tanya Neptunus. "Ya," jawab Nuansa. "Dan kau tidak terlihat setomboi semalam." "Oh jujur saja, kau pasti mengukur dadaku." "Aku tidak pernah menatap dadamu!" "Semalam, sekali. Itu pun karena tertangkap basah, hari ini pasti kau melecehkanku lagi, tapi kau tidak mengakuinya." "Aku tidak melakukannya!" "Aku ragu." "Kau! Grrrh! Lupakan saja. Jadi, kau punya saudara?" "Aku anak pertama dan terakhir. Bagaimana denganmu?" "Aku akan menjelaskan hal itu di rumah, kau akan paham sendiri nanti." "Hm? Kenapa? "Kau lihat saja nanti." Nuansa lantas hanya bisa memutar kedua bola matanya. Mereka kemudian sampai di sebuah mall. "Kau bilang kita akan kerumahmu?" ujar Nuansa. "Oh, ayolah. Kau yakin keluargaku tidak akan heran dengan penampilanmu?" "Alasan saja, pasti dia ingin mencari BH lagi untukku," gumam Nuansa. "Bilang apa kau?" tanya Neptunus. "Engh, tidak, tidak ada. Begini saja, tuan Bimasakti, aku suka menjadi diriku sendiri-" "Tentu saja kau suka menjadi dirimu sendiri, kau terlahir sebagai Nuansa, bukan Selena Gomez, bagaimana pun juga kau harus menjadi dirimu sendiri, kau tidak akan bisa memaksakan dirimu untuk menjadi Selena Gomez." "Itu dia! Ini aku!" "Tentu saja yang ini kau, tidak ada yang bilang ini ibumu." "Argh, diam dulu! Akutidaksukamenjadioranglainkarenaakusukamenjadidirikusendiri, inilahakuyangcaraberpakaiannyabeginikarenaakumemanghanyamemilikilimapasangpakaiandanakutidaksukamengubahcaraberpenampilankukarenaituakansepertimembuatkumenjadioranglainjadikautidakperlurepot-repotuntukmembelikankupakaianyangakanmembuatkeluargamuterpukaudengankukarenaakuakanmenjadidirikusendiridihadapansiapapunakutidakakanpernahmaludengandirikutidakakanpernahmaludengankondisiekonomikudantidakakanpernahmaludengankehidupanku," kata Nuansa dengan sangat cepat dan hanya dengan 1 nafas. "Jadi intinya kau mau apa?" "Aku mau kita langsung pergi ke rumahmu saja dan biarkan keluargamu mengenal aku seperti ini." "Tapi aku tidak bisa menebak pendapat mereka nanti." "Santai saja, aku hanya pacar sewaanmu." "Tapi mereka berpikir kalau kau benar-benar kekasihku." "Tapi kenyataannya?" "Hah! Terserah kau saja." "Bagus." "Baru ini kutemukan gadis yang tidak mau dibelikan pakaian baru." Neptunus kembali menjalankan mobilnya usai menghentikannya saat Nuansa mulai bertanya padanya. "Karena aku tahu kalau kau juga memiliki niat untuk membeli BH lagi untukku, itu akan sangat memalukan, Neptunus." "Aku sudah menghabiskan lima ratus ribu untuk membeli BH-BH itu, jadi untuk apa kubeli lagi BH untukmu?" "Lima ratus ribu? "Ya!" Nuansa hanya bisa meneguk ludahnya ketika mendengar pengakuan Neptunus barusan. "Kenapa?" tanya Neptunus. "Engh ... Hahaha. Aku hanya terkejut karena kau menghabiskan lima ratus ribu untuk membeli BH-BH ini, sedangkan maksimal pendapatanku sehari saja hanya mencapai seratus dua puluh ribu," jawab Nuansa yang sedikit malu untuk mengungkapkan hal itu kepada Neptunus. Neptunus tersenyum mendengar Nuansa mengatakan semua itu. "Kenapa kau terlihat malu untuk mengatakan hal itu barusan? Kau bilang kau tidak akan pernah malu dengan kehidupanmu. Kau tahu? Kau sangat keren. Tidak peduli berapa Rupiah yang kau dapatkan perhari, aku hanya menilaimu dari usahamu. Kau luar biasa sebagai seorang gadis. Aku bisa dengan cepat memahami kehidupanmu, dan aku saja ragu bisa bertahan jika aku berada di posisimu." Nuansa terdiam sesaat mendengar pujian dari Neptunus barusan. "Terima kasih," ucapnya sembari tersenyum. "Kau tidak seburuk yang aku pikir ternyata," lanjutnya. "Well, aku sedang mengasah bakat aktingku sebenarnya. Kau paham kan? Kalau kita harus benar-benar terlihat seperti sepasang kekasih di hadapan orang banyak, dan itu namanya akting, aku sedang melatihnya sekarang," ucap Neptunus. "Maksudmu, yang kau katakan tentangku itu hanya pura-pura?!" "Tidak juga." "Humph! Kau mungkin seburuk yang aku pikir," dengus Nuansa. "Hahahaha. Ngomong-ngomong, kenapa kau memasang tarif dua ribu saat membuka tawaran? Apa itu hanya trikmu agar kau bisa membuka lelang?" tanya Neptunus. "Kau rasa?" Nuansa bertanya balik. "Hahaha, seorang pedagang memang punya banyak trik bagus." "Dan kenapa kau mau ikut lelang dan memasukkan harga lima juta?" "Aku hanya bermain-main sebenarnya." "Maksudnya?" "Aku hanya ingin menguras uang orang-orang yang ikut perlelanganmu, kupikir ketika aku memasukkan harga lima juta, bakal ada yang menawar lebih tinggi lagi, sehingga uangnya bisa terkuras karena permainanku, hahaha." "Syukurlah karena akhirnya tidak ada yang menawar dengan harga yang lebih tinggi." "Apa maksudmu?" "Maksudku? Eh? Hei! Jangan berpikir yang aneh-aneh kau!" "Hahaha, tidak apa-apa jika kau benar-benar menyukaiku, aku akan membuka pintu hatiku untukmu." "Huek." "Hei!" "Maksudku, aku akan memikirkannya." "Sebenarnya ucapanku tadi hanya akting." "Bisa kubaca, karena aku juga berakting." "Hahahaha." Mereka berdua lantas tertawa bersama. "Hahah, aduh. Tapi, bagaimana jika kita tidak akting?" celetuk Neptunus, keduanya terdiam sesaat setelah Neptunus mengucapkan hal itu. "Tunggu, apa?" kata Nuansa "Eh? Apa?" Neptunus salah tingkah. "Maksudmu ..." "Tidak, tidak, lupakan saja. Hei, lihat! Kita sudah sampai," ucap Neptunus. "Wow, ini rumahmu?" tanya Nuansa yang terpukau melihat mansion Neptunus. "Ya. Selamat datang di istanaku." Chapter 8 - Godaan Nuansa membawa keranjang dan BH-BHnya mengikuti Neptunus yang keluar dari mobilnya. "Apa yang kau lakukan?" tanya Neptunus. "Ikut kau masuk, apa lagi?" jawab Nuansa. "Maksudku, keranjang dan BH-BH itu tidak perlu ikut kau bawa masuk." "Kenapa? Aku ingin keluargamu merasakan keripik singkong ini." "Masalahnya aku tidak bisa menebak reaksi keluargaku terhadap kau jika mereka tahu kalau kau adalah penjual keripik singkong. Jangan tersinggung, kau hanya kekasih pura-puraku." "Ok, baiklah, aku mengerti." Nuansa kemudian menaruh keranjang dan BH-BHnya ke dalam mobil Neptunus lagi. "Ayo." Neptunus mengajak Nuansa masuk dengan bergandengan tangan ala pasangan mesra, namun tampaknya Nuansa tidak peka akan hal ini. "Kenapa kau melebarkan tanganmu?" tanya Nuansa. "Kau tidak mengerti?" Neptunus bertanya balik, Nuansa hanya menjawabnya dengan menggelengkan kepalanya. "Apa kau tidak pernah berpacaran? Pergi ke pesta dengan pacarmu atau lain sebagainya?" sambung pria itu. "Kau adalah pacar pertamaku, itu pun hanya pura-pura," ucap Nuansa. "Astaga." "Kenapa? Kau pikir pacaran itu bagus? Di kamus hidupku tidak ada kata berpacaran, jika aku menemukan pria yang tepat, aku akan langsung menikah atau setidaknya bertunangan dengannya." "Maksudku, aku bahkan memiliki ciuman pertama dengan pacarku di usia sepuluh tahun." "Kau? Apa?!" Nuansa tampak terkejut. "Maksudmu ciuman di bibir?" lanjutnya. "Ya, tentu," jawab Neptunus. "Dan kau berpacaran pada usia sepuluh tahun?" "Sembilan, pada usia sepuluh kami merayakan anniversary kami yang pertama dengan sebuah ciuman, lalu sebulan kemudian kami putus, dan dia adalah pacar pertamaku." "Kau benar-benar menjijikkan." "Itu wajar dilakukan." "Ya, tapi tidak pada usia sembilan atau sepuluh, astaga." "Kau ini kenapa? Kenapa kau sangat heran? Memangnya apa yang kau lakukan di usia sepuluh?" "Aku-! Ah, lupakan saja, kita memiliki gaya hidup yang berbeda." "Nah, itu menyelesaikan segalanya. Sekarang, ayo kita masuk." Nuansa lantas langsung pergi masuk begitu saja. "Tidak pernah berpacaran bukan berarti tidak mengerti maksud kode tanganku, kan?" gumam Neptunus, ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk bergandengan tangan dengan Nuansa. Di depan pintu, Nuansa bersiap untuk mengetuk pintu, namun ia ragu, padahal gadis itu sudah mengepalkan tangannya. Neptunus memperhatikannya dengan pandangan aneh dari belakang, dan Nuansa menyadari hal itu. Ia lalu menarik napas dalam-dalam dan memejamkan matanya, kemudian membuang napasnya, membuka matanya dan berbalik badan. "Apa tidak ada bel di sini? Sebaiknya aku memencet bel saja dari pada mengetuk, hehe," ujar Nuansa kepada Neptunus. Tanpa menjawab, Neptunus berjalan mendekati pintu dan langsung membukanya begitu saja. "Atau sebaiknya keduanya tidak dilakukan," kata Neptunus yang lantas masuk duluan. "Uh, itu lebih baik," ucap Nuansa sembari menutup pintu itu lagi. Nuansa memandangi rumah besar itu dan terpukau melihatnya. Terlihat seorang wanita paruh baya yang masih terlihat bugar berpapasan dengan Neptunus. Wanita itu sepertinya orang kantoran, terlihat jelas dari gayanya. "Hai, ibu." Neptunus menyapa wanita itu. "Hai, kau dari mana saja? Ibu tidak melihatmu sejak ibu bangun," tanya wanita tersebut, Neptunus hanya menjawabnya dengan menunjuk Nuansa, Nuansa lalu melambaikan tangan kepada ibunya Neptunus itu. "Dia kekasihmu yang baru?" Ibu Neptunus berbisik kepada anaknya. "Ya," jawab Neptunus. "Wah! Akhirnya kutemukan gadis sepertimu!" Ibu Neptunus berseru kegirangan sambil menghampiri Nuansa yang terlihat heran. "Tampilanmu sederhana, kau tidak sok mesra dengan putraku, dan kau terlihat sopan! Kau tahu? Semua mantan Neptunus itu membuatku sedikit khawatir terhadap putraku, tapi syukurlah kau kelihatannya berbeda dengan mereka," lanjut ibunya Neptunus. "Mungkin karena mereka adalah gadis kaya yang manja. Aku tidak mengatakan kalau gadis-gadis kaya adalah anak manja, tapi, kebanyakan seperti itu," ujar Nuansa. "Hanya pada zaman sekarang, zaman dulu jarang." "Yah, syukurlah aku hanya penjual keripik singkong buatan ibuku." "Apa?" Neptunus menepuk jidatnya melihat Nuansa yang langsung terbuka dengan ibunya. "Bibi ingin merasa keripik buatan ibuku? Neptunus saja ketagihan," tawar Nuansa. "Oh, astaga! Kenapa tidak?! Mana keripikmu?!" tanya ibunya Neptunus. "Di mobilnya Neptunus. Oh, iya, bibi, kita belum berkenalan." "Hahaha, aku sampai lupa dengan hal itu saking tertariknya aku padamu. Namaku Bulan, kau tentu tahu harus memanggilku bagaimana, kan?" "Tentu saja, bibi Bulan bisa memanggilku dengan nama Nuansa." "Itu cukup jarang kudengar untuk sebuah nama, tapi bagus juga, aku jadi bisa langsung menandaimu." Nuansa tersenyum mendengar hal itu. "Ayo kita ke mobil Neptunus," ajak Bulan. Nuansa lalu mengikutinya. Sementara Neptunus terheran-heran dengan sikap ibunya yang tampaknya sangat menyukai Nuansa. ''Aku pernah berada di rahimnya selama sembilan bulan, tapi aku masih tidak mengerti bagaimana sebenarnya ibuku. Tapi, baguslah jika mereka bisa akrab,'' batin Neptunus, ia lantas menyusul Bulan dan Nuansa. "Mhm, ini enak sekali!" Bulan memuji keripik singkong buatan Durah. "Ibuku adalah koki terbaik di lingkungan rumah kami," kata Nuansa. "Wah, aku sangat gembira mendengar kalau calon besanku adalah orang yang pandai memasak, karena jujur aku tidak bisa memasak sampai sekarang, hahaha." "Ibuku bisa menjadi guru yang baik." "Dan dia memiliki anak yang tidak kalah mengagumkannya. Aku sangat senang dengan Neptunus yang akhirnya mencintai seorang gadis secara tulus, akhirnya dia bisa mencintai seorang gadis dengan kesederhanaannya dan apa adanya. Aku bangga padanya karena dia berhasil membuka mata hatinya." "Hehehe, bibi jangan berlebihan," ucap Nuansa yang telinganya naik akibat kebanyakan dipuji oleh Bulan. "Aku serius, sejak dulu aku memang ingin jika Neptunus memilih gadis yang sederhana sepertimu, kau juga pekerja keras dan sangat berbakti kepada orangtuamu, kau tidak menyerah pada keadaan dan tidak pernah berhenti untuk mencari uang di jalan yang benar, kau benar-benar mengagumkan, kau bisa menginspirasi siapa saja, nak." "Jadi ibu sebenarnya tidak pernah menyukai mantan-mantanku?" tanya Neptunus. "Bagaimana aku bisa menyukai mereka jika semua dari mereka selalu ingin tahu kekayaan yang akan kuwariskan kepadamu, kecuali pacar pertamamu semasa kau masih SD," ucap Bulan. "Tapi kupikir ibu menyukai mereka semua." "Itulah gunanya kehadiran diri di family time, jadi kau bisa benar-benar mengenal keluargamu." "Engh, hehehe." "Neptunus ini suka pulang larut malam, dia liar, pada awalnya aku mengira kalau dia sedang mabuk-mabukan di luar sana, tapi dia tidak pernah mabuk ketika pulang, lalu kupikir dia melakukan hal-hal di luar batas bersama mantan-mantannya dulu, tapi orangtua para mantannya mengatakan padaku jika anak perempuan mereka sudah pulang beberapa jam sebelum Neptunus pulang. Karena itu Neptunus jadi kurang dekat denganku dan adik-adiknya, jadi jangan heran jika dia bersikap seperti tadi," jelas Bulan kepada Nuansa. "Hmm, memangnya kau ke mana saja?" tanya Nuansa pada Neptunus, ia menggoda pria itu sebab ia berpikir jika Neptunus sebenarnya sedang membeli BH kala itu untuk para mantannya demi memberikan kejutan pada mereka besoknya. "Aku suka berkumpul dengan teman-temanku pada malam hari," jawab Neptunus. "Iyakah? Membicarakan apa?" "Ssshht, bukan urusan anak kecil." "Hei, aku hanya lebih muda dua tahun darimu." "Tetap lebih kecil dariku." Nuansa lantas hanya bisa mendatarkan wajahnya dari membiarkan Neptunus menang. Chapter 9 - Dibalik Kemesumannya "Jadi, bibi, sepertinya keluarga kalian sangat menyukai ruang angkasa, ya? Sebab ketika aku mendengar nama kalian, yang terlintas di pikiranku justru langit malam," ucap Nuansa pada Bulan. "Hahaha, begitulah, orangtuaku dan orangtua mendiang ayahnya Neptunus sangat menyukai dunia astronomi, dan kebetulan hal itu menurun ke aku dan mendiang ayahnya Neptunus, bahkan namanya adalah Jupiter, sementara aku Bulan, hahaha." "Itu sangat menarik." "Hahaha. Hmm, bagaimana kau bisa bertemu dengan Neptunus? Dan sudah berapa lama kalian menjalin hubungan? Neptunus tidak pernah menceritakan apapun tentang dirimu kepadaku," tanya Bulan. Baru saja Nuansa akan menjawab, Neptunus langsung mendahuluinya. "Ibu, ini sudah jam berapa? Ibu harus berangkat ke kantor." "Oh, astaga! Aku terlalu menikmati pembicaraan kita yang ditemani oleh keripik singkong ini. Neptunus, besok bawa dia ke sini lagi, ibu belum puas berbicara dengannya, nanti ibu akan mengosongkan sedikit jadwal ibu untuk besok demi Nuansa, gadis ini sangat menarik," ujar Bulan. "Nanti kita bisa berbicara lagi, kan? Malam atau sore," usul Nuansa. "Aku pulang pada pukul delapan, kau bakal pulang terlalu malam jika kau ada di sini lagi mulai jam delapan malam, kasihan orangtuamu, lagi pula kau adalah anak gadis, tidak baik pulang terlalu malam," kata Bulan. "Ok. Kalau begitu, sampai jumpa besok ya, bibi." "Baiklah." Bulan lalu menghampiri mobilnya dan langsung pergi ke kantor. "Itulah ibu sibukku, dia selalu sibuk sehingga untuk beberapa tahun belakangan ini aku tidak terlalu mengenalnya, selain karena aku selalu pulang larut malam memang, hahaha," ucap Neptunus pada Nuansa. "Tapi dia adalah wanita yang luar biasa, dan ibumu itu benar-benar orang yang baik." Nuansa memuji Bulan melalui Neptunus. "Ya, aku saja terkejut melihatnya bisa dengan begitu mudah menerimamu." "Kemungkinan karena dia sudah bosan dengan kau yang selalu memacari gadis-gadis manja." "Manja tapi berisi, tidak rata." Nuansa sontak mebelalakkan matanya lebar-lebar dan secara spontan menutup dadanya menggunakan kedua tangannya. "Neptunus!!!" seru Nuansa. "Apa? Aku tidak menyinggung soal BH dan dada lagi," ucap Neptunus dengan santainya. "Tapi kau menyindirku! Aku tidak rata-rata sekali asal kau tahu saja!" "Benarkah? Mana? Coba aku lihat." Nuansa lantas menampar Neptunus dan pergi masuk ke dalam mansion. Neptunus tertawa geli dengan semua itu, ia lalu menghampiri gadis tersebut. "Jangan marah, aku hanya bercanda, lagi pula aku tidak tertarik melihat punyamu," ujar Neptunus, namun Nuansa memilih cuek, sebab jika ia meladeninya, maka Neptunus akan semakin menjadi-jadi. "Hei, apa kau tahu kenapa namaku itu Neptunus?" tanya Neptunus yang berusaha membuat suasana antara dirinya dan Nuansa kembali mencair. "Tentu saja karena orangtuamu suka dengan hal-hal berbau ruang angkasa! Aku tidak sebodoh itu meskipun SMPku tidak selesai!" jawab Nuansa. "Maksudku tentang alasan kenapa mereka memilih nama planet itu untuk namaku?" "Kenapa?" "Karena jika di Bumi ini ketika hujan yang turun adalah air, maka di Neptunus yang turun ketika hujan adalah berlian." "Lalu?" "Jadi orangtuaku ingin aku menjadi seperti berlian-berlian itu." "Hm?" "Ya, berharga seperti berlian. Memiliki harga jual yang mahal seperti berlian. Bersih bening seperti berlian. Disukai oleh banyak orang seperti berlian. Dijaga dengan baik ketika sudah dimiliki oleh orang seperti berlian. Dan diinginkan oleh banyak orang-" "Seperti berlian. Lalu kenapa namamu bukan Berlian saja?" Nuansa menyela Neptunus. "Tidakkah itu akan terdengar seperti banci? Kecuali jika aku perempuan." "Ok, aku mengerti." "Lagi pula itu akan menghilangkan simbol keluargaku yang menyukai hal-hal berbau ruang angkasa." "Dan akhirnya jadilah namamu Neptunus, walaupun sebenarnya agak jauh ya makna yang mereka inginkan dari namamu." "Hahaha, begitulah." Suasana lalu kembali menjadi hening. "Hei, kenapa kau tidak dekat dengan keluargamu?" tanya Nuansa. "Hmm, begini," kata Neptunus sembari berhenti berjalan, Nuansa lantas ikut-ikutan berhenti. "Aku memiliki seorang adik perempuan, dan kami adalah dua bersaudara. Kami termasuk ayahku sangat bahagia ketika aku dan Vega adikku masih kecil, tapi kebahagiaan itu hilang ketika sebuah tragedi memilukan terjadi pada keluargaku," papar Neptunus, Nuansa fokus mendengarkan. "Ketika ayah dan ibuku sedang dalam perjalanan pulang seusai makan malam romantis mereka dalam rangka merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang kesepuluh, mereka dirampok dan diculik oleh sebuah geng motor yang beranggotakan sembilan orang, untungnya orangtuaku memperkerjakan beberapa pembantu di rumah kami, jadi ketika mereka diculik selama beberapa hari, ada yang mengurus kami." "Ketika seisi rumah kami khawatir dengan orangtuaku yang tak kunjung pulang, sebuah telepon masuk dari pemimpin kelompok itu, menambah rasa kekhawatiran kami. Dia meminta uang tebusan sebesar sepuluh miliar Rupiah agar ayah dan ibuku bisa merasakan kebebasan lagi, kepala pembantu di sini menyetujui hal itu, dia mengambil alih peran ayahku sebagai pemimpin di sini saat itu, dan dia meminta bantuan Polisi selama proses pertukaran, aku dan Vega ada di sana ketika kami dan para Polisi bertemu dengan salah satu anggota geng motor itu, dia terlihat membawa dua orang yang wajahnya ditutupi dengan kain yang awalnya kami kira sebagai orangtuaku, tapi ternyata bukan, dua orang itu juga anggota geng motor itu," sambung Neptunus. "Kalian ditipu," lirih Nuansa. "Ya, mereka bertiga berhasil lolos dengan uang sepuluh miliar itu, kemudian kami dan para Polisi kehilangan kontak dengan geng motor itu, yang artinya kami juga kehilangan kabar dari orangtuaku, kepala pembantu di sini saat itu bersama dengan Polisi akhirnya meminta bantuan seorang Detektif, dan dari situ kasusnya selesai. Detektif itu meminta kami agar kasus itu tidak terlalu jadi konsumsi publik agar geng motor itu bisa bergerak secara bebas, dan benar saja, Detektif itu berhasil menemukan lokasi ayahku yang terpisah dari ibuku. Beberapa anggota geng motor itu berusaha merebut ayahku lagi agar bisa semakin memeras kami, dan di situ insiden berdarahnya dimulai, para Polisi dan geng motor itu terlibat aksi saling tembak dan berakhir dengan kematian ayahku yang terkena peluru nyasar. Ayahku sempat memberitahu keberadaan ibuku sesaat sebelum dia pergi untuk selamanya, dia memohon kepada semua orang untuk menemukan dan melindungi ibuku, aku dan Vega ada di sana saat itu, kami menyaksikan bagaimana ayah kami bernapas untuk terakhir kalinya." "Dan kalian berhasil menemukan bibi Bulan." "Benar, dan pada akhirnya setiap anggota dari geng motor itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, kecuali ketuanya yang dijatuhi hukuman mati dan sudah di eksekusi tiga tahun lalu. Ibuku lalu menata ulang semua yang ada, dia melanjutkan bisnis yang ayahku telah bangun sejak lama yang membuat hidup kami jauh dari kata kesulitan, dan dia melakukannya sampai sekarang. Bagian paling menyedihkan bagiku adalah saat ibuku merasa bahwa Detektif itu adalah pelindungnya sekarang, mereka menjalin hubungan yang serius sejak kasus itu selesai, sampai sekarang, dan hal itu yang mendasariku untuk malas berada di rumah karena aku agak kecewa pada ibuku, aku merasa kalau ayahku sudah dikhianati, tapi orang-orang berpendapat lain, mereka bilang itulah yang diinginkan ayah, sementara aku merasa sedih untuk hal itu, dan aku tidak pernah bisa benar-benar menyukai dan menerima Detektif itu sampai sekarang." ''Dibalik kemesumannya, ternyata dia menyimpan banyak kepedihan di hatinya. Kebahagiaan itu benar-benar tidak diukur dari uang ternyata,'' batin Nuansa. Chapter 10 - Ukuran Neptunus "Sejak kedekatan ibuku dan Detektif itu, aku berpikir kalau aku tidak membutuhkan keluarga lagi untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, jadi aku menjadi seorang laki-laki yang mungkin bisa dikatakan sebagai playboy, tapi pada kenyataannya memiliki hati banyak perempuan bukanlah kebahagiaan sejati bagiku, karena satu-satunya yang bisa menyempurnakan hidupku hanyalah keutuhan keluargaku. Jadi aku ingin berpesan kepadamu, sayangilah kedua orangtuamu selagi giliran mereka untuk ''kembali'' belum datang," ujar Neptunus. "Jadi sekarang kau akan pensiun untuk menjadi seorang playboy?" tanya Nuansa. "Entahlah, aku benar-benar tidak bisa menerima Detektif itu sampai sekarang, dan hal itulah yang kurasa mendasari penyebab hubunganku yang kurang dekat dengan adik dan ibuku. Kupikir jika ibuku dan Detektif itu tidak saling jatuh cinta, aku tidak akan semakin menjauh dari keluargaku, tapi kenyataannya berbeda. Dan mereka tidak kunjung melakukan pernikahan karena tidak mendapat restu dariku." "Mereka akan menikah?" "Hahaha." Neptunus tertawa, pertanda ia menjawab ''ya'' namun dengan berat hati. Nuansa lalu hanya bisa tersenyum. "Seburuk itukah calon ayah sambungmu di matamu?" ujar Nuansa. "Entahlah, yang kulihat dia adalah orang baik-baik, tapi entah kenapa sesuatu di dalam diriku menolak keberadaannya untuk menjadi bagian di keluargaku, padahal dia adalah seorang Detektif, yang bekerja sebagai pengungkap kejahatan, sudah pasti dia adalah orang baik-baik dan mungkin pantas untuk dicintai ibuku, tapi, aku pun tidak mengerti kenapa aku menolaknya dan merasa sedih di saat yang sama ketika melihatnya begitu bahagia bersama ibuku." "Itu wajar kurasa, apa lagi kau adalah laki-laki, pastilah sulit melihat ibumu jatuh cinta kepada lelaki yang bukan ayahmu. Kau hanya butuh waktu untuk mengerti perasaan ibumu, karena sepertinya bibi Bulan sangat mengerti bagaimana perasaanmu, jadi kau juga harus memahami perasaannya." "Apa maksudmu?" "Ya ... Aku pikir bibi Bulan memang butuh seorang pria lagi yang bisa melindunginya dan anak-anaknya." "Jadi menurutmu ayahku gagal untuk melindungi kami?" "Apa? Aku tidak mengatakan dan tidak bermaksud seperti itu. Ayahmu adalah orang yang luar biasa, dan dia juga sadar kalau kalian butuh seseorang untuk menggantikan posisinya, agar setidaknya kalian punya perisai yang melindungi kalian dari kejahatan, pahamilah soal itu. Aku tahu kalau kau sangat menyayangi ayahmu, tapi memang ini yang diinginkan olehnya, dan semua ini juga untuk kebaikanmu." "Tapi ayahku tidak mengatakan kalau dia ingin ibuku menikah dengan Detektif itu." "Oh, ayolah, jangan hanya paham soal ukuran BH." Neptunus lantas terdiam. "Apa kau tidak berpikir kalau ibumu pasti memiliki rasa trauma akibat kejadian itu? Dia pasti merasa harus dilindungi setelah semua itu. Kau juga harus paham betul bagaimana trauma itu bisa terjadi dan bekerja, karena sepertinya kau tidak paham akan efek yang ditimbulkan oleh kejadian mengerikan di kemudian hari oleh orang yang mengalaminya selama dia masih bernapas," ucap Nuansa. "Mungkin karena hidupku selalu berjalan lancar selama ini. Tapi, kau berbicara seolah kau juga pernah merasa trauma, atau masih memiliki trauma akan suatu hal, apa aku benar?" kata Neptunus. "Yah, itu benar. Aku adalah korban bully ketika SMP, padahal semuanya berjalan normal selama aku SD, dan aku tidak pernah menduga kalau aku akan menjadi bagian dari bully, sebagai korban pastinya." "Kau dibully?" "Jangan kau pikir karena aku ini rakyat kelas bawah, maka teman-teman sekolahku dulu bisa membullyku seenaknya. Sebenarnya mereka semua baik, tapi masalah cinta mengubah semuanya." "Kupikir kau dibully karena ukuranmu yang kecil." "APA?!" "Eh? Tidak, tidak." ''Aku harus sabar, pria ini memang ''sekilo kurang satu ons'','' batin Nuansa sembari mengusap-usap dadanya yang menurut Neptunus agak rata bagi seorang gadis yang tidak tomboi. "Kau bilang masalah cinta mengubah segalanya, itu artinya kau terlibat masalah percintaan di usia belasan awal, padahal sebelumnya kau mengatakan kalau kau tidak pernah berpacaran, jadi yang mana yang benar?" tanya Neptunus. "Hei, aku memang tidak pernah berpacaran sebelumnya, apa lagi di usia SMP, aku tidak pernah kepikiran untuk berpacaran di usia segitu, masih kecil sudah memanggil ''sayang'' kepada lawan jenis yang disukai, itu menjijikkan, kau tahu?" "Itu tidak menjijikkan, selama tidak melakukannya dengan sesama jenis." "Keduanya menjijikkan, hanya beda tingkat." "Mhm, dan kau ada di tingkat yang lebih tinggi." "APA MAKSUDMU?!" "Apa?" "Aku ini perempuan normal! Kau-! Argh! Pembicaraan kita terlalu melebar ke mana-mana!" "Suruh diet saja." Nuansa lalu terdiam dengan ekspresi datar. "Jadi, soal bullying yang kualami dulu, semua bermula saat ada siswa laki-laki yang menyukaiku, padahal dia sudah disukai oleh seorang siswi perempuan yang juga seorang ketua geng yang lumayan terkenal di sekolahku dulu, tapi anak laki-laki itu tidak membalas perasaan si ketua geng itu." Nuansa menyambung pembicaraan mereka yang sebenarnya dan melupakan lelucon garing Neptunus. "Lalu kau ditindas oleh satu geng?" Neptunus menebak. "Ya, kau tidak akan bisa membayangkan rasanya, sakitnya tak seberapa, tapi rasa traumanya yang menjadi masalah bagiku sampai sekarang. Aku memutuskan untuk berhenti sekolah karena hal itu, selain memang karena orangtuaku juga tidak sanggup untuk membiayaiku untuk bersekolah. Aku jadi kurang mau berteman lagi, karena jujur semua anggota geng yang membullyku dulu adalah teman-teman dekatku, makanya sekarang aku nyaris tidak memiliki teman selain langganan keripikku." "Segitunyakah trauma itu?" "Begitulah. Yang kutahu, trauma itu bisa hilang jika orang yang mengalaminya memiliki mental yang kuat dan keinginan kuat untuk menghilangkan trauma itu, tapi tergantung seberapa parah penyebabnya juga, semakin ringan penyebab trauma, maka sembuhnya rasa itu juga akan semakin cepat." "Lalu, kenapa kau di bully?" Nuansa secara spontan membuka mulutnya lebar-lebar mendengar pertanyaan Neptunus barusan. ''Aku tahu pikirannya kotor, tapi sekotor itukah sampai dia menjadi lemot?'' batin Nuansa. "Maksudku, si fuck boy itu tidak memacarimu, kan? Pada akhirnya kau tidak membalas perasaannya, kan?" tanya Neptunus. "Fuck boy?" "Dia pantas mendapat julukan itu, dia yang membuatmu terbully." "Kau yang lebih pantas kurasa." "Hei!" "Ok, kau klienku, jadi aku harus bersikap sopan padamu, walaupun kau terus menyinggung ukuran dadaku, tapi aku harus tetap sopan padamu," ucap Nuansa dengan sangat terpaksa. "Kau ingin kita membicarakan soal dada?" "Grrrh." "Oh, iya, geng anak perempuan itu membullyku karena ketua mereka tidak suka kalau si ''fuck boy'' itu suka padaku, meskipun pada akhirnya kami tidak berpacaran. Hei, adakah julukan yang lebih bagus dan lebih enak di dengar untuknya?" sambung Nuansa. "Bagaimana kalau ''Si kalah tampan dari Neptunus''?" usul Neptunus. "Hah, lupakan saja, itu malah terdengar lebih menjijikkan. Tak kalah menjijikkannya darimu." "Apa?!" "Tidak! Tidak!" "Itu julukan yang bagus, asal kau tahu saja." "Ya, aku tahu. Puas kau?" "Kau harus paham maksudnya, kau pasti tidak paham maksudnya, kan?" "Iya, aku tidak paham artinya. Wah, artinya sepertinya bagus, ya. Aku jadi penasaran apa artinya. Memangnya apa artinya?" tanya Nuansa dengan nada bicara yang sangat menunjukkan bahwa ia bertanya dengan sangat terpaksa. "Kau tidak menerimanya sebagai kekasihmu, kan? Itu artinya dia jauh lebih jelek dari pada aku." "Kalau tidak dibayar, aku mana mau berpasangan denganmu. Wanita mana yang mau dengan pria yang selalu menyinggung soal BH dan dada dalam pembicaraannya." "Hmm, benarkah? Kalau begitu mari kita bertaruh. Kalau sampai kau benar-benar suka padaku nanti, maka kau harus memberitahu ukuran BHmu padaku." "Bagaimana kalau aku justru semakin jijik padamu nanti?" "Kuberitahu ''ukuranku'' padamu." "Astaga." Chapter 11 - Film Pendek "Bagaimana? Kau menerimanya?" tanya Neptunus. "Tentu, meskipun ''ukuranmu'' tidak penting bagiku," ucap Nuansa. "Itu hanya hadiah kecil-kecilan, aku ikhlas jika kau mengetahuinya." "Jika kau keberatan tidak apa-apa, aku malah merasa jijik jika tahu ''ukuranmu''." "Tidak apa, tidak apa, aku ikhlas." "Aku tidak tahu kenapa manusia ini bisa sangat senang bila orang lain tahu ''ukurannya''. Benar-benar tidak waras," gumam Nuansa. "Hah?" "Eh? Apa?" "Kau bilang apa tadi?" "Apa." "Iya, apa?" "Iya, apa." "Ck, apa?" "Iya, apa." "Grrh, aku bertanya, kau bilang apa tadi?" "Iya, apa." "Kenapa kau malah bertanya balik?!" "Aku tidak bertanya balik. Aku kan mengakui kalau aku bilang ''apa'' tadi." "Apa?" "Iya, apa." "Argh! Apa yang kau bilang tadi?!" "''Iya apa.''." "Ya, Tuhan!" ''Huft, selamat, kalau aku tidak mempermainkannya, dia bisa tahu kalau aku membicarakan dirinya tadi,'' batin Nuansa. "Sekarang, jawab aku dengan serius, atau akan kuraba seluruh tubuhmu!" Neptunus mengancam Nuansa karena ia terlanjur kesal dengan Nuansa yang mempermainkannya. "Boleh, tapi kau harus bayar 80 juta," canda Nuansa. "Serius?" "EH!! KAU INI! KENAPA KAU SANGAT CEPAT MENANGGAPI HAL-HAL JOROK?!" "Kau memberi tawaran, kan? Aku sanggup memenuhinya." "Argh, kau gila." "Hei!" "Baiklah, baiklah. Aku minta maaf." "Aku memaafkanmu, tapi ada syaratnya.". "Apa syaratnya?" "Kuraba tubuhmu tanpa 80 juta." Nuansa secara spontan menampar Neptunus lagi dan pergi meninggalkannya. Neptunus lantas tertawa geli dengan hal itu, padahal tamparan Nuansa cukup menyakitkan, tapi itu memang pantas diterimanya. "Hei! Hei! Aku hanya bercanda!" Neptunus berseru sembari mengejar Nuansa. "Lagi pula, siapa juga yang mau meraba tubuh ratamu. Lebih baik aku jadi begal payudara dari pada harus meraba seluruh tubuhmu," sambung Neptunus. "Rata tapi asli, karena aku mensyukuri apa yang Tuhan berikan padaku," ujar Nuansa. "Apa maksudmu?" "Kau bilang ukuran dada mantan-mantanmu diatas rata-rata, kan?" "Ya, tidak seperti kau." "Itu cukup menyinggung hatiku, tapi tak apalah, kau memang kurang waras." "Hei!" "Ok, ok. Jadi, aku paham bagaimana ukuran yang rata-rata bagimu, dan pasti tolak ukurnya bukan perempuan Asia, jika mereka memiliki ukuran yang di atas rata-rata, maka bisa dipastikan bahwa itu adalah silikon." "Silikon?" "Atau operasi." "Operasi?" "Ya, dan itu sama saja dengan tidak mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan kepada kita." "Permisi, tapi milik mereka asli semua." "Tahu dari mana kau? Kau pernah menanyakannya pada mereka?" "Eh? Ti-tidak, tapi..." "Hahaha, berisi tapi palsu, siapa tahu aslinya mereka tidak lebih rata dari kertas." "Tahu dari mana kau? Kau pernah menanyakannya pada mereka?" Neptunus bertanya balik. "Engh ... Aku ini kan perempuan, jadi cukup paham lah untuk hal-hal seperti itu." "Sok tahu." "Lebih baik sok tahu dari pada pura-pura tidak tahu." "Dasar tidak tahu." "Aku tahu!" "Tahu dari mana?" "Ya ... Aku tahu." "Sok tahu." "Hei! Jangan memutar-mutar pembicaraannya!" "Sok tahu." "Ayolah, itu tidak nyambung sama sekali." "Sok tahu." "Grrrh, hentikan itu! Itu sama sekali tidak nyambung!" "Yang barusan itu nyambung!" "Sok tahu." Nuansa akhirnya memiliki kesempatan untuk membalas Neptunus dengan sangat bagus sampai membuat pria itu terdiam dan tampak kesal, sementara Nuansa hanya tertawa geli melihat itu. Saat keduanya sampai di depan pintu sebuah bus berhenti di depan gerbang dan membuat Nuansa juga Neptunus menoleh ke arah gerbang. "Bus sekolah?" ucap Nuansa. "Ya, memangnya kenapa?" tanya Neptunus. "Adikmu masih SD?" "Tidak, bulan depan dia akan berulang tahun ke tujuh belas." "Lalu kenapa dia masih menggunakan bus sekolah?" "Itu namanya fasilitas tanpa batas." "Sok tahu." "Oh, astaga." "Hahahaha." Vega kemudian turun dari bus sekolahnya dan masuk menghampiri Neptunus dan Nuansa. "Hei, katakan padaku," ujar Nuansa pada Neptunus. "Apa?" tanya Neptunus. "Apa kau juga diantar jemput ke kampus menggunakan bus?" "Hei, yang benar saja." "Tapi kukira semua yang berhubungan dengan keluargamu berhubungan dengan fasilitas tanpa batas." "Sok tahu." "Ayolah, itu benar-benar jawaban yang menyebalkan." "Sok tahu." Nuansa lantas hanya bisa mendengus sembari menutup kedua matanya. Ia baru membuka kedua matanya ketika ia merasakan kalau seseorang sedang mengendus-endus seluruh tubuhnya. Nuansa pun terkejut dsn berteriak kecil ketika mendapati Vega yang sedang mengendus-endus tubuhnya. Ia secara spontan menghindar dari Vega. "Wowowo, apa yang salah dariku?" tanya Nuansa sambil mencium aroma tubuhnya. "Aku baik-baik saja, aku pakai deodoran, tenang saja," lanjutnya. "Deodoran apa yang kau pakai?" tanya Neptunus. "Anda percaya dengan yang tidak terlihat?" jawab Nuansa. "Aaah, Rexona, membawa kenangan yang sangat manis bagiku." "Kau memiliki kenangan manis bersama deodoran?" "Hei, aku sedang membicarakan salah satu mantan kekasihku, namanya Rexona." "Ok ... Aku tidak tahu apa orangtuanya kelewat kreatif atau memang mengambil nama merk deodoran untuk nama anak mereka." "Bisakah kita tidak membicarakan Rexona dulu?! Siapa gadis ini?!" tanya Vega pada Neptunus. "Baiklah, Nuansa. Perkenalkan, ini Vega, ibu hiper cerewetku, dia juga sangat perhatian padaku. Oh iya, dia tercatat sebagai adikku di kartu keluarga kami," kata Neptunus. "Aku Nuansa." Nuansa memperkenalkan dirinya pada Vega. Vega terdiam mendengar Nuansa memperkenalkan dirinya. "Namanya jauh lebih aneh dari Rexona, bukan?" bisik Vega pada Neptunus sembari memperhatikan Nuansa. "Indahsari nama belakangnya, jadi kurasa tidak terlalu aneh." Neptunus menyahuti adiknya. Vega lalu mengalihkan pandangannya dari Nuansa dan menarik tangan Neptunus untuk membawanya menjauh sari Nuansa. "Jelaskan padaku, siapa dia?!" perintah Vega. "Dia calon kakak iparmu, jadi bersikap sopanlah padanya," jawab Neptunus. "Calon kakak ipar?!" "Ya." "Tapi, siapa dia? Kenapa aku tidak mengetahui dirinya sebelumnya?!" "Sekarang kau tahu, sayang." Neptunus lalu kembali pada Nuansa, Vega lantas menyusulnya. "Maafkan dia, ya. Vega memang selalu seperti, ya kau tahulah ... Mungkin bisa dikatakan seperti hewan itu yang kau tahulah namanya tanpa harus kusebut. Terlebih lagi ketika dia melihatku sedang bersama seorang gadis, dia selalu memeriksa mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu dia akan menginterogasi mereka, termasuk kau, kurasa," ucap Neptunus. "Ya, aku memiliki niat untuk melakukannya sekarang, tapi aku harus ganti pakaian dulu," ujar Vega. "Kenapa kau pulang sangat awal hari ini?" tanya Neptunus pada Vega. "Guru cerewet kami yang seharusnya mengajar hari ini menjadi korban penculikan pagi ini dan belum ditemukan," jawab Vega. "Wow, ini bisa menjadi kasus untuk calon ayah sambung kalian, kan?" sambar Nuansa. "Ya, aku akan sangat senang memberinya pekerjaan, tapi masalahnya kami berpesta di dalam kelas ketika mendengar kabar itu, beharap dia tidak akan pernah ditemukan, karena ya Tuhan, mendengarnya berbicara dan selalu marah membuat telinga kami semua kelelahan." "Astaga." "Tapi tentu aku akan memberitahu paman Eugene soal ini, atau mungkin aku seharusnya mulai memanggilnya dengan sebutan ayah sekarang. Terserahlah, apapun itu, aku akan mengganti pakaian dulu dan merayakan hilangnya guru yang membuat kami selalu senam telinga setiap kali dia mengajar." Vega kemudian masuk dan pergi ke kamarnya, Neptunus hendak mengikutinya, namun Nuansa menahannya. "Kau mau ke mana?" tanya Nuansa. "Ke toilet, aku ingin buang air besar," jawab Neptunus. "Ini bukan karena aku dan Vega membicarakan tentang calon ayah sambung kalian, kan?" "Tidak, tidak sama sekali." "Ok." "Kau boleh ke kamarku jika kau merasa bosan menunggu Vega, aku memiliki beberapa koleksi film pendek di sana dan beberapa buku yang bagus untuk dibaca." "Baiklah." *** Nuansa kini berada di kamar Neptunus yang sangat luas. Ia menghampiri rak buku kecil yang ada di sana. Gadis itu terkejut setengah mati ketika melihat rak tersebut, sebab isinya dipenuhi dengan majalah pria dewasa. "Demi Tuhan, kenapa ada manusia seperti dia?" gumam Nuansa, ia pun lantas pergi ke rak tempat Neptunus menyimpan koleksi CDnya. "HAH?! ASTAGA!!!" Kesemua film pendek yang dimaksud oleh Neptunus ternyata hanyalah film-film porno. Chapter 12 - Tidak Mencintaimu Neptunus pergi ke kamar Vega usai buang air besar. Pintu kamar adiknya itu sedikit terbuka, jadi ia bisa mengintip ke dalam dan melihat Nuansa dan Vega sedang tertawa untuk hal yang tidak diketahui oleh Neptunus. Pria itu kemudian mengetuk pintu kamar Vega. "Ow." Vega menghentikan tawanya sembari menghampiri Neptunus. "Kami sudah berkenalan dan bertukar cerita, dia gadis yang baik dan sangat cocok denganmu yang memiliki banyak kekurangan, aku menyukainya, dia juga asyik, aku sama sekali tidak keberatan jika dia menjadi iparku. Kau harus menceritakan tentangnya lebih lanjut padaku nanti. Good luck, big bro," sambung Vega, ia lantas pergi dari kamarnya dan membiarkan Neptunus dan Nuansa bersama. "Jadi ... Kau di sini rupanya, aku mencarimu ke mana-mana," ucap Neptunus usai Vega pergi. "Ya, aku berkeliling di sini dan berkenalan dengan para pekerja di sini," ujar Nuansa. "Kenapa kau tidak menetap di kamarku saja? Kupikir kau akan berada di kamarku dalam waktu yang lama." "Untuk apa? Menghabiskan waktu dengan majalah-majalah pria dewasa itu? Oh, ayolah, aku ini normal." "Aku tidak memberitahumu tentang majalah-majalah itu, jadi kupikir kau hanya akan menonton film saja." "Eits, jangan ketinggalan ''porno''nya." "Sama saja, kan?" Nuansa lalu menatap Neptunus dengan tatapan datar. "Tidakkah kau memiliki film panjang?" "Film panjang?" "Demi Tuhan, kalau aku menyebut film saja, kau pasti tetap akan berbicara tentang film porno." "Yang dikamarku adalah semua koleksiku saat ini, sepertinya bakal bertambah." Nuansa pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, karena ia paham bahwa Neptunus tetap tidak akan berniat untuk mengoleksi film yang sesungguhnya. "Kau tidak pergi kuliah?" tanya Nuansa. "Dua jam lagi, kau mau kuajak jalan-jalan? Kita tidak akan terus berada di rumah ini, kan?" kata Neptunus. "Oh, tentu saja! Kita akan pergi ke mana? Taman? Wahana permainan?" Nuansa menyambut antusias ajakan Neptunus barusan. "Kolam renang." "Eh? Apa?" "Iya, kolam renang." "Tapi, kenapa harus kolam renang? Di saat panas terik seperti ini?" "Kau tahu jika kolam renang selalu memiliki pemandangan yang indah." "Hah?" Nuansa tampak bingung. "Oh, astaga." Gadis itu lalu keluar dari kamar tersebut dengan wajah kesal, sebab ia menyesal karena paham maksud dari Neptunus. "Hahaha." Neptunus tertawa geli melihat sikap Nuansa. "Hei, tunggu," lanjutnya sembari menyusul Nuansa yang pergi keluar. "Sebaiknya aku tidak pergi ke mana-mana denganmu. Kemanapun kau pergi, pasti selalu ada sisi kotor di matamu di semua tempat," ujar Nuansa. "Memangnya apa yang salah dari kolam renang?" "Aku sudah 21 tahun, Neptunus, aku paham betul jika kau hanya ingin melihat pakaian para perempuan menjadi basah dan mengetat di kolam renang." "Itu hanya salah satu poinnya." "Tidak, itu satu-satunya poinnya." "Sok tahu." "Grrrrh, jangan memulai hal itu lagi. Sudahlah, aku mau lanjut berjualan saja." "Yasudah." "Mana bayaranku?" "Oh, iya, aku baru ingat akan hal itu." Neptunus lalu mengeluarkan sebuah amplop berisi uang dari sakunya, kemudian memberikannya pada Nuansa. "Enak ya jadi dirimu, berbicara dan diajak pergi saja langsung dapat lima juta." sambungnya. "Maaf untuk pemerasannya, Tuan Kedelapan," canda Nuansa dengan sebuah senyuman dan mata sayu. "Tuan Kedelapan?" Neptunus terlihat bingung. "Kau kan Neptunus." "Tentu saja aku Neptun-, oh, astaga. Kau ini bisa saja. Aku jadi ingin memerasmu juga." "Hahahaha. Tunggu, apa? Memeras?" "Aku tidak berpikir kotor kali ini. Tenang saja, aku tidak memaksudkannya untuk baksomu." "Bakso?" "Kau bukan semangka." "Hah?" Nuansa terdiam sesaat. "Ya Tuhan." "Jangan sok tahu kau!" kata Nuansa. "Aku memang sok tahu, jadi biarkan aku tahu." Mendengar hal itu, Nuansa secara spontan mencubit tangan Neptunus, membuat pria itu tak kuasa menahan tawanya. Nuansa kemudian mengambil keranjang keripik singkongnya. "Mau kuantar?" tanya Neptunus. "Tidak usah, aku akan berjalan saja, siapa tahu aku akan mendapatkan banyak pembeli di sini," tolak Nuansa. "Ok. Besok aku ingin bertemu dengan orangtuamu, untuk membuat mereka tidak merasa kalau aku ini berbahaya sebagai orang yang baru kau kenal." "Tidak masalah." "Baiklah. Besok jadwalmu bersamaku akan lebih padat. Di siang hari sampai sore kau akan mengobrol dengan ibuku, malamnya kau akan ikut aku untuk menghadiri pesta ulang tahun salah satu temanku di rumahnya, meskipun aku tidak menyukainya, tapi kami tidak memiliki masalah, dia mengundangku dan aku tidak bisa menolaknya. Sekalian aku ingin memperkenalkanmu kepada teman-temanku, aku tidak akan membuat mereka terus menanyakan pasangan baruku padaku." "Tidak masalah bagiku untuk semua itu, asalkan bayaranku tetap konsisten dan tidak pernah telat." "Astaga kau ini." "Hei, dengan itu kau bahkan bebas menghina ukuran dadaku." "Iya, iya." "Baiklah, sampai jumpa besok, Tuan Kedelapan." Nuansa melambaikan tangannya seraya berjalan mundur, lambaian itu lalu dibalas oleh Neptunus. *** Nuansa sampai di rumah pada sore hari dengan keranjang yang sudah kosong. Hari ini ia tidak pergi ke kantor Polisi, sebab keripiknya sudah habis bahkan saat di siang hari tadi. Gadis itu dikejutkan dengan kedatangan Reynand di rumahnya yang disambut baik oleh kedua orangtuanya. "Itu dia!" ucap Durah pada Reynand sembari menunjuk Nuansa, Nuansa lantas membuat senyuman terpaksa di bibirnya. "Jadi ini yang namanya Reynand ya, Nuansa? Dia laki-laki yang baik, kami benar-benar setuju jika kalian berpasangan kelak," ujar Arfan. "Engh, iya, Ayah, hehe. Ayah, ibu, bisa kalian tinggalkan kami sebentar di sini? Aku perlu berbicara empat mata dengannya," kata Nuansa. "Oh, iya, iya, tentu." Durah dan Arfan menyambut baik permintaan Nuansa, mereka berpikir kalau Reynand dan Nuansa akan berbicara mengenai ''hubungan percintaan'' mereka. Keduanya lantas pergi ke belakang dan meninggalkan Nuansa bersama Reynand, mereka sangat menyukai Reynand meskipun baru ini mereka bertemu dengannya. "Bagaimana kau bisa tahu rumahku?" tanya Nuansa pada Reynand usai kedua orangtuanya pergi. "Rumahmu tidak jauh dari tempatku bekerja, jadi mudah saja bagiku untuk menemukannya. Pertanyaan sesungguhnya adalah, kenapa kau menghilang begitu saja?" ucap Reynand. "Apa maksudmu?" "Aku sudah berbicara dengan orangtuaku tentang hubungan kita, Nuansa. Tapi tiba-tiba kau menghilang tanpa kabar, kau tidak pernah datang ke kantor Polisi lagi." "Itu hakku, bukan?" "Apa yang kau bicarakan?" "Apa aku sudah memberimu jawaban yang pasti?" "Belum!" sambung Nuansa. "Nuansa, aku benar-benar tidak mengerti, apa yang sedang kau bicarakan?" tanya Reynand. "Aku menolakmu, Reynand, aku tidak mencintaimu." Reynand terkejut mendengar hal ini. "Tapi kau, kau memaksa perasaanku untuk mencintaimu. Tidak, aku tidak pernah bisa mencintaimu, aku bahkan tidak pernah berpikir untuk mencintaimu," lanjut Nuansa. "Tapi waktu itu-" "Aku selalu berusaha untuk menjaga perasaanmu. Kau sangat baik padaku, jadi aku tidak berani untuk terang-terangan padamu." Nuansa menyela. "Nuansa, kau ..." "Aku minta maaf, Reynand, inilah yang ingin kukatakan padamu sejak dulu, sejak kau menyatakan rasa sukamu padaku. Kau mendapatkan balasan yang sangat buruk untuk kebaikanmu padaku." "Hal apa yang mengubahmu? Ini bukan Nuansa yang kukenal, katakan padaku, ada sesuatu yang membuatmu berubah, kan?" "Tidak, Reynand, justru ini aku yang sesungguhnya, aku menahan semua ini sejak lama, maafkan aku." Reynand hanya bisa diam dan benar-benar tidak menduga hal ini. "Aku butuh waktu." Pria itu kemudian pergi tanpa berpamitan pada Arfan dan Durah. Orangtua Nuansa itu lalu menyadari jika terjadi sesuatu antara Reynand dan Nuansa, sehingga mereka kembali masuk. "Apa yang terjadi, Nuansa? Kenapa Reynand pergi, dan dia bahkan tidak berpamitan," tanya Durah. "Aku ... Aku hanya melalukan hal yang seharusnya kulakukan sejak dulu, ibu," jawab Nuansa. "Hah?" "Aku tidak mencintainya, tidak pernah mencintainya." "Nuansa, jangan bilang ini karena pekerjaan barumu," ujar Arfan. "Tidak, Ayah. Aku ... Aku ingin sendiri dulu, permisi." Nuansa kemudian masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan kedua orangtuanya dalam kebingungan. Chapter 13 - Panen Pukul 3 pagi, adalah saat di mana ayam belum berkokok. Beberapa orang mungkin sudah bangun untuk memulai aktifitas kembali, atau bahkan baru akan tidur setelah begadang, namun Nuansa dan kedua orangtuanya baru akan memulai aktifitas mereka pada pukul 6 pagi dan bangun pada pukul setengah enam. Ya, begitulah semuanya berjalan setiap hari, tapi tampaknya tidak untuk hari ini. Nuansa terbangun karena suara ketukan pintu rumahnya. Seorang tamu telah menanti untuk dibukakan pintu oleh siapapun yang berada di dalam. Nuansa pun terbangun dalam keadaan yang sangat berantakan. Rambutnya kusut, air liurnya masih menempel di pipi kanannya dan disertai dengan aroma mulut khas orang baru bangun tidur. Ia tidak merapikan dirinya lebih dulu, karena ia belum sepenuhnya sadar. Siapa yang bertamu jam segini? Hanya itu yang terlintas di pikirannya sekarang. Dengan mata yang setengah tertutup dan kepala yang terkadang tidak tegak, Nuansa membuka pintu dan mendapati Neptunus yang tersenyum lebar menunjukkan gigi putih sebening kristalnya. Sontak saja Nuansa kaget dengan apa yang dilihatnya barusan, ia berteriak kecil dan mengeluarkan bau mulutnya ke arah wajah Neptunus, yang tentu saja membuat Neptunus menutup kedua matanya karena bau tersebut. Usai berteriak, Nuansa kembali masuk dan menutup pintunya. Ia pergi ke kamar mandi yang terletak di luar rumahnya untuk mencuci muka dan sikat gigi. Ia merapikan dirinya, lalu kembali membuka pintu dan tetap mendapati Neptunus dengan senyum lebarnya yang justru terlihat menyeramkan. "Apa yang kau lakukan dirumahku pada jam segini?!" tanya Nuansa, namun Neptunus tidak menjawab dan malah mematung dengan senyumnya yang terlihat mengerikan. "Ok ... Aku butuh anak indigo sekarang," ucap Nuansa setelah tidak mendapatkan jawaban dari Neptunus. Ia sedikit merasa takut dan risih dengan sikap Neptunus. "Hei! Aku sedang menahan napas! Berbicara akan membuang sia-sia stok napasku." Neptunus akhirnya buka suara dengan suara yang tertahan. "Kenapa kau-? Oh, astaga, aku sudah menyikat gigiku sekarang." "Benarkah?" "Haaaaaa." Nuansa dengan sengaja memberikan Neptunus bau mulutnya yang sekarang menyegarkan karena pasta giginya. "Kau tidak perlu melakukan itu juga, sebenarnya," ujar Neptunus sembari kembali bernapas. "Kau terlambat tiga detik untuk mengatakannya. Sekarang, katakan padaku, apa yang kau lakukan di sini pada pukul tiga pagi?! Dan bagaimana bisa kau tahu letak rumahku?" "Humph, mudah saja. Aku ini akan calon anak seorang Detektif." "Aku sedang serius, Neptunus." "Aku pun serius, di mana letak guyonanku?" Nuansa lantas melihat keluar dan melihat beberapa tetangganya sudah keluar dari rumah mereka, dan ia langsung paham bagaimana Neptunus bisa mengetahui letak rumahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Nuansa kepada Neptunus sekali lagi. "Kau sudah menanyakan hal itu sebanyak tiga kali dalam tiga menit, sekali lagi kau bertanya seperti itu, akan ku kurangi gajimu," ancam Neptunus. "Itulah kenapa jawaban diperlukan setelah pertanyaan! Jawab saja aku!" "Hei, ini masih jam tiga pagi, turunkan nada bicaramu, kau bisa membangunkan semua orang di Bumi nanti." "Di Amerika ini masih sore." "Iyakah?" Nuansa terdiam. "Apa kau benar-benar orang kaya?" "Nuansa, ada apa ini, kenapa kau berisik sekali?" tanya Durah yang keluar bersama Arfan secara bersamaan seraya mengkucek-kucek kedua mata mereka. Neptunus lalu tersenyum melihat mereka berdua. "Halo, Bibi, Paman," sapanya. *** Sekarang adalah pukul 7 pagi. Arfan dan Neptunus menjadi sangat akrab sekarang, mereka berbincang sampai lupa dunia. Keduanya terlihat baru selesai mandi, Neptunus bahkan hanya menggunakan kaos oblong dan celana pendek di rumah Nuansa. Tak lama kemudian, Durah dan Nuansa datang menyajikan makanan dan teh. "Ayo, ayo, silakan di habiskan," ucap Durah. "Mmmm, dari baunya saja sudah sangat enak, berbeda sekali dengan bau mulut Nuansa tadi pagi," ujar Neptunus. "Hah?" Durah tampak bingung. "Engh, ini apa namanya, Bibi? Bisa tolong diperjelaskan satu-persatu?" Neptunus mengalihkan pembicaraan. "Oh, tentu. Ini perkedel singkong, kami mengganti kentangnya dengan singkong. Lalu ini getuk, yang ini singkong goreng, ini keripik singkong, ini singkong rebus, ini keripik kulit singkong, dan ini sayur daun singkong," jelas Durah. "Semua serba singkong, ya. Tidak heran kalau kalian sangat sehat." "Jangan basa-basi. Kau tahu kalau ayahku sekarang sedang sering-seringnya sakit," sindir Nuansa. "Hei, jangan sepelekan ayahmu, mungkin dia sedang sakit seperti yang kau katakan, tapi dia masih sangat kuat untuk memanen dan menanam singkong, itu artinya fisiknya tetap kuat." "Terserah kau saja lah, Neptunus." "Hmm, bisa kita mulai sarapannya sekarang?" tanya Neptunus. "Silakan saja, ayo, makan, makan, kau pasti sangat lapar dan lelah sekarang karena sudah mengerjakan 80% pekerjaan ayahnya Nuansa di kebun tadi," kata Durah. "Baiklah, aku coba perkedelnya dulu." "Mmm, mmmm, mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm. Aku tidak bisa berkata-kata, ini sangat enak, Bibi. Makanan di hotel bintang lima saja kalah sama perkedel buatan Bibi," lanjut Neptunus. "Sebenarnya semua itu buatan Nuansa, aku hanya membuat keripiknya, karena dia tidak bisa membuat keripik," ucap Durah. "Tapi dia mengatakan padaku kalau dia tidak bisa memasak." "Huh? Dia lebih jago memasak daripada aku, hanya saja karena dia berjualan, dia jadi lupa beberapa cara untuk memasak." Neptunus lantas menatap Nuansa dengan mulut penuh perkedel. Nuansa memasang wajah tengil untuk Neptunus. "Maaf karena kami hanya bisa menyajikan masakan yang sesederhana ini, padahal kau sudah datang jauh-jauh ke sini di pagi-pagi buta hanya untuk membantu ayah Nuansa panen singkong dengan sangat cepat, dan hanya ini yang bisa kami berikan untukmu. Semua ini pasti sangat berbeda dengan apa yang biasanya kau makan pada pagi hari, apa lagi tidak ada meja makan di sini, jadi pasti kau tidak terbiasa untuk makan dengan posisi duduk di bawah seperti ini," ujar Durah. "Ah, tidak apa-apa, Bibi, malahan aku senang karena kalian melayaniku dengan sepenuh hati," kata Neptunus. "Kami lah yang senang dengan kedatanganmu yang membantuku dengan ketulusanmu, nak. Aku tidak menduga bahwa kau orangnya seperti ini, kau sangat menyenangkan dan tidak manja sebagai orang yang dibesarkan di keluarga kaya, kau memiliki tenaga yang sangat kuat dan sangat pantas untuk mendapatkan istri yang sangat baik. Kau benar-benar baik, terima kasih untuk semuanya," ucap Arfan. "Santai saja, Paman, ini juga menambah pengalamanku, aku bersyukur karena setidaknya pernah merasakan bagaimana rasanya bertani itu walaupun hanya sekali dalam hidupku," ujar Neptunus. Arfan kemudian hanya mengangguk-angguk. *** Usai sarapan, keempatnya mengobrol dan membicarakan perihal rencana Neptunus yang akan membawa Nuansa seharian ini bersamanya. "Jadi, Bibi, Paman, aku meminta izin pada kalian untuk meminjam putri kalian satu harian ini. Dia tidak akan berjualan hari ini, aku akan membawanya ke pesta ulang tahun salah satu temanku malam nanti, dan siang ini ibuku ingin berbicara lebih banyak dengannya, jadi, ya, dia tidak akan berada di rumah sampai malam." Neptunus meminta izin, Arfan dan Durah lantas saling melirik dan terkekeh setelahnya. "Kau menggajinya untuk itu, kan? Lalu untuk apa kau meminta izin lagi pada kami?" kata Durah. "Aku kira karena aku orang yang baru kalian kenal, kalian jadi meragukanku." "Hahaha, tidak, tidak sama sekali, kami percaya padamu." Neptunus tersenyum mendengar itu. "Jadi, Nuansa sudah memberikan gaji pertamanya pada kalian?" tanyanya. "Hei! Itu sudah jadi uangku sekarang, jangan terlalu kepo," ujar Nuansa. "Aku tidak bertanya padamu." "Tapi ... Argh." Neptunus lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Ini, Bibi, uang ini, gunakanlah untuk membeli makan siang dan makan malam kalian berdua." Neptunus memberikan uang senilai Rp. 500.000 pada Durah langsung ke tangan ibu Nuansa itu. Durah tentu menolak uang itu. "Kami masih punya singkong untuk makan siang dan makan malam, nak, kau tidak perlu memberikan uang ini pada kami," ujar Durah. "Kalau begitu, terima saja, kalau rezeki ditolak, nanti rezeki Bibi bisa seret, loh." Durah berpikir sesaat, lalu tersenyum dan menerima uang tersebut. "Terima kasih." Neptunus membalas senyuman itu sembari mengangguk. Chapter 14 - Ponsel Dalam perjalanan menuju rumahnya bersama Nuansa, Neptunus mengajukan pertanyaan kepada Nuansa di dalam mobilnya. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau tidak memiliki ponsel?" "Hm? Untuk apa?" "Tentu saja untuk mempermudah komunikasi kita." "Kau tahu dari mana kalau aku tidak punya ponsel?" "Aku menghubungi nomor yang kau cantumkan di iklanmu, tapi ternyata seorang perempuan bernama Fani yang mengangkatnya." "Fani?" "Ya, dia menceritakan semuanya padaku, bahkan juga letak rumahmu di gang itu." "Jadi ... Apa yang kau ucapkan padanya pada saat pertama kali dia menjawab panggilanmu? Kau terlihat marah padaku, jadi kau pasti berbuat sesuatu yang mempermalukan dirimu sendiri di hadapan Fani." "Kau, apa?!" "Mengaku saja," goda Nuansa. "Hei, jangan mengalihkan topik pembicaraan!" "Ya, aku memang tidak memiliki ponsel, bahkan sejak remaja aku tidak pernah memiliki ponsel." "Benarkah?" "Ya, rencananya aku akan membelinya dari gaji hari pertamaku darimu." Neptunus kemudian menghentikan mobilnya karena rambu lalu lintas menunjukkan lampu yang merah. "Nah, ambil saja ini." Pria itu memberikan ponselnya yang satu lagi pada Nuansa. "Apa-apaan ini?" ujar Nuansa. "Tidak, tidak, aku bercerita bukan untuk dikasihani, sudah kubilang, aku akan membelinya dari gaji hari pertamaku darimu." "Ini baru kupakai dua bulan, keluaran tahun ini dan aku membelinya dalam keadaan baru, ambil saja." "Tidak." "Ambil." "Aku bilang tidak!" "Ambil atau kuculik kau." "Kau tidak bisa menculikku." "Kenapa?" "Karena ... Karena aku adalah teman seorang Polisi." "Dan Polisi itu menyukaimu, kan? Kau pasti meremukkan hatinya sampai hancur menjadi butiran debu. Dia tidak akan membantumu, sayang." "Hei, yang ini adalah Polisi Wanita." "Bohong, kau pembohong." "Bagaimana kau bisa tahu?!" "Kau baru saja mengatakan yang sebenarnya." "Apa?! Engh? Grrrh!" "Tetap tidak. Kau tidak akan memiliki ponsel jika kau memberikanku ponsel itu," lanjut Nuansa. "Sebenarnya aku punya dua, yang ini jarang kupakai, jadi kurasa aku hanya butuh satu, makanya kubilang ambil saja," kata Neptunus. "Benarkah? Coba lihat, mana yang satu lagi?" "Tunggu sebentar." Neptunus lantas meraba-raba saku celananya, namun lampu merah kemudian berubah menjadi lampu hijau, memaksanya untuk menginjak gas tanpa sempat mengeluarkan ponselnya yang satu lagi. "Aku tidak bisa mengambilnya saat menyetir seperti ini. Ini, ponselnya ada di saku kanan celanaku, ambil lah untuk meyakinkan dirimu sendiri," ucap Neptunus. Nuansa lalu menuruti perkataan Neptunus. Ia pun lalu berusaha meraih ponsel Neptunus yang berada di dalam saku celana pria tersebut. Karena Nuansa memakai sabuk pengaman, hal ini menyulitkannya untuk mengambil ponsel itu, terlebih lagi tangannya tidak terlalu panjang, jadi gadis tersebut agak kesulitan, ditambah lagi Neptunus menaruh ponsel yang dimaksudnya di saku kanannya, jadi dengan posisi setir yang berada di kanan, tentu saja saku kanan Neptunus berada sangat jauh dari Nuansa yang sedang berusaha keras untuk meraihnya sekarang. "Awas, jangan sampai kau sentuh rudalku," kata Neptunus. "Huh? Rudal?" Nuansa tampak bingung. "Astaga!" Gadis itu baru menyadari bahwa kini posisi tangannya sangat dekat dengan rudal alias kemaluan Neptunus. "Tidak apa, lanjut saja, selama kau tidak menyentuh rudalku tidak ada masalah." "Hei! Aku bahkan tidak terpikir untuk melakukan hal sejorok itu!" "Siapa tahu kau lagi ingin sosis, kan?" "Sosis?" "Kenapa kau menggunakan bahasa-bahasa samaran seperti itu?! Untung saja aku mengerti walaupun aku butuh waktu!" "Jadi kau ingin aku langsung menyebutnya p*nis, begitu?" "Hei, tidak sevulgar itu juga!" "Tapi itu bukan bahasa samaran, kan?" "Kau! Argh!" Nuansa lantas memilih mengalah dan lanjut berusaha untuk meraih ponsel yang dimaksud Neptunus tadi. Namun tanpa disengaja, Nuansa menekan ''rudal'' Neptunus menggunakan sikunya. Hal ini tentu saja membuat Neptunus kesakitan karena siku Nuansa sangat runcing. "Pelecehan seksual!!" teriak Neptunus. "Apa?!" Nuansa ikut berteriak karena terkejut, tapi ia sudah mendapatkan ponsel Neptunus. "Kau menyentuh rudalku, bahkan dengan siku runcingmu, dan kau menekannya, menjadikannya sebagai tumpuan utama tubuhmu." "Benarkah? Tapi aku tidak merasakannya." "Kau melakukannya tadi, Nuansa! Itu sangat sakit!" "Astaga, maaf, aku tidak sengaja." "Ini sangat sakit, benar-benar sakit, ouch huhu." Neptunus bertingkah layaknya anak kecil. "Sini, biar aku lihat," ucap Nuansa. Ia tidak sadar dengan apa yang diucapkannya, gadis itu hanya secara spontan mengucapkan hal tersebut karena Neptunus mengeluh sakit, tapi Nuansa tampaknya lupa pada bagian mana. "Benarkah? Wah! Dengan senang hati," sambut Neptunus. Nuansa lalu tersenyum, dan entah kenapa dirinya justru hampir saja membuka kancing dan resleting celana Neptunus. Tangannya sempat berada pada jarak 5 cm dari ''rudal'' Neptunus. "Astaga! Ya Tuhanku! Apa yang hampir saja kulakukan?!" Nuansa akhirnya tersadar, untung saja pada saat yang tepat, karena ia belum sempat menyentuh ''rudal'' tersebut. "Hahahahahaha." Neptunus lantas tertawa dengan sangat geli melihat tingkah Nuansa. "Diam kau! Kau benar-benar tidak waras!" "Hahaha, ok, ok, itu sangat menggelikan, kau tahu." "Tidak! Itu menjijikkan!" "Hahaha. Baiklah, sekarang kau mendapatkan buktinya, aku punya dua ponsel." Nuansa lantas menatap kedua ponsel Neptunus itu, dan menerima yang diberikan kepadanya. "Terima kasih," ucap Nuansa. "Sama-sama, lain kali jika kau ingin benar-benar melakukannya tidak apa-apa," ujar Neptunus. "Untuk ponsel ini, bodoh!" "Hahaha, aku tidak akan memperingatkanmu sekarang, kau pantas memakiku seperti itu." "Kurasa selalu pantas." "Hei!" "Ok, ok, terima kasih sekali lagi." "Sama-sama." Nuansa lalu menyalakan ponsel Neptunus yang diberikan kepadanya. Ketika menyala, gadis itu terkejut setengah mati karena wallpaper di layar utama adalah karakter anime perempuan yang nyaris telanjang. "NEPTUNUS, DEMI TUHAN, APA INI?!" kata Nuansa sembari menunjukkan gambar tersebut pada Neptunus. "Astaga! Aku lupa! Ponsel ini berisi koleksiku tentang gambar-gambar sejenis ini!" seru Neptunus. "APA?!" Chapter 15 - Haha, Hihi, Huhu, Hehe, Hoho Neptunus dan Nuansa akhirnya sampai di kediaman Neptunus. Nuansa keluar secara terburu-buru dari mobil Neptunus dan merasa sangat mual. Neptunus pun jadi khawatir akan hal ini karena Nuansa benar-benar terlihat seperti akan memuntahkan seluruh isi di lambungnya beserta asam yang ada di sana. "Kau baik-baik saja?" tanya Neptunus dengan perasaan khawatir. "Huek. Y-ya, kurasa," jawab Nuansa. "Kau kenapa?" "Aku merasa mual, kurasa ini adalah efek dari-" "Kau hamil?! Oh, astaga!" "Hei! Jaga baik-baik ucapanmu!" "Perempuan yang mual-mual seperti kau sekarang biasanya sedang hamil muda, Nuansa. Jadi kau pasti sedang hamil juga!" "Hei! Turunkan nada bicaramu! Orang-orang akan berpikir apa jika mereka mendengarmu?!" "Tapi kau ... Aku tidak menyangka kalau kau seperti ini orangnya, apa yang akan orangtuamu pikir nanti? Kasihan mereka, Nuansa, kasihan. Mereka sudah tua tapi anaknya malah seperti ini, aku, aku ..." Neptunus lantas berlagak seperti seorang pemain opera. "Diamlah, aku hanya mual karena terlalu lama berada di dalam mobil baumu." "Mobilku wangi, aku membeli pengharum yang paling best seller, kau tahu!" "Tapi aku membenci baunya, itu sangat memuakkan, menjijikkan sekali, huek." "Kemarin kau baik-baik saja saat menaiki mobilku." "Ya karena durasinya tidak selama hari ini. Tadi kan kita pergi ke pusat perbaikan gadget untuk menginstal ulang ponselmu." "Apa itu berpengaruh? Maksudku, tidak ada yang salah dari mobilku." "Aku tahu, aku hanya belum terbiasa menaiki mobil. Pengharum yang kau gunakan juga tidak cocok dengan seleraku, jadi kurasa ini wajar terjadi." "Ooh, jadi begitu ya. Kupikir tadi kau hamil." "Enak saja!" "Yasudah, ayo kita masuk." Keduanya lantas berjalan menuju pintu depan, Nuansa merasa lebih baik sekarang meskipun ia masih sedikit mual. Ketika Neptunus membuka pintu, tercium bau menyengat dari kedelai yang digoreng dengan bawang putih, dan hal ini membuat Nuansa benar-benar ingin muntah sekarang juga. "Bau apa ini?!" tanya Nuansa. "Kedelai yang digoreng dengan bawang putih, itu cemilan kesukaanku," jawab Neptunus. "Tapi aku membenci bau ini! Ini bahkan lebih memuakkan dari bau pengharum mobilmu. Aku ... Aku butuh kantong plastik!" Muntahan Nuansa sudah berada di dekat lidah kecilnya sekarang, dan ia sudah tidak bisa berbicara lagi, kalau tidak dirinya akan memuntahkan semua itu. "Tarik napas, hembuskan!" Neptunus menjadi panik sampai ia memandu Nuansa untuk melakukan hal yang salah, namun Nuansa malah mengikutinya. "Ok, bagus, tarik napas lagi, lalu ngeden." Nuansa baru sadar jika Neptunus menganggapnya sedang melahirkan, dan ia pun menatap pria itu dengan tatapan tajam. "Astaga! Kau tidak sedang melahirkan, ya!" ucap Neptunus yang juga baru sadar bahwa aba-aba darinya salah. Ia lantas masuk ke dalam dan mencari kantong plastik apa saja. "Ibu! Apa ibu melihat plastik?!" tanya Neptunus pada Bulan yang sedang berada di ruang tamu. "Kenapa? Ada apa?" tanya Bulan. "Nuansa!" "Ada apa dengan Nuansa?!" "Dia melahirkan!" "HAH?!" "Maksudku, dia akan muntah! Dia tidak bisa bergerak lagi! Ah! Kelamaan!" Neptunus kemudian pergi ke dapur dan melihat ada sebuah kantung plastik berwarna hitam, namun ia tidak tahu bahwa plastik itu berisi ikan yang sekarang. "Hei, gadis-gadis! Aku minta plastik ini, ya!" ujar Neptunus kepada 2 orang wanita berusia 50-an yang menjadi koki di rumahnya. Keduanya memang belum menikah, tapi ini adalah pertama kalinya Neptunus memanggil mereka dengan sebutan ''gadis-gadis'' yang tentu membuat mereka bingung. "Eh, jangan!" teriak gadis yang satu. "Pelit!" Neptunus tetap mengambil plastik itu dan menumpahkan isinya ke lantai tanpa melihatnya meski ia mengatai wanita tua tersebut dengan sebutan ''pelit''. Sontak saja kedua gadis itu berteriak karena ikan-ikan yang sedang menghadapi sakaratul mereka tersebut bergerak kesana-kemari untuk mencari air. *** Neptunus sampai pada saat yang tepat, sebab Nuansa langsung saat Neptunus tiba dan langsung menampung muntahan Nuansa. Bulan pun datang dan melihat apa yang terjadi. "Ah, terima kasih, aku merasa lega sekarang," kata Nuansa. "Apa yang terjadi di sini?" tanya Bulan. "AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!" Para gadis berteriak di dapur dan memancing perhatian Bulan, Nuansa dan Neptunus. *** "Kalian tidak apa-apa, kan? Haha, Hihi?" tanya Bulan pada koki-kokinya yang sebenarnya saudara kembar tapi tidak identik, Haha adalah kakak, Hihi adiknya. "Ya, kami baik-baik saja, Haha hanya terlalu panik karena ia takut pada semua hewan termasuk semut dan kutu, jadi dia berteriak sangat kencang dan membuatku menjadi ikut berteriak," jawab Hihi. "Neptunus, minta maaf pada mereka!" suruh Bulan. "M-maafkan aku, bibi Haha, bibi Hihi," ucap Neptunus. "A-aku juga, kalau saja aku tidak sekampungan itu, mungkin semua ini tidak terjadi," ujar Nuansa. "Tidak apa-apa, kami mewajarkan itu. Aku juga jika berada di posisi Neptunus akan melakukan hal yang sama," kata Haha. "Ada apa, ada apa?!" tanya Huhu, Hehe, Hoho, tiga adik Haha lainnya yang juga bekerja di rumah tersebut. Huhu dan Hehe adalah perempuan, mereka bekerja sebagai yang membersihkan rumah itu sekaligus mencuci pakaian ketiga anggota keluarga Bimasakti yang tersisa, sementara Hoho adalah tukang kebun, dia adalah laki-laki dan adik Haha yang paling kecil. Kelimanya adalah saudara kembar tapi tidak identik. Orangtua mereka sebenarnya memberi nama ala orang Jepang kepada kelimanya, yakni Hanata, Hinata, Hunata, Henata dan Honota. Panggilan nama mereka seharusnya adalah Hana, Hina, Huna, Hena dan Hono, tapi nama Hinata bermasalah, karena jika dipenggal namanya akan berubah jadi ''Hina'' yang memiliki arti uang kurang bagus dalam bahasa Indonesia. Jadilah nama panggilan kelimanya Haha, Hihi, Huhu, Hehe, dan Hoho. Mereka berlima sudah bekerja untuk keluarga Bimasakti sejak 15 tahun terakhir, dan mereka semua tidak menikah karena mereka menganggap jika pasangan hidup mereka yang sebenarnya adalah saudara, kehadiran pasangan hidup sesungguhnya hanya akan merusak tali persaudaraan, begitu kira-kira anggapan mereka. Mungkin karena mereka berlima kembar, jadinya mereka memiliki hubungan yang sangat kuat. "Huhu, Hehe, Hoho? Engh, tidak ada, kembali lah bekerja." Haha menjawab pertanyaan Huhu, Hehe dan Hoho. "Kau yakin?" Hoho memastikan. "Engh, ya, ya," kata Haha yang malu jika dinilai penakut. "Haha." Neptunus terkekeh kecil. "Neptunus! Yang sopan jika memanggil!" Bulan menegur putranya itu. "Aku tertawa, Ibu." "Eh?" "Kenapa kau tertawa?" bisik Nuansa pada Neptunus. "Akan kuceritakan padamu nanti." "Janji?" "Tidak." "Argh." Chapter 16 - Ngompol "Dan aku tertawa terbahak-bahak, sampai Haha mengira aku memanggilnya berkali-kali karena tawaku tak henti-henti." Bulan menceritakan tentang beberapa kisah hidupnya kepada Nuansa sembari tertawa hingga mengeluarkan air matanya. "Hahahaha, itu benar-benar lucu, Bibi," ucap Nuansa. "Iya, bahkan sampai sekarang aku tidak bisa jika tidak tertawa kalau mengingatnya." "Bibi Haha memang sering datang tidak jelas kalau kita sedang tertawa, dia sedikit mengganggu. Jadi, Nuansa, jangan heran jika ketika kau tertawa keras di sini dia akan muncul entah dari mana secara tiba-tiba," ujar Neptunus. "Aku pikir itu wajar, hahaha." Nuansa lantas tertawa keras, dan tentu saja hal itu mengundang kedatangan Haha. "Ada apa, Nona?" tanya Haha pada Nuansa. "Tidak, Bibi, aku tidak memanggilmu," kata Nuansa. "Astaga." "Maaf karena aku tertawa terlalu keras, ya? Atau bibi duduk di sini saja agar tidak salah paham." Nuansa merasa tidak enak karena tawanya yang terlalu keras membuat Haha jadi salah paham. "Engh, tidak apa-apa, Nona, saya sudah biasa mengalami hal seperti ini. Terima kasih, tapi saya masih ada pekerjaan di dapur." "Tapi, Bibi-" "Tidak apa-apa, Nona, ini memang wajar terjadi, tidak perlu merasa tidak enak." "B-baiklah." Haha lalu kembali ke dapur. "Apa dia benar-benar tidak apa-apa?" tanya Nuansa pada Bulan dan Neptunus setelah Haha pergi. "Tidak, tawa kita membuatnya sehat karena aktif bergerak ke sana ke mari," jawab Neptunus. "Tapi kasihan dia, Neptunus, dia sudah tua." "Oleh karena itu kau dilarang tertawa terlalu keras di sini, selain karena tidak sopan, kau juga akan membuat Haha lelah," ucap Bulan. "Baik, Bibi," ujar Nuansa. "Umm, Bibi, boleh aku bertanya sesuatu?" sambung Nuansa. "Kenapa tidak? Kau sudah bertanya beberapa hal kepadaku, kan?" kata Bulan. "Ini ... Ini soal calon ayah sambungnya Neptunus." Mendengar hal itu, Neptunus langsung memberikan tatapan mematikan pada Nuansa, namun Nuansa tidak melihatnya. "Eugene? Wah, dengan senang hati akan kujawab," kata Bulan. "Neptunus bilang dia adalah seorang Detektif, ya? Apa benar?" tanya Nuansa. "Ya, memangnya kenapa?" "Itu sangat keren! Aku pernah bercita-cita sebagai seorang Detektif wanita ketika kecil. Aku berpikir kalau Detektif itu sangat keren, dan sampai sekarang aku masih memikirkan hal yang sama walaupun aku tidak berpikir untuk menjadi Detektif lagi." "Ya, kau benar. Eugene adalah pria yang keren." "Benarkah?!" "Ya, dia banyak menceritakan hal-hal yang selalu membuatku berpikir keras, kau sepertinya perlu kenal dengannya." "Itulah yang sangat kuinginkan, Bibi!" "Nanti malam dia akan tiba di Indonesia, dan besok malam kami akan melakukan acara penyambutan kepulangannya di rumah ini dengan mengadakan makan malam besar, jadi pastikan kau datang besok." "Memangnya dia orang mana?" "Dia pria berdarah Indonesia-Inggris, dan dia bekerja di Inggris, juga berkewarganegaraan Inggris, jadi kurasa penggunaan kata ''pulang ke Indonesia'' tidak cocok untuknya." "Kenapa dia tidak bekerja di Indonesia saja?" "Agak sulit menjadi seorang Detektif swasta di Indonesia karena ada beberapa peraturan hukum yang agak menghambat pekerjaan mereka, jadi Eugene memutuskan untuk meraih cita-citanya di sana." "Woah, dia pasti sangat keren, kenapa Neptunus tidak menyukainya?" Mendengar hal itu, Neptunus langsung menatap Nuansa dengan tatapan yang santai namun penuh kegeraman, sementara Bulan tidak menjawab pertanyannya. Nuansa pun sadar jika ia salah memberi pertanyaan dan membuat suasana benar-benar menegang dan hening sekarang. "Maksudku, Neptunus hanya laki-laki mesum yang tidak berguna, kenapa dia tidak mengagumi sosok Detektif yang bisa menjadi pahlawan bagi banyak orang?" Nuansa semakin berucap hal-hal yang seharusnya tidak diucapkannya. "Bisakah kau diam?" tanya Neptunus. "Kenapa?" Nuansa bertanya balik. "Mesum?" ucap Bulan. "Ya, Bibi tahu? Dia mengoleksi banyak film-" "Romantis." Neptunus menyela Nuansa. "Aku suka film romantis yang punya banyak adegan panasnya, Ibu, dan Nuansa yang tidak terbiasa akan hal seperti itu merasa kalau itu adalah film porno." "Benarkah?" Bulan tidak yakin. "Ya. Iya, kan, Nuansa?" tanya Neptunus pada Nuansa dengan tatapan iblis. "Engh, ku-kurasa," ujar Nuansa. "Bibi, aku ingin ke toilet dulu, ya," lanjut Nuansa, ia merasa tidak enak. "Oh, iya," kata Bulan. Nuansa pun lantas pergi dari ruang tamu. "Aku ke kamar sebentar ya, Ibu," ucap Neptunus. "Mau ngapain?" tanya Bulan. "Aku baru ingat kalau aku sedang mencharge laptopku, jadi aku akan mencabutnya dulu." "Hm, baiklah." *** Nuansa sebenarnya memang ingin buang air kecil, tapi ia tidak berniat untuk buang air kecil sekarang. Pernyataannya tadi tentang Neptunus pada Bulan telah membuatnya merasa risih sendiri untuk berada di ruangan tersebut, jadi ia memutuskan untuk pergi ke toilet sekarang. Namun, ketika baru sampai di depan pintu, sebuah tangan menarik tangannya. Nuansa pun dengan refleks menghempaskan tangan itu dan langsung memegang kemaluannya menggunakan kedua tangannya. Gadis tersebut lalu melompat-lompat di tempat. "Apa yang kau lakukan di sini, Neptunus?! Aku benar-benar ingin buang air kecil!" ujar Nuansa sembari berbalik badan, ia terus melompat-lompat karena entah kenapa urinnya tiba-tiba mencari jalan keluar. "Tidak, kau bohong," kata Neptunus. "Aku sudah lompat-lompat seperti ini dan kau masih bilang kalau aku bohong?" "Aku malah tidak peduli kalau kau lompat-lompat. Yang kupertanyakan, kenapa kau memegang kemaluanmu?" "Apa urusanmu?" "Itu menggangguku." "Heh! Jangan yang tidak-tidak, ya!" "Aku mengikutimu untuk memarahimu, bukan untuk melihatmu memegang kemaluanmu, maksudku, bukan untuk melakukan hal yang aneh-aneh padamu." "Aaargh, yasudah cepat! Marahi saja aku, aku sudah tidak tahan ingin buang air kecil!" "Kenapa kau mengatakan kalau aku mesum pada ibuku?" "Katanya mau marah, itu bukan amarah." "Aku serius!" "Ya karena kau menjijikkan, maksudku, mesum." "Itu rahasiaku seorang bersama mantan-mantanku, termasuk kau." "Oh, iya, wah, itu mengesankan." Nuansa yang masih dalam posisinya kemudian berniat untuk membuka pintu kamar mandi yang hanya berjarak 5 cm darinya, namun Neptunus meraih tangannya dan membuatnya kehilangan keseimbangan. Neptunus dengan cepat menangkap Nuansa dan menopang tubuhnya. Nuansa melepaskan kedua tangannya dari kemaluannya karena kehilangan keseimbangan, membuat dirinya akhirnya tak kuasa menahan air seninya, yang artinya akhirnya Nuansa mengompol dan merasakan hangat di kakinya. Ketika ditangkap Neptunus, kepala Nuansa bergetar, sebuah reaksi umum pada manusia ketika sedang buang air kecil. "Hangat," ucap Nuansa yang tanpa sadar sedang menikmati topangan yang diberikan Neptunus sambil mengompol. Chapter 17 - Bathtub Neptunus dan Nuansa masih dalam posisi yang sama. Kali ini sama seperti yang sebelumnya, keduanya menikmati momen seperti ini. Namun, bau pesing dari air seni Nuansa membuat Neptunus tersadar dari lamunannya dan malah melepaskan Nuansa, lalu membiarkannya terjatuh. "Astaga! Kau menjijikkan!" ucap Neptunus. "Aw!" Nuansa mengaduh karena terjatuh, ia berenang di air seninya sendiri sekarang, dengan kata lain, tubuhnya basah dengan cairan berbau pesing tersebut. "Ew." Neptunus bergidik jijik. "Hei! Kenapa kau melepaskan aku?! Bantu aku berdiri!" "Iii, jijik. Sudah mengompol, malah berenang di air kencingnya sendiri lagi, huek." "Hei!" Nuansa akhirnya bangkit sendiri. "Kau! Apa masalahmu?!" bentak Nuansa, suaranya bahkan di dengar oleh satu rumah dan memancing perhatian Bulan, walau hanya sesaat. "Kau mengacaukan semuanya!" Neptunus membentak Nuansa balik. "Apa yang rupanya kuperbuat?!" "Pertama, di rumah ini siapapun dilarang untuk membicarakan tentang hubunganku dengan Eugene. Dan yang kedua, keluargaku mengetahui aku sebagai anak yang tidak banyak tingkah, mereka memang tahu kalau aku ini playboy, tapi mereka tidak tahu dengan sifat jorokku," jelas Neptunus dengan suara pelan. "Sadar juga kau kalau sifatmu tidak ada bagus-bagusnya." "Hei!" "Kau mengakuinya, dan itu memang terjadi." "Terserah kau saja. Bersihkan dirimu, kau terlihat seperti anak bayi yang tidak tahu cara kencing yang benar." "Hei! Ini juga karena kau menahan-nahanku!" "Kalau kau berpikir dulu sebelum berbicara dengan ibuku tadi, aku tidak akan menahanmu!" "Hei, aku tidak tahu bagaimana hubunganmu dengan paman Eugene! Jadi kupikir itu tidak masalah." "Aku akan menceritakannya nanti padamu, mandilah dulu, aku akan pergi kuliah, setelah itu kita akan membeli gaun yang bagus untukmu." "Gaun?" "Kau lupa? Hari ini ada temanku yang berulang tahun." "Ok, baiklah." Neptunus kemudian pergi meninggalkan Nuansa. Nuansa lantas masuk ke kamar mandi dan membersihkan air kencingnya yang menggenang di lantai depan kamar mandi. Setelah itu, Nuansa berniat untuk mandi, namun ia baru sadar kalau dirinya tidak membawa pakaian ganti, sementara tubuhnya sudah kering dan mengeluarkan bau pesing yang lebih menyengat. ''Astaga, bagaimana ini? Neptunus, aku bersumpah untuk mengutukmu suatu saat nanti,'' batin Nuansa. *** Bulan sedang menonton TV di ruang tamu, ia mulai sadar bahwa Nuansa dan Neptunus pergi terlalu lama. Ibu 2 anak itu pun lalu memutuskan untuk keluar dari ruang tamu dan melihat Nuansa yang sedang berjalan ke arahnya dengan kaki membentuk huruf O. "Nuansa?" ucap Bulan dengan perasaan heran. "Eh, Bibi?" ujar Nuansa. "Kenapa kau berjalan seperti itu?" "Aku ... Aku terkencing di celana, Bibi, hehe." "Huh?" "Ya. Dan aku tidak membawa pakaian ganti." "Tapi, bagaimana bisa?" "Entahlah, tiba-tiba kencingku tidak tertahan." Nuansa berbohong. "Astaga. Naiklah ke lantai dua, di sana letak kamar Neptunus dan Vega. Kamar Vega punya poster sebuah boyband yang aku lupa namanya di depan pintunya, dia sangat tergila-gila dengan boyband itu sampai dia memasang poster yang sangat besar di pintu kamarnya. Carilah pakaiannya yang cocok untukmu, tapi sepertinya kalian satu ukuran. Di kamar Vega juga ada kamar mandi, jadi kau mandi di sana saja." "Baik, Bibi, terima kasih." Nuansa pun lantas berjalan menuju tangga dengan cara berjalan yang masih sama, Bulan tertawa melihatnya. *** Ketika Nuansa sampai di lantai 2, ia melihat pintu kamar Neptunus terbuka sedikit, dan gadis itu lantas memutuskan untuk mengintip ke dalam. Neptunus masih berada di kamar itu dan sedang mengeluarkan majalah-majalah pria dewasa dari dalam tasnya. ''Dasar,'' batin Nuansa. Ia pun lalu masuk ke kamar Vega dan membuka lemarinya. Nuansa tidak banyak memilih karena memang ukuran tubuhnya sama persis dengan ukuran tubuh Vega. Gadis tersebut mengambil pakaian yang tidak terlalu bagus dibandingkan yang lainnya dan meletakkannya di atas ranjang, setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi Vega. Baru saja Nuansa akan menelanjangi dirinya, namun tiba-tiba sesuatu menghalanginya untuk mandi sekarang. Ya, kamar mandi itu terlihat seperti bukan kamar mandi baginya, jadi Nuansa bingung. Ia tidak pernah melihat bathtub sebelumnya, tidak ada ember dan gayung di sana. Ini benar-benar pertama kalinya Nuansa melihat kamar mandi yang seperti ini. "Bagaimana caranya aku mandi di sini? Tidak ada keran, tidak ada ember, tidak ada gayung," gumam Nuansa. Gadis itu kemudian memutuskan untuk keluar dari kamar mandi Vega dan memanggil Neptunus dari dalam kamar tersebut. "NEPTUNUS!!" teriak Nuansa. ''Dia ada di sini?'' batin Neptunus, pria itu terlihat bingung karena ia belum menemukan sumber suara. "Hei! Aku tahu kau belum berangkat kuliah! Jadi bisa tolong bantu aku sebentar?! Hitung-hitung sebagai permintaan maafmu karena telah membuatku seperti ini!" ''Di mana dia?'' batin Neptunus. "HEI! Jawab!" "Kau di mana?!" tanya Neptunus, akhirnya ia bersuara. "Di hatimu!" canda Nuansa. "Aku sedang sibuk, Nuansa, aku tidak punya waktu untuk bermain!" "Iya! Aku sedang di kamar Vega!" Mendengar hal itu, Neptunus pun kemudian pergi ke kamar adiknya. "Ada apa?" tanya pria itu saat Nuansa membukakan pintu untuknya. "Bagaimana kalian menyebut itu sebagai kamar mandi? Tidak ada ember dan gayung di sana, hanya ada bak putih yang sangat besar tapi tidak ada isinya," kata Nuansa. "Siapa yang menyuruhmu mandi di sini?" "Bibi Bulan." "Ugh, mari ikut aku." Keduanya lalu pergi ke kamar mandi Vega. "Bak putih besar ini namanya bathtub, kami mandi dengan cara berendam di sini," papar Neptunus, ia menjelaskan semuanya secara lengkap, namun tidak menjelaskan bagaimana caranya menguras air di bathtub setelah memakainya. "Paham?" tanya Neptunus. "Ooo, jadi begitu. Ok, aku paham sekarang," ujar Nuansa. "Yasudah, aku pergi dulu." Kali ini Neptunus benar-benar pergi berkuliah. Setelah Neptunus pergi, Nuansa pun melakukan semuanya dengan benar. Ia mengisi air di bathtub sesuai dengan petunjuk dari Neptunus, dan setelah semuanya beres, gadis itu pun langsung berendam. "Aah, ini sangat berbeda dari cara mandiku yang biasanya," ucap Nuansa sembari menutup matanya dan menikmati mandi dengan bathtub. Namun itu tidak bertahan lama. Nuansa tiba-tiba berpikir yang tidak-tidak dan membuat dirinya sendiri takut. ''Tapi bagaimana jika ada sesuatu yang menarikku dari bawah?!'' pikir Nuansa. ''Bagaimana jika aku tidak bisa keluar dari bak ini dan tenggelam di sini?!'' ''Bagaimana jika ada yang menarik rambutku saat aku sedang menutup mata?!'' Langsung saja dirinya keluar dari bathtub tersebut dan mengambil handuk yang digantung di dekatnya. "Tidak, bak ini tidak aman!" ujar Nuansa, ia kemudian keluar dengan hanya memakai handuk. Chapter 18 - Mengeringkan Rambut Nuansa berlari ketika keluar dari kamar Vega, ia bahkan menabrak Hehe saat keluar dan membuat keduanya jatuh bersama keranjang pakaian kotor yang sedang dibawa oleh Hehe. "Aduh!" Hehe yang sudah cukup berumur pun mengaduh kesakitan. "Aaa!" Sementara Nuansa berteriak karena handuknya terbuka sedikit. "Maaf, bibi Hehe, aku tidak melihatmu tadi," sambung Nuansa. "Ya ampun, nak, penglihatanmu masih sangat jelas, tapi kenapa kau tidak melihat wanita besar ini?" ucap Hehe. "Aku ... Aku terburu-buru tadi." "Kau? Memangnya kau sedang apa?" "Aku sedang mandi di kamar Vega." "Lalu kenapa kau keluar di saat belum selesai?" "Aku ... Bibi apa di sini tidak ada kamar mandi yang ada gayungnya?" Nuansa mengalihkan pembicaraan. "Gayung?" "Iya, gayung." "Kami tidak memakai gayung di rumah ini." "Lalu bagaimana Bibi mandi? Aku tidak yakin Bibi mandi dengan back up juga." "Back up?" "Engh, bathtub." "Kami para pembantu mandi dengan shower." "Shower?" "Iya, air pancuran itu." "Oooh, air mancur?" "Bukan." "Lalu?" "Aduh, bagaimana ya. Eh, kenapa kau mandi di sini?" "Aku ... Aku di suruh oleh bibi Bulan." "Nyonya Bulan menyuruhmu untuk mandi?" "Ya." "Untuk apa? Kau pasti sudah mandi ketika datang ke sini, kan?" "Be-belum." "Yasudah, sekarang kenapa kau keluar dari kamar nona Vega?" "Apa ada shower di kamar mandi Vega?" "Kenapa? Kau kan bisa mandi di bathtub." "Aku tidak suka berendam." "Seharusnya shower berada di dekat bathtub, kau tidak melihatnya?" "Ti-tidak." "Ayo ikut aku." Hehe lantas merapikan pakaian kotor yang berserakan dengan bantuan Nuansa. Setelah itu, mereka masuk ke dalam kamar Vega dan ke kamar mandinya. "Ini kan shower," ujar Hehe. "Oh, iya, hehehe, aku tidak melihatnya tadi." Hehe lalu menyalakan shower tersebut. "Ini masih sangat berfungsi, kau ingin mandi dengan shower?" "Ya." "Tapi kenapa bathtubnya sudah terisi?" "Terlanjur di isi, Bibi. Aku tiba-tiba berubah pikiran untuk mandi menggunakan shower saja." Hehe kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya sembari membuang napas panjangnya. "Jangan lupa kuras airnya nanti." "Baik, terima kasih, Bibi," ucap Nuansa. "Sama-sama. Aku keluar dulu." "Ok." Hehe lantas berjalan keluar, Nuansa pun menutup pintu kamar Vega usai Hehe keluar. "Aneh-aneh saja cara mandi mereka," gumam gadis itu setelah Hehe pergi. "Tadi bagaimana bibi Hehe membuat benda ini berfungsi dan mengeluarkan air?" "Begini?" Nuansa langsung berhasil menggunakan shower pada percobaan pertamanya, dan ketika ia mencoba mandi menggunakan shower, gadis tersebut langsung kegirangan. Ia bertingkah layaknya anak kecil, melompat-lompat tidak jelas karena sangat menikmati setiap pancuran air yang keluar. "Woohoo! Ini sangat menyenangkan!" seru Nuansa. *** Seusai mandi, Nuansa langsung berpakaian. Ia berniat untuk mengeringkan rambutnya menggunakan kipas angin, namun dirinya tidak menemukan kipas angin di kamar Vega. "Bagaimana ini? Rambutku akan terus basah sampai sore jika aku tidak mengeringkannya dengan kipas angin. Orang kaya memang aneh-aneh, mandi dengan bathup dan shower, kipas angin tidak punya, ada-ada saja," celoteh Nuansa. Secara tidak sengaja, ia menatap ke atas dan melihat AC. ''Aha,'' batin Nuansa. *** "Aku pulang," kata Vega ketika ia baru saja masuk ke dalam rumahnya. "Vega?" Bulan keluar dari ruang tamu. "Ibu? Ibu tidak bekerja?" tanya Vega. "Aku akan masuk sore nanti." "Kenapa? Dan bagaimana bisa?" "Nuansa ada di sini, kemarin ibu mengatakan padanya dan Neptunus kalau ibu akan mengosongkan jadwal ibu hari ini dalam beberapa jam untuk berbincang dengan Nuansa dan mengenalnya lebih jauh, tapi ada beberapa kejadian yang membuatnya sekarang berada di kamarmu." "Kamarku?" "Ya, periksa saja sendiri." "Ada apa memangnya?" "Dia akan menceritakannya padamu." "Baiklah." Vega pun lantas pergi ke kamarnya, dan di saat ia berjalan di lantai 2, ia melihat Hehe yang sudah selesai mencuci baju, namun Vega tidak peduli akan hal itu. Ia langsung masuk ke kamarnya yang ternyata tidak dikunci. Vega terkejut saat ia masuk ke dalam kamarnya, karena ia melihat Nuansa yang sedang berdiri persis di bawah AC. Nuansa berdiri di atas kursi rias Vega agar jaraknya dengan AC bisa jadi cukup dekat. Nuansa tampak sedang melakukan sesuatu dengan rambutnya, seolah ia sedang mengeringkan mahkotanya tersebut. "Kak Nuansa?" panggil Vega. "Vega? Oh, hei, aku pinjam kamarmu sebentar," ujar Nuansa dengan santainya. "Kau sedang apa?" "Kau tidak melihatnya? Aku sedang mengeringkan rambutku." "Mengeringkan rambut?" "Ya. Aku tidak menemukan kipas angin di kamarmu, jadi kugunakan AC karena AC memiliki fungsi yang sama dengan kipas angin, kan? Tapi kenapa rambutku tidak kering-kering, ya? Ketika aku memakai kipas angin untuk mengeringkan rambut, rambutku tidak butuh waktu lama untuk kering, tapi ini malah tetap basah dan malah menjadi dingin." "Astaga, hahahaha." Vega pun langsung tertawa geli mendengar penjelasan Nuansa. "Kenapa? Kau tidak sedang memanggil bibi Haha, kan?" "Tidak. Tapi aku menggunakan Hair Dryer untuk mengeringkan rambut, bukan AC." "Hair Dryer?" "Ya, alat itu memang berfungsi untuk mengeringkan rambut karena dia mengeluarkan udara panas." "Tapi, bagaimana dengan AC?" "Entahlah, aku belum pernah mencobanya, lagi pula AC itu kan mengeluarkan udara dingin yang bisa mencapai suhu dibawah lima derajat, jadi sepertinya AC tidak bisa membuat rambut basah menjadi kering," kata Vega seraya mengeluarkan Hair Dryernya. "Ya ampun," gumam Nuansa, gadis itu pun kemudian turun dan mengembalikan kursi rias Vega ke tempat semula. Vega lantas mengeringkan rambut Nuansa dengan Hair Dryer. "Mulai terasa kering, kan?" tanya Vega. "Ya," jawab Nuansa. "Apa yang terjadi? Kenapa kau sampai mandi di sini?" "Aku mengompol di celana, jadi bibi Bulan menyuruhku untuk mandi dan mengganti pakaianku dengan pakaianmu karena aku tidak membawa pakaian apapun." "Kau mengompol di celana?" "Engh, ya." ''Kenapa dia seperti tidak malu untuk menceritakannya?'' batin Vega. "Beberapa orang memang sulit menahan kencing, tapi sebaiknya jangan ditahan," ucap Vega. "Begitu ya." "Uh-hum." ''Neptunus! Gara-gara kau aku jadi terlihat sangat bodoh di hadapan keluargamu! Awas kau!'' batin Nuansa. "Baiklah, ini sudah cukup kering, sebaiknya jangan benar-benar kering karena rambut akan rusak," kata Vega. "Ok, terima kasih." "Sama-sama. Pakaianmu sudah dicuci?" "Belum." "Berikan pada bibi Hehe sana, dia sedang mencuci baju, lalu kembalilah ke sini." "Baiklah." Nuansa lalu mengikuti perkataan Vega, gadis itu langsung tahu di mana ruangan mencuci baju, tapi ia tidak mendapati siapapun di sana karena Hehe sudah selesai mencuci baju. "Aduh, bagaimana ini? Aku tidak mungkin memanggil bibi Hehe hanya karena aku tidak tahu cara mencuci baju dengan mesin cuci, dia kelihatannya sudah selesai mencuci. Kenapa tidak ada sikat baju saja di sini sehingga aku bisa mencuci bajuku sendiri?" gumam Nuansa. Chapter 19 - Mesin Cuci Vega pergi ke kamar mandinya untuk berganti pakaian, namun ia dikejutkan dengan bathtubnya yang masih penuh dengan air. ''Aku sudah mengurasnya tadi pagi, kan?'' batin Vega. ''Apa kak Nuansa memakai bathtub? Tapi kenapa dia tidak mengurasnya?'' *** Hehe kembali ke ruang mesin cuci dan melihat Nuansa yang sedang tertidur di dekat mesin-mesin tersebut. Hehe pun membangunkan gadis itu dengan maksud untuk menyuruhnya pindah tempat tidur. "Nuansa, Nuansa," panggil Hehe. "Hm?" Nuansa lantas terbangun, ia sedang mengumpulkan nyawanya. "Oh, bibi Hehe?" "Apa yang kau lakukan di sini? Kalau kau ingin tidur, bukan di sini tempatnya." "Hm? Aku tidak tidur, Bibi." Hehe pun menggeleng-gelengkan kepalanya saat mendengar hal itu. "Aku sedang mencuci baju menggunakan mesin, lihatlah." Nuansa lalu bangkit dan membuka tutup mesin pencuci baju. "Huh?" Hehe dibuat terheran-heran oleh Nuansa karena tabung tersebut hanya berisi pakaian Nuansa yang direndam menggunakan air yang tampaknya sudah ditaruh deterjen. "Ini sudah selesai, kan?" tanya Nuansa. "K-kau sedang mencuci baju?" Hehe memastikannya sekali lagi. "Ya, aku memasukkan air, lalu deterjen, lalu pakaiannya dan terakhir aku menutupnya, kutunggu sampai sepuluh menit, langsung bersih." "Kau menyambungkan mesin ini dengan listrik?" "Listrik?" "Ya, ada kabel kendali yang harus disambungkan ke listrik." "Eh?" "Lalu ... Apa kau memutar ini?" "Apa itu?" "Ini adalah program pencucian, kalau kau memutarnya ke arah ''buang'', maka air yang ada di dalam tabung pencucian akan terbuang, kalau kau memutarnya ke arah satu lagi, airnya tidak akan terbuang. Yang ini adalah yang mengatur berapa menit cucianmu akan diputar-putar di dalam tabung ini, dan ini juga yang akan membuat mesinnya berfungsi." "Engh, tidak. Aku hanya memasukkan air, lalu deterjen dan pakaianku, kemudian aku tutup dan kutunggu selama sepuluh menit. Kupikir setelah sepuluh menit cucianku akan berada di tabung pengering ini secara otomatis, dan aku hanya perlu menjemurnya. Tapi ternyata tidak seotomatis itu, ya?" "Hmm, hal pertama yang harus kau lakukan adalah menyambungkannya dengan listrik dulu," ucap Hehe sambil jongkok, ia lantas menghubungkan kabel mesin cuci tersebut ke aliran listrik. "Lalu putar kedua tombol ini," ujar Nuansa sesaat setelah Hehe menyambungkan mesin cuci itu dengan listrik. "Hei! Jangan!" teriak Hehe, namun ia terlambat, Nuansa sudah menyalakan mesin cuci tersebut dengan waktu mencuci 3 menit. "Kenapa?" tanya Nuansa. "Kau tidak boleh mencuci menggunakan mesin cuci jika pakaian yang akan kau cuci hanya empat! Tidak boleh terlalu sedikit! Itu berbahaya!" "Tapi kupikir setelah bibi menghubungkannya dengan listrik-" "Aku hanya memberi contoh langkah awalnya!" "Astaga! Apa yang akan terjadi jika yang dicuci hanya satu baju, satu celana, satu celana dalam dan satu BH?!" "Mesinnya akan bergetar hebat! Itu tidak sesuai dengan kapasitas seharusnya!" Dan benar saja yang dikatakan oleh Hehe barusan, mesin cuci tersebut bergetar hebat karena 4 jenis pakaian sama saja dengan menggunakannya tanpa isi. "Cabut, bibi! Cabut kabelnya!" perintah Nuansa yang panik. "Hei! Sembarangan saja! Aku tidak mau mengambil resiko yang lebih besar!" ucap Hehe. "Lalu bagaimana ini?!" "Tahan mesin cucinya!" "Apa ini akan meledak, bibi?!" "Entahlah! Ini hanya tiga menit! Ayo bantu aku menahan mesin cuci ini agar tidak bergerak ke mana-mana!" Nuansa dan Hehe kemudian memegangi mesin cuci itu agar getarannya tidak membuatnya jadi berpindah tempat. Setelah 3 menit dibuat spot jantung, Nuansa dan Hehe akhirnya bisa bernapas dengan lega karena waktu pencuciannya selesai. Hehe lalu memeriksa apa ada bagian mesin yang rusak, tapi ternyata tidak ada. "Kau beruntung karena mesin ini masih baik-baik saja." "Itu sangat mengerikan, aku tidak akan pernah mencuci dengan mesin lagi," ujar Nuansa. "Tidak apa-apa jika kau mencuci dalam kapasitas yang seharusnya. Jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit pula. Jika kau menaruh terlalu banyak pakaian, maka hasil cuciannya tidak akan bersih dan kerja mesinnya akan berat, tapi jika kau menaruh terlalu sedikit pakaian, mesinnya seolah menyala tanpa isi di tabung pencuciannya, jadinya dia bergetar hebat seperti tadi." "Merepotkan sekali, memang jauh lebih aman jika mencuci dengan tangan saja." "Hah, terserah kau saja. Kenapa kau tidak memberi pakaianmu padaku saja tadi? Biar sekali kucuci." "Aku tidak tahu jika bibi sedang mencuci baju tadi, aku malah mengetahuinya dari Vega tadi. Sebenarnya tadi aku tidak ingin menggunakan mesin cuci untuk mencuci pakaianku yang hanya segini, tapi aku tidak menemukan sikat baju di sini, yasudah kugunakan mesin ini, dan aku tidak tahu aturan-aturan merepotkannya." Hehe lantas hanya menggeleng-gelengkan. Ia lalu membuang air di dalam tabung pencucian. Melihat air di tabung itu sudah habis, Nuansa pun dengan cepat mengambil pakaiannya dan memindahkannya ke tabung pengering. "Eh, eh. Apa yang kau lakukan?" tanya Hehe. "Tentu saja mengeringkannya agar aku bisa langsung melipatnya," jawab Nuansa. "Kau pikir tabung itu akan benar-benar membuatnya kering?" "Namanya saja tabung pengering, bibi." "Itu hanya akan memeras pakaianmu sampai benar-benar tidak air yang menetes, kau tetap harus menjemurnya karena pakaianmu akan tetap basah. Lagi pula kalau kau menaruh BHmu disitu, BHmu hanya akan menjadi rusak nanti." "Loh? Kalau begitu, ini namanya pembohongan publik. Mereka menamai tabung ini dengan nama tabung pengering, tapi tabung ini tidak benar-benar mengeringkan pakaian!" "Ahhh, terserah kau saja. Sini, biar aku yang memeras pakaianmu." "Tidak usah, bibi, biar aku saja." "Nuansa, jangan keras kepala." "Bibi, jangan keras kepala." "Baiklah, terserah kau saja." "Hehe-" "Tidak sopan!" "Aku belum selesai berbicara, bibi, lagi pula aku hanya tertawa kecil." "O-oh." "Terima kasih untuk semuanya ya, bibi, aku belajar banyak hal hari ini, dan rata-rata semuanya dari bibi Hehe." "Sama-sama, senang bisa mengajarimu hal yang kubisa." "Jemurannya di mana ya?" "Di atas." "Masih ada lantai tiga?" "Tidak ada. Atas yang kumaksud adalah atap, kami menjemur di atap." "Atap?" "Ya." "Ok, baiklah." "Tangganya ada di sana." "Siap." "Aku akan melanjutkan pekerjaanku yang lain." Nuansa kemudian memberikan simbol OK di jari-jarinya pada Hehe. Hehe lantas turun ke lantai 1 dan meninggalkan Nuansa. Chapter 20 - Keren Di kamarnya, Vega sedang mengerjakan sebuah tugas sekolah. Itu adalah pelajaran Matematika yang susah dan sangat dibencinya, jadi gadis itu sedang berpikir keras sekarang. Nuansa lalu kembali ke kamar Vega, setelah sebelumnya ia sudah lebih dulu mengetuk pintu kamar adik Neptunus tersebut. "Sudah selesai mencucinya?" tanya Vega. "Sudah," jawab Nuansa. "Kau sedang apa?" sambung gadis itu. "Mengerjakan tugas, ini sangat sulit, aku benci Matematika." "Coba kulihat." Nuansa lantas melihat tugas yang harus dikerjakan oleh Vega, ia sama sekali tidak mengerti dengan soal-soal itu. "Susah, kan?" tanya Vega. "Hmm, ini benar-benar susah bagiku karena terakhir kali belajar Matematika, kurasa materi yang diberikan padaku adalah tentang persen." "Persen? Bukankah itu materi anak SD kelas enam?" "Iya kah?" "Bukannya kau berhenti sekolah saat SMP?" "Ya, tapi aku lupa materi apa yang terakhir kali kupelajari tentang Matematika. Bisakah kau menjelaskan rumus-rumus pelajaran ini padaku? Siapa tahu aku bisa membantumu setelah aku tahu cara mencari hasilnya." "Tentu saja, aku mencatatnya di buku lain, sebentar." Vega lalu mengeluarkan buku catatannya dan memberikannya pada Nuansa. Nuansa pun lantas mempelajari rumus-rumus tersebut dengan sungguh-sungguh. *** Hehe pergi ke dapur untuk minum, ia merasa haus setelah mencuci baju tadi, apa lagi tenaganya terkuras banyak saat harus menahan mesin cuci yang bergetar hebat karena ulah Nuansa tadi. Di dapur, ia mendapati Hihi yang sedang mencuci tangannya. Hehe duduk di sebuah kursi, Hihi yang kemudian berbalik badan terkejut setengah mati saat melihat adiknya tiba-tiba berada di dapur. "EEH!" teriak Hihi sambil melompat ke belakang dengan kedua tangan yang terangkat sejajar dengan telinganya. "Terkejut! Hei! Kenapa kau tiba-tiba berada di sini?!" sewot Hihi. "Dapur ini kan bukan milikmu, jadi boleh saja aku berada di sini," ucap Hehe. "Maksudku, setidaknya beri aku tanda yang memberitahu bahwa kau ada di sini, jangan diam-diam begitu! Aku jadi terkejut!" "Iya, iya, lain kali aku akan memberi salam jika ingin masuk ke dapur." Hihi lantas memutar kedua bola matanya. "Ada minum tidak?" tanya Hehe. "Di depan matamu ada teko, isinya teh," ujar Hihi seraya menunjuk sebuah teko yang berada di atas meja yang letaknya benar-benar di depan Hehe. "Oh, iya, hehehe." Hehe langsung saja mengambil gelas dan menuang teh tersebut ke gelasnya, lalu meminumnya hingga habis hanya dalam waktu 5 detik. "Kau terlihat haus sekali, ada apa?" tanya Hihi yang penasaran. "Nuansa membuat punggungku lelah, tenggorokanku ikutan kering karenanya." "Apa yang gadis itu lakukan padamu?" Hehe kemudian menceritakan tentang kejadian itu pada kakaknya tersebut. Hihi lantas tertawa ketika Hehe selesai bercerita. "Jangan tertawa kau, ini memang benar-benar melelahkan, aku bersumpah kau akan mengalaminya juga nanti," protes Hehe. "Hahaha, baiklah, baiklah, aku tidak akan tertawa lagi, tapi itu benar-benar lucu." "Aku tidak mengerti dengannya." "Sudah, sudah, kau harus memakluminya. Tapi dia gadis yang baik, kan?" "Ya, dia baik, aku suka padanya, dia sopan, tidak banyak tingkah, dia alami dan tidak berusaha mendapatkan perhatian Nyonya Bulan." "Kenapa dia harus mendapatkan perhatian Nyonya Bulan?" "Secara kehidupan, Tuan Neptunus berada jauh di atasnya, maksudku, gadis itu tidak bermanis-manis di hadapan Nyonya Bulan untuk membuat Nyonya Bulan menyukainya dan merestui hubungannya dengan Tuan Neptunus." "Memang itu yang membuat Nyonya Bulan menyukainya, kan?" "Ya, kurasa gadis itu pantas mendapatkan Tuan Neptunus, mereka adalah pasangan yang tepat untuk saling menutupi kekurangan masing-masing." "Itu artinya tidak lama lagi Tuan Neptunus akan menikah dan membangun keluarganya sendiri, sementara aku belum bisa melupakan kelucuannya saat dia masih kecil, aku masih selalu terbawa suasana itu." "Hahaha, sulit memang untuk percaya bahwa dia sekarang sudah berusia 23 tahun." Hihi kemudian tertawa kecil. *** Vega akhirnya selesai mengerjakan tugasnya dengan bantuan Nuansa yang sangat membantunya. Nuansa dengan cepat memahami pelajaran itu dan tidak mengalami kesulitan sama sekali dalam membantu Vega untuk menemukan jawaban yang benar dari soal-soalnya. "Terima kasih, kak Nuansa. Kau sangat pintar, kau bisa mempelajari dan membantuku mengerjakannya hanya dalam waktu 20 menit saja, aku bahkan butuh waktu tiga bulan untuk memahami pelajaran ini, dan itu tiga bulan belum benar-benar membuatku bisa mengerjakan tugas dari pelajaran ini," kata Vega. "Mudah saja jika kau membuang rasa bencimu pada Matematika. Aku pun sangat membenci Matematika, tapi untuk kondisi di mana aku harus mengerjakan soal-soal yang sangat sulit seperti ini, aku tidak akan berpikir hal-hal yang negatif tentang Matematika, aku mengatur pikiranku untuk memaksaku menyukai pelajaran ini, sehingga aku bisa mengerjakannya dengan sepenuh hati dan bisa mengerjakannya dengan mudah," ucap Nuansa. "Wah, keren sekali tipsmu." "Ya, dan aku merasa pusing sekarang," ujar Nuansa sambil membaringkan tubuhnya di ranjang Vega. "Engh, hei, bagaimana dengan gurumu?" tanya Nuansa tiba-tiba. "Guruku?" Vega merasa heran. "Ya, yang hilang itu." "Oh, dia sudah ketemu." "Itu artinya paman Eugene sudah pulang untuk mencarinya?" "Paman Eugene?" "Ya." "Tidak, dia belum pulang." "Kau mengatakan pada Neptunus kalau kau akan menyerahkan hal itu pada paman Eugene, kan?" "Waktu itu maksudku adalah untuk memintanya membantuku." "Membantumu?" "Ya, aku yang melacak keberadaan guru cerewetku itu." "Kau?" "Ya, kenapa?" "Tidak, aku hanya bingung. Bagaimana?" "Aku suka untuk menjadi Detektif seperti paman Eugene, aku sangat kagum padanya, jadi aku meminta ilmu tentang cara melacak padanya." "Woah, kau juga mengaguminya, ya?" "Tentu saja, dia adalah guruku dalam hal melacak, aku sudah sering berhasil untuk mengungkap hal yang masih menjadi misteri atau pun melacak sesuatu yang hilang, tapi biasanya aku akan berkonsultasi dulu ke paman Eugene, kami sering melakukan video call." "Dan kau menemukan gurumu yang diculik itu?" "Tentu saja, tapi ternyata dia hanya tersasar, bukan diculik." "Tersasar?" "Ya, dia baru saja pindah ke rumah barunya, tapi dia belum hafal dengan daerah-daerah di lingkungan tempatnya tinggal, jadilah dia tersasar sampai 70 kilometer jauhnya dari rumahnya." "Astaga." "Sangat menggelikan, bukan?" "Ya. Tapi aku lebih fokus ke kau, kau berhasil menemukannya berkat bantuan paman Eugene yang hanya memandumu dari video call?" "Ya." "Wow, hebat. Kalau begitu aku juga ingin diajari oleh paman Eugene seperti kau." "Maka tunggulah dia pulang." "Aku jadi tidak sabar. Sejak kapan kau belajar padanya?" "Sejak dia mulai dekat dengan ibuku, dia sangat baik dalam mengajar hal-hal seperti itu." "Muridnya hanya kau?" "Ya. Kau juga suka melacak dan mengungkap misteri, ya?" "Bukan lagi, aku bahkan sempat bercita-cita untuk menjadi seorang Detektif." "Well, aku sih hanya sekedar hobi dan untuk mencari ilmu tambahan." "Tapi kau sangat keren bisa melacak jejak gurumu yang tersasar sangat jauh." "Berterima kasihlah pada paman Eugene." "Keren, keren." Nuansa tidak berhenti mengagumi Eugene yang belum dikenalnya, ia langsung berandai-andai bagaimana Eugene itu, bagaimana rupa dan karakternya yang sebenar-benarnya. ''Ini akan menjadi pengalaman yang luar biasa bagiku, tidak apalah jika Neptunus menyebalkan, setidaknya paman Eugene sangat mengagumkan,'' batin Nuansa. Chapter 21 - Kacau Nuansa, Bulan dan Vega tengah asyik mengobrol di ruang tamu ditemani oleh beberapa makanan ringan. Mereka sangat akrab untuk orang yang belum lama kenal. Sementara itu Neptunus akhirnya pulang dan menyuruh Nuansa untuk bersiap-siap selama dirinya membersihkan badan, namun Nuansa sudah siap sejak beberapa menit yang lalu, jadi tidak ada masalah, gadis itu hanya perlu menunggu Neptunus. Neptunus hanya butuh 5 menit untuk mandi dan berpakaian, ia lantas kembali lagi ke ruang tamu untuk mengajak Nuansa pergi, hal ini tentu saja membuat ibu, adik dan pacar sewaannya karena waktu yang dibutuhkannya untuk mandi dan berpakaian benar-benar hanya 5 menit. "Ayo." Neptunus mengajak Nuansa. "Huh? Sudah selesai? Cepat sekali," ujar Nuansa. "Bagaimana caramu mandi? Kurasa tidak sampai lima menit yang lalu kau baru pulang," ucap Bulan. "Mandi mandi asal siram saja, tidak perlu sampai lama-lama karena aku sudah mandi sebelum pergi kuliah tadi," kata Neptunus. "Engh, baiklah, bibi, Vega, aku permisi dulu ya." Nuansa berpamitan. "Kalian hati-hati di jalan, ya, kalian akan pergi menghadiri acara pesta ulang tahun Emma, kan?" tanya Bulan. "Ya," jawab Neptunus. "Aku harap tidak ada yang aneh-aneh di pesta itu." "Apa maksud ibu?" "Kau tahulah bagaimana Emma itu, ibu khawatir kalau pesta yang dibuatnya justru seperti sebuah klub." "Kupikir itu tidak masalah, yang hadir semuanya sudah lebih dari 21 tahun, kecuali Nuansa yang tepat 21 tahun." "Tapi yang seperti itu tetap tidak baik, nak." "Kami tahu batasan kami, ibu." "Huft, terserah kau saja." "Ayo, Nuansa," ajak Neptunus. "Ada apa sebenarnya? Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan," bisik Nuansa pada Neptunus. "Ssssht, kepo," ujar Neptunus, Nuansa pun kemudian hanya bisa mendengus. *** Dalam perjalanan menuju mall untuk membeli gaun bagi Nuansa, Neptunus dan Nuansa tidak lupa mengobrol di mobil. "Jadi, seperti yang kau tahu, nama temanku ini adalah Emma, aku kurang menyukai karena dia banyak tingkah dan ''lasak'' sebagai perempuan. Dia juga punya beberapa teman yang memiliki sifat yang sama dengannya, tapi dialah yang terparah menurutku, dia seperti kegatalan, entahlah, aku pun bingung bahasa apa yang cocok untuk menjelaskan sosoknya," ucap Neptunus. "Mungkin maksudmu memuakkan?" ujar Nuansa. "Bisa dibilang begitu, dia sombong karena dia adalah anak orang kaya, dia memaksa satu kampus datang ke acara pesta ulang tahunnya." "Di mana dia mengadakan pesta itu?" "Di rumahnya." "Apa itu tidak akan menganggu kenyamanan penghuni rumah lain atau lingkungan tempatnya tinggal?" "Tidak, seluruh anggota keluarganya sedang berada di Kanada untuk bisnis, dan rumah Emma tidak memiliki tetangga karena kemegahannya membuat rumah itu menghabiskan tanah yang sangat luas sampai rumah yang bisa berada di daerah itu hanya satu rumah." "Wow, itu mengesankan." "Tunggu sampai kau melihat Emma, kau pasti langsung jijik padanya." "Lalu kenapa kau mau datang?" "Sudah kubilang dia memaksa kami semua untuk datang bersama siapa saja, kau tidak tahu bagaimana dia kalau memaksa, hidup kita bisa dibuatnya menjadi tidak tenang karena paksaannya yang tidak ada hentinya." Nuansa lalu hanya bisa menelan ludahnya. "Jangan khawatir, kau tidak akan kenapa-kenapa di pesta itu, aku jamin," kata Neptunus, tampaknya ia paham dengan Nuansa yang takut dirinya ditindas nanti. "Tapi aku hanyalah orang miskin, dia pasti akan mengusirku jika dia tahu bagaimana kehidupanku." "Itulah kenapa aku ada bersamamu, jangan malu dan jangan takut, hanya orang kaya norak yang suka menindas orang karena kekayaan mereka." Nuansa tersenyum mendekat ucapan Neptunus barusan, syukurlah walaupun dia menyebalkan, tapi hatinya baik, pikir Nuansa. Keduanya akhirnya sampai di mall yang juga menjadi tempat Neptunus mereset ponselnya yang ia berikan pada Nuansa. "Kita akan mengambil ponselmu dulu, ya," kata Neptunus. "Terserah, aku ikut kau saja." "Baiklah." Neptunus dan Nuansa lalu masuk ke dalam mall tersebut dan pergi ke sebuah pusat perbaikan gadget yang sangat ramai. Nuansa membiarkan Neptunus yang mengurus semuanya karena ia tidak mengerti apapun. "Ini." Neptunus memberikan ponsel yang sudah seperti baru lagi itu kepada Nuansa. "Sudah ada kartu simnya, bahkan pulsanya juga sudah terisi, kau hanya tinggal memakainya saja," sambung Neptunus. "Terima kasih," ujar Nuansa. "Sama-sama. Sekarang, ayo kita pergi mencari gaun dan sepatu untukmu." Nuansa lantas hanya mengangguk dan berjalan mengikuti Neptunus. Mereka berdua lalu naik ke lantai 2 dan di sanalah toko bajunya berada. Toko itu cukup besar dan ramai, khusus untuk menjual pakaian wanita, jadi pengunjungnya kebanyakan wanita, walaupun ada beberapa yang berbelanja di sana bersama suami, pacar atau atau pun anaknya. "Bisakah kau pergi saja? Di sini kebanyakan wanita, aku jadi tidak enak jika kau menemaniku berbelanja," bisik Nuansa pada Neptunus. "Loh? Kenapa memangnya? Itu ada yang ditemani suami dan anaknya, yang itu ditemani pasangannya tapi tidak tahu ya pacaran atau sudah menikah, intinya kau tidak perlu merasa tidak enak, aku bukan laki-laki sendiri di sini," kata Neptunus. "Tapi kau harus berjanji kalau kau harus bertingkah normal ya." "Kapan aku menjadi tidak normal?" "Grrh, sudahlah." Nuansa menjadi khawatir kalau Neptunus akan membuat kekacauan karena ia melihat ada beberapa pakaian dalam di sana. Gadis itu kemudian memutuskan untuk masuk sendirian ke dalam toko tersebut dan memilih pakaiannya sendiri. Neptunus menyusulnya di belakang, namun akhirnya mereka berpisah. Nuansa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memilih-milih pakaian yang cocok untuknya, ia tidak mau memakai gaun yang ribet, jadi gadis itu pun memilih sebuah dress merah yang sangat cantik, namun dengan harga yang terjangkau. Saat akan membayarnya di kasir, Nuansa baru sadar kalau dirinya kehilangan Neptunus yang seharusnya membayar dress itu, karena gadis itu pun tidak membawa uang. "Sebentar ya," ucap Nuansa pada kasirnya, ia lantas berkeliling di toko itu dan mencari Neptunus. Nuansa akhirnya menemukan Neptunus yang sedang bermain dengan seorang anak kecil laki-laki yang lepas dari pengawasan orangtuanya. Bukannya mengajak anak itu bermain hal yang positif atau mencari orangtuanya, Neptunus malah membuat anak tersebut tertawa dengan BH yang dipakainya di matanya. Sontak saja Nuansa menjadi sangat malu karena Neptunus menjadi pusat perhatian para pengunjung tersebut dengan ulahnya. "Apa yang kau lakukan?" tanya Nuansa dengan nada yang pelan namun menggeram, ia juga mencubit pantat Neptunus yang tentu saja membuat Neptunus mengaduh kesakitan, hal ini juga semakin menambah kegelian anak kecil tersebut. "Hei! Apa-apaan kau!" protes Neptunus. "Kau memalukanku." "Aku hanya menghibur anak ini, dia terlihat sangat sedih karena terpisah dari orangtuanya." "Tapi jangan begitu juga menghiburnya!" "Well, aku tidak kepikiran cara lain, ini darurat." Nuansa benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Neptunus, ia sangat malu dengan hal ini dan kesal karena Neptunus bersikap seolah dia tidak bersalah dan malah mengembalikan BH tersebut. ''Kacau, kacau!'' batin Nuansa. Chapter 22 - Aneh Neptunus sedang menunggu Nuansa di make up sekarang, kebetulan sebuah brand make up sedang mengadakan diskon besar-besaran dan menawarkan make up profesional secara gratis di mall tersebut, tapi syaratnya Nuansa harus memborong semua produk make up brand itu agar dapat diskon besar-besarannya dan jasa make up profesional gratis. Nuansa awalnya sempat ingin berpikir dua kali karena jika ia membeli semua produk make upnya, ia bisa menghabiskan separuh gajinya perhari dari Neptunus, namun Neptunus tanpa ragu menyetujui syarat itu dan menanggung semua biayanya demi membuat Nuansa tampil dengan suasana pesta. Setelah kejadian memalukan di toko pakaian wanita tadi, keduanya memang tidak langsung pergi dari mall tersebut, melainkan mencari sepatu untuk Nuansa dulu dan tidak sengaja melihat promo brand make up itu, jadi langsung saja Neptunus mengajak Nuansa ke sana. Pria itu sudah menunggu selama lebih dari 20 menit sekarang, 4 cone ice cream sudah dihabiskannya selama menunggu Nuansa di make up, tetapi gadis itu belum selesai juga. Neptunus kemudian memutuskan untuk masuk ke dalam setelah puluhan menit duduk di bangku yang ada di luar. Ketika masuk, Neptunus berpapasan dengan Nuansa yang baru saja selesai di make over. Gadis itu menggunakan dress merah dan high heelsnya sekarang dengan paduan make up yang sangat apik, membuat Neptunus benar-benar terpukau dengannya. Nuansa menggerai rambutnya dan merasa agak kesulitan berjalan menggunakan high heels. "Wow, kau terlihat cantik," puji Neptunus. "Lihat, kan? Kau ngotot menyuruhku untuk membeli gaun tadi, tapi sekarang kau memujiku, itu artinya kau suka dengan dress ini," ucap Nuansa. "Ya, itu sangat cocok denganmu. Kau tahu? Aku sempat berpikir kalau aku tidak akan membayar semuanya karena aku merasa benar-benar rugi, tapi melihat hasilnya, rasanya aku akan menyesal jika tidak membayar semua biaya yang kau perlukan untuk menjadi seperti ini." "Terima kasih untuk sang master make up ini, dia membantu dalam banyak hal." "Ya, kau benar." "Berhenti menatapku!" protes Nuansa, ia merasa risih sebab Neptunus tidak mengalihkan pandangannya darinya. "Maaf, tapi kau benar-benar terlihat cantik," ujar Neptunus. "Hei, kau terlihat lebih normal sekarang maksudku, syukurlah ini membuat pikiranmu menjadi lebih jernih." "Aku suka kau dengan baju ketat seperti itu." "HUH?!" Nuansa langsung berkaca untuk memeriksa seberapa ketat dress tersebut yang memang membuat bentuk dada dan bokongnya terlihat cukup jelas. "Jangan berani-berani kau!" lanjut Nuansa. "Hahaha, tidak, aku hanya bercanda, aku tidak memikirkan hal itu," ucap Neptunus, ia kemudian menyelesaikan pembayaran untuk make up Nuansa kepada pihak brand make up itu. *** Neptunus dan Nuansa sedang dalam perjalanan menuju rumah Emma sekarang. Jalanan cukup macet, jadi keduanya bisa memiliki waktu untuk mengobrol. "Berapa harga semua ini?" tanya Nuansa. "Sebagai pria gentle, aku akan mengatakan padamu kalau kau tidak perlu menggantikannya," kata Neptunus. "Aku hanya bertanya, bukan berniat untuk menggantikan uangmu yang keluar untuk membuatku menjadi seperti ini sekarang." "Tidak, tidak, kau tidak perlu mengetahuinya." "Kenapa?" "Biarlah itu jadi urusan lelaki." "Halah." "Hei, aku serius." "Benarkah? Kalau begitu jangan potong gajiku, ya?" "Oh, tentu saja." "Ok, baiklah." ''Andai dia tahu kalau hari ini aku menghabiskan 12 juta hanya untuknya,'' batin Neptunus. "Ada hal yang ingin kuceritakan padamu tentangku, tentang Emma dan beberapa hal lainnya," ucap Neptunus. "Mh-m, apa itu?" tanya Nuansa. "Pertama, kau perlu tahu kalau hanya para mantanku dan kau yang tahu bagaimana aku sebenarnya, selebihnya tidak, jadi di hadapan orang lain termasuk keluargaku, bersikaplah seperti mereka." "Apa maksudmu?" "Orang lain tahunya aku itu anak baik, cool, tidak banyak tingkah, walaupun cukup ramah dan tidak irit berbicara. Aku juga pintar, aku tidak sedang memuji diriku sendiri ngomong-ngomong, dan aku adalah mahasiswa idola di kampusku." "Jadi kau penuh kepalsuan di hadapan orang lain?" "Terdengar seperti itu ya?" "100% iya." "Kupikir tidak, aku hanya berusaha membuat orang lain nyaman denganku." "Lalu bagaimana denganku dan para mantan pacarmu?" "Oh, aku berperilaku bagaimana aku sebenarnya untuk mereka untuk mengetahui apa mereka tetap mau denganku dengan sifat asliku yang kurasa bisa dikatakan menjengkelkan." "Aku pikir orang-orang tidak peduli kau bagaimana, maksudku, kau itu kaya, kau tahulah kalau kebanyakan orang dihormati dengan seberapa banyak harta yang dimilikinya." "Yah, kau benar, tapi aku tidak berpikir seperti itu karena aku merasa bahwa aku ini sebenarnya tidak punya harta, itu semua milik orangtuaku." "Jadi, pada dasarnya kau takut dijauhi sehingga kau bersikap sesempurna mungkin?" "Ya." "Itu sangat aneh, sangat konyol kalau kau bersikap begitu hanya karena merasa kalau semua harta yang kau miliki sekarang adalah bukan milikmu. Lagi pula di dunia ini harta bukan yang nomor satu, jadi kau tetap bisa dicintai walaupun kau merasa kalau kau tidak punya apa-apa, setidaknya seperti aku, aku masih punya orangtua yang mencintaku tanpa memandang seberapa banyak hartaku. Kau hanya takut ditinggal." "Aku rasa bukan seperti itu, tepatnya-, ah, lupakan saja." "Hm?" "Engh, keluarga Emma sedang pergi ke Los Angeles untuk urusan bisnis, ulang tahunnya sekarang hanya bisa ditemani oleh para pembantu dan teman-temannya." "Kenapa Emma tidak ikut ke Los Angeles?" "Dia kan kuliah, saudara-saudaranya bersekolah di sana." "Ooh, pantas saja." "Aku peringatkan padamu kalau suasana pestanya akan berisik karena Emma menyewa seorang DJ, tapi tenang saja karena letak rumahnya lumayan jauh dari keramaian, jarak rumah Emma ke rumah tetangga terdekatnya itu 300 meter, jadi, ya, cukup jauh." "Ok, baiklah." "Emma ini sangat menyukaiku, tapi aku tidak menyukainya karena dia bukan gadis baik-baik, aku yang di hadapan orang lain terlihat tidak pernah peka akan perasaan Emma padaku, padahal aslinya aku tahu persis bagaimana dia sangat ingin memilikiku. Dia selalu memusuhi para gadis yang pernah berpacaran denganku." "Kau sangat penuh dengan kepalsuan, ya? Aku masih tidak mengerti kenapa." "Sebaiknya kau tidak pernah mengerti." "Kenapa?" "Mhm, tidak, lupakan saja." "Lalu bagaimana dengan keluargamu? Maksudku, mereka seharusnya tahu kalau Neptunus seharusnya tidak seperti yang mereka lihat sekarang." "Aku sejak kecil itu begini, yang kau ketahui. Di hadapan keluargaku, aku biasa saja, seperti aku tidak terlalu menunjukkan bagaimana aku sebenarnya, dan tidak menunjukkan bagaimana aku berakting. Lagi pula mereka bisa menganggap aku berubah seiring bertambahnya usiaku, kan?" "Ok, aku benar-benar tidak mengerti dan malah pusing sekarang." "Hahaha, sebaiknya kita tidak bicarakan ini." "Ya, aku setuju." ''Tapi kenapa dia ingin terlihat sempurna? Kenapa dia berpura-pura? Ada apa sebenarnya? Ini aneh bagiku, baru ini kutemukan orang yang sangat niat untuk menggandakan kepribadiannya,'' batin Nuansa. ''Dia tidak sakit jiwa, kan?'' pikir gadis itu. ''Astaga, apa yang kupikirkan?'' Chapter 23 - Alkohol Neptunus dan Nuansa akhirnya sampai di rumah Emma pada malam hari karena jalanan benar-benar macet tadi. Halaman rumah Emma yang luas dipenuhi oleh mobil-mobil dan moge-moge. Neptunus dan Nuansa lantas keluar dari dalam mobil. "Mendung," ucap Nuansa seraya melihat ke langit. "Padahal ini sudah malam, tapi kau tahu ini mendung?" ujar Neptunus. "Tentu saja, bulan dan bintangnya tidak kelihatan." "Hmm, begitu, ya?" "Ngomong-ngomong, apa tidak masalah jika kita langsung masuk? Maksudku, tidak ada satpam di sini." "Kau tidak lihat? Rumah ini berada di sebuah komplek besar, satpamnya berada di pintu masuk sana tadi." "Jadi rumah ini tidak perlu satpam lagi?" "Kenapa kau terlihat sangat khawatir?" "Kita masuk seenaknya saja tadi, seperti etika bertamu itu tidak ada." "Hei, kita sedang diundang dalam sebuah pesta, bukan bertamu." "Tapi itu sama saja, kan?" "Sudah, kau tenang saja, semua yang datang ke sini sekarang juga tidak melakukan permisi sebelum masuk, lagi pula harus permisi dengan siapa? Orang-orang di dalam semua, jarak satu rumah ke rumah lain ratusan meter." "Hmm, baiklah. Tapi aku masih bingung, aku harus bersikap bagaimana padamu di hadapan mereka?" "Bersikap santai saja, jangan mengejekku, bersikaplah seperti kau adalah orang tersantai di dunia karena merasa biasa saja setelah mendapatkan hati seorang pria yang digilai para gadis." "Ok, itu cukup mudah walaupun terdengar sulit." "Kau juga harus tenang, sifatmu adalah tenang." "Hei, aku tidak mau berpura-pura." "Ah, terserah kau saja, tapi untukku, di hadapan mereka, kau harus melakukan apa yang kukatakan tadi." "Ok, kau tenang saja." "Bagus," kata Neptunus sambil mengajak Nuansa untuk bergandengan tangan. "Bisa kita masuk sekarang?" ujar Nuansa yang tidak mengerti kode dari Neptunus. ''Selalu seperti ini. Kenapa dia tidak mengerti cara pasangan romantis berjalan?'' batin Neptunus. Baru saja Neptunus akan menjawab Nuansa, namun tiba-tiba sebuah musik EDM dimainkan dengan sangat keras, pertanda pestanya telah dimulai. "Pestanya telah dimulai, ayo kita masuk!" seru Neptunus. "HAH?!" teriak Nuansa, musiknya terlalu berisik sampai ia tidak bisa mendengar seruan Neptunus. "AYO KITA MASUK!" Neptunus mengulangi seruannya. "OK. KENAPA MUSIKNYA KERAS SEKALI?! APA INI TIDAK MENGGANGGU KENYAMANAN PENDUDUK DI KOMPLEK INI?!" "HAH?!" "KENAPA MUSIKNYA KERAS SEKALI?! APA INI TIDAK MENGGANGGU KENYAMANAN PENDUDUK DI KOMPLEK INI?!" "HAH?! APA YANG KAU KATAKAN?! AKU TIDAK DENGAR!" "HAH?!" "APA?!" "HAH?!" "HAH?!" "AKU TIDAK DENGAR! APA YANG KAU KATAKAN?!" Musiknya semakin keras. "APA?!" Keduanya akhirnya memutuskan untuk menutup telinga mereka karena musik yang kelewat keras itu. Beberapa detik kemudian musiknya mulai pada volume yang normal, Neptunus dan Nuansa pun melepaskan tangan mereka dari telinga masing-masing. "Fyuh. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa musiknya keras sekali?" ucap Nuansa. "Sepertinya ada kesalahan pada volumenya," kata Neptunus. "Hm, mungkin saja, mengingat itu sangat keras tadi." "Baiklah, ayo kita masuk." Malas merasa kesal lagi karena Nuansa tidak peka, Neptunus akhirnya meraih tangan gadis itu dan menggandengnya, membuat dua sisi pipi Nuansa memerah merona karena baru ini ia menggenggam tangan Neptunus yang berotot. Neptunus pun tiba-tiba merasa malu-malu kucing dengan alasan yang tidak jelas. Keduanya berjalan perlahan menuju pintu dengan saling memalingkan wajah. "Eeeh, kau langsung bisa berjalan menggunakan high heels?" tanya Neptunus yang mencairkan suasana antara dirinya dan Nuansa setelah keduanya tiba-tiba menjadi M3, malu-malu monyet. "Oh, ya? Aku pun baru sadar," ujar Nuansa yang entah kenapa jadi kaku. Gadis itu tiba-tiba berhenti dan mengendus-endus tidak jelas. "Tunggu, bau apa ini?" tanya Nuansa. Neptunus lantas ikut-ikutan mengendus agar bisa menjawab Nuansa. "Ini bau alkohol," jawab Neptunus. "Alkohol?" "Ya." "Kenapa ada alkohol di sini? Dan sepertinya dalam jumlah yang banyak, sedang tumpah, karena baunya sangat menyengat." "Tidak, mereka sedang berpesta alkohol di dalam." "Apa?" "Ya, kenapa?" "Kau bilang kita akan ke sebuah pesta ulang tahun, kan?" "Ya, tentu saja." "Lalu kenapa kita malah pergi ke klub malam seperti ini?" "Aku tidak mengerti, ini adalah pesta ulang tahun, bukan klub malam." "Tapi bukankah pesta ulang tahun itu seharusnya dilengkapi dengan acara tiup lilin, potong kue, nyanyian dan banyak balon? Maksudku, tadinya aku berpikir kalau Emma menyewa seorang DJ untuk membuat musik ''Happy Birthday'', tapi setelah mencium bau alkohol ini, aku baru sadar, rumah ini tidak sedang dalam suasana pesta ulang tahun. Kenapa musik yang dimainkan bukan musik ''Happy Birthday''? Di mana hiasan dari pita dan balon?" "Kau pikir usia Emma itu berapa? Tiga tahun? Dua?" "Huh?" "Ini adalah pesta ulang tahun untuk orang dewasa, semua yang hadir juga sudah lebih dari 18 tahun. Kau tidak akan menemukan balon dan pita di pesta ulang tahun seperti ini, kue dan tiup lilin tetap ada, tapi tetap ada perbedaan yang jauh dari pesta ulang tahun anak-anak dan orang dewasa." "Tapi, aku baru tahu pesta ulang tahun orang dewasa itu seperti ini." Neptunus lantas hanya memutar kedua bola matanya. Ia lalu hendak kembali melanjutkan langkahnya, namun Nuansa tidak mau bergerak. "Kenapa?" tanya Neptunus. "Aku di sini saja," ujar Nuansa. "Hei, tidak akan ada hal buruk di dalam, hanya ada kehidupan orang dewasa. Kau sudah berusia 21 tahun, kan? Tidak apa bagimu untuk bergabung." "Ini bukan gaya hidup yang baik, dan kenapa pesta ulang tahun dicampur dengan klub malam? Aku tidak ingin terkontaminasi, kau masuk saja sendiri tanpaku." Nuansa kemudian melepaskan tangan Neptunus. "Aku membayarmu salah satunya untuk menjadi pendampingku dalam sebuah pesta, kau tidak boleh seperti ini!" sewot Neptunus. "Potong saja gajiku sampai 90%, asalkan kau tidak mengajakku masuk." "Tidak boleh begitu! Aku juga harus memperkenalkanmu kepada teman-temanku, aku menyewamu juga karena mereka menerorku dengan pertanyaan ''mana gandengan barumu?''!" "Tidak, tidak." "Aku tidak ingin marah sekarang, Nuansa. Jadi ikuti aku, aku membayarmu," ucap Neptunus seraya kembali meraih tangan Nuansa. "Aku bilang tidak, ya tidak!" Nuansa menepis tangan Neptunus. "Aku sudah dewasa dan aku bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah! Justru karena aku sudah dewasa makanya aku tidak mau ikut bergabung dengan hal negatif seperti ini!" lanjut Nuansa. "Kenapa kau tidak mengerti?!" "Aku mengerti! Ini salah, Neptunus! Hal seperti tidak seharusnya kau ikuti hanya untuk gaya-gayaan!" "Aku tidak ikut-ikutan dan aku tidak gaya-gayaan! Dan tidak ada yang salah di sini, kau lah yang salah!" "Kalau begitu masuk saja, gaya hidup kita berbeda, sepertinya tidak bisa disamakan," ujar Nuansa. "Grrrh! Baiklah! Dan ingat, gajimu kupotong 90% untuk hari ini sesuai dengan yang kau katakan tadi!" "Baiklah." Neptunus lantas pergi masuk dan meninggalkan Nuansa sendirian di antara banyak kendaran yang terparkir di halaman rumah itu. Chapter 24 - Ihih, Sang Kepala Pembantu Sudah lebih dari 20 menit Nuansa berdiri di halaman rumah Emma yang luas bersama mobil-mobil dan moge-moge teman-teman Emma. Gadis itu berdiri dengan high heelsnya selama 20 menit terakhir, jadi tentu saja ia mulai merasa pegal pada kakinya. Nuansa lalu melihat ke langit dan menyadari kalau tidak lama lagi hujan akan turun, jadi ia pun berperang dengan dirinya sendiri. ''Aku masuk tidak, ya?'' batinnya. ''Kalau aku masuk, aku hanya akan disambut oleh orang-orang mabuk, dan aku pasti akan dipaksa untuk mabuk juga.'' ''Tapi toh mereka mereka hanya orang mabuk, mereka sedikit tidak waras, jadi seharusnya aku bisa menghindari mereka.'' ''Tapi kalau aku masuk dan tiba-tiba merasa penasaran dengan alkohol, aku bisa mabuk nanti.'' ''Untuk apa aku penasaran? Alkohol itu tidak bagus, aku tidak perlu merasa penasaran dengannya.'' ''Tapi di dalam itu bagaimana, ya?'' ''Ah, sudahlah, tinggal masuk saja kok repot.'' Nuansa lantas masuk ke dalam rumah Emma. Rumah itu sama besarnya dengan rumah Neptunus, namun Nuansa juga butuh waktu untuk beradaptasi agar hafal dengan setiap sudut dari rumah besar seperti ini. "Oh, jadi mereka berpesta di sana," gumam Nuansa saat ia melihat halaman belakang yang hanya dibatasi kaca transparan dengan dalam rumah. Nuansa melihat pintu halaman belakang, ia paham kalau dirinya hanya perlu melewati pintu itu untuk bergabung dengan mereka yang sedang berpesta. Tapi Nuansa memutuskan untuk tidak pergi ke halaman belakang dan mencari ruang tamu, jadi ia melihat satu persatu ruangan yang ada di rumah Emma. Tidak banyak ruangan yang terdapat di lantai 1, hanya ada ruang makan, dapur dan ruang tamu. Nuansa pertama mendatangi ruang tamu, namun di sana ada beberapa teman Emma yang tertidur karena mabuk, atau bahkan masih ada yang sadar tapi begitulah, dalam keadaan mabuk. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk beristirahat di ruang tamu, jadi ia mencari ruangan lain di lantai 1, dan menemukan ruang makan yang ditutup karena sedang tidak dipakai. Nuansa bisa tahu kalau itu adalah ruang makan karena pintunya terbuat dari kaca transparan, persis seperti kaca besar pembatas halaman belakang dan rumah. Pintunya tidak dikunci, tapi ia tidak berani masuk karena takut dianggap lancang, terlebih lagi rumah Emma berbeda dengan rumah Neptunus, di sini CCTV di mana-mana, sedangkan rumah Neptunus hanya memiliki 3 buah CCTV di lantai 1, lantai 2 dan halaman depan. Ia pun kemudian memutuskan untuk mencari ruangan lain. Ruangan terakhir di lantai 1, terletak paling ujung dari pintu masuk, dekat dengan tangga menuju lantai 2. Ya, design rumah Emma pada lantai 1 memang hanya berbentuk lorong panjang dengan tangga di ujung, 3 ruangan di sebelah kiri, dan halaman belakang di sebelah kanan yang dipisahkan dengan lantai 1, dipisahkan oleh pembatas yang terbuat dari kaca. Nuansa lalu masuk ke dapur dan mendapati seorang perempuan tua dengan piyama sedang minum air putih. Gadis tersebut pun mengetuk pintu dapur sebelum ia dipersilakan masuk. Perempuan tua itu langsung menyelesaikan kegiatannya dengan cepat. "Bibi, boleh aku masuk?" tanya Nuansa. "Silakan, Nona, silakan," ujar si perempuan tua. Nuansa pun lantas masuk dan duduk di sebuah kursi yang ada di situ, ia juga melepaskan high heelsnya. "Mau saya buatkan minum, Nona?" tanya si perempuan tua yang sepertinya adalah pembantu Emma. "Tidak usah, Bibi, aku sedang tidak haus," tolak Nuansa. "Oh, baiklah. Kenapa Anda pergi dari pesta?" "Aku bahkan tidak bergabung." "Huh? Anda ini siapa? Saya belum pernah melihat anda sebelumnya." "Aku pacar barunya Neptunus, aku bahkan belum mengenal Emma, seharusnya aku mengenalnya hari ini, di pesta ini, tapi aku tidak menduga kalau pesta ulang tahunnya seperti ini, jadi aku memutuskan untuk tidak bergabung dengan mereka dan pergi ke sini saja." "Begitu ya. Saya Ihih, kepala pembantu di sini." "Ihih?" "Ya." ''Apa dia saudara jauh bibi Haha, Hihi, Hehe, Huhu dan paman Hoho?'' batin Nuansa. "Engh, aku Nuansa, bibi, salam kenal. Maaf aku duduk seperti ini karena merasa pegal setelah cukup lama berdiri menggunakan high heels ini," ucap Nuansa yang merasa tidak enak hati. "Tidak apa, Nona." Ihih lalu duduk di kursi lain yang juga ada di dapur itu. "Bibi Ihih menggunakan piyama seperti ini, apakah bibi ingin tidur?" tanya Nuansa. "Ya, saya sebenarnya sudah tidur tadi, tapi terbangun karena musik keras itu dan tiba-tiba merasa haus, jadi saya pergi ke dapur untuk minum," jawab Ihih. "Bibi tidur?" "Ya." "Apa Emma tidak dimarahi orangtuanya karena menggelar pesta seperti ini?" "Tidak, ini sudah biasa. Kami para pembantu selalu pergi tidur jika nona Emma mengadakan pesta di rumah ini." "Kenapa?" "Ya karena kami tidak akan memiliki pekerjaan lagi, mereka berpesta dari malam sampai tengah malam, kami tidak perlu menunggu mereka selesai berpesta, besok pagi kami harus bangun sangat pagi, jadi, ya, kami akan mengantuk besok pagi jika kami menunggu pesta ini selesai." "Oooh." "Nona Nuansa kenapa tidak ikut bergabung dalam pesta? Baru ini pacar tuan Neptunus ada yang tidak mau bergabung dalam pesta." "Ya, aku tidak terbiasa dengan alkohol, dan aku tidak menyukainya." "Begitu rupanya." "Ya, itu tidak baik, kan?" "Betul, tapi bagi nona Emma dan teman-temannya, itu biasa." "Kelihatan memang seperti itu." "Apa Emma tidak pernah menggelar pesta yang ''lebih sehat'' untuk ulang tahunnya?" tanya Nuansa. "Dulu pernah, tapi sejak ulang tahunnya yang ke-18, nona Emma selalu membuat pesta seperti ini untuk ulang tahunnya," jawab Ihih. "Kenapa orangtuanya tidak melarangnya?" "Hal seperti ini biasa dilakukan oleh orang Barat, dan mereka cukup sering berada di Amerika, jadi mereka hidup seperti orang sana juga." "Oooh, pantas saja." "Bagi kita orang Timur yang hidupna sebagaimana orang Timur kebanyakan, hal seperti ini cukup aneh, kan?" "Ya, bagiku ini tidak wajar." "Hahaha." "Tidak bisakah mereka mengganti alkohol dengan minuman yang lebih sehat?" "Entahlah, saya juga tidak mengerti." "Hmmm." Nuansa lalu berpikir. Ihih terlihat sangat mengantuk, ia menguap berkali-kali saat Nuansa entah memikirkan apa. "Nona, saya tidur dulu, ya," kata Ihih. "Oh, iya, Bibi," ujar Nuansa. "Maaf saya tidak bisa menemani nona di sini." "Tidak apa." "Bibi, aku minta gula tiga kilo, ya?" lanjut Nuansa. "Sama aku pinjam blender." "Untuk apa?" tanya Ihih. Nuansa lantas berbisik pada Ihih. "Anda yakin?" Ihih memastikan. "Lihat saja," ucap Nuansa. "Baiklah, terserah anda saja. Rumah ini memiliki persediaan gula yang banyak, jadi saya rasa kalau anda memakai gula tiga kilo tidak masalah." "Terima kasih, Bibi!" Ihih lalu tersenyum. ''Dia sangat berbeda dari yang lain, kuharap gadis sepertinya masih banyak di dunia ini,'' batin Ihih. "Saya masuk ke kamar dulu, ya, nona," kata Ihih. "Baiklah, selamat tidur, bibi," ucap Nuansa. Chapter 25 - Sadis Nuansa mencari keberadaan Neptunus dari dalam. Tidak mudah untuk menemukan pria itu, karena semua orang berdiri membelakangi pembatas kaca, jadi Nuansa benar-benar harus mengerahkan kemampuan melihatnya agar dapat menemukan Neptunus. Gadis itu akhirnya menemukan Neptunus yang kebetulan berbalik badan dengan secangkir alkohol di tangannya. Neptunus langsung melihat Nuansa saat ia berbalik badan. Meskipun keduanya dipisahkan oleh pembatas kaca, namun tampaknya Neptunus mengerti bahwa Nuansa sedang ingin berbicara dengannya sekarang, terlebih lagi bahasa tubuh Nuansa memang menunjukkan hal itu, walaupun ia tidak memanggil Neptunus dengan bahasa isyarat yang seharusnya. Neptunus kemudian memutuskan untuk meninggalkan pestanya sebentar dan masuk ke dalam menghampiri Nuansa. "Apa?" tanya Neptunus. "Mmh." Nuansa langsung menutup hidungnya ketika Neptunus berbicara. "Mulutmu bau alkohol," sambungnya. "Ah, jangan bertele-tele. Ada apa?" tanya Neptunus sekali lagi. "Minta uang." "Huh?" "100 ribu saja." "Eh? Tidak! Tidak! Apa-apaan kau ini, sesudah marah-marah padaku malah meminta uang padaku, tidak!" "Aku tidak marah padamu, kau yang marah padaku." "Tapi aku tetap tidak mau memberikanmu 100 ribu." "Yasudah, kalau begitu aku minta gajiku hari ini. 500 ribu untuk hari ini, kan?" "Lalu pulang setelah kau menerimanya? Kau pikir aku ini bodoh?" "Bukan untuk itu! Aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan mabuk." Neptunus lalu memberikan tatapan penuh selidik pada Nuansa. "Berikan saja, ih!" gerutu Nuansa. "Baiklah, baiklah. 100 ribu saja. Jangan pulang kau," ucap Neptunus seraya memberikan 100.000 Rupiah pada Nuansa. "Hehe, terima kasih." "Awas kalau kau berani macam-macam bahkan sampai pulang." "Tidak, aku tidak punya niat seperti itu." Neptunus lalu kembali ke pesta tanpa membalas Nuansa lagi. Nuansa lantas berlari keluar dengan kegirangan tanpa high heelsnya. Gadis itu menghampiri seorang pria dengan motor yang membawa satu karung yang entah apa isinya berada di luar gerbang. "Nuansa, ya?" Pria itu memastikan, tampaknya ia adalah seorang ojek online. "Iya," jawab Nuansa. "100 ribu cash, ya?" "Iya, ini." "Ok. Ini dia." Pria itu kemudian memberikan karung penuh tersebut pada Nuansa. "Wow, cukup berat, ya," ujar Nuansa. "Mau saya bantu bawa ke dalam?" tawa sang ojek online. "Tidak, tidak usah, aku bisa sendiri." "Baiklah, terima kasih." "Terima kasih juga." Si tukang ojek online itu lantas pergi. Nuansa pun lalu menyeret karung itu dan membawanya ke dalam. "Demi Tuhan ini berat sekali," gumamnya. ''Kenapa mangga 10 kilo bisa seberat ini?'' batinnya. Karung itu ternyata berisi 10 kilo mangga. Nuansa memesannya melalui toko online dengan jasa ojek online. Ia membawa 10 kilo mangga itu ke dapur dan memulai kegiatannya di sana. "Aku harus membuat mereka semua menjadi sehat. Kenapa mereka tidak mengganti alkohol dengan jus mangga saja? Jus mangga kan enak," kata Nuansa saat ia mulai mengupas kulit mangga-mangga yang berjumlah 30 buah itu. *** Setelah kurang lebih setengah jam, Nuansa berhasil menjadikan 10 kilo mangga yang dibelinya secara online itu menjadi 5 teko jus. "Mmm, ini sangat manis dan enak," gumam gadis itu. Ia lalu membersihkan sampah-sampah yang dibuatnya dari mangga-mangga itu. Setelahnya, Nuansa pergi ke ruang makan dan menyeret meja makan yang ada di sana keluar dari ruangan tersebut menuju halaman belakang. Tentu saja aksinya ini mengundang perhatian semua orang yang tengah berpesta. Semuanya langsung saling berbisik tentang Nuansa. ''Apa yang dia lakukan?'' batin Neptunus. "Ok, sampai juga akhirnya. Sabar ya semua, sabar," ucap Nuansa saat ia selesai menempatkan meja makan di halaman belakang pada tempat yang tepat. Gadis itu kemudian kembali masuk ke dalam, tepatnya ke dapur dan mulai memindahkan teko-teko yang berisi jus mangga buatannya ke halaman belakang. Ia menaruh teko-teko itu ke atas meja makan yang dipindahkannya tadi seorang diri. Para tamu undangan Emma pun masih bingung dengan Nuansa. Mereka semua memperhatikan, termasuk Emma yang punya acara. Nuansa lalu mengeluarkan banyak gelas dan juga menaruhnya di atas meja makan. Usai itu, ia mulai mengisi gelas-gelas tersebut dengan jus mangga dan membagikannya kepada teman-teman Emma. "Yah, silakan dinikmati jusnya, teman-teman. Itu buatanku sendiri, jauh lebih enak dan sehat dari pada alkohol. Selamat minum jus, bersulang," ujar Nuansa. Masih tersisa 1 teko jus setelah ia membagi-bagikan jus buatannya itu pada teman-teman Emma, termasuk Neptunus. Nuansa langsung menghabiskan segelas jus buatannya itu, namun selain dirinya, tidak ada yang meminumnya. "Ayo, diminum saja, tidak perlu ragu, aku tidak menaruh racun kok di dalam jus itu. Oh, aku lupa membagikannya pada sang DJ," kata Nuansa. Ia lantas menghampiri DJ yang disewa Emma untuk memeriahkan pesta ulang tahunnya sambil membawa segelas jus mangga untuknya. Si DJ terlihat mabuk berat, tapi Nuansa tidak peduli, ia tetap memberikan jus buatannya itu pada sang DJ. "Ini, kau juga mendapatkan jatah." DJ yang tengah mabuk berat itu menerima jus Nuansa. "Bisa kau putar musik sedih? Itu sesuai dengan suasana hatiku sekarang karena seorang pria menyebalkan sudah memarah-marahiku," bisik Nuansa pada DJ itu. "Hm? Ya." DJ yang setengah sadar itu lantas menuruti permintaan Nuansa dan memutar lagu Sadis yang dinyanyikan oleh Afgan. "Nah, mantap," ucap Nuansa. Sang DJ lalu hanya tertawa tidak jelas sembari meminum jusnya. Saat Nuansa akan kembali ke meja makan, Emma menghampirinya dengan satu teko jus mangga yang masih penuh. "Permisi," ucap Nuansa, namun Emma tidak mau menyingkir. "Ah, kau pasti Emma ya?" lanjutnya. "Salam kenal, aku Nuansa. Pestamu luar biasa sekali, tapi ini menjadi lebih luar biasa dengan musik menyentuh hati dan jus mangga, kan? Lihatlah, teman-temanmu sangat menikmati jus buatanku," ujar Nuansa. Ketika ia melihat sekelilingnya, kenyataannya sangat berbeda dengan apa yang barusan dikatakannya. Tidak ada satu pun yang meminum jusnya kecuali sang DJ. "Kenapa kalian tidak meminumnya? Itu gratis, aku mentraktir kalian. Emma sebaiknya kau-" Nuansa berhenti berbicara sebab Emma menuang satu teko jus mangga yang dipegangnya itu ke atas kepala Nuansa. Hal ini tentu saja membuat Nuansa dibasahi oleh cairan berwarna kuning kejinggaan itu. Seluruh tubuhnya benar-benar dibasahi oleh jus mangga buatannya sendiri. Dress merah lengan buntungnya pun jadi hancur karena tumpahan jus mangga itu. Make up spesial dari seorang make up artis profesional pun ikut luntur di tengah lagu Sadis yang masih diputar. Orang-orang memberikan reaksi yang berbeda-beda, ada yang tertawa geli sambil mengikuti aksi Emma, ada yang terkejut dan ada juga yang tetap diam, termasuk Neptunus. "Kau merusak pestaku," ujar Emma pada Nuansa yang dibasahinya dengan satu teko penuh jus mangga. Nuansa benar-benar tidak menduga hal ini, ia syok dan hanya bisa mematung. Lagu Sadis semakin menambah kesedihannya, apa salahnya yang ingin membuat mereka menjadi sehat? Itulah yang dipikirkannya. Gadis itu bahkan tidak memikirkan Neptunus lagi, ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia menjadi bahan tawaan dan bullyan. Beberapa orang ikut menyiramnya dengan jus mangga buatannya. Dan mirisnya, tidak ada yang menolongnya. Chapter 26 - Menari Dibawah Hujan "Siapa yang mengundang gadis kampungan ini?!" teriak Emma, namun tidak ada yang menjawabnya. "Siapa kau?!" tanya Emma pada Nuansa. Nuansa memilih untuk tidak menjawab sebab ia masih syok. "Hei! Telingamu berfungsi apa tidak?! Aku bertanya padamu! Siapa kau?!" Emma mengulang pertanyaannya, tapi Nuansa tetap diam tertunduk. ''Kenapa dia tidak melawan? Kenapa dia diam?'' batin Neptunus. "Aku bersumpah untuk mengutuk siapapun yang membawa gadis sialan ini!" seru Emma. Suasana lalu hening untuk sesaat. "Siapa yang membawamu ke sini?" Emma bertanya lagi pada Nuansa dengan nada menggeram, ia bahkan menjambak rambut Nuansa yang dibasahi oleh jus mangga. "Lepaskan," ujar Nuansa yang merasa kesakitan. "Jawab aku!" "Aku datang sendiri ke sini! Kau mau apa?!" Nuansa membentak Emma, bersamaan dengan saat dirinya berhasil melepaskan tangan Emma dari rambutnya. Tidak terima dirinya dibentak, Emma pun menampar Nuansa. "Beraninya kau membentakku! Siapa kau?! Aku yang punya rumah ini! Aku yang punya acara ini! Aku tidak mengundangmu! Aku tidak kenal denganmu! Tapi kau datang entah dari mana dan merusak pestaku dengan jus mangga bodohmu! Siapa kau?! Kau gadis sialan kampungan!" Emma mengehentikan aksinya saat tiba-tiba Neptunus berada diantaranya dan Nuansa. Semua mata langsung tertuju pada Neptunus. Neptunus mengangkat tangan kanan Nuansa secara perlahan. Ia lalu melakukan hal yang benar-benar mengejutkan: menjilat tangan Nuansa. Ya, pria itu menjilat tangan kanan Nuansa yang dipenuhi oleh jus mangga. Tentu saja lidah Neptunus membuat tangan Nuansa menjadi bersih. Nuansa bingung harus merasa apa, ia merasa geli dan jijik, namun ia juga merasa ini adalah hal yang seksi dan menikmati lidah Neptunus yang berjalan di tangan kanannya hingga tangan kanannya tersebut bersih dari jus mangga. Neptunus kemudian melanjutkan aksinya itu pada tangan kiri Nuansa dan semakin membuat semua orang tercengang. Emma bahkan sampai menganga lebar karena benar-benar tidak menduga hal ini. Usai kedua tangan Nuansa bersih, Neptunus membersihkan wajah pacar sewaannya itu dengan telapak tangannya secara lembut. Nuansa tidak peduli lagi dengan apa yang dipikirkan oleh orang-orang, ia pun juga tidak peduli lagi dengan rasa apa yang seharusnya ia rasakan kini, yang pasti, aksi Neptunus ini membuatnya merasa dilindungi. "Kuharap itu menjawab pertanyaanmu," ucap Neptunus pada Emma setelah ia membersihkan wajah Nuansa. Beberapa gadis terlihat menutup mulut mereka, entah karena merasa terkejut atau pun iri pada Nuansa dan langsung berkhayal hal yang aneh-aneh. Neptunus lantas menggenggam telapak tangan kanan Nuansa dan mengajaknya pergi. Keduanya meninggalkan orang-orang yang hadir dalam pesta itu dalam keheningan. "Tunggu," kata Nuansa pada Neptunus saat mereka berada di dalam rumah Emma. "Aku ingin mengambil sepatuku dulu di dapur," lanjutnya. Neptunus lalu melepaskan Nuansa tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Nuansa kemudian pergi ke dapur sesaat dan mengambil high heelsnya, lalu kembali lagi pada Neptunus. "Ayo," ajaknya. Mereka berdua lantas melanjutkan langkah keluar dari rumah Emma. Saat keluar, Nuansa melihat ke atas, tampak beberapa kilat juga petir sedang menari-nari di langit, pertanda hujan akan turun beberapa saat lagi. "Kau keluarlah, tunggu aku di luar gerbang," suruh Neptunus. "Baiklah." Nuansa lalu menuruti perintah Neptunus barusan dan langsung pergi menuju gerbang, kemudian keluar dan menunggu Neptunus dengan mobilnya. Baru saja gadis itu keluar melewati gerbang, namun hujan akhirnya turun bersamaan dengan Neptunus yang menghampiri Nuansa dengan mobilnya. Menyadari hujan sudah turun, Neptunus pun keluar dari dalam mobilnya dengan maksud untuk menjemput Nuansa. Saat keluar dari mobilnya, Neptunus melihat Nuansa yang sedang menikmati hujan yang membersihkan tubuhnya dari jus mangga itu. Gadis tersebut sekali lagi membuat Neptunus terpukau dengannya. Neptunus memuji kecantikan Nuansa di dalam hatinya, namun kali ini berbeda dengan yang sebelumnya. Saat ini Nuansa tidak memakai make up karena sudah luntur, jadi sekarang Neptunus mengagumi kecantikan alami Nuansa. Nuansa menari dibawah hujan, dress merahnya juga ikutan bersih kembali karena hujan itu. Neptunus yang juga kehujanan tersenyum melihatnya. Rasanya pria itu tidak pernah seterpukau ini kepada seorang gadis. Ia benar-benar merasa ''wah'' pada Nuansa untuk alasan yang dia sendiri tidak mengerti. ''Kalau dilihat-lihat, dia cantik juga,'' batin Neptunus. "Astaga, apa yang kupikirkan? Kami hanya menjalin hubungan kontrak, dia adalah orang asing untukku, dan aku adalah orang asing untuknya, tidak lebih," gumam Neptunus. Ia lalu berjalan menghampiri Nuansa. "Hei! Ayo masuk ke dalam mobil! Kau bisa sakit jika hujan-hujanan seperti ini!" teriak Neptunus. "Tidak apa! Sudah lama aku tidak mandi hujan! Hujan ini juga membersihkanku!" seru Nuansa. "Tapi kalau kau sakit nanti bagaimana?!" "Aku tidak pernah sakit sehabis mandi hujan! Aku sudah biasa mandi hujan saat sedang berjualan! Jangan khawatir!" "Woohoo! Ini menyenangkan, bukan?!" sambung Nuansa, ia melompat-lompat seperti anak kecil dan bergoyang-goyang tidak jelas. Gadis itu terlihat sangat gembira hanya karena hujan. ''Bagaimana dia langsung merasa baik-baik saja setelah semua yang terjadi tadi?'' batin Neptunus. Dirinya lalu meraih tangan Nuansa dan menghentikan aksi pacar sewaannya itu. "Apa?" ucap Nuansa yang merasa heran dengan Neptunus yang menghentikannya. "Sakit kah?" tanya Neptunus sembari mengelus pipi Nuansa yang ditampar oleh Emma tadi. "Aw." "Engh, maaf, kukira kau tidak merasa sakit." "Ayo menari bersamaku! Menari dibawah hujan itu menyenangkan tahu!" kata Nuansa, ia lantas melanjutkan aksi joget-jogetnya di tengah jalan. Neptunus pun tersenyum melihatnya. ''Tamparan itu tetap sakit baginya, tapi dia telah melewati banyak hal yang lebih menyakitkan ketimbang tamparan dan hinaan dari Emma, jadi kenapa aku menjadi bodoh dengan menanyakan hal itu padanya?'' batin Neptunus. "Hei! Apa kau akan tetap diam disitu?! Kau tidak tahu cara menikmati hujan, ya?!" teriak Nuansa. Mendengar hal itu, Neptunus tiba-tiba menjadi seperti orang gila, ia ikut-ikutan berjoget dan melompat tidak jelas di tengah jalan. Bahkan aksinya jauh lebih heboh dari Nuansa. Lucunya, pria itu mengganggu Nuansa dengan cara menyenggol-nyenggolkan pinggangnya ke pinggang gadis tersebut, yang tentu saja membuat Nuansa kesal karena Neptunus malah ketagihan menyenggolnya. "Kau ini!" sewot Nuansa. "Hahahaha." Neptunus tertawa terbahak-bahak. ''Astaga, kenapa dia malah terlihat menggemaskan saat marah seperti ini?'' batin Neptunus. ''Nuansa, kau benar-benar aneh seperti nama panggilanmu, tapi entah kenapa segala hal tentangmu justru membuatku kagum.'' Chapter 27 - Emosional Atau Cengeng? Usai hujan-hujanan, tentu saja Neptunus dan Nuansa kini dalam perjalanan pulang menuju rumah Nuansa, mereka tak henti-henti membicarakan betapa menyenangkan mandi hujan mereka tadi. "Oh, aku jadi ingin hujan turun setiap malam agar aku bisa beraksi seperti orang gila dibawah hujan, seperti tadi," ucap Neptunus. "Sudah kukatakan, itu menyenangkan, bukan?" ujar Nuansa. "Sangat, itu sangat menyenangkan." "Kau selalu melakukannya ketika terjebak hujan saat sedang berjualan?" tanya Neptunus. "Ya, selalu. Awalnya aku jatuh sakit, tapi aku tidak pernah kapok, sampai akhirnya aku menjadi kebal," jawab Nuansa. "Hahaha, kau memang strong girl." "Memangnya kau tidak pernah melakukan itu sebelumnya?" "Sepertinya pernah, tapi ketika aku masih kecil, dan setelah dewasa seperti ini, aku menganggap kalau mandi hujan adalah kegiatan anak kecil, tapi ternyata seru juga kalau kita yang sudah dewasa melakukannya, hitung-hitung untuk mengingat masa kecil juga, kan?" "Antara untuk mengingat masa kecil dan masa kecil kurang bahagia sebenarnya." "Hahaha, benar juga." Sesaat kemudian, suasana menjadi hening, keduanya larut dalam diam. Neptunus dan Nuansa benar-benar basah saat ini, namun perlahan mereka mulai kering, meskipun sepertinya mereka tidak akan benar-benar kering sampai keduanya tiba di rumah Nuansa. Nuansa secara tidak sengaja teringat akan kejadian di pesta Emma tadi. Ia memandangi tangannya dan mengelus-elusnya. Ia bergidik jijik karena mengingat saat Neptunus menjilat kedua tangannya, namun entah kenapa itu adalah hal yang paling dirinya tidak ingin lupakan seumur hidupnya, bahkan sekarang gadis tersebut tidak ingin berhenti mengingatnya. "Hmm, ngomong-ngomong, terima kasih atas bantuanmu di pesta tadi, aku sangat menghargainya," ucap Nuansa. "Kau menikmati jilatanku, kan?" canda Neptunus. "Pastinya." "Apa?" "Hahaha, bercanda." "Tapi kau tahu? Jus mangga itu jadi pahit di tanganmu, padahal rasanya sangat manis, aku suka jusmu." "Tentu saja pahit! Kau mengkonsumsi yang ada di tanganku! Kau ini ada-ada saja." "Hahaha." "Maaf karena mungkin aku akan merusak hubungan pertemananmu dengan Emma, bahkan mungkin tidak hanya dengan Emma saja, aku, aku tidak bermaksud seperti itu, aku hanya-" "Sssht, sudahlah, sekali-kali dia memang pantas aku buat seperti itu. Tapi aku salut, kau tidak berniat untuk membalasnya, walaupun pada awalnya aku sempat bingung kenapa kau diam, karena kupikir kau adalah tipe gadia yang tidak ingin kalah. Namun pada akhirnya sadar, kau tidak membalas kejahatan dengan kejahatan." "Tapi aku membentaknya loh." "Aku rasa itu masih wajar, tindakannya padamu sangat kelewatan, lagi pula kau hanya membentaknya sekali, kalau aku ada di posisimu saat itu, kurasa aku akan langsung menghajarnya." "Untungnya aku bukan kau ya, kalau tidak bisa babak belur anak orang." "Hahaha, tapi pasti akan seru juga kalau kau menghajarnya, itu pasti akan terlihat seperti gulat." "Hei!" "Hahahaha." "Apa aku salah dengan membuat jus dan memberikannya pada kalian? Sehingga Emma marah besar padaku? Katakan, bagaimana pendapatmu?" Neptunus terdiam sesaat mendengar ucapan Nuansa barusan. Kalau dilihat, Nuansa memang merusak pesta Emma dengan berlagak sok pandai dan terkesan menggurui mereka yang notabenenya lebih tua semua darinya. Namun di satu sisi hal itu wajar karena Nuansa memiliki sedikit sifat kampungan. Neptunus takut jika ia memberikan pendapatnya, Nuansa akan tersinggung atau bagaimana lah, ia tidak terlalu paham dengan perasan perempuan, terlebih lagi yang bukan keluarganya. "Hmm, bagaimana ya," ujar Neptunus. "Jujur saja, aku tidak akan marah ataupun merasa sedih," kata Nuansa. "Janji?" "Ya, menurutmu bagaimana?" "Sebenarnya kau tidak salah, aku paham posisimu, kau ingin membuat kami tidak berpesta seperti itu, karena ya, alkohol memang tidak baik, tapi aku juga paham posisi Emma. Dia dibesarkan dengan pola didik orang Barat, hal seperti itu wajar baginya. Begini, bagaimana jika rasa ketika kau sedang melakukan hal yang kau sukai, dan tiba-tiba ada yang mengkritikmu dengan cara yang benar-benar pedas?" "Jadi menurutmu yang kulakukan tadi itu adalah sebuah kritikan yang sangat pedas? Benarkah?" "Engh." ''Aduh, bagaimana ini, aku jadi serba salah, bagaimana kalau dia jadi marah padaku?'' batin Neptunus. "Kurasa bisa dibilang begitu tapi ..." "Begitu ya?" sela Nuansa. "Engh, bukan begitu juga." "Tentu saja begitu." "Tolong jangan merasa kecewa atau sedih. Emma tetap tidak manusiawi dengan melakukan itu padamu, dia juga salah." "Jadi menurutmu aku juga salah? Aku hanya ingin kalian mengubah pola hidup kalian jadi lebih baik. Kalian semua kaya, tahu pola hidup sehat, tapi kenapa kalian mau minum alkohol? Kalian semua kuliah, kan? Kalian orang pintar." "Kami hanya menikmati masa muda." "Jadi kalian lebih memilih menikmati masa muda lalu mati karena kecanduan alkohol?" "Kami tahu batasan juga, kan?" Nuansa lalu terdiam. "Begitu ya, jadi aku yang salah." "Tidak, siapa bilang kau salah?" "Kau." "K-kapan?" "Tadi." "Tadi? Aku hanya bilang kalau kau seharusnya paham kalau orang hidup dengan cara yang berbeda-beda. Setiap orang dibesarkan dengan cara yang berbeda-beda, setiap orang memiliki prinsip hidup sendiri-sendiri, jika menurutmu seharusnya dia begini, tapi menurutnya seharusnya dia begitu, yasudah, biarkan dia menjalani hidupnya dengan cara yang diinginkannya, tidak usah diusik. Toh kalau misalnya cara hidupnya salah, pada akhirnya dia bakal sadar juga dan memilih cara yang benar, kan? Maksudku, setiap manusia yang melakukan kesalahan pasti memiliki masa saat dirinya menyadari kesalahannya, entah itu instan, atau bahkan menjelang kematiannya. Begitu." Nuansa lantas berpikir, penjelasan Neptunus cukup panjang dan melebar ke mana-mana, jadi ia butuh waktu untuk mencernanya di pikirannya. "Huft, baiklah, sekarang aku paham," ujar Nuansa. "Huh, baguslah, aku kagum padamu." "Tapi haruskah aku meminta maaf padanya?" Neptunus terkejut mendengar pertanyaan Nuansa barusan. ''Dia masih memikirkan maaf? Dia memiliki niat untuk meminta maaf pada Emma setelah apa yang dilakukan Emma padanya? Terbuat dari apa hatinya? Kenapa dia begitu baik?'' batin Neptunus, entah kenapa air matanya tiba-tiba menetes. Pria itu sebenarnya paham posisi Nuansa dan Emma, Emma tetap keterlaluan. Namun Nuansa berpikir untuk meminta maaf pada Emma adalah hal yang luar biasa bagi Neptunus. Setelah gadis itu menyakiti dan mempermalukannya, bagaimana dia bisa berpikir untuk meminta maaf padanya? Begitulah yang dipikirkan Neptunus. Ia paham dengan kepolosan Nuansa, ia kasihan pada Nuansa yang dipermalukan dan ditindas tadi, tapi pertanyaan Nuansa barusan benar-benar menggetarkan hatinya. Dirinya sadar bahwa Nuansa berhati malaikat. "Hei, kau menangis? Apa aku menyakitimu? Apa pertanyaanku salah? Apa itu menyinggungmu? Atau apa kau punya luka? Hei, jangan menangis, kenapa kau menangis?" ucap Nuansa, ia menjadi panik sendiri karena baru ini dirinya melihat seorang pria menangis, karena setahunya, seorang pria hanya akan menangis untuk hal yang benar-benar emosional. "Tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya merasa bersyukur bisa kenal dengan orang sepertimu, kau sangat baik, kau masih berpikir untuk meminta maaf pada Emma setelah apa yang dilakukannya padamu. Kau hebat, Nuansa, hatimu benar-benar baik, jangan pernah berubah, ya?" "Ya ampun, jadi kau menangis hanya karena aku berkata seperti itu dan merasa terharu karena aku memikirkan apa seharusnya aku meminta maaf pada Emma atau tidak? Hahahahaha, kau sangat cengeng, ya." "Kau mungkin tidak mengerti bagaimana perasaanku, tapi aku tetap merasa emosional, dan entah kenapa aku pun tidak mengerti." "Kau merasa emosional?" "Ya." "Pantas saja kau menangis." "Kenapa?" "Setahuku seorang pria hanya akan menangis saat dia merasa benar-benar merasa emosional, ternyata kau merasa sangat emosional hanya karena perkataanku, ya?" "Ah, lupakan saja, aku jadi malu sendiri karena menangis. Besok kau ikut aku ke kampusku, ya." "OK!" "Kenapa kau sangat bersemangat?" "Aku ingin meminta maaf pada semua temanmu." "Huh?" "Kenapa kau tidak menangis?" "Dasar!" "HAHAHAHAHA, dasar cengeng." Neptunus lalu hanya bisa mendengus kesal. Chapter 28 - Kau Berpaling Dariku Hari akhirnya berganti, namun Matahari belum sepenuhnya terbit. Nuansa bangun pada waktu biasa dengan saat dirinya masih aktif menjual keripik singkong. Gadis itu mendapati orangtuanya yang sedang memanen singkong seperti biasa, karena memang jika mereka ingin berhenti melakukan bisnis ini, mereka tetap harus melakukan panen setiap hari sampai seminggu kedepan agar lahan mereka kosong. Dipanen dalam jumlah banyak, tidak mungkin semuanya dimakan sendiri, kan? Yups, tampaknya kedua orangtua Nuansa sudah memikirkan hal ini, namun mereka tidak memberitahunya pada putri tunggal mereka. "Ibu," sapa Nuansa saat Durah masuk ke dalam rumah usai panen. "Eh, kau sudah bangun rupanya," ucap Durah. "Engh, aku telat, ya?" "Tidak, bahkan Matahari saja belum terbit." "Hmm. Ibu." "Ya?" "Neptunus lupa memberikan gajiku kemarin, jadi aku tidak akan menyetor ke ibu hari ini." "Tidak masalah, wajar kalau dia lupa, kalian kehujanan dan pulang dalam keadaan basah, ibu pikir yang dia pikirkan semalam hanya tentang kalian berdua, sampai dia lupa tentang gajimu." "Ehehe, bisa jadi. Tapi, ibu ..." "Hm? Apa lagi?" "Sepertinya aku tidak akan berjualan lagi. Hari ini paman Eugene, calon suami ibunya Neptunus akan datang, mungkin dia akan datang sore atau malam, soalnya ibunya Neptunus baru punya waktu kosong paling cepat jam enam sore. Lalu sebelum kedatangan paman Eugene, Neptunus mengajakku untuk ikut ke kampusnya, jadi, ya, kemungkinan besar aku tidak akan berjualan lagi." "Jadi ...?" "Untuk apa ayah dan ibu memanen semua singkong itu?" "Maksudmu kau ingin kita membiarkan semua singkong itu sampai menjadi kayu?" "Bukan begitu juga, tapi ... Kalau ibu dan ayah memanennya, singkong-singkong itu tidak kita makan semua karena jumlahnya sangat banyak, jadi saranku, sebaiknya jangan dipanen semua." "Sebagian akan kami jual ke pasar, jadi tidak masalah." "Ooh, begitu ya." "Semuanya sudah kami perhitungkan, Nuansa, kau tenang saja." "Engh, hehehe." "Jadi, bagaimana pestanya semalam? Kau terlihat sangat cantik dengan dress merahmu itu," ucap Arfan. "Terima kasih, ayah. Pestanya berjalan lancar, semuanya baik-baik saja," ujar Nuansa yang tentu saja berbohong. "Baguslah, ternyata mereka orang baik, ya?" "Begitulah." "Ayah senang mendengarnya, setidaknya kau tidak berada di lingkungan yang buruk." "Tapi dress itu pasti mahal, kan?" tanya Durah. "Potong gaji, ibu, hehe," jawab Nuansa, kali ini ia kembali berbohong. "Jadi, berapa gaji yang akan kau dapatkan?" "Hanya 500 ribu." "Lumayan lah." "Iya." "Berarti harganya sekitar empat jutaan?" "Ya, sekitar segitu plus make up." "Oooh, begitu." ''Ampuni dosaku ya Tuhan, aku telah banyak berbohong pada orangtuaku,'' batin Nuansa yang merasa ketakutan sendiri karena terus terusan berbohong pada kedua orangtuanya, tapi mau bagaimana lagi, kalau ia tidak berbohong, maka mereka pasti akan menyuruhnya untuk berhenti bekerja sebagai pacar sewaan Neptunus karena mereka merasa khawatir dengannya. Nuansa tidak ingin berhenti bekerja sebelum kontraknya benar-benar habis hanya karena hal seperti yang terjadi semalam, jadi ia memilih berbohong. Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu. "Aku buka pintunya dulu ya," kata Nuansa, ia pun lantas pergi ke depan dan membuka pintunya. ''Ya ampun, kenapa Neptunus cepat sekali? Kupikir dia kuliah agak siang, tapi ternyata sepagi ini, seperti anak sekolah saja,'' gumam Nuansa. Gadis itu terkejut saat mendapati bukan Neptunus yang datang, melainkan Reynand. "Reynand?" lirih Nuansa. "Aku ingin bicara empat mata denganmu, di luar," ucap Reynand. "Untuk apa? Apa yang ingin kau bicarakan?" "Jangan di sini." "Tapi-" "Ikuti saja apa yang kukatakan." "Siapa yang datang, Nuansa?!" tanya Durah dari dalam. "Engh, hanya anak-anak kecil yang jahil, ibu! Aku keluar dulu untuk melayani mereka, ya!" jawab Nuansa. "Jangan kau cubit mereka! Cukup marahi saja, tapi jangan keras-keras, ibu mereka sangat cerewet!" "Baik, ibu! Aku juga paham hal itu!" Nuansa lalu keluar dan mengikuti Reynand yang membawanya keluar dari gang. "Apa?" ujar Nuansa. "Katakan padaku, tentang orang yang menyewamu itu-" "Orang yang menyewaku?" "Kau sekarang bekerja sebagai seorang pacar sewaan, kan?" "Tahu dari mana kau?" tanya Nuansa sembari mengernyitkan dahinya. "Orangtuamu yang memberitahuku." "Huh?" "Aku datang ke rumahmu kemarin, dan mempertanyakan keberadaanmu, mereka lalu menjelaskan bahwa sekarang kau bekerja sebagai seorang pacar sewaan. Mereka mengatakan kalau seorang pria bernama Neptunus telah menyewamu, benar bukan?" "Lantas, apa hubungannya denganmu?" "Si Neptunus itu yang telah mengubahmu, kan?" "Reynand, apa yang kau bicarakan?" "Bibi Durah dan paman Arfan bilang dia adalah orang kaya, dan aku tahu hal itu yang membuatmu berpaling dariku ke dirinya. Nuansa, aku memang bukan orang kaya, tapi cintaku tulus padamu, kukira kau mengerti." "Jadi kau mengatakan kalau aku ini matre? Gila harta?" "Aku tidak berkata seperti itu." "Ya, kau memang tidak mengatakannya, tapi itu adalah persamaan dengan apa yang kau katakan tadi. Dengar, aku bukan perempuan murahan yang mau dengan lelaki karena hartanya, jangan kau pikir kesulitan ekonomiku membuatku menjadi murahan, aku tidak suka dengan cara berpikirmu." "Tapi dia yang membuatmu berubah, kan?" "Aku berubah dalam hal apa?! Apa yang berubah dariku?! Katakan!" "Kau berpaling dariku." "Aku tidak pernah mencintaimu! Berapa kali harus kukatakan kalau aku tidak pernah mencintaimu?! Tolong hargai perasaanku, jangan paksa aku mencintaimu." "Kau berbohong pada dirimu sendiri." "Apa maksudmu?" "Kau memang tidak pernah mengatakan tentang perasaanmu yang sebenarnya padaku selama ini, kau juga mencintaiku, tapi kau tidak berani mengakuinya, sampai akhirnya si nama aneh itu datang, kau menduakanku, dan pada akhirnya kau terbuka padaku tentang perasanmu padaku yang sebenarnya sudah berubah karena si nama aneh itu. Aku tahu, Nuansa, aku paham betul dengan hal itu. Kenapa? Karena aku mencintaimu dengan tulus, bukan untuk status belaka dan membayarmu untuk hal itu." "Aku tidak mengerti denganmu. Kaulah yang berubah, ini bukan Reynand yang kukenal dulu." "Huh?" Ekspresi wajah Reynand lantas berubah menjadi sedih. "Aku menginginkan yang terbaik untukmu, aku memperingatkanmu bahwa yang terbaik adalah aku, bukan si Neptunus Neptunus itu, tapi ini balasan yang kudapatkan?" "Kau yang terbaik? Orang yang memuji diri kita, bukan diri kita sendiri. Dan asal kau tahu, Neptunus kurasa jauh lebih baik darimu." "Terserah kau saja, yang terpenting, aku sudah mengingatkankanmu, semuanya akan berakhir tidak baik dengan orang sepertinya, orang yang menjadikan uang sebagai alat untuk membuat mereka dipandang dan sangat dihormati. Mirisnya, kau adalah salah satu korbannya." Reynand lalu pergi usai mengatakan hal itu, meninggalkan Nuansa dalam perasaan tidak menyangka yang sangat dalam. Chapter 29 - Buang Air Kenapa Reynand bisa menjadi seperti ini? Bagaimana bisa Reynand berubah? Mengapa dia menyudutkanku dan mencapku sebagai wanita matre? Itulah yang dipikirkan Nuansa sekarang. Napasnya jadi tidak beraturan, gadis itu benar-benar tidak menyangka kalau semuanya akan jadi seperti ini. Reynand yang dulu dikenalnya sangat sopan dan baik kepadanya, kini mengatakan padanya kalau ia matre dan murahan. Nuansa sedikit syok, bahkan mungkin hampir bisa disamakan dengan saat Emma menumpahkan jus ke atas kepalanya. Nuansa benar-benar tidak menyangka semua ini terjadi, hanya karena ia menjadi pacar sewaan Neptunus, ia mendapatkan banyak sekali rasa sakit dalam waktu yang berdekatan. Pertama ia dipermalukan di pesta Emma, kedua kata-kata menyakitkan dari Reynand, sahabat yang sangat disayanginya, sebagai seorang sahabat tentunya. Gadis tersebut kemudian memutuskan kembali ke rumahnya dan mencoba untuk tidak menunjukkan perasaannya pada kedua orangtuanya. "Kenapa kau lama sekali?" tanya Durah saat Nuansa kembali. "Anak-anak itu lari, mereka sangat nakal, ya?" kata Nuansa, entah sudah berapa kali ia berbohong pagi ini pada ibunya. "Ya, terkadang kita memaklumi mereka karena mereka hanya anak-anak ingusan, tapi terkadang mereka memang kelewatan, untuk beberapa waktu mereka juga perlu merasakan hukuman sebenarnya." "Tapi mereka adalah anak orang, hahaha." "Hahaha, benar sekali. Bisa panjang urusannya kalau kita mengusik anak orang." *** Menjelang siang, Neptunus akhirnya datang ke rumah Nuansa di saat pacar sewaannya itu sedang mengobrol dengan kedua orangtuanya. Nuansa terlihat sudah melupakan apa yang terjadi tadi pagi antara dirinya dan Reynand, dan ia terlihat sudah siap untuk langsung pergi dengan Neptunus. Neptunus mengetuk pintu rumah Nuansa saat ia berada di depan rumah tersebut. "Eh, Neptunus. Silakan masuk," ucap Durah. "Terima kasih, bibi." Neptunus lalu masuk. "Kalian akan langsung pergi?" tanya Arfan. Neptunus dan Nuansa lalu saling melirik. "Ya," jawab Neptunus. "Baiklah, aku bersiap dulu," ujar Nuansa. "Kau terlihat sudah siap." "Pria tahu apa." Nuansa lantas pergi ke kamarnya, membuat kedua orangtuanya terkekeh. Saat Nuansa berada di dalam kamar, Neptunus mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Ternyata ia mengeluarkan amplop coklat yang berisi uang, gaji Nuansa kemarin. "Ini gaji Nuansa kemarin, paman, aku lupa memberikannya padanya semalam," ujar Neptunus sembari memberikan uang-uang itu kepada Arfan. Arfan terkejut melihat amplop itu karena amplop itu sangat tebal. Ia langsung mengerti kalau Neptunus tetap memberikan Nuansa gaji 5 juta untuk kemarin. "Tapi, Nuansa bilang gajinya tinggal 500 ribu lagi, bukankah ini sangat banyak?" tanya Arfan. "Sudah, tidak apa, ambil saja." "Eh, tidak boleh begitu, kami tetap harus fair," ucap Durah. "Bibi, rezeki kalau ditolak sangat dilarang loh, bisa seret nanti rezeki bibi," kata Neptunus. Mendengar itu, Arfan dan Durah kemudian saling melirik, mereka mempertimbangkan apakah ingin mengambil 5 juta itu atau tidak. Pada akhirnya mereka mengambilnya. "Terima kasih ya, kau sangat baik," ujar Arfan. "Sama-sama, paman, tapi aku minta sesuatu, ya?" kata Neptunus. "Apa itu? Teh? Kopi?" tanya Durah. "Hahaha, bukan. Tolong jangan beritahu Nuansa tentang ini, katakan saja padanya kalau aku tetap memberikan 500 ribu ke kalian. Gajinya hari ini akan kuberikan padanya langsung nanti." "Kenapa?" "Aku tidak mau dia mengembalikan 4 setengah jutanya, dia cukup keras kepala, tidak seperti orangtuanya, aku akan kesulitan menghadapinya nanti untuk memaksanya menerima semuanya." "Hahaha, baiklah. Dia memang cukup keras kepala dan berpegang teguh pada satu pendirian, jadi, ya, kadang memang menyebalkan. Tapi untunglah kau tahan dengannya." "Bagaimanapun, dia tetap sangat baik, sifat menyebalkannya hanya muncul beberapa saat." Durah lalu hanya tersenyum. Beberapa saat kemudian Nuansa keluar dari kamarnya dengan dandanan lebih lengkap. "Ayo," ajak Nuansa. "Ok. Paman, bibi, kami pamit ya, aku pinjam Nuansa sampai malam," ucap Neptunus sambil menyalami Arfan dan Durah. "Iya, hati-hati di jalan, ya," ujar Arfan. "Siap." "Ayah, ibu, aku pergi dulu." Nuansa ikut berpamitan seraya menyalami kedua orangtuanya itu. *** Dalam perjalanan, Nuansa menyadari bahwa sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Neptunus, bukan kampusnya, karena rute ini sangat familiar baginya, ia melewati jalan ini hampir setiap hari belakangan ini. "Loh? Kita akan pergi ke rumahmu?" tanya Nuansa. "Ya," jawab Neptunus secara singkat, padat, cepat dan tepat, untungnya tidak sambil makan ketupat. "Kau bilang kau akan mengajakku ke kampusmu." "Iya, tapi aku masuk satu jam lagi, jadi aku akan membawamu ke rumah dulu sambil menunggu satu jam lagi." "Astaga." "Tidak apa, kan?" "Tidak apa. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk sampai ke kampusmu dari rumahmu?" "45 menit." "Itu sangat jauh." "Kalau jalanan macet, kalau tidak hanya 30 menit." "Itu artinya kita hanya punya waktu sekitar 15 menit di rumahmu?" "Bisa jadi hanya 5 menit." "Kalau begitu, untuk apa kau pulang?" "Aku ingin buang air kecil, tiba-tiba aku merasa ingin membuang air kesenianku ini." "Di pom bensin kan bisa." "Tidak mau, aku ingin di rumahku saja, sekalian aku ingin mengambil kedelai goreng." "Oh, tidak. Jangan memakan itu di dalam mobil." "Memangnya kenapa?" "Kau lupa dengan kejadian saat aku muntah?" "Ew, aku ingat. Baiklah, aku tidak akan memakannya di dalam mobil." "Aku malah ingin muntah lagi jika mengingatnya." "Tidak usah lebay." "Serius." "Halah." "Kenapa?" "Kau benar-benar serius?" "Tentu saja." "AKU TIDAK PUNYA PERSEDIAAN PLASTIK, JANGAN MUNTAH SAMPAI KITA SAMPAI DI RUMAHKU YA, SAYANG." "Santai saja bicaranya, aku tidak benar-benar akan muntah." "Kau ini bagaimana sih?!" "Sekarang sudah tidak ingin muntah lagi sebenarnya karena teringat cerita Vega tentang kau." "Tentangku?" "Ya, waktu aku menunggumu di kamar Vega di hari pertama aku datang ke rumahmu, dia bercerita banyak hal tentang masa kecil kalian." "Jangan katakan-" "Kau pernah buang air besar di celana saat TKmu sedang mengadakan pertunjukan seni, kan? HAHAHAHA." "Oh, tidak, anak itu memang senang mengumbar aib orang." "Dan, dan saat itu seluruh peserta dan tamu merasa kebauan, tapi kau bukannya jujur malah pura-pura kebauan juga, astaga, hahaha." Nuansa tertawa sangat geli. Neptunus lantas hanya bisa diam menahan malu, sekarang ia benar-benar menyesal karena pernah jujur pada keluarganya akan hal itu. Chapter 30 - Kualat Sesampainya di rumah Neptunus, Nuansa tentu saja ikut Neptunus yang langsung keluar dari dalam mobilnya dan berlari secepat kilat karena air seninya sudah di ujung rudal. Bukannya tanpa alasan, Nuansa keluar karena pewangi yang dipakai Neptunus di mobilnya kurang cocok dengan selera gadis itu, jadi dirinya memutuskan keluar karena tidak tahan jika harus berlama-lama berada di dalam mobil tersebut. Nuansa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat Neptunus langsung keluar dari dalam mobilnya dan berlari dengan sangat cepat tanpa mengucapkan sepatah katapun sembari memegangi rudalnya. Gadis itu memilih jalan pelan ketika memasuki rumah. Di dalam, ia bertemu dengan Bulan yang tampak sedang buru-buru. "Bibi?" sapa Nuansa dengan wajah heran, karena seharusnya Bulan tidak berada di rumah pada jam segini. "Eh? Nuansa?" ujar Bulan seraya memeriksa tasnya. "Bibi tidak berangkat bekerja?" "Iya, aku sudah berangkat sebenarnya, tapi ponselku tertinggal, jadi terpaksa aku kembali lagi untuk mengambilnya." "Oooh." "Kau sedang apa di sini?" "Neptunus mengajakku untuk ikut ke kampusnya, dia menjemputku tadi." "Lalu kenapa kau berada di sini?" "Neptunus ingin buang air kecil, jadi dia memutuskan untuk pulang dulu, dia juga ingin memakan kedelai goreng." "Oooh. Hmm, ngomong-ngomong, apa orangtuamu tidak marah?" "Marah?" "Ya." "Kenapa harus marah?" "Kau kan pulang sangat malam semalam, apa mereka tidak marah padamu? Kau anak gadis, tidak baik pulang terlalu malam." "Jam delapan masih wajar, Bibi, jadi mereka tidak marah." "Jam delapan?" "Ya." "Tapi ... Neptunus pulang jam satu, jadi kukira kau sampai di rumah pada sekitar jam dua belas, makanya aku bertanya padamu, apakah orangtuamu marah?" "Bagaimana mungkin Neptunus pulang jam satu? Lima jam setelah aku sampai di rumah?" "Kau yakin kau pulang jam delapan?" "Ya, sangat yakin." "Kenapa kalian tidak pulang lebih malam, maksudku, pesta biasanya mulai berakhir jam sembilan atau sepuluh." "Ya, aku tidak ingin berlama-lama karena tidak biasa dengan bau alkohol, jadi aku mengajak Neptunus untuk pulang," jawab Nuansa yang berbohong. ''Semoga bibi Bulan tidak tahu tentang kejadian semalam,'' batin Nuansa. "Ooh, begitu ya. Apa mungkin Neptunus balik lagi ke rumah Emma setelah mengantarmu?" "Siapa tahu? Mungkin saja ya." "Ya, karena sepertinya dia belum menikmati pestanya." "Tapi, apa pesta itu berakhir pada jam satu, Bibi?" "Terkadang bisa saja, tapi untuk anak gadis, itu tidak baik. Cukup sampai jam 11 saja. Biasanya teman-teman perempuan Neptunus dan Vega juga pulang kurang dari jam 11 saat bermain hingga malam di sini, hampir semuanya begitu, Emma memang sedikit berbeda, tapi sepertinya para perempuan hanya akan berpesta paling lama hingga jam 12, karena besoknya mereka akan ada kuliah, kan? Belum lagi kalau misalnya punya tugas." "Ya." "Hmm, baiklah, kalau begitu aku pergi dulu, ya, aku harus mengerjakan semua pekerjaanku secepat kilat namun dengan benar, maklum saja, Eugene akan datang nanti malam." "Oooh, aku tidak sabar untuk hal itu. Apa kita akan mengadakan makan malam di sini?" "Tentu saja, dengan menu yang tidak biasa." "Woah!" "Haha, aku pergi dulu, ya." "Baiklah, hati-hati di jalan, Bibi." Bulan lantas hanya tersenyum, lalu melangkah keluar. Beberapa saat setelah Bulan keluar, Haha datang dan mengejutkan Nuansa yang hendak melanjutkan langkahnya yang ingin menyusul Neptunus. "Astaga! Ish! Bibi ini! Bikin kaget saja!" ucap Nuansa ketika ia melihat Haha dengan wajah panik. "Apa Nyonya Bulan memanggilku? Haduh, dia sudah pergi lagi ya, aku jadi tidak enak karena tidak langsung datang," kata Haha. "Tidak, bibi Bulan tidak memanggilmu, Bibi," ujar Nuansa dengan wajah heran. "Tadi ada." "Kapan?" "Barusan loh." "Huh?" "Ck, ah, kau ini." Haha lalu kembali ke dapur karena merasa kesal. Nuansa mengikutinya. Begitu sampai di dapur, Nuansa langsung balik lagi dan membuat Haha dan Hihi bingung. Sambil menutup hidungnya, Nuansa berjalan mundur. "Ada apa, nak?" tanya Hihi. "Emh, tidak suka. Aku tidak suka bau kedelai yang digoreng dengan bawang putih. Terakhir kali aku menciumnya bahkan aku sampai muntah, ingat, kan?" kata Nuansa. "Aku jadi bingung, kau ini sebenarnya drakula atau manusia? Kenapa sangat alergi terhadap bawang putih?" oceh Haha. "Aku suka bawang putih, Bibi, tapi kalau di goreng dengan kedelai, hidung dan pencernaanku rasanya sedang kiamat." Neptunus kemudian datang dan langsung masuk ke dapur dan mulai memakan kedelai goreng yang khusus dibuat untuknya. "Mmmmm, enak seperti biasanya, terima kasih gadis-gadisku," ucap Neptunus pada Haha dan Hihi. Ia lalu menyadari keberadaan Nuansa yang berdiri dan menetap seraya menutup hidung dalam jarak 15 meter dari dapur. Neptunus yang sedang mengunyah kedelai gorengnya lantas kepikiran untuk menjahili Nuansa. "Hmm," gumam Neptunus, pria itu lalu keluar dari dapur sambil membawa toples kedelai goreng itu dan berjalan mendekati Nuansa. "Hei! Hei!" teriak Nuansa. "Apa-apaan kau!" lanjutnya. "Hirup ini," ujar Neptunus yang mengarahkan toples itu ke hidung Nuansa, Nuansa mencoba menghindar, namun Neptunus terus menjahilinya. "Neptunus! Awas!" sewot Nuansa. "Rasakan ini, ini, ini hiruplah." Neptunus tampak sangat bahagia melihat Nuansa yang terlihat sangat marah dan kesal. "Rusuh kau!" seru Nuansa yang kemudian berlari menjauhi Neptunus, namun pria itu malah mengejarnya. "AAA!" jerit Nuansa sambil terus menjepit hidungnya menggunakan tangannya. "HAHAHA." Neptunus tertawa jahat. "Aduh anak muda, ada-ada saja kelakuannya," ucap Haha. "Kita pun pernah muda dan begitu juga," ujar Hihi. "Aku malah jadi teringat lagu." "Kau ini." "Mereka pun pernah muda, saatnya kau dan aku sekarang." Haha bernyanyi dengan suaranya yang tidak tepat pada nadanya. "Hm, hm, sudah salah nada, false lagi," kritik Hihi. "Alah, tahu apa kau tentang teknik bernyanyi?" "Sedikit lebih tahu dari kau." "Humph." *** Kembali ke Neptunus dan Nuansa, keduanya masih kejar-kejaran bak film India, tidak, kali ini sudah bak Tom & Jerry. Nuansa benar-benar marah, namun ia hanya bisa berlari karena Neptunus terus mengejarnya. ''Benar-benar, aku sangat sial mendapatkan klien sepertinya. Sudahlah hubunganku dengan Reynand rusak yang ku tak mengerti kenapa, lalu dia menyiksaku dengan kedelai goreng itu lagi. Ya Tuhan, jangan buat aku bertemu dengannya lagi setelah kontrak kami berakhir,'' batin Nuansa. Gadis tersebut kemudian mulai kelelahan dan berhenti berlari. Ia mengira Neptunus juga berhenti, namun ternyata pria itu sudah berada di sampingnya dan membuat dirinya terkejut setengah mati sampai secara tidak sengaja menendang rudal Neptunus saat melompat karena terkejut. "AAH!" Neptunus kontan saja kesakitan dan menjatuhkan kedelai gorengnya. "Astaga, ma- HAHAHAHA!" Bukannya meminta maaf, Nuansa malah tertawa seperti orang jahat. "KUALAT KAU! RASAKAN!" sambungnya. Chapter 31 - Tentang Semalam "Argh, kau sangat jahat," keluh Neptunus yang bahkan sampai terduduk sebab tak tahan dengan rasa sakitnya. "Makanya jangan berbuat jahat!" "Aku tidak berbuat jahat, aku hanya mengganggumu." Neptunus terus memegangi rudalnya yang masih merasakan sakit itu, entahlah, sepertinya ia merasakan suatu trauma pada bagian kejantanannya tersebut. "Itu sama saja berbuat tidak baik pada orang. Sini, minta maaf dulu padaku, pasti rasa sakitnya akan hilang." Neptunus lantas melepaskan tangan kanannya dari rudalnya dan berniat untuk menyalami Nuansa. "EH! TIDAK JADI!" ucap Nuansa yang langsung menyembunyikan tangannya. "Astaga, kenapa lagi? Apa kau tega melihatku terus-terusan kesakitan?" "Tanganmu bau ''itu'', kau memegangnya tadi, tidak jadi." "Huh?" Neptunus lalu memandangi tangannya. "Ya Tuhan ..." keluh pria itu. *** Setelah rasa sakit Neptunus hilang, Neptunus dan Nuansa akhirnya berangkat ke kampus Neptunus. sepertinya pria itu akan telat, mengingat rasa sakit di kemaluannya itu cukup lama hilangnya. "Awas kau ya," ujar Neptunus pada Nuansa. "Apa?" kata Nuansa yang seolah tidak punya dosa. "Kalau sampai aku telat, kau harus bertanggung jawab." "Loh? Kok aku?" "Kau menendang rudalku tadi, bagaimana bisa kau lupa?!" "Eh, itu karena dirimu juga yang menggangguku!" "Tapi tidak usah sampai pakai acara tendang-tendangan juga, itu sangat sakit." "Alah, kau saja yang terlalu lemah." "Kau ...!" "Anak manja." "Hei! Aku membayarmu!" "Iya! Iya!" "Bagus." "Dasar lemah." "Nuansa!!!" "Ok, aku minta maaf karena telah menendang ''itu''mu tadi." "Apa?" "Hm?" "''Itu'' maksudnya apa?" "Oh, ayolah, jangan mulai lagi." "Hei, aku hanya bertanya, aku tidak mengerti, apa yang kau maksud dengan ''itu''?" "Ck, inilah saat-saat yang kubenci dari kau." "Aku tidak mengerti, Nuansa, sungguh." "Sumpah, aku membencimu." "Loh? Aku hanya bertanya, kenapa kau membenciku? Aku bilang, aku tidak mengerti dengan apa yang kau maksud dari ''itu'', tinggal jawab saja, kan?" Nuansa lantas mendengkus. "Rudal." "Apa itu rudal?" "AKU AKAN MENGUTUKMU SUATU SAAT NANTI, LIHAT SAJA." "Hahahaha." "Itu tidak lucu sama sekali!" "Benarkah? Selera humormu rendah sekali." "Hal seperti itu tidak pantas dikatakan sebagai selera humor!" "Sok tahu." "Iiiiiiiih! Kenapa kau sangat menyebalkan?!" "Kenapa kau sangat menyebalkan?!" "Aku menyebalkan dari mana?!" "Aku menyebalkan dari mana?!" "Kau! Argh!" "Kau! Argh!" "Diamlah!" "Diamlah!" "Iiiiiiih!" "Iiiiiiih!" "Berhenti meniruku!" "Berhenti meniruku!" "NEPTUNUS!" "NEPTUNUS!" Nuansa lalu memutuskan untuk diam dan memalingkan wajahnya dari Neptunus. Ia terus menggerutu karena kesal dengan Neptunus. Neptunus tertawa geli di dalam hatinya. *** Bukannya terlambat, Neptunus dan Nuansa malah sampai 5 menit lebih awal di kampus Neptunus karena jalanan sangat lengang tadi. "Huft, syukurlah aku tidak telat," ucap Neptunus. "Kau tahu harus bersikap bagaimana di hadapan para teman-temanku, kan?" sambung Neptunus, namun ia baru sadar kalau Nuansa tertidur. "Yeee." Neptunus menggerutu kesal. "Malah tidur," lanjutnya. Ia kemudian keluar dari dalam mobilnya dan meninggalkan Nuansa di dalamnya dengan pintu yang dikunci semua dari luar. Saat keluar, Neptunus langsung jadi topik pembicaraan semua orang yang berbisik-bisik kepada lawan bicaranya. Tidak, sepertinya Neptunus sudah jadi topik pembicaraan bahkan sejak ia belum sampai ke sini tadi. Pria itu memilih cuek dengan teman-temannya yang membicarakannya, ia tahu kalau dirinya jadi bahan gosip sekarang, terlebih untuk mereka yang hadir di pesta Emma semalam. Tapi yasudahlah, mau di apakan juga mereka-mereka yang menggosipkan dirinya?. Saat Neptunus sedang berjalan, Emma memanggilnya dari belakang, gadis itu di dampingi oleh Anne, sahabatnya yang tersisa, sebab rata-rata sahabatnya sekarang menjadi musuhnya, karena mereka semua adalah mantan pacar Neptunus. Emma awalnya bersahabat dekat dengan Anne, Tiana, Zhenya dan Stephanie. Kelimanya sudah bersahabat dekat sejak masih SMP, mereka sering dianggap sebagai geng, namun mereka membatah kalau mereka membentuk geng atau squad. Kelimanya hanya bersahabat dekat biasa. Pada saat kelimanya mulai berkuliah, mereka kembali bertemu karena menempuh pendidikan di tempat yang sama setelah sebelumnya SMP dan SMA juga di satu sekolah. Dan pada masa kuliah ini lah kelimanya mulai pecah. Kedatangan Neptunus di kehidupan mereka mengubah segalanya. Emma yang dicap orang sebagai ketua dari squad, sangat menggilai Neptunus, namun Neptunus justru melirik Stephanie dan membuat gadis itu langsung dimusuhi oleh Emma, Anne, Tiana dan Zhenya. Beberapa bulan berpacaran dengan Stephanie, Neptunus memutuskan hubungannya dengan gadis itu dan berpacaran dengan Zhenya setelahnya, hubungannya dengan Zhenya juga tidak bertahan lama, dan karena hal inilah Neptunus cukup berhati-hati dalam memilih gadis untuk dipacarinya. Ia tidak ingin terus gagal dalam waktu pacaran yang sangat sebentar, jadi dirinya pun menjomblo selama lebih dari setahun. Emma selalu berusaha mencari perhatiannya, namun Neptunus tidak pernah menyukai Emma, sebab dari bahasa tubuhnya saja, Emma sudah memuakkan. Setelah cukup lama menjomblo, Neptunus akhirnya berpacaran dengan Tiana, dan untuk ketiga kalinya menghancurkan hubungan persahabatan Emma dengan sahabat-sahabat dekatnya. Stephanie dan Zhenya sekarang masih berkuliah di kampus itu, namun keduanya sudah bersahabat dekat dengan gadis lain. Tiana adalah mantan terakhir Neptunus, yang mana Neptunus sangat patah hati karena ditinggal mati oleh Tiana. Neptunus pernah menceritakan sedikit tentang Tiana pada Nuansa di awal pertemuan mereka, namun ia tidak menyebut nama mantan yang sangat dicintainya itu. Neptunus sejujurnya belum bisa move on dari Tiana, oleh sebab itulah dirinya mencari seorang pacar sewaan, namun sepertinya Nuansa telah mengubahnya. Nuansa tampaknya berhasil membuat Neptunus sedikit move on dari Tiana, tapi belum tahu juga, karena Neptunus belum pernah terbuka pada Nuansa tentang Tiana yang dicintainya. *** Kembali pada Emma, Anne dan Neptunus. Neptunus berbalik badan. "Apa?" tanyanya pada Emma dengan nada yang malas. "Tentang semalam-" "Aku tidak ingin membahasnya," sela Neptunus. Emma kemudian terdiam. Chapter 32 - Restoran Asia Timur "Siapa gadis itu?" Emma tetap bertanya meskipun Neptunus mengatakan kalau dirinya malas untuk membahas hal itu. "Kau tidak pandai bahasa Indonesia? Aku malas membahasnya," ujar Neptunus. "Jawab saja." "Kukira semalam kau paham." "Aku hanya ingin memastikan." "Dia pacarku, kenapa rupanya?" "Kenapa kau berpacaran dengan orang asing?" "Apa maksudmu?" "Kupikir setelah dengan Tiana, kau akan berpacaran dengan salah satu mahasiswi di sini." "Kenapa kau mengatur-atur hidupku?" "Aku tidak mengatur hidupmu, aku hanya bertanya karena aku tidak mengenalnya." "Kau menganggap aku perusak hubungan persahabatanmu, kan? Jadi kenapa sekarang kau belum merasa puas setelah aku berpacaran dengan gadis yang tidak kau kenal?" "Karena dia miskin, aku tahu itu, dari bahasa tubuhnya saja sudah kelihatan." "Lalu apa dampaknya untukmu?" Emma lantas terdiam. "Kau tidak mengharapkanku lagi, kan? Kau mengatakan kalau kau membenciku," kata Neptunus. "Kalau kau tahu aku membencimu, kenapa kau datang semalam?" "Kenapa kau mengundangku? Karena aku datang jika diundang." Neptunus kemudian pergi meninggalkan Emma dan Anne. "Kau masih mengharapkannya setelah semua yang terjadi," ucap Anne setelah Neptunus pergi. "Diam kau!" Emma lalu pergi. ''Aku masih tidak mengerti, kenapa dia masih menganggap semua orang takut padanya dan berlagak seolah semua orang harus tunduk padanya? Dia mengira dia sangat kaya? Semua orang di sini setara atau bahkan lebih kaya darinya,'' batin Anne, tampaknya ia pun mulai jera bersahabat dengan Emma, semua orang mulai menjauhi Emma dan hanya ia yang bertahan. *** Di dalam mobil Neptunus, Nuansa terbangun karena merasa kepanasan. Neptunus memang kelewatan, sudahlah mengunci gadis tersebut, ia malah mematikan ACnya lagi. "Hngh." Nuansa mengerang dan mengumpulkan nyawanya. "HUH? DI MANA AKU?!" ucapnya saat ia sudah sepenuhnya sadar. Nuansa berusaha membuka pintu mobil, namun sudah pasti tidak bisa. "Di mana Neptunus?!" Gadis itu akhirnya mengoceh sendiri. "NEPTUNUS!!!" teriaknya, namun kampus tersebut sangat ramai, jadi suara teriakan Nuansa tidak terdengar hingga keluar. "Sialan! Kenapa dia tidak membangunkanku dan malah mengunciku dari luar?!" gerutu Nuansa, ia lantas mencoba untuk membuka semua pintu, namun tetap tidak bisa. "Sial! Sial!" "Siapapun! Tolong aku!" jerit Nuansa, ia mulai panik. Masih tidak ada yang mendengar dan meresponnya. "Di mana?! Di mana ponselku?!" Gadis itu kemudian berusaha mendapatkan ponselnya. "Di mana?! Di mana?!" Namun tampaknya ia lupa di mana dirinya meletakkan ponsel pemberian Neptunus itu. "DI MANA?!" "ARGH!" "SIAPAPUN! HEI! KENAPA KALIAN SANGAT BUDEG?! PUNYA TELINGA KOK TIDAK DIGUNAKAN SECARA BAIK?!" "NEPTUNUS BODOH! NEPTUNUS BODOH!" Nuansa masih belum putus asa, ia melompat-lompat dalam posisi duduk dan membuat mobil itu bergerak agar menarik perhatian orang-orang. Saat gadis itu menoleh ke kiri, ia terkejut sebab sebuah wajah menempel pada kaca mobil untuk melihat apa yang terjadi di dalam. "TOLONG!" Langsung saja Nuansa meminta tolong pada pria muda berusia 20-an itu. "Neptunus mengunciku dari dalam," sambungnya. Pria itu lantas memberikan kode yang berarti kata "sebentar", kemudian pergi entah ke mana. ''Kuharap dia kenal dengan Neptunus,'' batin Nuansa. Beberapa menit kemudian, Neptunus datang dengan pria tadi dan membebaskan Nuansa dari dalam mobil yang baunya ia benci itu. "Huft. Lega," ucap Nuansa saat dirinya berhasil keluar dari dalam mobil. "Kenapa kau-!" Nuansa sadar bahwa dirinya sepertinya tidak bisa membentak Neptunus di hadapan orang lain, lagi pula ia tidak mengerti bagaimana ia harus bersikap pada Neptunus di hadapan orang lain, jadi gadis itu memutuskan untuk diam saja dan tidak jadi berbicara. "Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Neptunus pada Nuansa. "Ya, hanya sedikit sesak karena aku menahan napas, aku benar-benar membenci bau pengharum mobilmu," jawab Nuansa. "Dia gadis yang semalam, kan?" Pria yang memanggilkan Neptunus untuk Nuansa tadi bertanya. "Ya, dia pacar baruku," jawab Neptunus. "Wow, kalian kenal di mana? Kenapa aku tidak mengenalnya?" "Bahas itu nanti saja, kita seharusnya tidak berada di sini sekarang." "Astaga! Pasti sudah dimulai!" "Makanya, ayo. Jika kau ingin makan, aku merekomendasikan restoran di ujung jalan sana," ujar Neptunus pada Nuansa. "Ok," kata Nuansa. Neptunus dan pria tersebut lantas pergi, sementara Nuansa pergi ke restoran yang dimaksud oleh Neptunus. Setelah berjalan cukup jauh, Nuansa akhirnya sampai di restoran yang dimaksud Neptunus. Ternyata itu adalah restoran khusus untuk makanan ras Asia Timur, tepatnya khusus menyediakan masakan Jepang, Korea dan China. "Neptunus hobi memakan makanan Jepang, China dan Korea?" gumam Nuansa, tanpa pikir panjang, gadis itu langsung masuk ke dalam restoran dan disambut oleh pelayan yang sangat ramah. "Selamat siang, kakak," sapa si pelayan. "Engh, aku masih 21, sepertinya kau lebih tua, jangan panggil aku kakak," ujar Nuansa yang merasa tidak enak hati. Tentu saja pelayan itu bingung karena sapaan ''kakak'' umum digunakan orang zaman sekarang agar lebih sopan memanggil orang yang tidak diketahui usianya. "Tapi-" "Panggil saja aku Nuansa, nama itu memang agak aneh, tapi tidak aneh jika kau tahu nama lengkapku, memang sengaja panggilannya seperti itu agar beda dari yang lain," sela Nuansa. "B-baiklah. Nuansa ingin memesan apa?" Pelayan tersebut memberikan daftar menunya pada Nuansa. Nuansa lalu melihat-lihat menunya. Jujur, semua menunya tidak ada yang diketahui oleh Nuansa kecuali Sushi. Ia jadi ragu untuk memesan karena semua makanan itu sangat asing baginya, namun dirinya tidak mungkin mundur setelah keadaannya menjadi seperti ini. "Engh, aduh, bagaimana, ya?" gumam Nuansa. ''Dari semua menu ini, yang kuketahui hanya Sushi, dan itu pun hanya namanya saja yang kuketahui. Apa yang harus kupesan? Bagaimana kalau rasanya tidak ada yang sesuai dengan lidahku? Sial, kenapa Neptunus merekomendasikan restoran masakan Asia Timur padaku?'' batin Nuansa. "Engh, kak, Neptunus biasanya memesan apa di sini?" tanya Nuansa. "Huh?" "Ah? Tidak, tidak. Ya ampun, kenapa aku bodoh sekali? Tentu saja tidak semua orang tahu dengan Neptunus, memangnya dia orang terkenal? Hahaha." "Kau ini adiknya Neptunus?" tanya pelayan itu, pertanyaannya tentu saja mengagetkan Nuansa. "Eh?" ''Sudah kuduga, kami memang tidak terlihat seperti pasangan,'' batin Nuansa. "Kau kenal dengan Neptunus?" Nuansa bertanya balik. "Iya, Neptunus Bimasakti, kan?" Pelayan itu memastikan. "Ya, yang berkuliah di sana, aduh kampus apa itu namanya, aku lupa." "Dia langganan kental restoran ini, sudah bertahun-tahun. Setiap selesai berkuliah, dia selalu makan di sini." "Benarkah?" "Ya." "Makanan apa yang biasanya di pesan olehnya?" "Takoyaki, tidak pernah ada yang lain sejak pertama kali dia datang ke sini." "Ah, kalau begitu aku pesan Takoyaki." ''Makanan seperti apa itu?'' pikir Nuansa. "Ok, ok. Kau ini, adiknya, ya?" Pelayan berjenis kelamin perempuan itu memastikan lagi. "Eh? Hahaha, aku pacarnya," jawab Nuansa. "Huh?" Pelayan itu terkejut mendengar jawaban Nuansa. Chapter 33 - Gladys Takoyaki pesanan Nuansa akhirnya datang, dan tentu saja masih dalam keadaan panas. Pelayan yang menyambutnya tadi masih melayaninya, bahkan ia duduk untuk lanjut mengobrol dengan gadis itu. "Jadi, kenapa kau terkejut?" tanya Nuansa pada si pelayan, ia tidak langsung memakan Takoyakinya karena itu masih sangat panas. "Pertama, perkenalkan, namaku Gladys, salah satu sahabat dekat Neptunus." Pelayan yang bernama Gladys itu memperkenalkan dirinya. "Dan sebenarnya aku masih 22 tahun, jadi usia kita tidak jauh, kau bisa memanggilku hanya dengan namaku," lanjutnya. "Okay." "Kedua, aku ingin bertanya padamu, Neptunus itu bagaimana sifatnya?" "Huh?" "Ya, seperti, apakah dia baik, pendiam, atau menyebalkan misalnya." "Kenapa kau bertanya seperti itu?" "Jawab saja, nanti kuberitahu alasannya." ''Hmm, Neptunus padanya bagaimana, ya? Kalau aku jawab sifat Neptunus yang sebenarnya, nanti anak itu bisa marah, tapi kalau aku berbohong, aku harus mengatakan apa juga? Aku tidak pandai berbohong seperti Neptunus. Ah, masa bodoh lah, aku tidak mengerti bagaimana pembagian sifatnya yang merepotkan itu di hadapan orang,'' batin Nuansa. "Neptunus itu mesum, mesumnya ya ampun, seperti tidak punya batas. Dia menyebalkan, cukup berisik dan maniak BH," jelas Nuansa. "Hahahaha, ternyata dia terbuka padamu," ucap Gladys. "Apa maksudmu?" "Dia sangat terbuka padaku. Dia menceritakan kalau dia bersifat berbeda-beda di hadapan orang, dan aku tidak mengerti kenapa. Yang jelas, dia mengatakan padaku kalau dia hanya pernah bersikap sebagaimana dirinya kepada para mantannya dan aku. ''Bersikap sebagaimana dirinya'' yang dimaksud dia adalah saat dia mulai beranjak remaja, dia mulai tidak ingin menjadi dirinya sendiri di hadapan semua orang kecuali para mantannya, dan aku tidak mengerti kenapa, bahkan sampai sekarang aku tidak memahami betul akan hal itu." "Wah, sama, aku juga tidak mengerti. Tapi, kenapa dia juga terbuka padamu? Maksudku, dia mengatakan padaku kalau hanya para mantannya yang mengetahui sifatnya, kurasa yang baru-baru ini adalah yang paling tahu bagaimana sifat Neptunus yang sudah dewasa." "Entahlah, dia berbohong padamu atau mungkin saja lupa menceritakan tentangku, soal kenapa dia juga menceritakan tentang dirinya yang sebenarnya padaku, kurasa dia merasa nyaman padaku. " "Kau memiliki perasaan padanya?" "Eh? Hahahaha, aku sudah bertunangan, lihat," ujar Gladys sembari menunjukkan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya. "Kau ini dari mana? Sepertinya kau sama sekali tidak mengenali lingkungan di sekitar sini. Semua orang di kampus itu tahu kalau aku dan Neptunus bersahabat cukup dekat, tapi kami tidak terjebak cinta, bisa dikatakan kami membuktikan kalau persahabatan antara pria dan wanita itu bukan hal yang mustahil terjadi." "Ya ... Aku memang kurang mengetahui kehidupannya di sini, karena aku juga orang baru di hidupnya." "Huh?" "Aku hanya penjual keripik singkong yang terjebak cinta padanya." "Serius?" "Ya." "Maksudku, apa kalian benar-benar berpacaran? Bukan maksud untuk menyinggung pekerjaanmu, tapi, Tiana adalah cinta mati Neptunus, dia bersumpah untuk mati tanpa memiliki pasangan, dia bersumpah untuk menua tanpa seorang wanita yang menjadi pasangannya, karena Tiana benar-benar cinta matinya." "Siapa Tiana?" "Huft, tampaknya kau benar-benar orang baru. Baiklah, aku akan menjelaskan semuanya." "Semuanya dimulai tentu saja pada saat aku bekerja di sini, ketika aku bekerja di sini, aku adalah tamatan SMA dan Neptunus belum berkuliah, dia memang agak lama berkuliahnya, kan? Kalau tidak salah satu tahun setelah tamat SMA, dia baru memutuskan untuk kuliah. Beberapa minggu setelah aku mulai bekerja, dia mulai masuk kuliah, dan sejak hari pertamanya kuliah, dia sudah mampir ke sini." "Wow, benarkah?" "Ya." "Dari dulu dia hanya memesan Takoyaki, tidak pernah yang lain, dan aku tidak mengerti kenapa, terlalu banyak hal yang tidak kupahami tentangnya, hahaha. Ketika pertama kali datang ke sini, dia bersikap padaku sebagaimana dia bersikap pada orang lain, dia cool, agak pendiam walaupun sebenarnya tidak irit bicara, benar-benar mampu meluluhkan hati gadis manapun. Tapi lama kelamaan aku yang banyak bicara ini membuat dia berpikir ulang bagaimana sebaiknya dia bersikap padaku, dan pada akhirnya dia menunjukkan dirinya yang asli padaku setelah beberapa minggu dia menjadi pelanggan setia di sini." "Waktu itu dia sedang berpacaran dengan Stephanie, tapi Stephanie sangat jarang datang ke sini. Neptunus mengatakan kalau dia menganggapku sebagai sahabat sejati, makanya dia mau terbuka di hadapanku. Awalnya aku merasa jijik pada sifat aslinya, setelah sebelumnya merasa tidak percaya dengan penjelasannya mengenai sifatnya yang berbeda untuk orang lain, tapi lambat laun aku mulai menerima bagaimana dia sebenarnya dan percaya dengan penjelasannya. Satu hal yang masih aku tidak mengerti tentang penjelasannya, kenapa dia bersikap beda untuk beberapa orang? Itu hanya masih tidak masuk akal bagiku dengan alasannya," sambung Gladys. "Aku juga, itu terlalu konyol, kan? Entah apa maksudnya yang sebenarnya," kata Nuansa. "Hahaha, iya. Setelah terbuka padaku, dia mulai banyak bercerita tentang kehidupannya, kurasa hampir semua." "Jadi kau tahu tentang paman Eugene?" "Aku bahkan pernah bertemu dengannya." "Benarkah?" "Ya, Neptunus mengatakan padaku kalau paman Eugene akan datang hari ini, benarkah?" "Hu-um, aku sangat tertarik dengan hal ini." "Kenapa?" "Aku sangat menyukai Detektif!" "Dia akan sangat menarik bagimu, aku menjaminnya. Ok, balik lagi ke Neptunus. Kali ini aku akan menceritakan tentang Stephanie. Stephanie adalah pacar pertama Neptunus saat dia mulai berkuliah, Stephanie bersahabat dekat dengan gadis-gadis yang bernama Zhenya, Tiana, Anne dan Emma-" "Emma?!" "Ya, kenapa?" "Tunggu sebentar." Nuansa lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Emma pada Gladys. "Yang ini, bukan?" Nuansa memastikan. "Ya, memang ini, siapa lagi?" jawab Gladys. "Ok, ok, lanjutkan ceritamu." "Kelimanya sering dianggap sebagai squad gitu, tapi mereka membantah kalau mereka membentuk squad yang isinya mereka berlima, mereka mengatakan kalau wajar jika seseorang hanya bersahabat dekat dengan beberapa orang. Menurut Neptunus, Emma menyukainya sejak awal mereka bertemu, Neptunus mengatakan padaku kalau dia sangat muak pada Emma karena menurutnya Emma itu banyak tingkah, sombong dan memiliki semua sifat yang memuakkan, sedikit berbeda dari keempat sahabat dekatnya. Emma dan sahabat-sahabatnya pada masa awal mereka berkuliah adalah bintang kampus, jadi anak laki-laki sering berusaha untuk menaklukan hati mereka, tapi Neptunus adalah salah satu yang berbeda, karena salah satu dari kelima gadis itu menyukainya. Namun Neptunus dengan pesona dan kharismanya yang palsu berusaha mendapatkan Stephanie, Stephanie menerima cintanya karena Neptunus juga cukup populer di kampus. Menurut Neptunus, hubungan mereka hanya bertahan dua minggu-" "Itu pasti karena Neptunus terbuka pada Stephanie. Stephanie pasti merasa jijik padanya," sela Nuansa. "Hahaha, sepertinya kau juga sedang merasa begitu padanya." Chapter 34 - Dia dan Neptunus Sudah Bertunangan "Walaupun dia begitu, aku menerimanya apa adanya." "Benarkah?" "Ya, kau perlu mengenalku lebih dalam." "Ok, tapi biarkan aku melanjutkan ceritaku sekarang, kau masih mau mendengarkan, kan?" "Tentu saja mau, aku tidak tahu banyak tentang Neptunus, kami baru berpacaran selama tiga hari." "Wow, sangat baru sekali." "Jadi, ya, alasan Stephanie dan Neptunus putus adalah karena Stephanie tidak nyaman dengan sifat asli Neptunus," sambung Gladys. ''Kalau tidak dibayar pun aku juga tidak mau menjadi pacarnya,'' batin Nuansa. "Setelah putus dari Neptunus, hubungan Stephanie dengan sahabat-sahabatnya mulai merenggang, dia dianggap sebagai penikung karena Emma menyukai Neptunus sudah menjadi rahasia umum. Pada akhirnya, Stephanie tidak lagi bersahabat dengan Emma, Anne, Zhenya dan Tiana. Neptunus tidak merasa sedih akan hubungannya dan Stephanie yang kandas, dia mengatakan kalau dia hanya akan mempertahankan gadis yang menerimanya apa adanya." "Tunggu, jadi itu alasannya memiliki banyak sifat?" ujar Nuansa. "Entahlah, tapi sepertinya tidak, karena sangat aneh kalau dia bertahan dengan banyak sifat sejak dia sedang beranjak remaja, sudah lebih dari satu windu, kan? Dan kurasa jika alasan yang sebenarnya hanya karena tentang gadis, itu sangat konyol." "Hmm, benar juga." "Setelah putus dari Stephanie, Neptunus memacari Zhenya, dan sekali lagi membuat Emma memutuskan tali persahabatannya dengan salah satu sahabat dekatnya." "Apa tujuannya yang sebenarnya adalah untuk menghancurkan hubungan persahabatan orang?" Gladys sedikit terkejut mendengar perkataan Nuansa barusan. Nuansa tidak bersikap bagaimana seharusnya seorang pacar membicarakan tentang pacarnya bersama orang lain. Nuansa seperti hanya orang asing bagi Neptunus, dan memang begitulah kenyataannya. "Kenapa diam?" tanya Nuansa. "Engh? Tidak, tidak," ujar Gladys. "Baiklah, akan kulanjutkan ceritaku. Hubungan Neptunus dan Zhenya juga tidak bertahan lama, mereka putus beberapa hari setelah Neptunus menjelaskan tentang dirinya yang sebenarnya pada Zhenya, dan uniknya, baik Stephanie dan Zhenya sama-sama tidak mengumbar dan menceritakan pada orang tentang sifat asli Neptunus setelah mereka putus darinya, entah karena mereka tidak percaya atau merasa tidak peduli atau bisa saja merasa sakit hati karena merasa kalau Neptunus memang sengaja menanyakan ukuran BH mereka untuk membuat hubungan mereka dengannya kandas." "Jadi Stephanie dan Zhenya putus dari Neptunus karena Neptunus menanyakan ukuran BH mereka?" "Mungkin, soalnya Neptunus mengatakan kalau hubungannya dengan kedua gadis itu berakhir tak lama setelah dia menanyakan ukuran BH mereka. Lagi pula apa dampak baginya jika dia tahu ukuran BH pacarnya? Aku heran melihatnya." "Apa dia pernah menanyakan ukuran BHmu?" "Huh?" Sontak saja pipi Gladys memerah mendengar pertanyaan Nuansa barusan. "Tentu saja tidak!" jawab Gladys. "Hmm, benarkah? Aku tidak yakin." "Dia tidak punya hak untuk menanyakan hal seperti itu padaku, lalu bagaimana denganmu? Apa dia pernah menanyakan hal itu padamu?" Gladys bertanya balik. "Engh? Hei apa Neptunus tidak punya teman selain kau?" Nuansa mengalihkan pembicaraan. "Dia punya cukup banyak teman, tapi yang paling dekat cuma dua." "Termasuk kau?" "Tidak, aku membicarakan teman laki-lakinya." "Oalah." "Satu sudah menikah, istrinya sedang hamil, dan yang satu adalah tunanganku." "WOAH! Kau serius?" "Ya, kenapa? Kenapa kau terlihat terkejut?" "Berarti kau bisa dekat dengan Neptunus karena tunanganmu, ya?" "Tidak, aku bahkan kenal dengan tunanganku beberapa bulan setelah aku mengenal Neptunus, kami bisa kenal karena Neptunus yang sering mampir ke sini, bisa dibilang Neptunus adalah mak comblang bagi kami." "Wow, keren, keren. Siapa nama tunanganmu? Apa dia berkuliah di situ juga?" "Ya, dia berkuliah di situ juga, namanya adalah Finn, dia baik, sangat baik, sebenarnya Wisnu juga baik, tapi aku sudah jarang bertemu dengannya karena dia sudah sangat jarang mampir ke sini, dia sekarang sibuk dengan keluarganya, jadi Finn lah yang paling dekat dengan Neptunus sekarang." "Siapa Wisnu?" "Teman dekat Neptunus, loh, kan ada dua." "Oh, iya, hehe." "Aku tahu semua itu dari Neptunus, tentang Stephanie, Zhenya dan lain-lain, dia menceritakan semuanya padaku, tidak ada yang dibuat-buat karena aku sudah memastikannya pada Finn." "Siapa tahu Finn berbohong padamu." "Hei, enak saja. Kami sudah serius dalam hubungan kami, tidak ada kebohongan di antara kami." "Maaf, hehe." Nuansa lalu mulai memakan Takoyakinya. "Mmm, ini sangat enak. Baru pertama kali aku memakannya," puji Nuansa. "Hehe, terima kasih," kata Gladys. "Mhm, bagaimana dengan Tiana? Kau lupa menceritakannya padaku," ucap Nuansa. "Neptunus tampaknya tidak menceritakan apa-apa padamu, ya?" "Kami baru dalam membangun hubungan, jadi wajar saja kalau aku tidak tahu apa-apa." "Baiklah, tapi jangan merasa sedih, ya?" "Kenapa?" "Dari awal aku sudah mengatakan kalau Tiana adalah cinta sejati Neptunus." "Hm, hm, ceritakan saja, dia sudah meninggal, kan?" "Ya, kau tahu dari mana?" "Tiana mantan terakhir Neptunus, ya kan?" "Ya." "Neptunus mengatakan padaku kalau mantan terakhirnya sudah meninggal, hanya itu yang diceritakannya padaku." "Oooh, begitu, jadi kau siap mendengar ceritaku tentang Tiana?" "Ya, tentu saja, kenapa aku harus takut?" "Setelah Neptunus putus dari Zhenya, Emma mulai serius untuk mengincar Neptunus, tapi Neptunus tidak pernah mempedulikannya karena Emma menciptakan kesan yang tidak baik untuk Neptunus. Menurut Neptunus, dia melihat sesuatu yang berbeda dari Tiana, Tiana selalu menentang Emma yang berlagak seperti mengetuai persahabatan mereka, bahkan setelah Emma terkesan mengeluarkan Zhenya dari persahabatan mereka, Neptunus mengatakan kalau Tiana terlihat mulai menjauhi Emma dan Anne, dan hal inilah yang membuat Neptunus tertarik pada Tiana." "Neptunus mengatakan Tiana sangat baik, aku pernah bertemu dan berkenalan dengan Tiana, dia memang baik dan sangat ramah, tapi aku tidak terlalu mengenalnya sebetulnya. Neptunus bilang, ketika dia membuka diri di hadapan Tiana, Tiana bereaksi biasa saja, Tiana seperti menganggap apa yang dikatakan Neptunus itu sebagai lelucon, dan menurut Neptunus, Tiana jujur tentang ukuran BHnya. Tiana orangnya sangat lembut, namun tidak lemah, Neptunus menceritakan dengan sangat jelas bagaimana kagumnya dia pada Tiana padaku, jadi aku paham betul bagaimana dia sangat mencintai Tiana," sambung Gladys, Nuansa lantas hanya terdiam. "Neptunus mengatakan padaku kalau awalnya Tiana seperti menganggap semua penjelasannya tentang dirinya adalah lelucon, tapi lama kelamaan dia mulai percaya, dia menerima Neptunus apa adanya, dan terus merasa penasaran dengan alasan Neptunus yang sebenarnya, seperti kita, Tiana juga merasa kalau alasan Neptunus sangat aneh dan konyol. Tapi sayangnya Tiana pun tidak sempat mengerti sepenuhnya Neptunus itu bagaimana, dia meninggal di usia yang sangat muda." "Dan ketika meninggal, sebenarnya dia dan Neptunus sudah bertunangan." Pernyataan Gladys barusan sontak membuat Nuansa terkejut. Apa Gladys bercanda? Pikir Nuansa. Chapter 35 - Aku Bukan Siapa-Siapa "Neptunus sudah bertunangan sebelumnya?" Nuansa memastikan lagi. "Ya, dia dan Tiana benar-benar saling mencintai. Kalau sudah bercerita tentang Tiana padaku, Neptunus seperti merasa hanya ada dua manusia di dunia ini, Tiana dan dia, karena yang hanya diceritakan betul-betul hanya Tiana, dari awal pembicaraan sampai pembicaraannya berakhir. Jadi kau bisa membayangkan bagaimana hancurnya Neptunus ketika Tiana meninggal," ucap Gladys. "Apa yang menyebabkan Tiana meninggal?" "Dia diserang geng motor tanpa alasan yang jelas." "Geng motor?" lirih Nuansa. "Ya." "Itu artinya Tiana meninggal dengan cara yang sama dengan paman Jupiter." "Tepat sekali. Jadi, ya, Neptunus sangat hancur ketika Tiana meninggal. Aku datang ke pemakaman Tiana, dan ketika semua orang meninggalkan aku dan Neptunus berdua di makam Tiana, di hadapanku Neptunus bersumpah bahwa Tiana adalah cinta sejati sehidup sematinya, dia bersumpah tidak akan mencintai wanita manapun lagi, kecuali mungkin adik dan ibunya. Makanya aku sempat heran ketika kau mengatakan kalau kau adalah pacarnya. Bukankah sumpah tidak boleh dilanggar? Itu akan berakibat fatal, kan?" Nuansa lantas terdiam sambil menunduk. Gadis itu kemudian menarik napas panjang. "Sebenarnya aku bukan pacar Neptunus, jadi dia tidak melanggar sumpahnya," ujar Nuansa. Pernyataannya ini tentu saja membuat Gladys terkejut. "Kau serius?" tanya Gladys dengan kening yang mengerut. "Ya, aku hanya pacar sewaannya. Aku tahu kalau seharusnya aku tidak mengatakan ini padamu, karena ini melanggar perjanjian antara aku dan Neptunus, tapi, aku tidak ingin kau berpikir buruk tentangnya." Gladys terdiam sesaat. "Kenapa Neptunus menyewa seorang pacar?" "Entahlah, apa hanya kau yang tahu tentang sumpahnya?" "Ya." "Dia mengatakan padaku kalau keluarga dan teman-temannya terus menanyakan pasangan barunya. Neptunus terkenal playboy, kan? Jadi kurasa untuk orang-orang yang tidak tahu tentang sumpahnya, mereka akan terus menanyakan hal itu karena Neptunus itu playboy." "Dan dia menyewamu untuk membungkam mereka?" "Ya. Dan sekarang kurasa akan marah jika dia tahu aku menceritakan semuanya padamu." "Tidak apa, aku tidak akan mengatakan hal ini pada siapapun, termasuk pada Neptunus, yang ingin kupastikan hanya dia memang sangat mencintai Tiana, itu saja." "Ya, tampaknya memang dia sangat mencintai Tiana, dia tidak melanggar sumpahnya. Sebelum kenal dengan Neptunus, aku hanya penjual keripik singkong biasa, aku hanya orang miskin, tidak ada hal yang bisa membuatku mengenal Neptunus, kami hanya diperkenalkan melalui hubungan kerja, kami ... ya, kami menipu semua orang." "Tapi itu membuat Neptunus masih pada sumpahnya, aku kagum padanya." Nuansa tersenyum. "Janji untuk tidak menceritakan ini pada siapapun, ya? Aku menceritakan ini padamu karena aku percaya padamu, aku tahu kau orang baik yang tidak memiliki niat buruk apapun pada Neptunus." "Ya, aku berjanji. Namamu Nuansa, kan? Mulai sekarang kita adalah sahabat," ucap Gladys. "Salam kenal," ujar Nuansa, keduanya lantas bersalaman. Nuansa pun kemudian menghabiskan Takoyakinya. *** Setelah cukup lama berada di restoran Asia Timur tersebut dan mencoba beberapa makanan Asia Timur, Nuansa pun kembali ke kampus Neptunus. Ia tidak mendapati Neptunus di mobilnya, dan sepertinya jam kuliah beberapa kelas baru selesai sekarang. "Dia belum selesai?" gumam Nuansa. "Hmm, kupikir aku sudah kelamaan berada di restoran itu. Eh, restoran itu apa namanya, ya?" lanjutnya. ''Sambil menunggu Neptunus yang sepertinya akan lama, lebih baik aku mengingat-ingat nama restoran itu, walaupun sepertinya ini akan sulit,'' batin Nuansa. Baru 2 detik ia mulai berusaha mengingat nama restoran itu, namun tiba-tiba seorang mahasiswa datang menghampirinya. "Halo," sapa pria itu. Ternyata pria itu adalah pria yang memanggilkan Neptunus tadi dan menolong Nuansa yang terjebak di dalam mobil. "Eh?" kata Nuansa. "Kau yang tadi, kan?" sambung gadis tersebut. "Iya, namaku Finn." "Finn? Finn Harold?" "Loh, kau tahu nama lengkapku dari mana?" "Gladys, tunanganmu." "Oh, iya, hahaha, kau habis dari sana, ya?" "Iya, Neptunus menyuruhku tadi. Ternyata kau yang bernama, Finn, ya? Kau tidak kalah baiknya dengan Gladys." "Aku bukan orang baik, aku tidak menolongmu di pesta Emma semalam." "Kau ada di sana semalam, ya?" "Ya, aku dalam keadaan mabuk, maaf karena aku tidak menolongmu dan malah hanya menonton saja." "Tidak apa, kurasa aku memang pantas diperlakukan seperti itu oleh Emma." "Kenapa?" "Dia benar, aku merusak pestanya." "Tapi perlakuannya padamu itu diluar batas, kalau saja dia hanya memarahimu kurasa tidak masalah." "Hahaha, sudahlah, tidak usah dibahas lagi, itu sudah berlalu, dan Neptunus sudah menyelamatkanku." "Caranya sedikit ekstrem, ya? Seperti di dunia ini tidak ada yang namanya tisu atau kain lap." "Hahaha, itulah Neptunus." "Jadi, kau adalah pacar barunya, ya?" "Ya, namaku Nuansa." "Nuansa? Cukup aneh dan tidak cocok untuk dijadikan sebuah nama, ya?" "Kupikir juga begitu, aku bahkan sempat ribut dengan orangtuaku hanya karena nama itu, aku marah pada mereka saat usiaku 12 tahun, aku protes pada mereka dengan mengatakan kalau namaku tidak ada artinya. Nama lengkapku sebenarnya Nuansa Indahsari, ada artinya jika lengkap, tapi aku sempat marah pada orangtuaku, aku mengatakan "Kenapa nama panggilanku bukan Indah atau Sari, saja? Itu lebih umum dan cocok untuk jadi nama panggilan, kan? Lagi pula itu punya arti. ''Nuansa'' itu tidak punya arti untuk dijadikan nama jika tidak ada sambungannya, makanya tidak cocok untuk dijadikan nama panggilan.'' dan tebak, apa jawaban mereka? Mereka mengatakan kalau ''Nuansa'' sangat jarang dipakai untuk sebuah nama panggilan, atau mungkin tidak ada selain aku, makanya mereka memanggilku dengan nama itu agar aku hanya menjadi satu-satunya yang punya nama itu. Mereka tidak peduli jika ''Nuansa'' tidak seharusnya menjadi nama panggilan, karena ada orang diluar sana yang bisa memiliki nama panggilan yang tidak ada di nama lengkapnya, jadi bagi orangtuaku, itu tidak masalah. Awalnya aku masih keberatan dengan alasan mereka, tapi lama kelamaan, kurasa mereka ada benarnya. Nama adalah doa, kan? Nama lengkapku memiliki arti yang bagus, tapi untuk panggilan, itu tidak dihitung selama artinya tidak buruk, jadi, ya, lama kelamaan aku mulai bisa menerimanya," jelas Nuansa dengan 2 kali panjang lebar. Sudah seperti rumus Matematika. "Hmm." Finn mencoba memahami penjelasan Nuansa yang panjang barusan. "Begitu, ya," lanjutnya. "Engh, kalian kenal di mana? Dan di mana pertama kali kalian bertemu?" tanya Finn. "Kenapa kau ingin tahu soal itu?" Nuansa bertanya balik, karena selain dirinya tidak tahu harus menjawab apa, itu juga seharusnya bukan urusan Finn, kan?. "Aku sahabat dekat Neptunus sejak kami masih SD, dia adalah kakak kelasku dulu, tapi sekarang kami satu kelas." "Karena dia telat masuk kuliah, ya?" "Ya, dia sempat tidak ingin berkuliah, tapi entah kenapa dia akhirnya mau berkuliah. Kami mengambil satu jurusan yang sama di kampus yang sama, dan satu kelas pula, jadi, yasudah, kami semakin bersahabat dekat. Sejak SD walaupun kami tidak sekelas, aku dan Neptunus bersahabat dekat, jadi aku mengenal hampir semua orang yang dikenalnya. Cukup mengejutkan aku tidak mengenalmu sebelumnya, makanya aku bertanya seperti itu padamu." "Aku ... Aku sebenarnya bukan siapa-siapa." "Huh?" Chapter 36 - Bertanya "Aku hanya seorang pedagang keripik singkong." "Pengusaha keripik singkong maksudmu?" "Engh ..." Nuansa bingung harus menjawab apa lagi, lalu dari kejauhan dilihatnya Neptunus berjalan mendekatinya dan Finn. "Ada apa?" tanya Finn yang merasa heran karena Nuansa terdiam dengan pandangan yang fokus pada satu titik. "Engh, tidak, itu ... Itu Emma, kan?" ucap Nuansa seraya menunjuk Emma, padahal ia tidak melihat Emma tadi. "Ya." "Aku menghampirinya dulu, ya." "Untuk apa?" "Kau lihat saja." Nuansa lalu pergi menghampiri Emma yang berada berada di arah jam 1 dari Neptunus, membuat Neptunus mengira kalau gadis itu akan menghampirinya, namun ternyata tidak. ''Kalau tiba-tiba aku mengatakan ''Ah, itu Neptunus.'' padanya tadi, dia akan mengira aku menyembunyikan sesuatu karena berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi untunglah aku tiba-tiba melihat Emma, jadi aku bisa berdalih walaupun sebenarnya aku belum siap untuk berbicara dengannya,'' batin Nuansa. "Mau ke mana dia?" gumam Neptunus yang tidak melepaskan pandangannya dari Nuansa yang sama sekali tidak mempedulikannya. "Emma!" panggil Nuansa. Emma yang sedang berjalan sendiri pun lantas menoleh ke Nuansa. "Aku Nuansa, yang semalam merusak pestamu," ujar Nuansa saat Emma menoleh kearahnya. Sesaat setelah Nuansa mengatakan itu, Emma langsung pergi meninggalkan gadis tersebut, melanjutkan langkahnya. "Setidaknya aku sudah berniat baik," gumam Nuansa. Ia lalu berbalik badan, namun ketika dirinya berbalik badan, Neptunus tiba-tiba sudah berada di belakangnya, dan tentu saja Nuansa menabraknya. Nuansa hampir terjatuh setelah menabrak Neptunus, tapi untungnya Neptunus menangkap dan menopang tubuhnya. Keduanya pun sontak menjadi pusat perhatian satu kampus termasuk Emma karena momen romantis mereka. Melihat hal itu, Emma tentu saja langsung terbakar, ia lantas memilih pergi dari sekitar situ. Neptunus dan Nuansa kemudian terjebak dalam aksi saling tatap, namun kali ini Nuansa tidak membiarkan hal tersebut menjadi hal yang romantis, ia justru mencubit tangan Neptunus, dan tentu saja Neptunus kesakitan, Nuansa membuat dirinya sendiri terjatuh dan menjadi bahan tertawaan orang-orang. Bukannya merasa kesal pada Neptunus atau merasa malu, Nuansa justru ikutan ketawa geli. "Apa yang kau lakukan?" bisik Neptunus. "Kau tidak menunjukkan sisi kepura-puraanmu jika kita seperti itu tadi," kata Nuansa. "Justru dengan begitu aku terlihat begitu cool, kau merusak segalanya." "Tapi, lihat, mereka semua tertawa." "Itu karena kau terjatuh, bodoh!" "Ya, itu lucu, kan? Hahaha." "Kau sedang bercanda atau bagaimana? Kenapa kau malah ikut tertawa? Kau sedang jadi bahan tertawaan, Nuansa." "Aku tahu, tapi yang tadi itu benar-benar lucu. Aku tahu disaat apa aku harus ikut tertawa, Neptunus." Neptunus lantas tertawa. ''Syukurlah dia memiliki pola pikir seperti itu. Dia tidak memasukkan segala bentuk ejekan ke dalam hatinya, aku salut pada gadis ini,'' batin Neptunus. *** Nuansa dan Neptunus lantas kembali ke area parkir. "Di mana Wisnu?" tanya Neptunus pada Finn. "Sudah pulang," jawab Finn. "Nuansa, apa yang kau lakukan pada Emma tadi?" tanya Finn pada Nuansa. "Aku ingin meminta maaf padanya dan mengakhiri semua keributan. Memangnya kenapa?" "Apa? Kau serius?" "Apa aku terlihat sedang bercanda?" "Tapi, bagaimana kau bisa berpikiran seperti itu?" "Ya memang harus seperti itu, kan?" "Entahlah." "Kau akan langsung pulang?" tanya Neptunus pada Finn. "Ya. Di mana kalian bertemu pertama kali? Dan sudah berapa lama kalian saling kenal?" "Kenapa?" "Kenapa aku tidak pernah mengetahui tentang Nuansa?" "Apa semua orang yang kukenal harus kuberitahu dan kulaporkan padamu?" "Ya ... Tidak sih, bukan begitu maksudnya, tapi tumben sekali kau tidak memperkenalkan seorang gadis yang kau taksir pada temanmu. Sejak kau SD kau sudah gembar-gembor padaku kalau kau akan mendapatkan hati si A, si B dan si C, tapi kenapa sekarang tidak?" "Karena itu bukan tradisi, jadi aku boleh berhenti dan tidak melanjutkannya, aku tidak punya kewajiban juga untuk memberitahumu, kan?" Finn lantas mendengus. "Yasudahlah, aku pulang dulu, aku akan manggung di sebuah kafe hari ini." "Semoga lancar." "Terima kasih." "Manggung di kafe?" tanya Nuansa. "Ya," jawab Finn. "Istilah untuk apa itu?" "Itu bukan sebuah istilah." "Hahaha, baiklah, baiklah, aku suka gaya bercandamu." "Ah, terserah kau saja lah." Finn kemudian menaiki mogenya dan pulang. "Usahamu untuk merangkul Emma sia-sia, kan?" ucap Neptunus pada Nuansa usai Finn pergi. "Setidaknya aku sudah berusaha," ujar Nuansa. *** Dalam perjalanan pulang ke rumah Neptunus, Nuansa bertanya sesuatu pada pria tersebut. "Neptunus," panggil Nuansa. "Hng?" sahut Neptunus dengan nada tidak ikhlas. "Ish, serius!" "Iyaaaaaa, aku serius." "Tidak jadi kalau begitu." "Kau ini kenapa?!" "Aku ingin bertanya sesuatu padamu, tapi kaunya begitu, ya tidak jadi." "Kau merusak khayalanku, jadinya aku sedikit kesal." "Mengkhayal apa kau?" "Perempuan dilarang kepo." "Sudah kuduga, hal-hal seperti itu lagi." "Yasudah, apa yang ingin kau tanyakan?" "Sebelum aku bertanya, kau harus berjanji akan menjawabnya." "Kenapa?" "Sudahlah, berjanji saja." "Tidak mau." "Iiih!" "Iya, iya, untuk Nuansa yang cantik apa yang tidak." "Hehehe, terima kasih. Aku ingin bertanya, ini tentang Tiana." Neptunus lalu terdiam ketika Nuansa menyebut nama Tiana. "Tiana?" Neptunus memastikan. "Ya." "Ada apa rupanya?" "Kau merindukannya?" "Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu? Dan tentang Tiana pula." "Gladys menceritakan tentang Tiana padaku, aku turut berduka cita ya atas kematiannya." "Pantas saja, kerjaan Gladys ternyata." "Jangan marah padanya, tidak masalah kalau aku tahu, kan?" "Tidak masalah, tapi aku tidak ingin membahas tentang Tiana lagi." "Oh, baiklah, aku mengerti." "Baguslah, tapi aku tetap akan menjawabmu. Ya, aku sangat merindukannya. Jika Gladys yang menceritakannya padamu, kau pasti mengerti bagaimana perasaanku padanya, kan?" "Ya, kuharap dia tenang di surga." "Amin." "Jadi ... Aku sudah membuatkan paspor untukmu," sambung Neptunus. "Paspor?" Nuansa tampak bingung. "Ya, pacarku harus punya paspor." "Tapi kan aku hanya pacar sewaanmu." "Dari Stephanie hingga Tiana, aku pernah jalan-jalan ke luar negeri bersama mereka di dua minggu pertama kami berpacaran, jadi dalam satu bulan ini kita harus pergi ke luar negeri sebelum membuat drama putus, agar kita terlihat seperti sedang berpacaran sungguhan." "Hmm, tapi, bagaimana kau bisa membuatkanku sebuah paspor?" "Semalam ketika aku mengantarmu pulang, aku meminta data dirimu, kan?" "Ya." "Tapi kau sama sekali tidak bertanya untuk apa, jadi ya aku diam saja." "Kupikir hanya untuk dokumen pribadimu, ternyata untuk paspor. Kapan jadinya?" "Kurasa besok sudah jadi." "Cepat sekali." "Aku kenal dengan orang dalam, anaknya adalah teman kuliahku juga, jadi urusannya sangat gampang." "Oooh begitu. Tapi, kalau kau mengajakku jalan-jalan ke luar negeri untuk membuat orang-orang percaya bahwa kita berpacaran, aku ingin ke Paris, kota romantis idamanku." "Enak saja kau, sudah gratis, mau request pula." "Hehehe, siapa tahu kita satu tujuan." "Tidak, tidak, aku sudah pernah ke Paris, jadi aku tidak tertarik untuk pergi ke sana bersamamu." "Jadi kau ingin kita ke mana?" "Hmmm, ke mana, ya? Aku belum memikirkannya." Nuansa tiba-tiba berdoa. "Ya Tuhan, ke Paris, amin." Neptunus pun hanya bisa geleng-geleng kepala melihat pacar sewaannya tersebut. Chapter 37 - Kopi Sesampainya di rumah Neptunus, Nuansa langsung mencium bau berbagai masakan, padahal ia masih berada di dalam mobil. "Ibumu benar-benar melakukan acara penyambutan besar untuk paman Eugene, ya?" ucap Nuansa pada Neptunus. Neptunus lantas hanya mengangkat bahunya sambil membentuk huruf N kecil di mulutnya. Keduanya lalu keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju rumah. "Hmm, sekarang bau kopi. Kenapa bibi Haha dan bibi Hihi membuat kopi sekarang? Ini masih sore, bahkan sepertinya bibi Bulan belum pulang," ujar Nuansa. Neptunus hanya diam. "Halo? Aku tidak sedang berbicara sendiri, loh," sambung Nuansa, ia tidak mendapat sahutan apa-apa dari Neptunus sejak tadi. "Kau bertanya padaku?" tanya Neptunus. "Argh!" keluh Nuansa. "Aku mana tahu apa-apa, kenapa kau tidak menanyakannya langsung pada bibi Haha atau bibi Hihi, kan mereka yang mempersiapkan segalanya, bukan aku," kata Neptunus. "Aku bertanya padamu karena kupikir kau tahu, tapi ternyata kau bersikap bodo amat." "Aku tidak bersikap bodo amat, aku tidak dianggap, aku tidak diberitahu apa-apa tentang konsep penyambutan ini, jadi ya aku tidak bisa menjawab apa-apa untuk pertanyaan-pertanyaanmu." "Ya karena kalau kau diberitahu juga kau tidak peduli." "Jika diberitahu, walaupun aku tidak peduli, tapi setidaknya aku bisa menjawabmu dan tidak membuat kau merasa dicuekin, kan?" "Ah, terserah kau saja." Nuansa kemudian masuk duluan. ''Memang sangat susah untuk membicarakan paman Eugene dengannya,'' batin Nuansa, gadis itu langsung pergi ke dapur dan meninggalkan Neptunus. Di dapur, Nuansa mendapati Haha dan Hihi yang sedang memasak beragam makanan, di sana juga ada Vega yang sedang menghaluskan biji kopi. "Wah, aroma masakan kalian tercium sampai keluar, loh," ucap Nuansa saat dirinya baru masuk ke dapur. "Nuansa?" ujar Haha. "Benarkah?" lanjutnya. "Ya. Aku jadi tidak sabar untuk menyambut paman Eugene, melihat makanan-makanan yang sepertinya sangat enak ini, aku jadi tidak bisa menunggu paman Eugene!" Haha dan Hihi lantas saling melirik. "Yasudah, silakan kau cicipi," kata Hihi. "Boleh?" tanya Nuansa. "Aku baru saja mempersilakanmu, kan?" "Tapi-" "Sudah, cicipi saja yang mana yang ingin kau cicipi, tidak usah banyak tapi tapi." "Terima kasih, bibi Hihi, bibi Haha! Aku cicipi semua, ya!" "Semua pun silakan, asal hanya mencicipi. Tidak sopan jika kau memberi makanan sisa untuk Tuan Eugene dan Nyonya Bulan, kau tahulah maksudku, seharusnya mereka yang makan duluan, tapi jika kau ingin mencicipinya tidak masalah," ucap Haha. Nuansa lalu melirik Vega, ia seperti meminta persetujuan dari adik Neptunus itu. Vega lantas mengangguk padanya. "Baiklah," ujar Nuansa, ia langsung mencicipi semua masakan yang sudah jadi, meskipun itu belum semuanya. "Mmmm." Nuansa merasa masakan-masakan Haha dan Hihi yang barusan dicicipinya itu sangat enak. "Luar biasa!" pujinya. "Luar biasa tidak enak, ya?" kata Hihi. "Hmm, bibi Hihi ini, jangan merendah, kalian memang seperti koki hotel bintang lima." "Haha." "Apa?" tanya Haha. Mendengar itu, Hihi pun memutar kedua bola matanya dan melanjutkan pekerjaannya. Haha tentu saja merasa bingung karena pertanyaannya tidak dijawab. "Memanggil, ketika disahuti malah diam, dasar adik kurang ajar," sindir Haha. "Aku tertawa! Puas kau?!" sewot Hihi yang tidak terima disebut sebagai adik kurang ajar. Haha lantas hanya bisa diam, ia kalah malu. Nuansa pun terkekeh kecil melihat tingkah kakak adik kembar tidak identik itu. "Kau sedang apa, Vega?" tanya Nuansa usai dirinya mencicipi semua masakan yang sudah jadi. "Ini, aku sedang menghaluskan biji kopi," jawab Vega. "Menghaluskan biji kopi? Oh, menjadikan biji kopi ke dalam bentuk bubuk, ya?" "Iya." "Untuk apa?" "Ya tentu saja untuk nanti malam." "Tapi paman Eugene kan belum datang." "Memang, ibu saja masih di kantor." "Lalu kenapa kau membuat kopi sekarang?" "Aku hanya menghancurkan biji kopinya, setelah jadi bubuk, yasudah nanti bibi Haha dan bibi Hihi yang membuatnya." "Kenapa begitu?" Vega sontak mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan dari Nuansa barusan. "Kenapa?" Nuansa merasa bingung karena Vega heran melihatnya. "Kau tidak tahu kalau kami adalah pemilik gerai kopi? Ibuku adalah pengusaha kuliner, yang bergerak dalam bidang minuman, tepatnya di kopi, sebelumnya ayahku, sih, ibuku hanya menggantikan posisinya. Jadi ini adalah trik dagang kami, menurut ayah, jika kita menghancurkan biji kopi 3 jam sebelum kopinya diseduh, maka kita akan mendapat rasa terbaik di secangkir kopi." "Kenapa begitu?" "Entahlah, tapi memang benar, dan itu yang membuat usaha kami maju." "Jadi kalian hanya menjual minumannya saja? Bukan biji kopinya?" "Bukan. Kak Neptunus tidak menceritakannya padamu?" "Tidak, dan aku memang tidak pernah bertanya padanya tentang usaha kalian." "Kami memiliki 500 gerai di seluruh Indonesia, makanya ibu sangat sibuk." "Wow, 500 gerai?" "Ya." "Boleh aku mencicipi kopi buatanmu?" "Hahaha, kalau untuk kopi kau boleh meminumnya seberapapun yang kau mau, asal masih dalam dosis normal." "Baiklah, baiklah, satu cangkir saja." "Ok, akan aku buatkan dengan biji kopi yang dihancurkan 3 jam yang lalu." "Jadi rahasia laris kalian adalah dengan menyeduhkan kopi yang 3 jam yang lalu masih dalam bentuk biji?" "Ya, aku pun tidak mengerti, seperti yang kukatakan tadi, ayah mengatakan kalau itu akan membuat rasa kopinya jadi jauh lebih enak dan berbeda dari kopi mana pun di dunia ini, dan itu terbukti benar, tapi aku tidak mengerti kenapa bisa begitu, kenapa harus 3 jam, dan kenapa harus begitu lah, tidak ada yang mengerti. Kami hanya menjalankan rahasia di balik resepnya." "Jadi itu ciri khas, ya?" "Kalau dibilang ciri khas, mungkin bisa, tapi memang rasanya jadi lain kalau memakai cara itu. Ini, kau rasa saja sendiri." Vega memberikan kopi buatannya pada Nuansa. Kopi itu masih berbentuk biji untuk 3 jam yang lalu, lalu dihancurkan dan baru diseduh sekarang. Nuansa pun langsung menyeruput kopi tersebut karena penasaran, ia bahkan tidak peduli kalau kopi itu sebenarnya masih sangat panas. "Mmm." "Awas panas. Aduh, setidaknya tunggu 3 menit," ucap Vega. "Itu akan membuat kopinya menjadi lebih enak?" "Lebih dingin." "Oalah, hehe." Nuansa pun lantas menaruh kopinya ke atas meja dan menunggu selama 3 menit. 2 menit pertama gadis itu hanya menatapi kopi tersebut, resep rahasianya benar-benar aneh, namun itulah yang membuat usaha Jupiter Bimasakti bisa sampai semaju sekarang ini. Belum genap 3 menit Nuansa menunggu sesuai dengan saran dari Vega, tiba-tiba Hehe datang dengan membawa vacum cleaner. "Ada yang memanggilku?" tanya Hehe. "Hngh?" Semua yang berada di dapur tentu saja merasa bingung. Hehe sebenarnya datang karena Nuansa berkata "Oalah, hehe." tadi, namun entah kenapa wanita paruh baya itu baru datang sekarang dan membuat semuanya kebingungan. "Tidak ada," jawab Vega. "Tapi tadi ada yang bilang ''oalah, hehe.''," ujar Hehe. Haha, Hihi, Nuansa dan Vega kemudian hanya bisa diam karena mereka tidak merasa ada berkata seperti itu tadi. Namun Nuansa akhirnya mengingat bahwa 3 menit yang lalu ia berkata seperti itu. "Oh! Itu aku, hehehehehehehe," kata Nuansa. ''Harus benar-benar panjang ternyata agar tidak dikira sedang memanggil. Duh, ini cukup merepotkan,'' batin Nuansa. Chapter 38 - Topik Pembicaraan "Kau?" Haha memastikan. "Ya, tadi aku mengatakan itu, hehehehehehehehehe." "Ah, tidak jelas. Sudahlah, aku mau lanjut bekerja dulu," sewot Hehe yang kemudian pergi. ''Padahal dia yang tidak jelas,'' batin Nuansa. *** Sekitar 2 jam kemudian, Bulan akhirnya pulang. Ibu Neptunus dan Vega itu langsung pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri, jadi sepertinya tidak ada yang mengetahui kepulangannya kecuali Hoho yang sedang memotong rumput di halaman depan. *** Di ruang tamu, Nuansa dan Vega bercerita banyak hal, mulai dari tentang pelajaran sampai tentang sekolah Vega. "Kenapa ya selalu ada murid yang menyebalkan di setiap sekolah?" ucap Nuansa. "Entahlah, tapi untungnya kami sekarang sudah berdamai," ujar Vega. "Benarkah?" "Ya." "Jadi Klywn memilih siapa? Kau atau Yehna?" "A-aku," jawab Vega sambil malu-malu, pipinya memerah seperti kepiting rebus sekarang. "Ho! Benarkah?! Itu artinya kalian sekarang berpacaran?" "Sssssssht." "Kenapa?" "Jangan berisik seperti itu, ibuku melarangku untuk berpacaran selama masih sekolah, dia mulai memperbolehkanku jika aku sudah selesai sekolah, tidak apa jika aku berkuliah sambil berpacaran, karena katanya aku sudah dewasa jika saat itu datang." "Itu tidak adil, bukankah Neptunus sudah berpacaran sejak dia masih SD?" "Sejak masih SD? Bukankah kak Neptunus juga mulai berpacaran sejak kuliah? Pacar pertamanya adalah kak Stephanie, kan?" ''Waduh, ternyata itu juga jadi rahasia Neptunus. Anak itu, kenapa dia punya banyak sekali rahasia? Masa iya aku harus berpikir 10 menit dulu jika ingin berbicara tentangnya hanya agar menghindari ocehannya?'' batin Nuansa. "Huh? Iyakah? Oh, astaga, iya, aku hanya mimpi," kata Nuansa. "Mimpi?" "Ya, semalam aku bermimpi kalau aku adalah teman Neptunus semasa SD dan kami berpacaran, sangat aneh karena di dalam mimpiku itu, aku bukanlah diriku, aku adalah orang lain." "Oalah, kau masih kebawa mimpi, hahahahaha." "Hehehehehe." ''Tapi Neptunus dan Vega ternyata sama-sama bandal, mereka tidak mentaati aturan yang ibu mereka berikan, mereka berpacaran. Astaga, bagaimana reaksi bibi Bulan jika dia tahu tentang kenakalan anak-anaknya? Terlebih lagi Neptunus, dia mencium seorang anak perempuan di bibir pada usia 10 tahun. Kurasa rumah ini bisa bergetar hebat, hihihi,'' batin Nuansa. "Tapi kau berjanji untuk tidak mengatakan ini pada siapapun di rumah ini, ya? Ini adalah rahasia diantara kita," ujar Vega. "Baiklah, kau bisa mempercayaiku. Bagaimana dengan teman-temanmu? Apa mereka tahu tentang peraturan yang diberikan ibumu?" tanya Nuansa. "Mereka tahu, tapi mereka tidak kenal dengan ibuku karena kesibukan ibuku, jadi, ya, aku selamat jika saat mereka tidak suka padaku, mereka tidak akan melaporkan hal-hal yang tidak-tidak pada ibuku." Nuansa lantas hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau ini." "Hehehe, aku kan juga ingin merasakan berpacaran, bukan hanya jatuh cinta." "Ya, ya, aku mengerti." "Apa kau melihat Neptunus? Sejak tadi aku tidak melihat batang hidungnya," kata Nuansa. "Entahlah, mungkin dia sedang berada di kamarnya," ucap Vega. ''Di kamarnya? Sebaiknya aku tidak mengganggunya, dia pasti sedang melakukan sesuatu dengan koleksinya,'' batin Nuansa. Selang beberapa menit kemudian, Bulan masuk ke ruang tamu. "Nuansa," sapa Bulan. "Hai, bibi." Nuansa menyapanya balik. "Sudah lama kau di sini?" tanya Bulan. "Kurasa baru 15 menit," jawab Nuansa. "Bukannya 2 jam lebih?" kata Vega. "Eh? Iyakah? Kupikir baru 15 menit, benar-benar tidak terasa," ucap Nuansa. "Hahahaha." Bulan tertawa. "Aku ke kamar dulu ya, ibu, masih ada beberapa tugas yang belum aku kerjakan." Vega berpamitan. "Baiklah." Bulan lalu duduk usai putrinya tersebut pergi meninggalkannya berdua bersama Nuansa di ruang tamu. Saat duduk, Bulan mengambil sebuah cemilan yang berada di toples yang ada di meja ruang tamu, ia lantas memakannya, tentu saja. Karena Bulan sedang ngemil, ruangan itu pun terasa sepi karena Nuansa tidak memulai percakapan, gadis itu bingung harus berbicara apa agar pembicaraan terjadi antara dirinya dan Bulan. "Engh, bibi." Tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di pikiran Nuansa. "Ya?" sahut Bulan. "Boleh aku bertanya sesuatu?" "Boleh." "Ini tentang Tiana." Bulan terdiam sesaat. "Mantan Neptunus?" "Ya. Menurut bibi dia itu bagaimana? Dulu bibi sempat mengatakan padaku kalau mantan-mantannya Neptunus itu membuat bibi khawatir pada Neptunus, itu berarti mereka memiliki sisi negatif yang lebih menonjol dari pada sisi positifnya, kan?" "Ya, itu benar." "Begitu juga dengan Tiana?" "Tunggu dulu, kenapa kau bertanya hal ini?" "Aku baru tahu tentang Tiana dari salah seorang teman Neptunus, dia mengatakan kalau Tiana itu berbeda dari teman-temannya, Tiana baik, dia membela kebenaran, lemah lembut dan sangat saling mencintai dengan Neptunus, sementara menurut bibi Bulan, mantan-mantannya Neptunus itu kurang baik. Jadi, yang benar yang mana?" "Tiana ya ..." "Ya, kuakui Tiana memang berbeda, tapi, entah kenapa aku merasa kalau Tiana pun bukan gadis yang cocok untuk putraku. Dia memang baik, tapi, kaulah gadis pertama yang kurasa pantas menjadi pendamping putraku. Aku juga tidak mengerti kenapa, tidak ada yang salah dari Tiana, tapi entah kenapa aku tidak punya rasa kepadanya." "Seperti bagaimana Neptunus ke paman Eugene?" "Uh, maaf," sambung Nuansa. "Tidak apa, aku paham maksudmu. Kurasa ya." "Kalau begitu, seharusnya bibi bisa memahami Neptunus, aku bukan bermaksud untuk menyudutkan bibi, tapi, bukankah kalian bisa menemukan solusi yang sangat tepat tentang permasalahan yang satu itu?" "Entahlah." Bulan lalu tidak melanjutkan pembicaraannya dengan Nuansa. Nuansa tampaknya paham bahwa topik itu tak seharusnya ia bahas dengan Bulan. "Engh, Neptunus pernah datang ke rumahku di pagi-pagi buta, dia membantu orangtuaku memanen singkong. Bibi ingin mencobanya sekali-kali? Itu seru, loh," ucap Nuansa, ia mengubah topik pembicaraannya sekarang. "Hmm, bagaimana ya." Bulan berpikir. "Coba saja, bibi pasti punya hari libur, kan?" "Ya, tapi ..." "Kujamin bibi tidak akan menyesal, justru bibi akan menyesal jika tidak mencobanya." "Ok, baiklah, aku akan mencobanya dalam waktu dekat ini." "Yessss! Itu baru calon mertuaku! Eh?" "HAHAHAHA." Bulan sontak tertawa terbahak-bahak. Perubahan topik yang dilakukan Nuansa tadi mungkin sedikit tidak berhasil untuk membuat Bulan tidak memikirkan tentang hal tersebut. Namun ucapan Nuansa barusan benar-benar berhasil membuat suasana akhirnya kembali mencair. Nuansa tersenyum melihat Bulan tertawa, walaupun dirinya memang tidak sengaja mengucapkan hal itu. Chapter 39 - Eugene Saat matahari sudah terbenam, Huhu dan Hehe langsung sibuk mempersiapkan meja makan di ruang makan, lebih tepatnya mereka mempersiapkan ruang makan beserta seluruh isinya. Nuansa masuk ke ruang makan saat Huhu dan Hehe sedang mempersiapkan ruangan tersebut. "Wah, kalian membuat ruangan ini menjadi cantik sekali," puji Nuansa. Huhu lantas menoleh ke Nuansa. "Ya, beginilah, hanya sesederhana ini yang diinginkan Nyonya Bulan," ucap Huhu. "Tapi kalian membuat sesuatu yang sederhana menjadi sangat mewah." "Ah kau ini, bisa saja." "Serius, aku jadi semakin tidak sabar untuk menyambut paman Eugene." Beberapa detik kemudian Neptunus juga muncul di ruangan itu. "Eh, semuanya sudah hampir siap, ya?" kata Neptunus. "Tentu saja, kau saja yang dari tadi entah melakukan apa di kamarmu," ujar Nuansa. "Aku punya tugas kuliah." "Benarkah?" "Ya." "Hmmm." "Yasudah kalau tidak percaya." "Baiklah, baiklah, aku percaya." "Di mana ibuku?" "Di ruang tamu, ibumu sudah sangat tidak sabar untuk menyambut paman Eugene sama seperti aku." "Dia tidak menjemputnya?" "Menjemput siapa?" "Eugene." "Hei, paman Eugene, dia lebih tua darimu, kau harus sopan memanggilnya." "Itu menjijikkan." "Kau ini! Diajari sopan santun kok malah jijik?" "Aku tidak terbiasa memanggilnya dengan sebutan ''Paman''." "Astaga, jadi selama ini kalau kau memanggilnya, kau hanya menyebut namanya saja?" "Ya." "Ck, ck, ck. Bibi Bulan tidak memarahimu?" "Ibu memarahiku untuk sekitar 200 kali di saat-saat aku memanggil Eugene hanya dengan namanya saja, selebih itu, itu belum marah lagi padaku tentang masalah itu." "Ya ampun Neptunus." "Sudah ah. Kenapa ibuku tidak menjemput Eugene?" "Paman Eugene bilang dia akan datang sendiri ke ke sini nanti, tidak usah dijemput karena dia tidak ingin merepotkan kita." "Hm, baguslah kalau dia paham jika dirinya hanya bisa membuat orang lain kerepotan." "Dia Detektif, dia membantu meringankan kerepotan orang, jadi katakan itu pada dirimu sendiri." "Terserah kau saja." Tiba-tiba muncul Vega yang berlari menuju pintu depan. "Paman Eugene! Paman Eugene!" seru Vega dengan wajah penuh kegembiraan, ia terlihat sangat antusias untuk menyambut kedatangan Eugene, sampai-sampai dirinya berlari sekencang itu tadi. "Ada apa dengannya?" tanya Nuansa pada Neptunus. "Entahlah, mungkin dia kesurupan." "Ih! Kau ini! Tidak bisa diajak serius apa?! Nanti kalau adikmu kesurupan betulan bagaimana?! Dia mengatakan ''Paman Eugene'', ''Paman Eugene'' tadi, itu artinya paman Eugene sudah sampai. Aku akan menyusulnya dulu." "Nah itu kau tahu, kalau kau tahu, tidak perlu kau bertanya padaku lagi, apa lagi aku tidak tahu apa-apa." "Iya!" Nuansa lantas berlari mengejar Vega, namun ketika ia baru melewati ruang tamu, Bulan yang tampaknya sadar dengan apa yang dilakukan putrinya pun keluar dari dalam ruang tamu dan berpapasan dengan Nuansa. "Nuansa!" panggil Bulan. "Bibi?!" ucap Nuansa yang sedikit terkejut. "Apa yang terjadi? Kenapa Vega lari-lari seperti itu?" "Paman Eugene datang!" "Benarkah?!" "Ya!" Keduanya lantas menyusul Vega yang sudah membuka pintu depan. Sesampainya di pintu depan, Nuansa dan Bulan lalu sama-sama tersenyum lebar seperti Vega, senyum lebar mereka menunjukkan warna gigi, mereka yang berbeda-beda, ok ini tidak perlu dibahas. "Dia datang, dia datang," bisik Vega pada ibunya dan Nuansa. "Jantungku berdebar sangat kencang sekarang, aku sudah tidak sabar untuk menceritakan padanya bagaimana aku bisa menemukan guru menyebalkanku itu," lanjutnya. "Aku ingin menanyakan banyak sekali hal padanya," ujar Nuansa. "Aku juga," kata Bulan. Dari belakang, Neptunus melihat mereka sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa detik kemudian, muncullah sosok Eugene yang tampaknya sangat digilai. Pria dewasa itu berjalan santai menuju rumah Bulan. Ia tinggi dan putih, Eugene juga murah senyum, terbukti dari saat dirinya melihat Bulan, Vega dan Nuansa, ia melemparkan senyuman pada mereka. Tampangnya juga rupawan dan terlihat sangat dewasa. "Halo," sapa Eugene saat ia sampai di pintu depan. "HALONAMAKUNUANSAAKUSANGATINGINBERTEMUDENGANMUYATUHAN!" seru Nuansa begitu Eugene menyapa ia, Bulan dan Vega tadi. "Nuansa?" tanya Eugene. "Dia pacarnya Neptunus," ucap Bulan. "Oooh, ok, salam kenal, namaku Eugene, Neptunus biasanya memanggilku begitu saja, tapi Vega memanggilku dengan sebutan ''paman'', jadi, terserah kau saja kau ingin memanggilku bagaimana, aku tidak mengaturmu." Mata Eugene lantas tertuju pada Vega. "Kau sudah sangat besar sekali," ujar Eugene pada adik Neptunus itu. Vega kemudian tersenyum. "Senang bisa bertemu denganmu lagi, paman!" ujar Vega. "Ayo kita masuk ke dalam dulu," ajak Bulan, mereka berempat lantas masuk ke dalam dan berjalan menuju ruang tamu, Neptunus sudah tidak ada ketika keempatnya masuk. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Eugene pada Nuansa, sebab gadis itu tak berhenti menatapnya dengan tatapan takjub. "Dia penggemar beratmu," bisik Bulan. "Benarkah?" Eugene memastikan. "Ya ... Aku selalu takjub pada seorang Detektif, mereka sangat keren, dan menjadi salah satu kehormatan bagiku karena bisa bertemu dengan salah satu Detektif yang sangat keren," kata Nuansa. "Hahaha, padahal kita baru beberapa menit kenal, tapi kau sudah sebegitunya padaku." "Kurasa itu kesan pertama." "Syukurlah kau punya kesan pertama yang baik padaku." "Jadi ... Kau sudah berapa lama menjadi seorang Detektif?" "Hei, kita makan dulu, baru banyak mengobrol," ucap Bulan, mereka memang sudah sampai di ruang makan dan semua makanan sudah tersaji, bahkan Neptunus ada di sana, duduk di salah kursi dengan senyuman terbaiknya, ia terlihat mengerikan dengan senyumannya, sama seperti waktu dirinya datang ke rumah Nuansa pada pukul 03:00 untuk membantu Arfan memanen singkong. "Kenapa dia tersenyum seperti itu?" bisik Vega pada Nuansa. "Entahlah," ucap Nuansa. "Hei, kau terlihat sangat baik," ujar Eugene pada Neptunus. "Maksudmu dulu aku terlihat seperti orang gila?" tanya Neptunus, senyumannya menghilang saat ia menanyakan hal tersebut. "Ada baiknya kita tidak membahas itu, kan?" "Argh, kau memang selalu seperti itu, bilang saja kau takut jika amarahku meledak." Eugene dan Bulan lantas saling melirik, keduanya juga terkekeh kecil. Haha, Hihi, Huhu, Hehe dan Hoho kemudian datang ke ruang makan, kelimanya memberikan ucapan selamat datang pada Eugene. Eugene memberikan pelukan hangat pada Haha, Hihi, Huhu dan Hehe yang bahkan tidak diberikannya pada Bulan atau Vega. Setelah menyambut Eugene, saudara kembar 5 tersebut pun pergi dari ruang makan. "Tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali aku datang ke sini, ya?" ujar Eugene saat Bulan mempersiapkan piring untuknya, pria itu lalu menatap Nuansa yang tak berhenti menatapnya dengan perasaan takjub. "Kecuali mungkin gadis ini. Aku suka padamu, Nuansa, sepertinya kita akan cocok dan terjebak dalam obrolan panjang," sambung Eugene. "Senang bisa mendengar kesan pertamamu padaku yang sangat baik," ucap Nuansa. "Dia pandai memainkan perasan orang, dia selalu punya kesan baik pada setiap orang yang baru dikenalnya, awas tertipu," kata Neptunus pada Nuansa. "Setidaknya dia tidak menanyakan ukuran BH orang di perkenalan dan pertemuan pertamanya dengan seorang perempuan," sindir Nuansa. Sindirannya ini sontak saja membuat Eugene, Bulan dan Vega menjadi bingung, ketiganya bahkan memasang wajah heran yang konyol. "Apa maksudmu?" tanya Eugene. "Dia membahas tentang temannya yang mesum dan menyebalkan," kata Neptunus. "Yah, teman," ucap Nuansa. "Kau yakin?" Eugene memastikan pada Nuansa. "Kau Detektif, kau paham sedikit tentang kejujuran, jadi kurasa kau sekarang tahu apa aku jujur atau tidak," jawab Nuansa. Mendengar jawaban Nuansa barusan, Neptunus kontan saja menatapnya dengan tajam. ''Gadis ini ingin memancing amarahku,'' batin Neptunus. "O-ok ..." ujar Eugene. Chapter 40 - Kami Akan Menikah Masih di ruang makan, usai makan malamnya selesai, Eugene, Nuansa, Neptunus, Bulan dan Vega masih berada di ruangan tersebut dan membicarakan banyak hal. "Sangat senang mengetahui kalau Neptunus memiliki pacar sepertimu, kudengar dari Bulan kalau mantan-mantannya Neptunus sangat bukan tipenya," ucap Eugene pada Nuansa. "Permisi, tapi yang pernah berpasangan dengan mantan-mantanku adalah aku, mereka tipeku, dan yang dibutuhkan adalah seleraku, bukan selera ibuku," sindir Neptunus. "Ups, sepertinya aku salah bicara." "Setidaknya sekarang dengan ini kau tahu bahwa dari semua gadis yang kau pacari, aku hanya menyukai Nuansa," ujar Bulan pada Neptunus. "Tapi tidak kuduga ibu akan menceritakan hal-hal seperti itu padanya," kata Neptunus. "Tidak masalah, kan?" "Ya, tidak." ''Aku paham kalau dia hanya ingin bibi Bulan tidak menyamakan Tiana dengan Stephanie atau pun Zhenya. Aku jadi penasaran pada Tiana, dia itu orangnya seperti apa sih sebenarnya? Kenapa Neptunus sampai sebegitunya?'' batin Nuansa. "Tapi syukurlah kau tidak berpacaran dengan Emma, Neptunus," ucap Bulan. "Ehm, apa kita tadi sedang membicarakan tentang kehidupanku?" Neptunus merasa keberatan. "Oh, astaga, hehehe, kita tadi sedang fokus membahas tentang pekerjaan paman Eugene, ya," ujar Nuansa. "Lanjutkan pertanyaan-pertanyaanmu, tipe ibuku," kata Neptunus. "Oh, aku suka panggilan baruku itu. Tetap panggil aku seperti itu, ya?" Nuansa mengganggu Neptunus yang dari tadi tidak lepas dari perasaan kesalnya. "Jadi, sudah berapa lama kau bekerja sebagai seorang Detektif, Paman?" tanya Nuansa pada Eugene. "Sepertinya sudah cukup lama, kurasa sudah 18 tahun," jawab Eugene. "Lebih lama dari usia Vega, ya. Menjadi Detektif itu cita-citamu?" "Ya, itu cita-citaku sejak kecil." "Woah, keren, aku bahkan tidak bisa menggapai cita-citaku sepertimu, hahaha." "Tidak masalah, aku bisa mengajarimu, sama seperti Vega, lagi pula kau belum telat untuk memulainya." "Benarkah?!" "Kalau kau suka, kenapa tidak?" "Woah! Aku akan sangat tertarik untuk hal ini!" "Baguslah, karena memang sepertinya kedepannya aku hanya akan menjadi guru bagimu, karena Vega akan sibuk, dia akan berkuliah, kan?" "Apa maksudmu?" tanya Nuansa dan Vega secara bersamaan, keduanya merasa bingung dengan ucapan Eugene barusan. Eugene dan Bulan lantas saling menatap sembari tersenyum. Kebetulan mereka berdua duduk bersebelahan, jadi mereka juga saling berpegangan tangan. "Kami akan menikah," jawab Eugene dan Bulan secara bersamaan. "APA?!" seru Neptunus. Nuansa dan Vega seketika mengalihkan perhatian mereka, dari yang awalnya ke Eugene dan Bulan, kini ke Neptunus yang mengejutkan mereka semua dengan suaranya barusan. "Jadi kau tertarik?" tanya Bulan yang tampak senang. "Jauh dari itu!" ucap Neptunus. "Sejak kapan aku memberi restu kepada kalian untuk menikah?! Aku tetap tidak akan pernah mengizinkan ibuku untuk menikah lagi! Itu namanya pengkhianatan, ibu!" lanjut Neptunus. "Kupikir inilah saatnya bagi keputusanmu untuk tidak diperhitungkan." "Apa?! Ibu, ada apa ini?!" "Sudah hampir 15 tahun kami menunggu, Neptunus, dan sekarang aku akan mengakhiri semua itu, aku memutuskan untuk maju tanpa restu darimu, kau menghalangi segalanya." "Tapi, ibu, kenapa ibu menjadi seperti ini? Kenapa ibu, aku ... Aku tidak habis pikir, kenapa ibu bisa mengambil jalan pintas seperti itu?" "Mau sampai kapan, Neptunus? Mau sampai kapan kau membuat kami menunggu jawaban darimu? Kami sudah menunggu selama lebih dari satu dekade, jika menunggu hingga genap dua dekade, aku tidak bisa membayangkan sudah setua apa kami." "Baiklah, aku berikan jawabanku sekarang. Aku mengatakan tidak untuk hubungan kalian, dan aku tidak akan memberi restu apapun atas hubungan kalian, jadi kalian bisa mengakhiri hubungan kalian sekarang." "Itu sangat konyol sebenarnya, kau sudah membuat mereka menunggu selama hampir 15 taun dan baru memberikan jawaban sekarang, mana jawabannya seperti itu pula," ujar Nuansa. "Diam kau!" bentak Neptunus, Nuansa tersentak, lalu ia hanya diam. "Jawaban dan restumu sudah tidak berlaku lagi, jadi, ya, kami tidak peduli denganmu, masa bodoh kalau kau tidak akan pernah menerima Eugene sebagai ayah sambungmu," kata Bulan. Baru saja Neptunus akan membalas lagi, namun Vega menyelanya. "Sudahlah, kak, ibu pantas mengambil keputusan seperti ini." "Pantas dari mana?! Pantas apanya?!" tanya Neptunus. "Ini juga keinginan ayah." "Ayah tidak meminta Eugene untuk menikahi ibu, Vega!" "Menikah dengan paman Eugene bisa menjadi kebahagiaan untuk ibu, dan itulah yang ayah mau, ayah ingin ibu bahagia dan dilindungi sekaligus, walaupun ibu harus menikah lagi. Kau sudah dewasa, seharusnya kau mengerti dan menerima itu. Ya, memang ini berat, karena dulu keluarga kita yang utuh adalah keluarga yang sangat bahagia, aku tahu, walaupun kau hanya merasakan itu selama 9 tahun, tapi kau masih sangat mengingatnya dengan jelas sampai sekarang, begitu juga denganku, tapi kau seharusnya mengerti, kejadian itu meninggalkan luka yang dalam untuk ibu, dia butuh seorang pria yang bisa menggantikan ayah sebagai pelindungnya, yaitu paman Eugene." "Jika ibu merasa sangat terluka akan kejadian itu, seharusnya ibu tidak memilih untuk menikah lagi dengan pria manapun, itulah bentuk ''sangat terluka'' yang sesungguhnya. Kalau begini jadinya, itu artinya ibu sama sekali tidak merasa kehilangan atas kematian ayah." "Neptunus, hentikan," kata Bulan dengan nada yang sangat pelan, ia melepaskan tangan Eugene, lalu perlahan mulai berdiri. "Kau tidak akan pernah bisa membayangkan betapa cinta dan sayangnya aku pada ayahmu," sambung Bulan. "Dan Eugene akan seperti: apa aku hanya sebuah lelucon untukmu?" "Nak, ibu kecewa padamu, ternyata usiamu saja yang bertambah, tapi pemikiranmu masih tetap di umur 9 tahun, ternyata selama ini kau benar-benar tidak mengerti apapun, termasuk diriku." "Akulah yang kecewa pada ibu, aku mencoba untuk membuat ibu menjadikan ayah sebagai cinta mati ibu, tapi ternyata ibu tidak pernah mengerti diriku. Kasihan sekali ayah." "Neptunus, kau ..." Bulan terlihat tidak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh putranya barusan, itu sangat menyakitkan baginya, apa lagi yang mengatakan itu adalah Neptunus, anaknya yang ia lahirkan dengan taruhan nyawa. "Permisi," ucap Bulan dengan air mata yang bercucuran, ibu 2 anak itu lantas pergi ke kamarnya dengan perasaan sangat sedih dan sakit di hatinya. Neptunus menghinanya, ini sangat diluar dugaannya. "Apa yang kau lakukan?! Kau durhaka! Kau menghina ibumu sendiri! Kenapa kau tidak mengerti posisinya?! Tentang traumanya?! Kenapa?! Kau ternyata adalah hanya anak kecil yang terjebak di tubuh orang dewasa." Vega memarahi Neptunus, ia lalu pergi mengejar ibunya. Nuansa lantas merasa jadi serba salah, gadis itu tidak tahu harus berbuat apa agar semuanya kembali membaik, namun sepertinya tidak akan semudah yang dipikirkannya, jadi ia mencoba langkah kecil dulu untuk menenangkan Neptunus. "Neptunus ..." kata Nuansa. "Diam kau! Dari tadi aku menyuruhmu untuk diam!" bentak Neptunus, Nuansa kembali tersentak dengan bentakan yang Neptunus berikan padanya. Neptunus kemudian ikut-ikutan pergi dari ruang makan, tapi entah ke mana dia pergi. Tersisalah Nuansa dan Eugene di ruang makan itu, keduanya larut dalam keheningan, Nuansa tidak mencoba untuk memulai pembicaraan karena dirinya masih syok sebab dibentak Neptunus hingga 2 kali dalam waktu yang sangat berdekatan. Chapter 41 - Studio Musik Eugene dan Nuansa hingga kini masih berasa di ruang makan. Ini sudah 5 menit berlalu sejak Neptunus, Bulan dan Vega meninggalkan ruangan tersebut. Nuansa masih tidak mencoba untuk memulai pembicaraan karena masih syok, namun perlahan rasa syoknya sudah hilang, dan ia siap untuk membangun topik pembicaraan dengan Eugene. Baru saja gadis itu akan memulai pembicaraan dengan Eugene, tapi begitu dilihatnya Eugene yang sedang menghabiskan tehnya, ia langsung mengurungkan niatnya sebab ia ingin membiarkan Eugene menghabiskan tehnya dulu. Eugene meminum tehnya dengan sangat lambat, padahal ia tidak melakukan jeda apa-apa saat meminum teh tersebut, ia hanya meneguknya sedikit-sedikit, tetapi sama sekali tidak melepaskan cangkirnya dari mulutnya. ''Kenapa tehnya tidak habis-habis dari tadi? Dan kurasa dia tidak melepaskan cangkir itu dari mulutnya sejak beberapa menit yang lalu, itu cukup aneh, apa dia meminum tehnya sedikit demi sedikit? Agar apa? Lama habisnya? Tapi teh itu tidak panas lagi, kan? Dan apa bibirnya tidak pegal terus-terusan menahan cangkir itu? Apa begini cara seorang Detektif meminum teh? Ah, apa yang aku pikirkan? Aku ini ada-ada saja, dasar aku,'' batin Nuansa, gadis itu lantas menunggu Eugene hingga selesai. Sekitar 30 detik kemudian, Eugene akhirnya menghabiskan tehnya. "Ah, sudah lama aku tidak minum teh. Teh buatan Huhu memang juara," ucap Eugene pada Nuansa. "Benarkah?" tanya Nuansa. "Maksudku, sangat aneh mendengar kalau seorang Detektif sudah lama tidak ngeteh," sambung Nuansa. "Kenapa memangnya?" Eugene bertanya balik. "Yah ... Kalian kan meneliti, melacak, memecahkan kasus, menyelesaikan masalah dan mengurus banyak hal yang menguras pikiran, jadi kurasa seharusnya para Detektif rajin meminum teh untuk menyegarkan pikiran dan mempermudah mereka untuk menyelesaikan masalah, bukankah begitu?" "Hmm, benar juga, tapi aku biasanya memakan coklat untuk menyegarkan pikiran dan menaikkan mood, aku juga tidak terlalu suka teh, tapi tidak menolak jika ditawar dan dibuatkan." "Coklat?" "Ya, coklat pahit." "Ew, aku benci coklat pahit." "Hei, coklat pahit itu mengandung lebih banyak khasiat dari pada coklat manis yang mengandung banyak sekali gula." "Hmm, tapi ... apa coklat memang bisa menyegarkan pikiran dan menaikkan mood?" "Untukku begitu, tidak tahu yang lain, kau sendiri bagaimana?" "Aku? Aku ... Aku biasanya memakan perkedel singkong untuk menaikkan moodku dan menyegarkan pikiranku." "Perkedel singkong?" "Ya, buatanku sangat enak, bukan maksud memuji diri sendiri, tapi memang perkedel singkong buatanku enak, kadang jika moodku sedang tidak karuan, ibuku yang membuatkan perkedel singkong untukku, buatannya juga tak kalah enak." "Mm, kalau begitu kau pasti sangat sehat." "Memang," ujar Nuansa sembari memamerkan otot-otot lengannya yang kecil, hal ini lalu mengundang tawa Eugene. "Jadi ... Kau akan menikah dengan bibi Bulan," kata Nuansa. "Ng, ya, seperti yang Bulan katakan tadi." "Ok ... Itu artinya kalian akan tinggal bersama di London? Maksudku, kau pahamlah, biasanya setelah menikah, istri akan ikut suaminya." "Ke London?" "Ya, kau bekerja di sana, kan?" "Hahaha, tidak, aku tidak akan membawa Bulan ke sana, lebih tepatnya kami tidak akan tinggal di sana." "Kenapa? Bukankah tinggal di London itu enak?" "Alasan pertama adalah karena Bulan tidak tahan dingin, tidak mungkin kan kami hanya akan berada di London selama musim panas? Bagaimana dengan pekerjaanku? Jika aku tetap tinggal di sana sendiri sementara Bulan hanya datang di musim panas, itu akan sama saja seperti saat aku masih lajang." "Kau masih lajang? Maksudku, kau bukan duda?" "Hmm, alasan kedua adalah, karena aku akan pensiun." Eugene mengubah topik pembicaraan, yang seharusnya membahas tentang dirinya, menjadi kembali ke topik awal. "Pensiun?!" Nuansa memastikan, gadis itu lupa dengan pertanyaannya yang sebelumnya. "Ya, setelah menikah, aku akan pensiun dan akan menjalankan bisnis bersama Bulan." "Bisnis? Oh, Andromeda Coffee?" "Ya, aku akan membantu Bulan untuk memperluas perusahaannya dengan membuka 100 cabang lagi." "Dan itu menggunakan uangmu?" "Tentu saja." "Bagaimana jadinya? Maksudku, pendapatan dari Andromeda Coffee apakah akan menjadi milikmu juga? Dan apakah perusahaan itu kau yang akan memegangnya? Eh, maaf jika pertanyaanku terlalu dalam, hehehe." "Tidak apa, aku tidak keberatan untuk menjawabmu." "Tidak usah, tidak usah, aku jadi merasa tidak enak." "Hahaha, baiklah." "Jadi ... Itu artinya kau akan tinggal di Indonesia saja bersama bibi Bulan, ya?" "Tepat sekali." "Di mana?" "Bulan memintaku agar kami tinggal di sini saja setelah menikah, dan aku tidak menolak, jadi kami akan tinggal di sini setelah menikah." "Oooh, begitu." "Ya, dia mengatakan kalau mungkin dengan cara itu Neptunus bisa menerimaku." "Kalian jadi memiliki waktu bersama yang lebih banyak dan menjadi dekat, ya?" "Benar sekali, itu yang diinginkan Bulan, aku menurut saja." "Itu cara yang bagus, sangat patut untuk dicoba." "Aku sependapat denganmu." "Ehehehe. Ngomong-ngomong, setelah menikah, kalian akan bepergian keliling Indonesia atau keliling dunia? Kau tahulah maksudku." "Ah, kalau soal itu kami belum memikirkannya, karena Bulan sangat ingin keliling Eropa, tapi sepertinya kami akan menikah saat musim dingin, jadi sudah pasti tidak bisa, karena balik lagi, Bulan orangnya tidak tahan dengan dingin. Untuk keliling Indonesia kami masih mempertimbangkannya karena Bulan masih sangat ingin untuk berkeliling Eropa. Jadi begitulah, kami belum mendapatkan keputusan yang pasti." "Hmmm, begitu ya." "Ya, ini sebenarnya kami akan pergi ke Korea, tapi tidak tahu bisa atau tidak karena di Korea sedang musim gugur, jadi udara di sana juga lumayan dingin, walaupun hanya belasan derajat celcius, tapi itu tetap dingin, kan? Apa lagi bagi yang belum terbiasa dan hanya terbiasa dengan udara negara tropis." "Kalian ke Korea dalam rangka apa?" tanya Nuansa yang kepo. "Oh, Bulan mendapat undangan dari teman lamanya. Anak temannya itu menikah, mereka mengadakan pesta di Indonesia juga sebenarnya, tapi Bulan memilih datang ke Korea saja dan dia mengajakku." "Oooh, begitu rupanya, kapan kalian akan berangkat? Jadi rupanya ini alasanmu pulang ya, paman." "Hahaha, tidak juga, hanya kebetulan saja. Kami akan berangkat besok." "Besok?" "Ya." "Tapi kau baru sampai di Indonesia." "Tidak apalah jika untuk menyenangkan Bulan." "Uuuuh." Nuansa menjadi malu-malu sendiri, entah apa yang membuatnya menjadi malu-malu tidak jelas seperti itu, mungkin karena ia adalah seorang perempuan, ia jadi merasa baper sendiri dengan apa yang dikatakan oleh Eugene barusan. Eugene hanya bisa terkekeh melihat tingkah Nuansa. "Yasudahlah, aku ingin menghampiri Neptunus dulu, sepertinya dia sudah tenang sekarang, aku akan mengajaknya berbicara," ucap Nuansa. "Oh, baiklah, kupikir ini juga waktunya bagiku untuk berbicara dengan Bulan dan menenangkannya," ujar Eugene. "Wow, kita akan melakukan hal yang sama beratnya." "Kuharap kau melakukannya dengan baik, karena aku tahu kau bisa membuat Neptunus merasa lebih baik dan menjadi lebih tenang." "Tidak ada yang bisa membuatnya menjadi tenang kecuali film-film pendeknya itu," gumam Nuansa. "Huh?" "Eh, tidak, tidak. Engh, kira-kira Neptunus sedang berada di mana sekarang, ya?" tanya Nuansa yang berpura-pura bodoh agar Eugene tidak berusaha mencari tahu apa yang digumamkannya. "Kalau dilihat dari keadaannya, sepertinya dia sedang berada di studio musiknya," jawab Eugene. "Hahaha, aku suka dengan gaya bercandamu, Paman." "Aku serius, dia kan musisi, masa kau tidak tahu." "Eh?" Chapter 42 - Studio Musik (2) "Aku serius, dia kan Musisi, masa kau tidak tahu." "Eh?" "Gimana, gimana?" sambung Nuansa, ia memastikan bahwa ia tidak salah dengar. "Ya ... Neptunus seorang Pemusik, kau tidak tahu?" tanya Eugene sembari mengernyitkan dahinya. Nuansa terdiam sesaat. "Eheh, yang benar saja, masa aku tidak tahu." Eugene lantas hanya diam, namun ia memperhatikan Nuansa dengan tatapan penuh selidik. "Yang tidak kutahu adalah, di mana studio musiknya? Aku tidak tahu kalau dia punya studio musik pribadi di sini," lanjut Nuansa. "Ada di ruang bawah tanah," kata Eugene. "Ruang bawah tanah?" "Ya, letaknya tidak jauh dari ruang tamu, jika kau memperhatikan lantai di sekitar ruang tamu, maka kau akan menyadari bahwa ada warna lantai yang sedikit berbeda, itulah pintu menuju ruang bawah tanahnya," jelas Eugene. "Ooooh, ok, aku akan cek sekarang." "Baiklah." Nuansa kemudian pergi dari ruang makan dan meninggalkan Eugene seorang diri di sana. ''Dia tidak tahu kalau Neptunus adalah Musisi. Ada apa ini?'' batin Eugene. *** Setelah mendapat petunjuk dari Eugene, Nuansa pun pergi ke sekitar ruang tamu dan berkeliling di sana untuk mencari warna lantai yang berbeda. "Semuanya sama saja," gumam Nuansa. Ia lalu berhenti berputar-putar karena dirinya lelah, apa lagi ia terus-terusan menunduk. ''Ah, paman Eugene pasti mempermainkanku, kalau Neptunus memang sedang melakukan apa yang dikatakan oleh paman Eugene tadi, setidaknya seharusnya ada suara alat-alat musik dari bawah, ini tidak ada sama sekali. Tapi kalau dia mempermainkanku, untuk apa juga?'' batin Nuansa. "Hm." Gadis itu lantas lanjut mencari warna lantai yang berbeda. Ia akhirnya menemukan sebuah lantai yang memiliki warna yang sedikit berbeda, perbedaannya tidak terlalu mencolok, makanya Nuansa sulit menemukannya. Lantai itu berada tepat di sebelah ruang tamu, yang artinya, kemungkinan studio musik Neptunus berada di bawah ruang tamu. Nuansa pun lalu jongkok dan meraba lantai tersebut. "Bagaimana cara membukanya?" gumamnya. Gadis itu kemudian menggeser lantai tersebut, dan ternyata begitulah cara membukanya. ''Oh, cukup unik,'' batin Nuansa, ia lantas masuk ke dalam ruang bawah tanah itu, ada tangga di dalamnya, jadi Nuansa tidak kerepotan ketika masuk. Tak lupa, ketika sudah masuk, gadis itu menggeser lantai yang menjadi pintu ruang bawah tanah tersebut. Berbeda dengan penampakan lantai itu di atas, di bawah, lantai itu punya pegangan, jadi tidak sulit untuk menggesernya dari dalam ruang bawah tanah itu. "Baiklah," ucap Nuansa sembari menuruni tangga. Saat selesai menuruni tangga, Nuansa berjalan masuk ke dalam ruangan yang berbentuk lorong itu. Lorong tersebut cukup terang dengan banyak lampu yang terpasang, tidak pendek juga tidak panas karena ada AC di sisi kanan atas. Tibalah Nuansa di ujung lorong itu, ternyata lorongnya tidak panjang, karena sepertinya ruang bawah tanah ini dibangun khusus untuk Neptunus, jadi tidak perlu terlalu besar kan?. Di ujung lorong, tepatnya di sebelah kanan, terdapat sebuah pintu yang kemungkinan di dalamnya adalah studio musik yang dimaksud Eugene. Nuansa dari tadi hanya fokus pada design lorong tersebut, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa sebenarnya sejak ia masuk ke dalam ruang bawah tanah tersebut, ada suara Neptunus yang sedang bernyanyi dengan diiringi alat musik Gitar. Menyadari ada yang sedang bernyanyi di dalam studio, Nuansa pun lantas menempelkan telinganya ke pintu agar bisa mendengar nyanyian Neptunus dengan lebih jelas. "Tell me, have you seen a sunset Turn into a sunrise? Kiss right through the night? ''Cause we should try that sometime Hold you ''til the mornin'' And if I said I''m fallin'' Would you just reply ''I know you are, but what am I?''." Nyanyian Neptunus tiba-tiba berhenti saat Nuansa sedang sangat menikmatinya. Suara Neptunus cukup bagus, ia tahu tekhnik bernyanyi yang benar, dan nadanya juga berada di tempat yang seharusnya, jadi Nuansa merasa agak kesal ketika Neptunus berhenti. "Siapa itu?" tanya Neptunus dari dalam, tentu saja pertanyaannya ini membuat Nuansa terkejut karena Nuansa tidak menyangka kalau pria itu akan menyadari keberadaannya, namun Nuansa memilih tidak menjawab karena dipikirnya Neptunus tidak bertanya padanya. "Masuk saja jika ingin masuk, aku tahu ada orang di depan pintu, bayanganmu terlihat," lanjut Neptunus. Nuansa akhirnya menyerah, ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam studio itu. "Hai," sapanya pada Neptunus, entah kenapa gadis itu menjadi sedikit gugup karena teringat saat Neptunus membentaknya tadi. "Mau apa kau ke sini?" tanya Neptunus. "Tidak ada, hehehe, nyanyianmu enak sekali, lanjutkan tolong, aku sangat menikmatinya, suaramu bagus lagi," ujar Nuansa. "Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini? Aku tidak pernah mengatakan padamu kalau aku punya studio musik pribadi di rumah ini, kan?" "Ya, aku bahkan tidak tahu kalau kau adalah Pemusik, kenapa kau tidak mengatakan hal itu padaku?" "Benarkah? Aku berkuliah mengambil jurusan musik, dan bahkan kampusku adalah Institut Seni Indonesia. Kau yakin kau tidak tahu kalau aku adalah Musisi?" "Eh? Iya kah? Aku tidak memperhatikannya, hehehe, maaf, maaf. Soal studio ini, aku tahu dari paman Eugene." "Sudah kuduga." "Hmmm." Nuansa mengedarkan pandangannya ke segala arah di studio yang luas itu, dilihatnya ada begitu banyak alat musik dan benda-benda yang dirinya tidak tahu apa itu. "Wah, ada banyak alat musik di sini ya, Gitar, Bass, Drum, Angklung, Seruling, Harmonika, Biola, Saxophone, Piano dan banyak lagi, aku bahkan tidak hafal nama-nama alat musik di studiomu, totalnya pasti puluhan, ya?" kata Nuansa. "20," jawab Neptunus. "Wow, sayang ya kalau tidak terpakai." "Apa maksudmu? Aku bisa memainkan semuanya." "HUH? KAU SERIUS?" "Perlu pembuktian?" "Engh, tidak, tidak, aku percaya padamu, kau memang sepertinya sangat bagus dalam bermusik." "Begitulah, bagiku, musik adalah yang paling bisa mendengar isi hatiku, jadi aku selalu bernyanyi sambil memainkan sebuah alat musik ketika sedang merasa tidak baik. Lagu-lagu yang biasanya kunyanyikan adalah yang paling sesuai dengan perasaanku ketika menyanyikannya." "Kupikir hanya Gladys yang bisa memahami isi hatimu." "Sebenarnya studio inilah yang paling bisa." "Keren, keren." "Kau mau coba belajar bermain Gitar? Aku mau mengajarkanmu." "Engh, tidak, tidak, aku tidak suka bermain alat musik, hanya suka bernyanyi." "Kalau begitu, kau mau duet bersamaku?" "Duet?" "Ya." "Hmm, boleh, lagu apa?" "Aku penggemar berat Taylor Swift, jadi lagu dia saja ya." "Aku tahu beberapa lagu Taylor Swift, jadi kurasa tidak masalah." "Baguslah, Everything Has Changed, ya." "Ah, yang baru itu, ya? Aku belum mendengarnya karena masih sangat baru." "Baru? Itu lagu antara tahun 2012-2013." "Eh, 2013, ya? Sudah lama ternyata, hehehe." Neptunus lantas menggeleng-gelengkan kepalanya, ia kemudian mengambil ponselnya beserta sebuah earphone dan memberikannya pada Nuansa. "Ini, kau dengar dan hafal dulu lagunya, reff saja tidak apa-apa karena lagu ini sepertinya akan susah bagimu, apa lagi berbahasa Inggris," ucap Neptunus. "Hei, bahasa Inggrisku yang terbaik semasa aku sekolah, jangan kau ragukan aku," protes Nuansa. "Benarkah? Kalau begitu ayo kita lihat apakah kau bisa menghafal lagu ini dalam 5 menit atau tidak." "5 menit?" "Ya." "O-ok, aku menerima tantanganmu, sini," ujar Nuansa sembari mengambil ponsel beserta earphone Neptunus. Gadis itu mencium dan memeriksa earphone Neptunus sebelum memakainya. "Hehehe, kau pembersih ternyata, bisa-bisanya earphone sebersih dan sewangi ini," kata Nuansa. Neptunus lantas memasang muka bangga. Nuansa lalu mulai mendengarkan lagu yang akan dinyanyikannya bersama Neptunus itu sambil membaca sekaligus menghafal liriknya, sementara Neptunus menyanyikan lagu Taylor Swift yang lain, lagu itu berjudul Delicate. Meskipun menggunakan earphone, tetapi Nuansa tetap bisa mendengar Neptunus menyanyikan lagu itu, dan gadis tersebut langsung mengerti arti dari lirik lagu itu. ''Kenapa dia menyanyikan lagu seperti itu? Memangnya dia sedang merasa apa?'' batin Nuansa. Chapter 43 - Duet "This ain''t for the best, my reputation''s never been worse, so, you must like me for me." Begitulah penggalan lirik pada bagian pertama lagu Delicate yang sedang dinyanyikan Neptunus sekarang. Penggalan lirik ini juga yang membuat Nuansa merasa bingung dengan pria itu. Apa yang dikhawatirkan Neptunus tentang reputasinya? Kepada siapa Neptunus sebenarnya merasa cemas akan reputasinya? Dan kepada siapa pula lagu ini ditujukan oleh Neptunus? ''Ini bukan yang terbaik Reputasiku tak pernah seburuk ini, jadi Kau pasti menyukai diriku yang sebenarnya.'' Begitu arti dari penggalan lirik tersebut. Delicate adalah lagu yang menceritakan tentang kegelisahan seseorang yang memiliki reputasi buruk, ia khawatir kalau kekasihnya akan meninggalkannya karena reputasinya yang buruk itu, sementara ia sedang dimabuk cinta dengan kekasihnya. Neptunus adalah orang yang menyanyikan lagu yang sesuai dengan apa yang dirasakannya kini, jadi pasti kekhawatiran inilah yang sedang pria itu rasakan. Tapi untuk siapa Neptunus menyanyikan itu? Ia mungkin sangat mencintai Tiana, namun Tiana sudah meninggal, jadi makna dari lagu tersebut tidak bisa lagi ditujukan untuk Tiana. Lagi pula, apa yang Neptunus khawatirkan tentang reputasinya? Kenapa dia menganggap reputasinya buruk? Apa karena sifat aslinya yang menyebalkan? Tidak, itu saja tidak cukup untuk membuat reputasi dilabeli dengan cap ''buruk''. Nuansa tidak berhenti memikirkan hal ini, dan Neptunus sudah menyanyikan separuh lagunya sekarang. ''Apa dia benar-benar merasa apa yang lagu ini gambarkan tentang orang yang mengalami kegelisahan itu?'' batin Nuansa. ''Tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba seperti ini? Moodnya baru saja hancur karena paman Eugene, tapi kenapa lagu yang dinyanyikannya seperti ini? Apa kali ini dia hanya menyanyikan lagu yang disukainya? Bukan karena sesuai dengan perasaannya?'' ''Aku benar-benar tidak mengerti tentangnya. Mungkin sebaiknya aku tidak memikirkannya dan menghafal lirik ini saja. Astaga! Lagunya sudah selesai?!'' Nuansa menjadi panik sendiri karena lagu yang di dengarkannya di earphone Neptunus ternyata sudah selesai, dan waktunya untuk menghafal lirik lagu itu hanya tersisa 1 menitan lagi. ''Sial! Sial!'' gerutu Nuansa di dalam hatinya. *** Semenit lebih kemudian, waktu Nuansa akhirnya habis, ia melepaskan earphonenya tanpa diperintah oleh Neptunus. "Sudah hafal?" tanya Neptunus. "Tentu saja sudah," jawab Nuansa dengan sangat yakin. "Beruntungnya aku karena lagu ini dibawakan dengan cara duet, jadi bagian yang harus kuhafal tidak banyak," sambungnya. "Baguslah kalau merasa beruntung, karena yang menjadi pembuka lagu adalah bagian perempuan, kan?" ucap Neptunus. "Eh?" "Ok, aku mulai." Neptunus lantas mulai menunjukkan kemahirannya dalam bermain gitar, karena lagu Everything Has Changed memang fokus ke alat musik gitar. ''Dia bahkan tidak memberikan kesempatan bagiku untuk bertanya padanya tentang kenapa dia menyanyikan lagu yang tadi itu,'' batin Nuansa. Gadis itu lantas berusaha untuk melupakan hal yang bersarang dipikirannya itu dan mulai menyanyikan lagu Everything Has Changed bagian Taylor Swift. "All I knew This morning when I woke Is I know something now, know something now I didn''t before And all I''ve seen Since eighteen hours ago Is green eyes and freckles and your smile In the back of my mind making me feel like I just wanna know you better, know you better, know you better now I just wanna know you better, know you better, know you better now I just wanna know you better, know you better, know you better now I just wanna know you, know you, know you." Keduanya lantas berduet pada bagian reff. "Cause all I know is we said hello And your eyes look like coming home All I know is a simple name And everything has changed All I know is, you held the door You''ll be mine and I''ll be yours All I know since yesterday, yeah Is everything has changed." Kini, giliran Neptunus yang mendapatkan bagian solo dan menonjolkan suaranya yang ternyata cukup bagus, dan pria itu tahu bagaimana teknik bernyanyi yang benar. "And all my walls Stood tall painted blue But I''ll take ''em down, take ''em down and open up the door for you." Nuansa kembali mendapat bagian solo. "And all I feel In my stomach, is butterflies The beautiful kind, making up for lost time Taking flight, making me feel like." Dan mereka kembali berduet. "I just wanna know you better, know you better, know you better now I just wanna know you better, know you better, know you better now I just wanna know you better, know you better, know you better now I just wanna know you, know you, know you. ''Cause all I know is we said hello And your eyes look like coming home All I know is a simple name And everything has changed All I know is you held the door And you''ll be mine and I''ll be yours All I know since yesterday, yeah Is everything has changed Come back and tell me why I''m feelin'' like I''ve missed you all this time (Uh-uh-uh) And meet me there tonight And let me know that it''s not all in my mind I just wanna know you better, know you better, know you better now I just wanna know you, know you, know you All I know is we said hello Your eyes look like coming home All I know is a simple name And everything has changed All I know is you held the door You''ll be mine and I''ll be yours All I know since yesterday, yeah Is everything has changed All I know is we said hello So dust off your highest hopes All I know is pouring rain And everything has changed All I know is a new found grace All my days, I''ll know your face All I know since yesterday, yeah Is everything has changed." Dan selesai. Keduanya terdiam begitu mereka selesai menyanyikan lagu tersebut. Baik Neptunus maupun Nuansa sama sekali tidak menyangka kalau suara mereka akan sangat cocok bila berduet. Ya, bisa dibilang keduanya sangat berhasil membawakan lagu ini, suara keduanya berpadu dengan sangat sempurna. Neptunus memang pemusik, jadi wajar saja jika suaranya bagus, namun Nuansa, gadis itu bukan pemusik, namun suaranya pun tak boleh diremehkan. "Wow," ucap Neptunus yang terpukau dengan dirinya sendiri dan Nuansa. "Suaramu bagus juga, teknik bernyanyimu juga ok," sambung Neptunus. "Ah, bisa dipuji oleh best musician sepertimu rasanya sangat luar biasa," ujar Nuansa yang tersipu malu. "Hahaha, kau ini ada-ada saja." "Kau juga sangat keren karena bisa menghafal liriknya dengan begitu cepat, padahal ini lagu berbahasa Inggris. Sepertinya bahasa Inggrismu memang sangat baik, ya?" lanjut Neptunus. "Sangat baik dipikiranku, tapi begitu harus berbicara dengan bahasa Inggris, aku tidak tahu harus mengucapkan apa," kata Nuansa. "Hahaha, kadang aku juga seperti itu, tapi aku selalu yakin kalau aku bisa berbicara dengan bahasa Inggris, dan tiba-tiba saja aku memang bisa." "Kau ajaib, Nep." "Nep?" "Tunus." "Hei, aku suka panggilan itu, itu terdengar keren. Aku jadi ingin menyanyikan satu lagu lagi sendiri." "Silakan, aku akan mendengarkan, aku tidak akan menolak jika disuruh mendengar nyanyianmu setiap hari." "Baiklah, yang ini judulnya Lover, oleh Taylor Swift juga, punya makna yang sangat bagus untuk pasangan," ucap Neptunus dengan tatapan spesial ke Nuansa saat ia mengucapkan kata ''Lover'' yang berarti ''Kekasih'' tadi. "Okay ... Aku tertarik untuk mendengarkanmu." Jantung Nuansa berdebar menjadi sangat kencang sekarang karena tatapan Neptunus padanya tadi. Belum pernah jantung gadis itu berdetak sekencang ini selain saat Neptunus menanyakan ukuran BHnya di hari pertama mereka bertemu. Itu benar-benar bukan tatapan biasa, itu adalah tatapan spesial yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Intinya, Neptunus seperti memberi isyarat pada Nuansa, dan Nuansa mengerti dan menerima dengan baik isyarat tersebut. Tapi baik Nuansa dan Neptunus sendiri sebenarnya tidak paham, isyarat apa ini sebenarnya?. Chapter 44 - Lover "Can I go where you go? Can we always be this close forever and ever? And ah, take me out, and take me home, you''re my, my, my, my lover." Neptunus menyanyikan bagian reff dari lagu Lover dengan begitu indahnya, Nuansa bahkan sampai menutup matanya karena sangat menikmati nyanyian Neptunus. Suara pria itu bagus, khas dan nagih untuk di dengar. Permainan gitarnya juga sangat baik, dan ini benar-benar sebuah permainan musik yang sempurna, siapapun tidak akan bosan mendengarnya. Neptunus tampak sangat menghayati makna dari lagu tersebut, terlebih lagi ia tidak melepaskan tatapannya dari Nuansa selama menyanyikan lagu Lover yang romantis itu. Dan akhirnya, lagunya selesai. Nuansa memberikan tepuk tangan yang meriah sambil berdiri. "Kau luar biasa, kau bisa jadi penyanyi internasional dan menyanyikannya langsung bersama penyanyinya," ucap Nuansa. "Tapi aku tidak ingin jadi penyanyi, aku bahkan tidak pernah memikirkan hal itu, hahaha, aku bermusik hanya untuk kesenangan saja. Awalnya hanya sebagai pelarian dari kesedihanku, tapi lama-lama aku jatuh cinta dengan dunia musik," ujar Neptunus. "Dan menjadi pemusik yang sangat keren." "Hahaha, terima kasih." "Tapi kenapa kau tidak ingin menjadi penyanyi?" "Tepatnya aku tidak ingin terkenal, karena itu tadi, aku bermusik hanya untuk bersenang-senang dan melupakan masa-masa yang buruk." "Boleh aku tahu cerita awalnya?" "Tentu saja, aku tahu kau pendengar yang baik, dan kau sangat cocok dijadikan sebagai tempat bercerita." Nuansa lantas tersenyum mendengar hal itu. "Jadi, beberapa minggu setelah kematian ayahku, ibuku dan Eugene sudah mulai dekat, itu membuatku sangat kecewa pada ibuku, lalu selama berhari-hari kemudian aku memilih untuk mengurung diri di kamar sambil mendengarkan banyak sekali lagu, aku hanya akan keluar untuk makanan yang ditaruh di depan pintu kamarku, selebihnya aku tidak beranjak dari kamarku karena merasa sedih dan sangat kecewa pada ibuku." "Dari situ kau mulai tertarik dengan dunia musik?" "Ya, aku menonton cover dari lagu-lagu yang kusukai, aku melihat cover-cover itu sangat menarik, dan aku juga ingin melakukannya, jadi aku meminta untuk dibelikan gitar pada ibuku, dia mau membelikannya untukku, asal aku tidak mengurung diri lagi, dan aku setuju hanya demi gitar itu. Kemudian aku mempelajari cara bermain gitar secara otodidak. Aku sempat tertinggal pelajaran di kelasku saat bersekolah dulu gara-gara mengurung diri, tapi untungnya aku bisa mengejar." "Lalu kenapa kau terlambat masuk kuliah? Kau sudah tahu jurusan apa yang akan kau ambil ketika kau memutuskan ingin berkuliah, kan?" "Ya, masalahnya awalnya aku tidak ingin kuliah, aku berpikir kalau memulai kehidupan sendiri, pergi dari rumah dan merantau secara diam-diam, lalu bertahan hidup dengan cara bermusik bisa mengubah kehidupanku menjadi lebih baik, tapi aku ragu untuk pergi, dan selama berbulan-bulan aku mempertimbangkannya, dan akhirnya aku memilih menetap dan ingin berkuliah saja agar tidak selalu berada di rumah. Karena yang kuhindari hanya rumah, rumah ini membuatku merasa miris pada kenyataan di kehidupanku." "Oooh, begitu ya." Suasana lantas menjadi hening, keduanya larut dalam diam. "Engh, lagu Lover itu ... untuk siapa kau menyanyikannya? Kau sepertinya sedang sangat mencintai seorang gadis, ya?" tanya Nuansa. "Aku tahu kau tahu, jadi kurasa aku tidak perlu menjawabmu lagi," ucap Neptunus. "Eh, iya ..." Nuansa sebenarnya masih merasa bingung, namun ia tidak berusaha untuk bertanya-tanya lagi pada Neptunus karena takut akan membuat suasana hatinya jadi tidak bagus lagi. "Ngomong-ngomong, aku ingin minta maaf padamu," ujar Neptunus. "Minta maaf?" "Ya." "Untuk apa? Memangnya kau salah apa padaku?" "Aku membentakmu terus hari ini, aku jadi merasa sangat tidak enak dan benae-benar merasa bersalah." "Hahaha." "Kenapa kau ketawa? Apa yang lucu?" "Aku pun jika suasana hati sedang tidak karuan bakal marah-marah, jadi santai saja, jangan merasa sangat bersalah hanya karena hal seperti itu. "Ya ... aku bersyukur kau memahami aku, aku ... aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana agar bisa melupakan semuanya, aku merasa tidak dihargai, bagaimana bisa mereka akan menikah sementara aku tidak merestui hubungan mereka?" "Baiklah, semuanya dimulai karena kau tidak menyukai Paman Eugene, jadi aku akan memberikan pertanyaan yang sepertinya pernah kuberikan juga padamu, kenapa kau tidak menyukainya? Dia baik, dia ramah, dia keren, dan dia adalah seseorang yang bisa dijadikan sebagai panutan, maksudku, ayolah, sampai sekarang aku tidak mengerti alasanmu tidak menyukainya." "Aku hanya ... tidak menyukainya." "Setidaknya berikan alasan kenapa?" "Aku tidak tahu, aku hanya tidak menyukainya, dan aku tidak mengerti alasannya, mungkin karena aku pernah menganggapnya sebagai perusak kebahagiaan keluarga orang." "Dan sekarang kau tidak menganggapnya seperti itu lagi, kan? Karena kau tahu, kalau sekarang yang bisa membuat ibumu bahagia dan merasa terlindungi adalah dia, dan kebahagiaan ibumu adalah segalanya bagimu, kurasa bagi semua anak di dunia ini, jadi seharusnya kau bisa merelakannya untuk menikah lagi, kau tidak bisa memaksanya untuk setia pada ayahmu sampai dia menemukan ajalnya, tidak Neptunus, tidak semua orang bisa sesetia itu, terlebih lagi ibumu punya trauma besar yang tidak akan pernah bisa kau mengerti rasanya, jangan egois, jangan hanya pikirkan bagaimana sakitnya kau ketika melihat ibumu akan bahagia bersama pria yang bukan ayahmu, pikirkan bagaimana penderitaannya jika tidak ada Paman Eugene di hidupnya untuk menggantikan posisi ayahmu." "Aku ... aku tidak bisa Nuansa, aku tidak bisa melihat hal itu terjadi, aku seperti ... tidak rela." "Jadi kau ingin ibumu menderita sampai kematiannya?" "Dia masih punya aku dan Vega. "Itu beda, Neptunus, kenapa kau tidak mengerti?" Neptunus lantas terdiam. "Bagaimana tentang mereka tidak menghargaiku? Mereka sama sekali tidak mempedulikan keputusanku, apa aku merestui mereka atau tidak." "Apa kau sedang melawak? Mereka menunggu lebih dari satu dekade untuk jawabanmu, kau menggantungkan jawabanmu, kau tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya itu? Kaulah yang membuat dirimu sendiri terlihat sama sekali tidak menghargai mereka, apa lagi Bibi Bulan itu ibumu." "Ok, baiklah, lalu bagaimana jika aku mengatakan kalau aku tidak merestui mereka?" "Itu sama saja dengan membunuh ibumu sendiri, kenapa? Pertama kau membuatnya menunggu selama lebih dari satu dekade hanya untuk jawaban seperti itu, lalu kau membuatnya kehilangan kebahagiaannya, yaitu Paman Eugene. Pikirkan itu, Neptunus, pikirkan semuanya, aku lihat mereka sudah mengerti posisimu, lalu sekarang, cobalah mengerti posisi mereka, kau sudah dewasa, pola pikirmu sudah tidak sama dengan saat pertama kali kau menyadari kedekatan ibumu dan Paman Eugene." "Semuanya serba salah." "Apanya yang serba salah? Kau ingin membalasku dengan mengatakan, ''Oh, kalau mereka mengerti posisiku, seharusnya tidak melangkah sejauh ini, mereka akan menikah, dan ini sama sekali tidak lucu, mereka mengerti posisiku, jadi seharusnya mereka tidak mengambil keputusan itu, mereka seharusnya berpisah.''?" "Kenapa kau masih tidak mengerti juga?" lanjut Nuansa, Neptunus lalu terdiam sambil memalingkan wajahnya dari Nuansa. Chapter 45 - Pergi Ke Korea "Ayolah, aku mengerti bagaimana perasaanmu, dan itu memang wajar terjadi, tapi pikirkan perasaan ibumu juga, setiap hari dia semakin tua, dan penuaannya berbeda dengan kita, dia pasti akan sangat kesepian nantinya jika dia tidak memiliki pendamping hidup, kecuali jika dia memiliki anak yang banyak," ucap Nuansa. "Bagaimana jika aku mengatakan, ''Ok, aku setuju jika dia menikah lagi, asalkan jangan bersama Eugene.''?" ujar Neptunus. "Kau ingin mengatur rasa cinta orang lain? Hahaha, itu adalah hal yang terlucu yang pernah kudengar." Neptunus lantas terdiam, tampaknya ia memang sudah tidak bisa membalas Nuansa lagi. Pria itu kemudian menarik napas panjang. "Baiklah, aku akan memikirkannya lagi nanti." Nuansa tersenyum mendengar hal itu. "Bagus, aku senang kau akhirnya mengatakan hal itu." "Aku senang kalau kau senang." Nuansa sedikit terkejut mendengar hal itu, namun akhirnya ia membalas Neptunus. "Aku senang kalau kau senang dengan aku yang senang." "Well, aku senang kalau kau senang dengan aku yang senang saat kau senang." "Aku senang kalau kau senang denganku saat aku senang denganmu ketika kau senang melihatku senang." "Pffft. HAHAHAHA." Keduanya lantas tertawa terbahak-bahak. "Baiklah, aku kalah," ucap Neptunus. "Kau selalu kalah dariku," ujar Nuansa. "Tidak apa jika itu membuatmu senang." "Oh, tidak, jangan mulai lagi." "Hahahaha." "Tapi, sungguh, aku senang saat kau senang." "Aku juga." Keduanya lalu saling melemparkan senyuman. "Mau bercerita padaku?" tanya Nuansa. "Cerita apa?" Neptunus malah bertanya balik. "Apa saja, terserahmu." "Hmm, baiklah, kurasa ada baiknya sekali-kali aku menceritakan tentang Eugene padamu." "Huh?" "Ya." "O-ok, aku akan mendengarkan." "Jadi ... kau sangat mengaguminya, kan?" "Tentu saja." "Dia sangat jarang berada di Indonesia, dia pulang sekali dalam tiga tahun." "Itu lama sekali." "Ya, selama aku kenal dia, ini sudah kali keempat dia datang ke Indonesia." "Berarti kalian sebenarnya sangat jarang bertemu dengan dia, ya?" "Ya, tapi itu tidak menjadi alasan bagi ibuku untuk berhenti mencintainya." Nuansa hanya diam saat Neptunus mengatakan itu, namun akhirnya ia bertanya, tapi bukan tentang hal terakhir yang diuucapkan Neptunus barusan. "Apa kau tahu keluarganya di mana?" tanya Nuansa. "Tidak, aku pun tidak yakin kalau ibuku mengetahui tentang keluarganya," jawab Neptunus. "Benarkah?" "Ya, dia sangat tertutup tentang kehidupan pribadinya, bahkan alamat rumahnya saja aku tidak tahu, dan aku memang tidak ingin tahu." "Tapi rasanya tidak mungkin ya kalau ibumu tidak mengetahui tentang keluarganya." "Rasanya begitu, tapi tidak tahu juga." "Ibumu tidak pernah menceritakan apa-apa kepadamu dan Vega tentang keluarga Paman Eugene?" "Kepadaku dia hanya pernah bilang kalau Eugene itu berdarah Indonesia-Inggris, tidak tahu kepada Vega, soalnya Vega kan lebih peduli tentang Eugene dari pada aku, jadi buat apa juga ibuku bercerita banyak hal tentang Eugene padaku sementara aku tidak menyukainya, kan?" "Iya juga ya." "Tapi kau pasti akan mengetahuinya cepat atau lambat, dia tampaknya mempercayaimu, dan kalian akan sangat dekat nanti." "Batasnya tentu saja sampai kontrak satu bulan ini berakhir, setelah itu kami akan menjadi saling tidak kenal lagi." "Kontrak kan bisa diperpanjang." "Ayolah, aku tidak mau membuatmu rugi." Neptunus terdiam sesaat. "Kita jalani saja dulu." "Setuju." "Ok, mau kuantar pulang?" "Boleh." "Yuk. Sering-sering ajak aku berduet, ya!" "Hahaha, pasti, itu sangat menyenangkan." Nuansa tersenyum mendengar hal itu. *** Hari akhirnya berganti. Sekarang adalah jam 3 pagi, dan Nuansa baru tidur sekitar 3 jam yang lalu, namun tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahnya, memaksanya untuk bangun dan membuka pintu untuk melihat siapa yang datang. Dalam keadaan yang acak-acakan khas orang yang baru bangun tidur, Nuansa pun membuka pintu rumahnya, dan ternyata yang datang adalah Neptunus dengan pakaian yang begitu rapi. "Kau?" ucap Nuansa dengan suara serak. "Kenapa kau selalu datang jam segini? Kami masih tidur jam segini, aku bahkan baru tidur, pulang saja sana, aku masih ngantuk, kami belum terima tamu pada jam segini," lanjut Nuansa, ia masih dalam keadaan setengah sadar. "Benarkah?" ujar Neptunus sembari menutup hidungnya, tampaknya pria itu sedikit trauma dengan masa lalu. "Iya, sana pulang, nanti mama marah." "Mama? Hei, kau sudah sadar sepenuhnya, kan?" "Hm? Menurutmu?" Nuansa bertanya balik sambil menatap Neptunus dengan mata yang hampir tertutup sepenuhnya. Neptunus pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan pacar sewaannya ini. "Cepat bersihkan dirimu, kita akan pergi ke Korea pukul tujuh nanti, setidaknya kita sudah harus tiba di bandara pada pukul setengah enam," kata Neptunus. "Hm? Apa kau bilang?" "Kita akan pergi ke Korea." "Mau apa ke Korea? Sudahlah, balik saja sana ke rumahmu, tidak usah pakai acara pergi ke Korea, ini masih jam tiga, kau pasti mimpi, kan? Sudah, pulang sana." "Jadi kau tidak ingin ikut? Yasudah, ngomong-ngomong, aku akan datang ke konser sebuah boyband di sana, boyband itu sudah mendunia, anggotanya ada tujuh, tebak apa nama boyband itu?" "Ck, pulang sana, kau pasti bermimpi. Hoooaaahm, Neptunus, kau sangat mengganggu, aku masih ngantuk, aku tidur dulu, dadah." "Yasudah, kalau gitu aku akan pergi ke Korea sendirian." "Yasudah pergi sana." "Ok." Nuansa kemudian melambaikan tangannya dengan mata yang setengah terbuka, namun ia masih bisa memberikan sebuah senyuman. Gadis itu tidak sadar bahwa Neptunus sebenarnya tidak bergerak sekali, bahkan ia berniat untuk menutup pintunya sekarang. "Eh! Eh! Nuansa!" panggil Neptunus yang masih berdiri di depan pintu. "Iiiiiiih! Apa lagi?!" tanya Nuansa yang terpaksa membuka pintu rumahnya lagi, padahal ia baru saja akan menutupnya. Bisa dibayangkan bagaimana kesalnya Nuansa yang masih mengantuk dengan rambut yang berantakkan, kedatangan tamu menyebalkan saat ia baru 3 jam terlelap. "Kenapa kau tidak menahanku?" kata Neptunus. "Iiiiiish!" "Huft, baiklah. Neptunus, jangan pergi. Yeay aku menahanmu, kau puas?" lanjut Nuansa yang kepalanya hampir jatuh akibat rasa kantuknya yang tak bisa lagi ditahan. "Baiklah, aku akan tetap di sini," ucap Neptunus. "Terserah kau saja lah, Neptunus, aku tidak peduli," ujar Nuansa seraya mengerang, ia lantas kembali ke kamarnya dan membiarkan pintu rumahnya terbuka. Gadis itu benar-benar mengantuk, ia sampai tidak peduli lagi akan apapun. "Baiklah, itu lebih baik dari pada menyuruhku pergi saat aku akan mengajaknya ke luar negeri," gumam Neptunus, ia kemudian masuk ke dalam rumah Nuansa dan memberikan salam. Pria itu lantas duduk dan mematung. ''Jadi, aku harus menunggu mereka bangun. Tidak lama, kan? Mungkin dua jam lagi,'' batin Neptunus. Ia pun dengan sabar menunggu Arfan, Durah, dan Nuansa bangun, saking sabarnya menunggu, Neptunus tidak berhenti tersenyum ikhlas, menandakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan jika harus menunggu penghuni rumah itu bangun. Dan senyumannya tidak akan pudar sampai mereka bangun, percayalah. Chapter 46 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 1 Persiapan Sekitar satu setengah jam kemudian, beberapa ayam akhirnya berkokok, menandakan hari sudah pagi dan fajar pun menyingsing. Durah akhirnya bangun dan siap untuk memulai harinya. Ibu Nuansa itu lantas keluar dari kamarnya dan Arfan sembari menguap, sebab ia masih sedikit ngantuk, namun ia harus bangun. Ketika keluar dari kamarnya, Durah terkejut dengan kehadiran Neptunus di rumahnya. Neptunus duduk tegak sambil tersenyum, dan itu sudah dilakukannya selama satu setengah jam. Karena terkejut, Durah pun berteriak kencang, sebab ia benar-benar terkejut dengan kehadiran klien putrinya tersebut. "AAAAAAAAAA!!!!!!" Neptunus yang seperti orang yang sedang bermeditasi sambil tersenyum pun terkejut mendengar teriakan Durah, ia sedang sangat fokus pada posisinya, dan ia sudah melakukan itu selama satu setengah jam, jadi ia yang benar-benar fokus pun terkejut setengah mati mendengar teriakan Durah. Karena terkejut, Neptunus malah latah, ia justru ikut-ikutan berteriak dan membuat keadaan menjadi heboh. "AAAAAAAA!!!!" "AAAAAAAA!!!!" teriakan Durah semakin kencang saat Neptunus ikut-ikutan berteriak, apa lagi mereka bertatap muka sekarang. "AAAAAAAA!!!!" Bukannya berhenti berteriak, Neptunus juga malah semakin menambah kekencangan teriakannya karena latah. Teriakan mereka berdua berhasil membuat Arfan dan Nuansa terbangun dari tidur mereka, bahkan mungkin juga berhasil membuat tetangga-tetangga mereka terbangun. Nuansa lantas keluar dari kamarnya karena teriakan ibunya dan Neptunus. Namun keluarnya justru malah membuat semuanya menjadi semakin kacau. Nuansa malah ikut-ikutan berteriak karena terkejut melihat wajah Neptunus yang mengerikan saat berteriak. "AAAAAAA!!!" teriak Nuansa. Sekarang ada 3 teriakan, dan ini berhasil menjadi alarm bagi lingkungan tersebut. Sampai akhirnya Arfan keluar juga, namun untungnya ia tidak ikut-ikutan berteriak, kedatangannya berhasil membuat aksi teriak-teriakan Durah, Nuansa, dan Neptunus berhenti. "SSSSSSSHHHHHT! Apa-apaan kalian ini?!" seru Arfan. Mendengar hal itu, Neptunus, Nuansa, dan Durah pun berhenti berteriak, ketiganya malah terdiam mematung usai berhenti berteriak. *** Sekitar 15 menit kemudian, semuanya akhirnya menjadi normal. Nuansa sedang mandi sekarang sebab Neptunus sudah menjelaskan semuanya tentang ajakannya pergi ke Korea. Neptunus pun sekarang sedang mengobrol dengan Arfan, dan beberapa detik kemudian, Durah datang membawa 3 cangkir teh. "Maaf karena kau harus menungu kami bangun seperti tadi, Nuansa benar-benar keterlaluan," ucap Durah. "Hahaha, tidak apa, Bibi, hitung-hitung agar aku bisa menyegarkan pikiranku dengan cara seperti tadi," ujar Neptunus. "Tapi kau hanya diam selama 90 menit, kau sebagai tamu di sini tidak disuguhkan makanan atau minuman apapun, aku ... aku ..." "Sudahlah, Bibi, tidak apa-apa, memang salahku juga datang pada jam segitu." "Tapi kan ..." "Sudah, tidak usah dipikirkan lagi." "Hmm, baiklah." "Tapi kau memang harus datang jam segitu, kan?" tanya Arfan. "Hahaha, sebenarnya iya, karena kami sudah harus berada di bandara pada pukul setengah enam, jadi aku tidak ingin membuat Nuansa buru-buru," jawab Neptunus. "Oh iya, bukankah ke luar negeri itu harus punya paspor? Nuansa tidak punya paspor, kan? Bagaimana juga dengan visanya?" tanya Durah. "Aku sudah mengurus semuanya sejak jauh-jauh hari," kata Neptunus. "Benarkah?" "Ya. Paling tidak selama kami menjalin hubungan kontrak, kami harus jalan-jalan ke luar negeri, sebab dulu aku selalu jalan-jalan ke luar negeri dengan mantan-mantanku di bulan pertama kami berpacaran, jadi aku juga harus melakukan hal itu dengan Nuansa agar kami terlihat seperti orang yang benar-benar berpacaran di mata keluargaku." "Syukurlah kau sudah menyiapkan semuanya." Neptunus lantas menyeruput tehnya. "Temanmu itu orang Korea?" tanya Arfan. "Ya, tapi dia bukan temanku, dia anak teman ibuku," jawab Neptunus. "Ooooh." "Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, kurasa sudah 10 tahun, akan sangat menarik bagiku untuk bertemu dengannya lagi pada saat dia menikah." Arfan lalu hanya mengangguk-angguk. "Ngomong-ngomong, di Korea sedang musim apa? Kalau musim dingin, aku takutnya Nuansa tidak akan tahan," kata Durah. "Ini bulan September, jadi di sana sedang musim gugur, suhunya tidak terlalu dingin karena masih dalam peralihan dari musim panas ke musim gugur, jadi kurasa Nuansa akan baik-baik saja," ucap Neptunus. "Tapi pastikan dia tetap memakai jaket yang tebal, ya? Dia belum pernah merasakan udara dingin sebelumnya selain saat hujan di malam hari, bahkan dia belum pernah merasakan bagaimana rasanya memasukkan tangan ke dalam kulkas." "Jangan khawatir, aku akan terus memastikannya memakai jaket yang tebal, lagi pula dia tidak akan sulit beradaptasi karena di dalam pesawat itu dingin, bahkan kurasa lebih dingin dari suhu di Korea sekarang, jadi Nuansa benar-benar akan baik-baik saja." "Baiklah, aku merasa lega mendengarnya." Sesaat kemudian Nuansa datang dengan keadaan yang masih berantakan. Gadis itu memang sudah mandi dan sudah memakai pakaiannya, namun ia belum menyisir rambutnya, ia juga belum bermake up, jadinya ia terlihat tidak ada bedanya dengan saat belum mandi, kecuali badannya yang lebih wangi dari pada saat belum mandi. "Ayo!" Nuansa mengajak Neptunus pergi dengan sebuah tas make up dan rantang di tangannya. "Kau akan pergi begitu saja?" "Aku akan makan dan make up-an di jalan saja," ujar Nuansa. "Bagaimana dengan pakaianmu?" "Oh iya." Nuansa kemudian masuk ke kamarnya, 1 detik setelah masuk, ia keluar lagi dengan membawa sebuah tas ransel. "Sekarang aku siap, ayo," ajaknya lagi. "Kau sudah bawa jaket?" tanya Durah pada putrinya itu. "Eh?" "Aku sudah membawa jaket Vega, Nuansa dan Vega, ukuran tubuh mereka sama, jadi kurasa jaket-jaket tebal Vega akan muat jika dipakai Nuansa," ucap Neptunus. "Siapa Vega?" tanya Durah pada Neptunus. "Adikku, aku belum pernah menceritakannya pada Bibi dan Paman ya, hehe," jawab Neptunus. "Tidak, tidak, kita akan pergi membeli jaketku dulu, aku punya uang sendiri," ujar Nuansa. "Boleh saja, kalau kau ingkn tertinggal pesawat tentunya," kata Neptunus. Nuansa lantas terdiam. "Tidak apa, jaket-jaketnya masih baru, dan adikku itu pembersih juga wangi orangnya, jadi ... sangat layak untuk dipakai," lanjut Neptunus. "Aku tahu, hanya saja aku tidak ingin merepotkan kalian, aku ini hanya pacar sewaanmu, aku tidak berhak memiliki barang-barang keluargamu-" "Hei! Kau akan mengembalikannya lagi nanti," sela Neptunus. "Oh iya, hehe." "Yasudah, ayo kita pergi." "Ok, ayah, ibu, aku mau pergi dulu ya, sampai jumpa Senin nanti," kata Nuansa sembari memeluk kedua orangtuanya, sementara Neptunus menghabiskan tehnya. "Jangan nakal-nakal di negeri orang, kau akan berada sangat jauh dari kami, jadi kami tidak bisa mengawasimu, tapi kami percaya pada Neptunus, dengar apa yang dia katakan, jangan bandal," ujar Durah. "Iya, ibu." "Dan jaga kesehatanmu." "Pasti." "Jangan sampai pisah dari Neptunus," ucap Arfan. "Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Ayah, kalau perlu pun dia melengketkan kami dengan lem," kata Nuansa, mereka semua kemudian tertawa. Chapter 47 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 2 Make Up 3 in 1 Di dalam perjalanan menuju bandara, Nuansa sarapan, jalanan sudah mulai macet karena ini adalah jam rata-rata orang berangkat bekerja, jadi sepertinya mereka akan sedikit terlambat untuk tiba di bandara. "Mm, kenapa ibumu dan paman Eugene malah menyuruh kita yang pergi ke Korea?" tanya Nuansa pada Neptunus saat dirinya baru selesai makan. "Hmm, seperti yang kau ketahui, mereka memang seharusnya akan pergi ke Korea hari ini, tapi segala yang terjadi semalam benar-benar mengacaukan mood ibuku, dia bahkan tidak ingin keluar dari kamarnya dan tidak ingin melakukan apa-apa, jadi Vega dan Eugene menyarankanku untuk pergi bersamamu ke Korea dan menggantikan ibuku dan Eugene sebagai tamu. Menurut Eugene itu juga akan bagus untuk membuat ibuku merasa lebih baik," papar Neptunus. "Dia sebenarnya tidak ingin melihatmu dalam beberapa hari ini, bukankah begitu?" ucap Nuansa. "Ya, aku juga berpikir begitu, kurasa Eugene dan Vega juga berpikir begitu, hanya saja mereka tidak berani mengatakannya langsung padaku." "Sabar, aku paham rasanya, dan kurasa memang itulah jalan yang terbaik, kau memang harus mengalah dan pergi ke Korea." "Halah, bilang saja kau senang karena kita yang pergi ke Korea, bukan ibuku dan Eugene." "Kau memang pintar membaca pikiran dan perasaan orang." Neptunus lalu mendengus. Nuansa kemudian mulai bermake up, ia meraih tas make upnya yang berukuran kecil dan mulai mengeluarkan peralatan make upnya yang sederhana. Pertama ia mengeluarkan bedak bayi, pensil alis, dan terakhir lipstick. Ya, hanya itu make upnya, ia sebenarnya tidak punya alat khusus seperti spons bedak dan sejenisnya. "Oh iya, bagaimana mobilmu nanti? Kau akan meninggalkannya di bandara?" tanya Nuansa pada Neptunus sembari memakai pensil alis. "Nanti Finn akan mengambil mobilku dan membawanya pulang ke rumahku," jawab Neptunus. "Baik sekali dia ya, dan bagaimana dengan kuliahmu?" "Aku sudah membuat surat izin ketidak hadiran, semuanya sudah beres, kau tenang saja." "Oh, hehehe." Neptunus lantas melirik peralatan make up Nuansa. "Kau memakai bedak bayi?" tanya Neptunus. "Ya, kenapa?" Nuansa bertanya balik. "Tidak apa-apa." "Bedak bayi kan murah, dan lebih bagus kan karena dibuat untuk kulit bayi yang sensitif, jadi wajahku bisa halus karena memakai bedak bayi." "Iya kah?" "Tentu saja iya, kau baru tahu ya?" "Bukan baru tahu, tapi aku tidak percaya dengan teorimu itu." "Heh! Ini bukan teori yang kubuat-buat!" sewot Nuansa. "Benarkah?" "Kau tidak percaya? Sini aku pakaikan bedak bayinya." Neptunus kemudian memberikan pipinya pada Nuansa, gadis itu lantas memakaikannya beda bayi tersebut. "Bagaimana rasanya?" tanya Nuansa. "Biasa saja," jawab Neptunus. "Ih! Apa untukmu harus dipakaikan dalam jumlah yang banyak ya?" "Eh! Eh! Tidak usah! Aku tidak mau wajahku jadi seperti bayi," tolak Neptunus. "Akhirnya kau mengakui kalau bedak ini membuat wajah kita jadi sehalus bayi." "Bukan begitu-" "Akui saja, kau hanya gengsi mengakui kemampuan bedak bayi, kan? Itulah kenapa aku lebih memilih bedak bayi dari pada bedak wanita dewasa, selain karena memang harganya jauh lebih murah, hehehe." "Hm, iya lah, kau memang yang paling mantap." Nuansa lalu mendengus. "Dipuji kok malah tidak senang," protes Neptunus. Nuansa lantas hanya diam sembari memakai lipstick, Neptunus pun kemudian hanya bisa menggelengkan kepalanya, tiba-tiba ada sekelompok anak kecil yang menyebrang secara tidak hati-hati dan memaksa Neptunus untuk menginjak rem secara mendadak. Hal ini pun membuat Nuansa yang sedang memakai lipstick malah jadi mencoret wajahnya sendiri karena lipstick yang sedang dipegangnya meleset ke seluruh wajahnya akibat rem mendadak tersebut. "Huft. Ih! Dasar anak kecil!" sewot Neptunus usai dirinya melakukan rem mendadak tadi, ia lantas menoleh ke Nuansa dan terkejut melihat wajah kekasih sewaannya itu yang sudah seperti Joker. "Heh! Apa-apaan kau ini!" seru Neptunus yang sangat terkejut. "Neptunus!!! Kau menyebalkan!!!!" teriak Nuansa dengan perasaan yang begitu kesal pada Neptunus. "Kenapa aku yang salah?!" tanya Neptunus. "Kenapa kau menginjak rem secara mendadak tadi?!" "Tadi ada sekelompok anak kecil yang menyebrang begitu saja, kalau aku tidak melakukan rem mendadak, semuanya bisa jadi kacau!" "Tapi kan! Argh!" Nuansa lantas mengambil tisu dan membasahinya dengan air, ia kemudian membersihkan wajahnya yang seperti badut itu dengan tisu basah tersebut, Neptunus yang melihatnya pun hanya bisa terkekeh kecil dan mulai menjalankan mobilnya lagi. Kelihatan sekali kalau Nuansa merasa sangat kesal sekarang, untung saja lipsticknya sudah ia aplikasikan dengan benar di bibirnya, jadi ia tidak perlu lagi mewarnai ulang bibirnya. Gadis itu lantas mencolek ujung lipsticknya, dan membuat jari telunjuknya berwarna merah, ia lalu mengusap jari telunjuknya itu ke kedua pipinya. "Hei, itu hanya digunakan di bibir, sejak kapan bisa digunakan di pipi juga?" ujar Neptunus. "Diam kau!" sewot Nuansa, Neptunus lantas terdiam dan hanya bisa terheran-heran, terlebih lagi setelah itu Nuansa memakai lipsticknya di kelopak matanya sebagai eyeshadow. Keanehan tidak berhenti sampai disitu, Nuansa lalu memakai bedaknya dan mengulangi memakai lipstick di kedua pipinya. Ia juga memakai pensil alisnya di ujung mata, bawah mata, dan di atas bulu mata. "Ini namanya pengiritan, aku harus memutar otak agar aku tetap bisa bermake up dengan uang pas-pasan. Lipstick dan pensil alisku kubuat untuk 3 in 1, paham?" kata Nuansa. Neptunus lantas hanya diam seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. ''Ada-ada saja,'' batinnya. Nuansa akhirnya selesai bermake up dengan make up 3 in 1 nya itu, ia lantas menyisir rambutnya dan berkaca. Gadis itu terlihat cantik dengan make upnya yang sederhana itu. Make upnya memang seadanya, namun Nuansa berhasil menjadikan bedak bayi, pensil alis, dan lipstick menjadi make up yang sempurna. Neptunus kemudian memandanginya dan terlihat takjub. "Apa lihat lihat?!" ucap Nuansa. "Kau ..." "Apa?!" "Kau terlihat cantik." Nuansa lantas tersipu malu mendengar pujian itu. "Terima kasih." "Aku tidak pernah menduga kalau tiga make up dasar itu bisa menjadi semua jenis make up dan menciptakan tampilan yang seperti ini, kau luar biasa, mungkin kau bisa menjadi beauty vlogger." "Ah, kau ini bisa saja." Neptunus lalu tersenyum dan tak berhenti memandangi Nuansa, Nuansa pun terus tersipu malu karena tatapan Neptunus itu. Karena tak melepaskan pandangannya dari Nuansa, Neptunus hampir menabrak sekelompok anak-anak lagi, tapi untung saja ia menginjak remnya tepat waktu. "Ish! Kau ini! Fokus kalau menyetir!" ucap Nuansa. "Ehehehe, maaf, maaf, habisnya kau benar-benar terlihat sangat cantik, aku ... engh, maaf," kata Neptunus, keduanya jadi salah tingkah sekarang. Nuansa pun memutuskan untuk memalingkan wajahnya agar ia dan Neptunus tidak salah tingkah lagi, sebab ia pun mendadak jadi salah tingkah jika melihat wajah Neptunus. Chapter 48 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 3 Taehyung Selang beberapa puluh menit kemudian, Neptunus dan Nuansa akhirnya sudah berada di dalam pesawat yang siap untuk lepas landas itu. Nuansa sudah memakai jaket Vega ketika masuk ke dalam pesawat kelas bisnis itu, jadi ia tidak terlalu kedinginan, walaupun masih tetap kedingininan juga. Gadis itu mengikuti Neptunus yang berjalan di depannya, dan akhirnya sampailah mereka di kursi masing-masing. Kursi keduanya juga bisa dijadikan tempat tidur yang cukup besar dan nyaman, wajar saja, mereka terbang di kelas bisnis. Neptunus dan Nuansa kemudian duduk di kursi masing-masing. "Ah, ini benar-benar nyaman, kalau begini, aku jadi ingin naik pesawat setiap hari," ucap Nuansa yang sangat menikmati kursi di kelas bisnis tersebut. "Tidak semua pesawat punya kursi seperti ini, hanya di kelas bisnis saja," ujar Neptunus. "Oh, astaga, hahaha, kupikir kursi semua pesawat seperti ini, ini bisa jadi tempat tidur juga, kan?" "Tentu saja," kata Neptunus sembari duduk di kursinya yang berada di sebelah jendela, sementara Nuansa duduk di sebelah pembatas yang menjadi pembatas kursi mereka dengan jalan, jadi mereka tidak akan terganggu jika ingin tidur karena ada pembatas tersebut. Nuansa nampak kegirangan dengan kursi di pesawat ini, wajar saja, ini kali pertama ia menaiki pesawat, dan di kali pertamanya ia naik pesawat ini, ia langsung merasakan yang kelas bisnis, jadi tentu saja ia sedikit heboh. Gadis tersebut lantas melihat keluar dari pembatasnya, ia melihat seorang Pramugari sangat mengawal seorang anak kecil yang duduk sendirian tanpa ditemani orangtuanya. Anak laki-laki itu tampak rewel karena tak mau duduk di sebelah pria asing yang wajahnya terlihat sangar, namun sepertinya orang baik-baik, sebab pria itu pun berusaha dengan keras agar anak tersebut tidak rewel. Melihat hal itu, Nuansa pun lalu bangkit dan menghampiri mereka. "Ada apa ini?" tanya Nuansa pada sang Pramugari. "Engh? Anak ini ... dia harus terbang sendirian ke Korea tanpa orangtuanya karena orangtuanya sudah pergi lebih dulu dengan pesawat lain, anak ini tertinggal, dan akhirnya pamannya membelikannya tiket baru, dia mau-mau saja pergi sendirian ke Korea dan menyusul orangtuanya, tapi begitu melihat teman sebangkunya, dia malah rewel," papar Pramugari itu. "Bagaimana bisa orangtuanya meninggalkan dia?" "Bukan sengaja ditinggalkan, dia tertinggal karena ketiduran di bandara, dan orangtuanya tidak menyadari bahwa anak mereka tidak bersama mereka, petugas di bandara pun mengamankan anak ini karena dia terlihat ketakutan dan kebingungan, akhirnya pihak keluarganya bisa dihubungi, pamannya datang dan memesankannya tiket baru, dia awalnya senang karena akan pergi sendirian seperti orang dewasa, tapi ..." Pramugari itu dan Nuansa lantas melihat ke pria yang duduk di sebelah anak laki-laki yang kira-kira berusia 7 tahun itu. "Kenapa kau tidak ingin duduk bersamanya?" tanya Nuansa pada anak tersebut. "Huh?" ujar anak itu. "Bahasa Indonesianya agak susah, dia lebih mengerti bahasa Inggris dan bahasa Korea," ucap Pramugari itu pada Nuansa. Nuansa lalu tampak berpikir. "Why ... Why you ... You tidak mau duduk with him?" tanya Nuansa pada anak itu. "His face, he ... i don''t know, dia mengerikan," jawab anak tersebut. Nuansa kemudian menarik napas panjang dan tampak berpikir untuk mencari solusinya. "Pesawat ini tidak akan lepas landas kalau ada penumpang yang tidak duduk tenang," kata Pramugari tersebut pada Nuansa. Nuansa lalu melihat ke Neptunus yang sedang membaca majalah, dan tentunya bukan majalah pria dewasa, ini pesawat, pria itu tidak akan melakukan hal itu di tempat umum seperti ini. Nuansa pun lalu menghampiri Neptunus. "Hei," panggilnya, tapi Neptunus sedang menggunakan earphone, jadi ia tidak bisa mendengar Nuansa, apa lagi volume earphonenya cukup keras. "Hei!" panggil Nuansa sekali lagi, kali ini ia menggoncang tubuh Neptunus. "Cih! Apa?!" tanya Neptunus yang merasa kesal karena aktivitasnya membaca majalah terganggu. "Keluar kau," suruh Nuansa. "Buat apa? Jika kau ingin ke toilet, tanyakan pada Pramugarinya, mumpung belum lepas landas." "Bukan, ini tentang anak kecil." "Apa?" "Keluar dulu kau." "Demi Tuhan, Nuansa, untuk apa?" "Keluar saja dulu! Jangan bandal! Kau sudah dewasa!" Nuansa lantas menarik tangan Neptunus. "Ish!" gerutu Neptunus, ia hanya bisa menggerutu kesal, namun tetap mengikuti Nuansa. Neptunus dan Nuansa pun menghampiri anak itu. "Kau duduk di sini, biar anak ini duduk bersamaku," kata Nuansa pada Neptunus. "Huh?" Neptunus tentu saja terkejut mendengar hal itu, ia tidak tahu masalah dan tiba-tiba disuruh duduk di sebelah pria yang tidak dikenalnya, yang mana itu juga bukan kursinya. "Kursiku di sana, bukan di sini," sambung Neptunus. "Huft ... mengertilah!" bentak Nuansa, bentakannya ini membuat semua orang menoleh padanya. "Ya ... mengerti apa? Aku tidak tahu apa-apa, kenapa kau menyuruhku duduk di sebelahnya ..." Neptunus berhenti berbicara saat melihat wajah sangar pria tersebut. "Karena anak ini tidak mau duduk di sebelah pria ini, dan pesawat ini tidak akan terbang jika dia begini." "Ya ... itu bukan urusanku." "Ih! Kau ini!" Nuansa kemudian menjelaskan semuanya secara rinci pada Neptunus, dari A sampai Z dengan lengkap. Setelah mendengar penjelasan Nuansa tentang anak ini, Neptunus pun lantas tampak berpikir dan mempertimbangkan keputusannya, ia bahkan mengamati wajah anak tersebut untuk memastikan apakah anak itu benar-benar takut hanya memainkan mereka, wajar saja, beberapa anak memang memiliki tingkat kebandalan diatas rata-rata, tak jarang anak-anak mau merepotkan orang dewasa yang tidak dikenalnya dengan kebandalannya. Neptunus semakin mengamati wajah anak itu karena Nuansa mengatakan kalau ia senang karena bisa pergi sendirian seperti orang dewasa, pria itu jadi berpikir kalau anak itu sengaja memisahkan dirinya dari orangtuanya agar bisa pergi sendirian, jadi ia pun semakin mencurigai kebandalan anak ini. "How old are you?" tanya Neptunus pada anak itu. "I''m seven," jawab anak tersebut. "Seven?" "Yeah." Neptunus lalu kembali mengamati wajahnya. ''Tujuh tahun, ya? Dia pasti sudah bisa berpikir, dia sudah tahu cara mengelabui orang dewasa demi kesenangannya, anak ini ... Grh!'' batin Neptunus. "Baiklah, aku akan duduk di sini," ucap pria itu akhirnya. "Benarkah?" tanya Nuansa dengan wajah gembira. "Iya!" "Hehe." "How about me? Kau mau duduk bersamaku, kan?" tanya Nuansa pada anak tersebut. "Yeah!" jawab anak itu. "Jadi ... aku ... duduk di kursi pacarmu?" tanyanya, dengan bahasa Indonesia yang memang agak susah digunakannya. "Ya, dan pacarku akan duduk bersamanya," jawab Nuansa. "Ok!" Anak itu pun lantas langsung mengemas barangnya dan memindahkannya ke kursi Neptunus, begitu pula sebaliknya. Neptunus dengan terpaksa akhirnya mengalah, ia akan duduk bersama pria berwajah sangar itu sampai pendaratan nanti, mungkin mereka akan transit dulu nanti. Anak itu terlihat sangat senang duduk di sebelah Nuansa. Nuansa pun tersenyum melihatnya. "What''s your name?" tanya Nuansa padanya. "Me?" Anak itu bertanya balik. "Yes, siapa lagi jadinya?" "I''m Taehyung, nice to meet you." "Taehyung?" "Yeah." "Your name is familiar to me." "Really?" "Yeah, aku seperti pernah mendengar namamu, tapi di mana ya ..." "Oh, anggota boyband itu?" "Ah! Iya! Kau memang anak yang pintar!" "Hehehe." Nuansa dan Taehyung lantas mengobrol tentang banyak hal sebelum pesawatnya lepas landas, dan hal itu berbanding terbalik dengan Neptunus yang tampak kesal duduk di sebelah pria berwajah sangar ini. ''Sial,'' batin Neptunus. Chapter 49 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 4 Jeju Setelah belasan jam perjalanan, Neptunus dan Nuansa akhirnya sampai di Korea, tepatnya di Kota Jeju. Mereka masih berada di Jeju International Airport, dan ini sudah tengah malam di Jeju. Nuansa terlihat sangat mengantuk, sementara Neptunus tidak, sebab selama di pesawat, Neptunus hanya tidur, sedangkan Nuansa asyik mengobrol dengan Taehyung, sampai mulut keduanya pegal dan bahkan mungkin sudah melebar. Neptunus pun terpaksa berjalan sambil menuntun Nuansa dan menarik koper mereka hanya dengan dua tangannya. Mau bagaimana lagi, Nuansa dari tadi tidak bisa sadar sepenuhnya karena rasa kantuknya yang teramat sangat. Setelah keluar dari dalam bandara, Neptunus pun lantas memesan sebuah taksi untuk mempercepat dirinya dan Nuansa sampai ke hotel terdekat. Selama dalam perjalanan menuju hotel, Nuansa tertidur pulas, gadis itu terlihat agak menggigil saat tertidur, Neptunus yang melihat kekasih sewaannya itu menggigil pun dengan cepat langsung memeluknya agar Nuansa merasa lebih hangat dan tidurnya menjadi lebih nyenyak. Dan benar saja, setelah Neptunus memeluknya, Nuansa merasa lebih hangat, buktinya ia berhenti menggigil dan tidurnya tampak lebih pulas. Entah kenapa memeluk Nuansa seperti ini membuat Neptunus merasa sangat nyaman, terlebih lagi Nuansa sangat wangi, jadinya Neptunus seperti tidak ingin untuk melepaskannya. Mereka akhirnya sampai di hotel, dan Neptunus masih memeluk Nuansa, hal itu ternyata tidak membuatnya ikutan tertidur, karena ia tahu, kalau dirinya sampai terlelap, maka semuanya akan menjadi kacau. "Nuansa, hei, bangunlah," ucap Neptunus yang berusaha untuk membangunkan Nuansa karena mereka sudah sampai di hotel, namun Nuansa tidak bangun, dan ini membuat Neptunus menjadi merasa serba salah. Pria itu merasa tidak enak untuk membangunkan gadis tersebut, karena Nuansa tidur dengan sangat nyenyak dalam pelukan Neptunus, namun jika Neptunus tidak membangunkannya, tidak mungkin kan mereka akan berada di dalam taksi terus. Dengan berat hati, Neptunus pun kemudian membangunkan Nuansa lagi. "Kau mau bangun atau kutinggal di sini?" bisik Neptunus. "Hm?" Nuansa langsung terbangun begitu mendengar bisikan itu, tapi tentu saja ia belum sadar sepenuhnya, gadis itu terlihat linglung begitu tersadar. "Ada apa?" tanya Nuansa sembari melepaskan pelukan Neptunus darinya. "Kita sudah sampai di hotel, ayo masuk," ujar Neptunus. "Hm? Oh, iya?" kata Nuansa dengan mata yang setengah terbuka, Neptunus sadar bahwa gadis itu belum sadar sepenuhnya, bahkan Nuansa terlihat akan tidur lagi sebab tubuhnya hampir roboh tadi. Neptunus pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Nuansa seperti itu, namun ia membiarkannya selama ia mengeluarkan koper mereka. Setelah Neptunus mengeluarkan kopernya dan koper Nuansa, ia mengeluarkan Nuansa dari dalam taksi tersebut. "Hm?" ucap Nuansa yang dari tadi hanya bisa bilang hm hm hm karena tingkat kesadarannya hanya 30%. Neptunus lalu membayar ongkos taksi tersebut kepada sopirnya, setelah itu, taksi tersebut pun pergi. "Kita di hotel?" tanya Nuansa setelah taksi tadi pergi. "Ya," jawab Neptunus. "Huh?!" Gadis itu tiba-tiba sadar sepenuhnya. Melihat Nuansa tersadar, Neptunus pun melepaskannya agar dia berjalan sendiri, dan Neptunus menarik koper mereka. Neptunus lantas berjalan menuju Resepsionis, meninggalkan Nuansa di depan pintu dalam kebingungan. Nuansa lalu berlari menyusul Neptunus. "Hei! Kau ini, main pergi saja!" sewot Nuansa. "Siapa suruh kau kebingungan seperti tadi?" ucap Neptunus. "Ish!" gerutu Nuansa. "Jam berapa ini?" tanya Nuansa. "Jam setengah dua," jawab Neptunus. "Jadi kita sudah di Korea?" "Kau tidak melihat sekelilingmu? Apa orang-orangnya sama dengan orang-orang Indonesia?" "Oh, iya, hehehe." "Sejak kapan kita sampai?" lanjut Nuansa. "Kenapa memangnya?" Neptunus bertanya balik. "Di mana Taehyung?" "Kenapa memangnya?" "Ih! Kau ini! Dia itu terpisah dari orangtuanya! Makanya aku khawatir padanya." "Dia sudah bertemu dengan orangtuanya." "Benarkah?" "Ya." "Hmm." "Kalau tidak percaya yasudah." Mereka akhirnya sampai di meja Resepsionis. "Dia turun bersama kita tadi?" tanya Nuansa. "Ya," jawab Neptunus. "Kau bertemu dengan orangtuanya?" "Ya." "Ah! Tolong, serius!" "Aku serius." "Kau kan tidak menyukainya, mana mungkin kau menunggu sampai orangtuanya datang, kalau bisa kau biarkan dia terkunci di toilet, iya, kan?" "Heh, aku tidak sejahat itu." "Benarkah?" "Aku tadi menemaninya, Nuansa, sampai orangtuanya datang. Kau hanya tertidur dan baru bangun sekarang." "Bisakah aku mempercayaimu?" "Kenapa kau begitu khawatir padanya?" "Dia itu punya 10 adik, setiap dua dari adiknya adalah kembar, jadi orangtuanya lebih memperhatikan adik-adiknya dari pada dia, makanya dia sampai terpisah dari keluarganya saat mereka akan kembali ke Korea," papar Nuansa. "10 adik?" "Ya." Neptunus lantas menatap Nuansa. "Tapi dia masih 7 tahun." "Entahlah, mungkin orangtuanya ingin agar anak-anaknya membentuk klub sepakbola bersaudara, hahaha," ujar Nuansa. "Ngomong-ngomong, adiknya laki-laki semua, jadi kau bisa membayangkan bagaimana repotnya orangtuanya, anak laki-laki lebih lasak dari pada anak perempuan, kan? Jadi wajar saja jika dia sampai tertinggal seperti itu," sambung Nuansa. "Kau percaya pada ceritanya?" "Tentu saja, itu masuk akal untuk menjadi alasan kenapa dia sampai tertinggal seperti itu. Kau tahu? Aku sangat sedih padanya karena dia menceritakan padaku kalau dia merasa tidak dipedulikan sebagai anak, dia merasa kalau dirinya seperti dianggap tidak ada. Oh, aku paham perasaannya, dia baru berusia tujuh tahun, jadi wajar saja dia merasa seperti itu, jadi selama dalam perjalanan, aku berusaha untuk membuat dirinya merasa disayangi, karena dia bilang, dia merasa kalau orangtuanya lebih sayang pada adik-adiknya dari pada dirinya, tapi aku mengerti, sebenarnya tidak seperti itu, tentu saja, kan?" "Ya, wajar saja jika dia merasa seperti itu, tapi apa kau percaya adiknya sepuluh? Laki-laki semua? Dan setiap dua dari mereka adalah kembar?" "Kau bilang tadi kau bertemu dengan orangtuanya, rasanya tidak mungkin orangtuanya menjemput dia tanpa membawa anak-anaknya yang lain." "Ya, ayahnya memegang dua anak yang kembar, ibunya memegang dua anak kembar lain, jadi kupikir dia hanya memiliki empat adik, tapi rupanya sepuluh ya." "Mungkin saja yang enam lagi sedang di rumah." "Kurasa tidak." "Huh?" "Yang enam lagi sedang manggung, mereka mengambil job sampingan sebagai sebuah boyband bersaudara." "Hahahaha, kau ini bisa saja," kata Nuansa sembari menyenggol bahu Neptunus, Neptunus lantas terkekeh sambil menyenggol bahu Nuansa balik, dan hal itu membuat Nuansa kehilangan keseimbangan dan hampir saja jatuh. "Ih! Kau ini!" gerutu Nuansa. "Hahaha." Neptunus malah semakin merasa geli gara-gara Nuansa hampir jatuh tadi. Jahat sekali. "Tapi ... kau benar-benar memastikan kalau dia sudah dijemput oleh orangtuanya, kan?" tanya Nuansa. "Iya, Nuansa sayang, kau ini kenapa tidak percaya padaku? Petugas keamanan bandara bahkan sampai turun tangan tadi," ucap Neptunus. "Oh, ok, hehehe." "Sekarang aku bisa memesan kamar hotel untuk kita, kan?" "Silakan, hehehe." Chapter 50 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 5 Kamar Hotel Neptunus dan Nuansa akhirnya sampai di kamar mereka yang berada di lantai 5 hotel tersebut. Ya, hotel itu cukup besar dan mewah, jadi tidak usah ditanyakan lagi berapa harga sewa permalamnya. Kamar Neptunus dan Nuansa memiliki 2 ranjang yang dipisahkan oleh meja berlaci yang ukurannya tidak terlalu besar, masing-masing ranjang memiliki ukuran yang besar, jadi pastinya ini akan menjadi pengalaman yang luar biasa bagi Nuansa, sebab ia belum pernah tidur di atas ranjang seempuk dan sebesar ini sebelumnya. Neptunus langsung berbaring di atas salah satu ranjang begitu keduanya sampai di kamar itu, ia terlihat sangat lelah. Pria itu kemudian pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri, sementara Nuansa masih terpana dengan kamar hotel tersebut. "Aku tidur duluan, ya," ucap Neptunus yang baru selesai mandi dan berpakaian, ia lantas langsung naik ke ranjangnya dan menarik selimut. "Kau tidak buka baju?" tanya Nuansa, mendengar pertanyaan itu, Neptunus pun lantas membuka satu matanya yang sebelumnya sudah tertutup. "Aku tidak suka buka baju," ujar Neptunus. "Kupikir semua pria suka buka baju." "Tidak juga." "Iya, kah?" "Buktinya aku. Tapi, lagi pula tidak sopan aku bertelanjang dada di depanmu, kita hanya berdua di sini, kita tidur di satu kamar, dan aku bertelanjang dada? Tidakkah kau pikir itu aneh? Kenapa kau malah memintaku untuk melakukan itu?" "Aku hanya bertanya, bukan meminta." "Bilang saja meminta." "Hei! Aku hanya bertanya." "Jadi kau mau jika aku melakukannya?" "Eh, eh! Jangan!" "Eh, eh! Iya!" "Ish!" "Kau sendiri kenapa tidak buka baju?" "NEPTUNUS!" "HAHAHAHA." "Awas kalau kau macam-macam!" "Aku pria baik-baik, tenang saja, tidak buka baju di saat seperti ini sudah menjelaskannya, kan?" "Tapi kau bilang kan kau memang tidak suka bertelanjang dada, jadi yang kau katakan barusan itu bukan poin." "Ya, kau benar. Ngomong-ngomong, aku memang tidak pernah bertelanjang dada selain saat mandi." "Oh, berhentilah membicarakan hal ini, kau bilang kau ingin tidur, kan?" "Tidak, tidak." Neptunus lalu duduk. "Kau tahu? Setiap hari aku tidur menggunakan baju, tapi bagian bawahku lepas kandang," lanjut Neptunus. "Huh?" Nuansa sedikit bingung dengan apa yang diucapkan Neptunus barusan, ia tidak mengerti maksudnya, namun beberapa detik kemudian akhirnya ia mengerti. "APA?!-" "Ya, itu aneh, kan? Aku pun baru menyadarinya, setiap hari aku tidur pakai baju, tapi tidak pernah pakai celana dan kolor, itu ... ya, itu aneh. Kenapa aku baru menyadarinya? Tapi itu membuatku nyaman, tidak pakai celana ketika tidur sangat enak rasanya, sesekali aku mencoba untuk tidur dalam keadaan telanjang bulat, itu bagus untuk kesehatan, kan? Tapi aku tidak nyaman jika bertelanjang dada, aku selalu seperti merasa kedinginan, ya terpaksa aku hanya tidur tanpa celana setiap malam, itu salah satu tips hidup sehat, loh." Neptunus menyela Nuansa. "JANGAN BILANG KALAU KAU!" lanjut Nuansa. "Akan melepaskan celanaku dan tidur dalam keadaan telanjang pada bagian bawah?" kata Neptunus. "Aku ingin melakukannya, sangat, sungguh, karena itu sudah menjadi kebiasaan yang tidak bisa kulepas," sambungnya. "Aku tahu itu! Seharusnya aku memesan kamar sendiri saja dengan uangku walaupun harga sewa permalam hotel ini sangat mahal!" gerutu Nuansa sembari membereskan barang-barangnya. "Hahaha, tapi aku tahu batasanku, tenang saja, aku pria baik-baik, seperti yang selalu aku bilang," ucap Neptunus. "Aku tidak mempercayaimu! Tuhan, bagaimana orangtuaku bisa percaya pada pria ini?!" ujar Nuansa. Neptunus lantas menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Nuansa sambil terkekeh kecil, ia pun lalu kembali berbaring dan masuk ke dalam selimut, sementara Nuansa terus mengoceh dan bersiap untuk pergi dari kamar tersebut. Akhirnya Nuansa selesai, ia bersiap untuk pergi dari kamar tersebut sekarang, namun ia baru menyadari, bahwa selama dirinya mengoceh, Neptunus tertidur dengan begitu nyenyak. Nuansa pun terdiam ketika melihat Neptunus tidur dengan sangat damai. Wajah pria itu benar-benar terlihat sangat damai ketika ia tidur, dan itu membuat Nuansa jadi tidak ingin meninggalkannya. ''Aku pesan kamar baru atau tidak, ya?'' batin Nuansa. *** Sekitar tiga jam kemudian, Neptunus terbangun karena ingin buang air kecil, ketika ia bangun, dirinya melihat Nuansa yang duduk di atas ranjangnya sendiri dengan posisi menghadap ke jendela yang menampilkan penampakan Kota Jeju pada pagi hari itu. "Kau sudah bangun?" tanya Neptunus. Nuansa lantas menoleh padanya dan malah menanyakan hal yang sama. "Eh, kau sudah bangun?" ucap Nuansa. "Aku tidak tidur," lanjutnya. "Kenapa? Apa karena kau takut aku macam-macam? Astaga, tidak seperti itu juga, kau menyakiti dirimu sendiri namanya, tidak tidur itu bisa membuatmu sakit, kau butuh istirahat yang cukup," kata Neptunus. "Hahaha, tidak, itu bukan karenamu, aku tahu juga kalau kau pria baik, tidak mungkin kau bakal melakukan hal yang diluar batas. Aku hanya tidak mengantuk, mungkin karena aku sudah tidur sejak kita mendarat kemarin, lagi pula sama saja rasanya kalau aku tidur dan tidak tidur, karena kalau pun tidur, aku hanya tidur selama beberapa jam saja, kan?" "Walaupun durasinya kurang dari jam tidur yang seharusnya, tapi kau tetap harus tidur, kan lumayan meskipun hanya tiga atau empat jam." Nuansa kemudian hanya tersenyum. "Entahlah, aku tidak mengantuk, aku juga tidak merasa lelah." "Awas saja kalau kau sampai ambruk saat kita pulang nanti." "Jadi dari tadi kau hanya duduk seperti itu?" sambung Neptunus. "Ya, ini menyenangkan, melihat pagi hari menyambut kota ini, itu adalah hal yang sangat indah. Semua ciptaan Tuhan itu memang sangat indah, ya?" ujar Nuansa. Neptunus hanya terdiam saat Nuansa mengatakan hal tersebut barusan, ia jadi gugup sebab mereka saling bertatapan saat Nuansa mengatakan hal itu. "Ada-ada saja," ucap Neptunus yang memecah keheningan, ia lalu pergi ke kamar mandi. "Bersiap-siaplah, sebentar lagi sarapan dimulai, makanannya akan disajikan secara prasmanan," lanjut Neptunus sesaat sebelum dirinya masuk ke kamar mandi. "Prasmanan?" kata Nuansa. "Ambil sendiri sesuai selera?" sambungnya. "Ya." "Aku harap ada yang sesuai dengan seleraku." "Hei, makanan Korea itu enak-enak, kau pasti suka semuanya." "Kalau saja seperti itu." "Ck ck ck, aku tidak mengerti apa yang salah darimu." Neptunus lalu masuk ke dalam kamar mandi. "Akulah yang tidak mengerti apa yang salah darimu," gumam Nuansa. "AKU MENDENGARMU!" seru Neptunus dari dalam kamar mandi. Nuansa pun terkejut mendengar itu. ''Dasar,'' batin gadis tersebut. Chapter 51 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 6 Merasa Tidak Enak Usai mandi, Nuansa dan Neptunus langsung turun ke lantai 1 dan pergi ke ruang makan untuk sarapan. Banyak orang yang sudah mulai sarapan, dan Nuansa hanya mematung saat melihat cara makan ala Korea yang berbeda dengan cara makan ala Indonesia, tentu saja perbedaannya karena memang cara memakan makanannya yang berbeda. Sadar Nuansa mematung, Neptunus pun lantas menarik tangan gadis itu dan membawanya mendekati menu-menu makanan. "Ambil piringmu sendiri," ucap Neptunus saat dirinya mengambil sebuah piring untuknya. Nuansa tidak langsung melakukan apa yang disuruh Neptunus tadi, ia melihat-lihat dulu semua menu yang disajikan, sementara Meptunus merasa bingung harus mengambil yang mana sebab ia menyukai semua menu yang disajikan ini. "Kau akan mengambil yang mana?" tanya Nuansa pada Neptunus. "Hmm, entahlah, aku bingung, aku pernah memakan semua ini, dan semuanya enak, aku suka semuanya, tidak mungkin aku akan memakan semuanya, kan?" jawab Neptunus. "Benarkah? Semuanya enak? Mana menurutmu yang paling enak?" "Aku tidak bisa memilih, semuanya enak." Neptunus lalu lanjut berpikir untuk memutuskan mana menu yang akan dipilihnya. Sementara Nuansa justru meneguk ludahnya saat melihat makanan-makanan itu. ''Bagaimana dia bisa menyukai semua itu?'' batin Nuansa. "Neptunus," panggil Nuansa. "Ya?" sahut Neptunus. "Boleh tidak aku makan di luar saja? Maksudku, di restoran gitu." "Kenapa? Kau tidak selera melihat makanan-makanan di sini?" "Y-ya, aku tidak sepertimu yang suka makanan Asia Timur, waktu aku ikut kau pergi ke kampusmu dan kau menyuruhku pergi ke restoran tempat Gladys bekerja saja aku hanya memakan Takoyaki, makanan itu agak aneh bagiku walaupun itu lebih normal dari pada Sushi atau Sashimi atau makanan-makanan mentah lainnya." "Kenapa waktu itu kau tidak memesan mie saja?" "Karena aku memesan apa yang paling sering kau pesan." "Dan sekarang kau juga akan mengambil makanan yang aku ambil?" Nuansa lantas melihat ulang makanan-makanan itu. "Kurasa ... tidak." "Huft, rasanya tidak akan seperti yang kau duga, Nuansa, makanan-makanan ini enak-enak, jangan menilainya hanya dari tampilannya, kau pasti akan ketagihan setelah memakannya." "Tidak, aku tetap tidak mau makan di sini, lebih baik aku berkeliling dan mencari restoran yang menyajikan makanan Indonesia, tidak apa, aku akan menggunakan uangku sendiri untuk makan selama kita berada di Korea." Neptunus kemudian mendengkus, pria itu lalu mengembalikan piringnya dan membawa Nuansa pergi dari ruang makan. "Kau mau membawaku ke mana?" tanya Nuansa yang hanya pasrah saat Neptunus berjalan sambil menarik tangannya." "Kau bilang kau ingin berkeliling mencari restoran Indonesia, kan?" ujar Neptunus. "Iya, aku sendiri saja, kau makan saja di sini." "Tidak, kalau kau tersesat nanti bagaimana?" "Kan ada GPS." "Tidak, tidak." "Neptunus, tidak apa, kau sangat menyukai menu-menu makanan yang disajikan di sini, kan? Kau pasti sangat ingin memakan makanan-makanan itu tadi, kan? Ya, kan? Aduh, bagaimana ya, yasudahlah, aku tidak akan pergi, aku akan di sini menemanimu makan, dari pada kau pergi menemaniku tapi kau tidak mendapatkan makanan-makanan kesukaanmu." "Dan membiarkan kau kelaparan saat aku menyantap makanan-makanan itu dengan sangat lahap? Tidak!" "Tapi itu kan makanan-makanan kesukaanmu." "Aku tidak peduli, aku masih bisa memakannya di lain waktu." "Benarkah?" "Ya." "Tapi." Neptunus lalu mengangkat alis kanannya. "Kenapa kau tidak menyelaku?" tanya Nuansa. "Huh?" Neptunus merasa bingung. "Ish! Kupikir ketika aku mengatakan ''tapi'', kau akan menyelaku dan mengatakan ''sudahlah, tidak apa-apa, ayo kita pergi'' agar menciptakan suasana romantis, tapi rupanya tidak, dasar!" "Ooooh, kau mengharapkan hal romantis dariku?" "Eh! Eh! Tidak! Bukan begitu!" Nuansa sontak saja jadi salah tingkah. "Hmm, kenapa begitu? Kau suka ya padaku? Waah, kalau begitu kau kalah bertaruh." "Kalah bertaruh?" tanya Nuansa dengan perasaan bingung. "Jangan pura-pura lupa, kita bertaruh, selama kontrak kita berjalan, kalau kau suka padaku, maka kau harus memberitahu ukuran BHmu padaku, dan jika kau semakin jijik padaku, maka aku akan memberitahu ukuranku padamu, ingat, kan?" "Eh?" Nuansa lalu berusaha untuk mengingat hal itu. "Oh, astaga! Ih! Kau menyebalkan!" lanjut Nuansa, ia lantas pergi meninggalkan Neptunus. "Eh, eh!" Neptunus kemudian menyusul gadis tersebut. "Kau suka ya padaku? Hm? Mengaku saja, ya, kan?" ucap Neptunus saat ia berhasil menyamai langkahnya dengan langkah Nuansa. "Bagaimana aku bisa suka dengan orang yang menjijikkan sepertimu?!" sewot Nuansa. "Jijik apa jijik?" goda Neptunus. "Aku tidak akan pernah suka padamu! Ingat itu!" "Eits, eits, hati-hati kemakan omongan sendiri." "Kau menyebalkan!" "Kau pasti sudah tidak sabar untuk memberitahu-" "Neptunus!!!" "Hahahaha." "Baiklah, baiklah, tapi jika kau memang menyukaiku, akui saja, tidak apa-apa." "Benarkah?" "Ya." "Haha, leluconmu bagus sekali." "Kenapa kau berkata seperti itu?" "Tentu saja aku berkata seperti itu, bagaimana dengan Tiana?!" Neptunus seketika terdiam, dan sesaat kemudian, Nuansa sadar bahwa ia salah bicara. "Engh, maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk mengingatkanmu padanya, maaf, aku-" "Tidak apa." Neptunus menyela Nuansa. "Neptunus, aku tidak sengaja mengucapkan hal itu, sumpah, aku tidak bermaksud untuk-" "Hei, hei, sudahlah, tidak usah diperpanjang," ujar Neptunus dengan sangat lembut. "Tapi ..." "Tidak apa, aku tahu kau salah bicara dan kau tidak menyadarinya saat kau mengucapkannya." "Maaf sekali lagi, ya." Neptunus kemudian hanya mengangguk sembari tersenyum. "Oh, iya, kau ingin makan apa nanti?" tanya Neptunus. "Apa ya ... kita lihat saja nanti restoran Indonesia yang kita dapatkan menyediakan menu apa saja, aku pun sebenarnya ragu kalau di sini ada restoran Indonesia," jawab Nuansa. "Ada, pasti ada." "Kau yakin?" "Aku sudah menelusurinya di internet untuk persiapan jika hal seperti ini terjadi." "Benarkah?" "Ya." "Wah, kau memang tahu apa saja yang harus dipersiapkan sebelum bepergian ke luar negeri." "Hahaha, itulah kegunaan utamaku jika bepergian ke luar negeri." Nuansa lalu hanya tersenyum, dan tidak terasa mereka akhirnya sampai di luar hotel. Keduanya memilih untuk bepergian dengan berjalan kaki di Hawaii-nya Korea ini. Selama berjalan menuju restoran Indonesia yang diketahui Neptunus, mereka saling diam-diaman. Neptunus memalingkan wajahnya, seolah ia melihat-lihat kota ini, sementara Nuansa hanya menunduk karena masih merasa tidak enak sebab menyebut nama Tiana tadi, padahal Neptunus sudah pernah mengatakan padanya kalau pria itu tidak ingin membahas tentang Tiana lagi. ''Bagaimana perasaannya setelah aku menyebut Tiana tadi, ya? Aku tahu dia tidak merasa baik-baik saja, dia berubah tadi,'' batin Nuansa. Ia benar-benar merasa tidak enak sekarang. Chapter 52 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 7 Lonjakan Harga Neptunus dan Nuansa akhirnya sampai di sebuah restoran Indonesia. Di sana, mereka disambut oleh seorang Pelayan yang sangat ramah, sangat menunjukkan bagaimana ramahnya orang Indonesia itu dibanding orang Eropa, Amerika, dan bagian Asia selain Asia Tenggara. Neptunus dan Nuansa pun kemudian masuk dan memilih meja makan mereka, di atas meja tersebut sudah ada daftar menu yang tersedia dalam 3 bahasa: Bahasa Inggris, Bahasa Korea, dan Bahasa Indonesia. Nuansa lantas mengambil daftar menu yang berbahasa Indonesia. Ia melihat menu-menu yang cukup pasaran, seperti Nasi Goreng, Rendang, Soto, Bakso, Bakmi, Mie Ayam, Sate, dan lain-lain. Untuk makanan ringan, Nuansa juga menemukan cukup banyak jajanan yang pasaran seperti Cilok, Cimol, Bakwan, Tahu Bulat, Batagor, dan lain sebagainya, namun tentu saja dengan harga yang begitu mahal, berbanding terbalik dengan jika kita membelinya di Indonesia. Biasanya, Bakwan di Indonesia dijual dengan harga paling tidak 3 biji per 2 ribu Rupiah, namun di restoran ini, harganya melonjak sampai 10 kali lipat, jika untuk Bakwan saja segitu harganya, bagaimana lagi dengan Sate dan yang lainnya?. Nuansa pun jadi berpikir dua kali untuk hal ini, ia bahkan menahan laparnya dan meneguk ludahnya karena memikirkan perbandingan harga yang begitu luar biasa. Neptunus yang sedang melihat-lihat restoran ini pun akhirnya menyadari bahwa Nuansa menjadi ragu untuk memesan sebuah makanan atau minuman dikarenakan harganya yang jauh lebih mahal dari pada harga di Indonesia. Pelonjakan harga ini sebetulnya adalah hal yang wajar, sebab bahan-bahan untuk membuat makanan-makanan Indonesia sulit untuk ditemukan di Korea, dan itulah penyebab utamanya. "Kenapa kau lama sekali memilih menunya?" tanya Neptunus kepada Nuansa. "Engh? I-iya." Nuansa bingung harus bagaimana. "Cepat, kau ingin pesan apa?" "Kau bagaimana?" "Aku pesan menu yang sama saja denganmu." "Kenapa?" "Aku suka semua makanan Indonesia." "Benarkah?" "Tentu saja." "Yasudah, aku pesan Cilok saja." "Huh? Cilok?" "Ya." "O-ok." "Kau suka, kan?" "Suka, tentu saja suka, aku pernah menghabiskan uang 50 ribu hanya untuk makan cilok sampai kenyang." "Hm, baguslah. Pelayan!" Seorang Pelayan lalu menghampiri Nuansa. "Ya?" sahut Pelayan tersebut. "Ciloknya dua ya," pinta Nuansa. "Baiklah." Pelayan itu kemudian pergi. "Minumnya? Kau tidak memesan minuman?" tanya Neptunus pada Nuansa. "Air minum di hotel saja," jawab Nuansa. "Huh?" "Kenapa?" "Tidak, tidak." "Kau bingung sekali sepertinya." "Ya karena kau aneh." "Aku? Aneh?" "Ya." "Aneh bagaimana?" "Permisi." Pelayan tadi datang lagi dengan pesanan Nuansa tadi. "Oh, iya, terima kasih," ucap Nuansa. "Sama-sama." Pelayan itu lantas pergi lagi. Neptunus dan Nuansa pun kemudian sama-sama berdoa sebelum mulai makan. Ketika ingin menyantap Cilok miliknya, Neptunus terkejut sebab yang disajikan hanyalah 4 butir Cilok di sebuah piring kecil, begitu juga dengan Nuansa, namun Nuansa memakannya dengan lahap tanpa merasa heran atau apapun itu. "Nuansa." Neptunus memanggil Nuansa. "Hm?" sahut Nuansa. "Tidak baik berbicara saat sedang makan, makan saja dulu," sambung Nuansa. "Tapi-" "Ssssht, makan, makan." Neptunus pun lalu memakan 4 butir Cilok tersebut hanya dalam waktu 60 detik dan membuat Nuansa terkejut, sebab saat Neptunus selesai memakan 4 butir Cilok itu, di piring Nuansa masih tersisa 2 butir lagi sebab gadis itu memotong Cilok-cilok itu menjadi potongan-potongan kecil lebih dulu sebelum memakannya, padahal Cilok-cilok itu sudah cukup kecil, namun sepertinya Nuansa ingin membuatnya terlihat banyak dengan cara memotong-motongnya. "Astaga, sudah selesai?" tanya Nuansa pada Neptunus. "Sudah, toh cuma empat butir isinya," jawab Neptunus. "Tapi ... astaga, apa kau mengunyahnya dengan benar? Kau hanya memakannya dalam waktu satu menit! Dan, dan cilok ini jumlahnya empat, bukan satu, kau ...?" "Tentu saja aku mengunyahnya dengan benar, kalau tidak pasti aku muntah sekarang." "Benarkah? Kau mengunyahnya 32 kali?" "32 kali?" "Tentu saja, makanan itu harus dikunyah sebanyak 32 kali sebelum ditelan agar kerja lambung tidak berat." "Kalau aku sudah mengunyahnya sampai seperti bubur tanpa harus sebanyak 32 kali bagaimana?" "Huh?" "Hei, kau memotong-motong Cilok ini lagi? Astaga padahal ukurannya hanya sedikit lebih besar dari kelereng, tapi kau memotong-motongnya menjadi beberapa bagian lagi? Dan kau mengunyah setiap potongan sebanyak 32 kali? Untukku, mungkin saat baru masuk di mulut saja sudah langsung nyangkut di gigi." "Berisik, ah! Suka-suka aku mau bagaimana memakannya, kenapa kau pula yang merasa risih?! Setiap orang itu punya cara makan masing-masing, jadi jangan usil mengurusinya." "Bukannya kau yang memulai dengan mengurusi berapa kali aku mengunyah makanan?" "Sssht." ''Ok, pria selalu salah,'' batin Neptunus, ia lantas memainkan ponselnya sambil menunggu Nuansa selesai makan. Terlintas sebuah pemikiran di pikiran Neptunus untuk mengambil foto Nuansa secara diam-diam saat gadis itu sedang makan, dan Neptunus pun melakukannya. Pria itu tertawa sendiri melihat hasil jepretannya dan membuat Nuansa yang baru selesai makan menjadi bingung, namun Nuansa tampaknya tidak peduli, ia lebih memilih bersiap-siap untuk pergi. Nuansa pun kemudian berdiri dan malah membuat Neptunus bingung. "Kau mau ke mana?" tanya Neptunus. "Kembali ke hotel, memangnya kenapa? Untuk apa juga kita berlama-lama di sini?" jawab Nuansa. "Tunggu, kita datang jauh-jauh ke sini hanya untuk memakan empat butir cilok?" "Ya, memangnya kenapa? Aku yang membayar, tenang saja." "Tunggu, tunggu, hanya itu sarapan kita?" "Ya, kenapa?" "Kenapa?" "Iya, kenapa?" "Maksudku, kenapa? Kenapa kau hanya memesan cilok seperti itu? Itu hanya makanan ringan, kan? Lagi pula tidak ada orang yang sarapan dengan hanya memakan cilok." "Ada, kita." "Tapi-" "Kalau kau ingin memesan makanan yang lain, pesan saja, tidak apa-apa, aku yang akan membayar karena aku yang meminta agar kita datang ke sini." Neptunus lantas terdiam sesaat sembari memandangi Nuansa yang kembali duduk dan memainkan ponselnya. Neptunus pun lalu melihat daftar menunya, namun yang dilihatnya justru yang berbahasa Korea, sontak saja ia langsung mengambil yang berbahasa Indonesia. Pria tersebut cukup terkejut melihat harga-harga makanan dan minuman di sini, namun dirinya tidak seterkejut Nuansa sebab ia bisa mewajarkannya. Seketika, Neptunus bisa mengerti kenapa Nuansa hanya memesan Cilok. Ia pun lantas menarik napas panjang dan memanggil seorang Pelayan. "Ya?" sahut Pelayan yang dipanggil oleh Neptunus ini. "Aku pesan nasi goreng dua, sate dua, jus alpukat dua, tahu bulatnya satu piring, bakwan satu piring, dan tolong bumbu kacang cilok satu mangkuk ya, tidak usah pakai ciloknya, terus batagor satu piring, dadar gulung, kue cucur, dan bolu kukus," ujar Neptunus. Nuansa tentu saja terkejut mendengar apa yang dipesan oleh Neptunus barusan, gadis itu bahkan membelalakkan matanya, ia langsung bisa memperkirakan berapa juta Rupiah yang akan Neptunus keluarkan. "Oh, baik, Tuan, mohon ditunggu ya," ucap Pelayan tadi. "Siap," kata Neptunus seraya tersenyum. Chapter 53 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 8 Dia Menyukaiku? "Apa?!" ucap Nuansa. Neptunus mengernyitkan dahinya mendengar hal itu. "Apa?" ujarnya juga. "K-kau ... memesan makanan sebanyak itu? Kau gila?!" "Itu bukan pertanyaan yang akan dilontarkan olehmu setelah kita saling kenal sejak beberapa hari belakangan ini." "Maksudku, astaga." "Kenapa?" "Itu berlebihan, Neptunus, berlebihan!" "Aku bisa menghabisi semuanya." "Apa? Ini cuma sarapan!" "Ya, lambungku muat." "Tapi ..." "Apa? Kau mau?" Nuansa terdiam sesaat. "Hmm." "Tidak usah banyak basa-basi kalau mau, makan saja," kata Neptunus. "Tapi ... makanan di sini mahal-mahal, Neptunus." "Hei, kau meragukan keuanganku? Kalau begitu kenapa kau menandatangani kontrak kita?" Nuansa kemudian terdiam. "Ehehehe, benar juga," ucapnya kemudian. "Aku mau, aku mau," lanjutnya dengan malu-malu. Neptunus lantas menyeringai. *** Setengah jam kemudian, Neptunus dan Nuansa akhirnya berhasil menghabiskan semua makanan dan minuman yang dipesan oleh Neptunus tadi. Entahlah, sepertinya perut Neptunus dan Nuansa sama-sama membuncit sekarang. "ERGH." Nuansa bersendawa keras, ia pun secara spontan menutup mulutnya usai bersendawa. Neptunus terkekeh melihat hal itu. "EEEERGH." Bukannya menegur Nuansa, Neptunus malah tertawa dan ikut-ikutan bersendawa keras seperti Nuansa tadi, malahan sendawanya jauh lebih keras dari pada sendawa Nuansa. "Hei! Kau ini apa-apaan?!" tegur Nuansa yang merasa malu sebab semua orang memperhatikan mereka sekarang gara-gara keduanya bersendawa sangat keras tadi. "Kau yang memulainya," ucap Neptunus. "Aku tidak sengaja, kau kenapa ikut-ikutan?" ujar Nuansa. "Itu menyenangkan, tahu! Ayo lagi!" Neptunus kemudian bersiap untuk bersendawa lagi. "Kutendang kau Neptunus kalau sampai kau sengaja bersendawa lagi," kata Nuansa, mendengar hal tersebut, Neptunus pun mengurungkan niatnya untuk bersendawa. "Ck, padahal anginnya sudah diujung tenggorokanku," gerutu Neptunus. "Kau ini, entah dimana sopan santunmu, malah senang bersendawa seperti itu, aku tidak habis pikir tentangmu, Neptunus." "Kalau begitu aku akan terus melakukan hal-hal sejenis itu, agar kau tidak berhenti memikirkanku." "Kenapa?" "Karena aku suka kau terus memikirkanku." "Huh?" "Engh, satenya enak, ya." "Ya, enak." Keduanya lantas terdiam dan saling memalingkan wajah dari satu sama lain, seperti biasanya, entah kenapa mereka malah jadi sering salah tingkah seperti ini. Setelah beberapa menit seperti itu, Neptunus pun kemudian berdiri. "Kau mau ke mana?" tanya Nuansa. "Ke kasir," jawab Neptunus. "Ngapain?" "Tentu saja untuk membayar semua ini, kita tidak meminta sumbangan di sini, atau kau yang ingin membayar semuanya?" "Eh, eh, tidak, enak saja kau, aku sudah mencegahmu tadi dan sekarang kau malah menawariku untuk membayar semua ini, tidak, tidak!" "Mencegah kok setelah dilakukan." "Yang penting aku mengatakan tidak pada aksimu yang memesan makanan sebanyak ini tadi, jadi aku tidak berhak bertanggung jawab." "Oi, kau juga memakan semua ini dengan sangat lahap tadi, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika kita kembali ke hotel dengan hanya memakan empat butir cilok tadi, itu konyol," ucap Neptunus yang lalu langsung pergi ke kasir. "Aku pun tidak akan memakan semua ini jika kau tidak menawarkannya padaku!" teriak Nuansa pada Neptunus. "Aku bertanya tadi, bukan menawarkan!" balas Neptunus. "Alasan!" "Cih," keluh Neptunus, ia pun akhirnya sampai di kasir. "Mmm, makanan Indonesia memang sangat enak-enak," ujar Nuansa pada dirinya sendiri sembari membersihkan mulutnya menggunakan tisu. Sesaat kemudian Neptunus kembali ke mejanya dan Nuansa. "Sudah?" tanya Nuansa. "Sudah, yuk," kata Neptunus. "Ke mana?" "Tentu saja ke hotel, jadi ke mana lagi? Kau ingin menetap terus di sini?" "Maksudku ... hehehe." "Apa?" "Kau tidak ingin mengajakku jalan-jalan?" "Jalan-jalan?" "Ya." "Bukankah kita tadi jalan-jalan?" "Jalan-jalan? Kita hanya makan di sini dari tadi." "Tapi kita sampai di sini dengan berjalan, kan?" "Ish, kau ini! Bukan jalan-jalan begitu maksudku. Maksudku itu jalan-jalan keliling kota ini, dari pada kita mengerak di hotel, kan?" "Hmmm." "Tidak usah berpikir, aku tahu kau juga ingin jalan-jalan." "Hmmm." "Lama sekali." "Konsernya?" "Konser? Konser apa?" "Oh! Boyband itu?!" sambung Nuansa. "Lupakan, konsernya nanti malam, jadi kita bisa jalan-jalan sekarang sampai sore, lalu menghadiri acara pernikahan itu," kata Neptunus. "Terus?" "Terus kita terbang ke Seoul." "Terus?" "Terus kita pulang." "Huh? Kau ini bagaimana! Tadi kau bilang-" "Tapi sebelum pulang, kita akan datang ke konser boyband itu dulu." "Nah, begitu, aku juga suka pada boyband itu, apa nama mereka? Duh, aku lupa." "Suka kok bisa lupa nama mereka." "Aku ini banyak pikiran, Neptunus, kupikir kau bisa mewajarkannya." "Heleh, alasanmu konyol." "Hehehe." "Ketahuan kau." "Sebenarnya aku tidak tahu boyband mana yang kau maksud, tapi konser manapun yang ingin kau hadiri, aku juga ikut, lumayan bisa lihat artis secara langsung." "Astaga." "Hehehe." "Huft, yasudahlah, ayo kita pergi jalan-jalan." "Ah, akhirnya! Kau memang pacar idaman!" "Huh?" Neptunus dan Nuansa lantas sama-sama kembali terdiam, pipi mereka sama-sama memerah sekarang. "Engh." Nuansa kembali jadi salah tingkah. "A-ayo kita pergi," ajak gadis itu kemudian, ia lantas keluar lebih dulu dari pada Neptunus yang mematung dan terus mendengar apa yang dikatakan oleh Nuansa tadi. ''Astaga, kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya dan malah mematung seperti ini?'' batin Neptunus. "Apa mungkin aku mengharapkan dia benar-benar mengatakan itu sebagai kekasih sungguhanku?" gumam Neptunus. "Apa-apaan aku ini? Tiana adalah satu-satunya bagiku, sejak kapan aku mulai memperhatikan Nuansa? Dan kenapa aku baru menyadarinya?" lanjutnya. "Tidak, aku tidak boleh sampai suka padanya, taruhan itu hanya guyonan, itu tidak serius, aku hanya bercanda, jadi aku tidak mau aku menang, tidak, jangan sampai aku menang." Tanpa disadari Neptunus, Nuansa sebenarnya mendengarnya dari luar, sebab gadis itu kembali lagi ke restoran itu setelah ia berjalan cukup jauh dan tidak mendapati Neptunus di belakangnya. Nuansa tidak masuk ketika dirinya mendengar Neptunus berbicara sendiri, ia memilih untuk mendengarkannya dari luar. ''Dia menyukaiku?'' batin Nuansa. Chapter 54 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 9 Perasaan Apa Ini? Neptunus dan Nuansa kini sedang berada di sebuah pasar tradisional yang cukup besar. Nuansa tidak banyak bicara sejak keduanya pergi dari restoran tadi, sementara Neptunus merasa biasa-biasa saja karena dia pikir Nuansa tidak mendengarnya ketika dirinya berbicara sendiri tadi, dan Nuansa memang memastikan Neptunus tidak menyadari bahwa ia mendengarkannya berbicara sendiri tadi. Seharusnya Neptunus memang merasa heran sebab Nuansa tidak banyak bicara sejak mereka pergi ke sini tadi, namun tampaknya pria tersebut tidak memikirkan hal itu karena dikiranya Nuansa hanya merasa mual akibat kekenyangan, sebab ia sendiri sebenarnya merasa agak mual sekarang dengan perutnya yang belum kembali ke bentuk normal sekarang, alias masih membuncit akibat kepenuhan. Sesekali Neptunus kepikiran untuk mencari toilet, tetapi beberapa hal selalu mengalihkan perhatiannya, mulai dari anak kecil yang sangat lucu, lalu beberapa bau beberapa makanan yang sangat asing baginya, hingga seorang pedagang secantik artis Song Hye Kyo, sangat banyak hal yang akhirnya membuat Neptunus teralihkan pikirannya dari toilet, sehingga rasa mulas di perutnya yang terkadang datang pun akhirnya hilang sepenuhnya. Pria itu benar-benar dibuat kagum oleh pasar ini, dan ia sama sekali tidak memperhatikan Nuansa yang memalingkan wajah darinya karena takut salah tingkah sebab masih terus memikirkan kata-kata Neptunus yang tak sengaja di dengarnya tadi. ''Kenapa aku jadi terlalu memikirkannya? Dia bisa curiga kalau aku begini terus, jangan bilang kalau aku juga mulai menyukainya. Tidak, itu menjijikkan,'' batin Nuansa. "Nuansa." Neptunus tiba-tiba memanggil Nuansa sembari tersenyum, Nuansa pun lantas menoleh padanya dan menyahutinya. "Ya?" "Aku beli itu dulu, ya." "Beli apa?" "Itu, jajanan yang ada di sana itu, aku belum pernah melihatnya, tapi aku tertarik untuk membelinya, kau kalau merasa mual atau mulas, pergi saja cari toilet atau duduk saja, aku akan menunggumu sambil berkeliling mencari jajanan dan buah-buahan." "Eh? Mual atau mulas?" "Ya, dari tadi kau hanya diam, kau mual karena kekenyangan, kan?" "Tidak, kenapa kau berpikir seperti itu?" "Habisnya kau hanya diam dari tadi, jadi aku berpikir seperti itu." "Aku hanya diam dari tadi? Benarkah?" "Loh? Kita di mana?" sambung Nuansa. Neptunus kontan saja menggelengkan kepalanya mendengar hal itu. "Aku mau ke sana dulu, pembelinya sangat ramai, aku takut kehabisan," ucap Neptunus yang kemudian langsung pergi ke gerai tempat jajanan yang ingin dibelinya. ''Bagaimana bisa aku baru sadar kalau aku sedang berada di pasar?'' batin Nuansa. "Astaga, dari tadi aku hanya benar-benar memikirkannya," gumamnya. Gadis itu pun akhirnya sadar kalau dirinya sedang berada di sebuah pasar tradisional, setelah dari tadi hanya diam dan melangkah tanpa tahu ke mana ia pergi sebab terlalu memikirkan Neptunus, ia pun lantas melihat ke sekelilingnya, dilihatnya ada banyak penjual buah-buahan dan sayur-sayuran di sini, sementara Neptunus pergi ke blok tempat banyak orang yang menjual jajanan. Pasar ini cukup ramai, namun sangat bersih, Nuansa tersenyum melihat keadaan di pasar ini. ''Bahkan ini jauh lebih baik dari pada mall,'' pikirnya. Gadis tersebut lalu pergi menyusul Neptunus usai dirinya terkagum melihat pasar ini. Neptunus sendiri sedang mengantre untuk membeli jajanan yang membuatnya tertarik itu padahal ia tidak tahu apa itu, namun keramaian orang yang mengantre demi mendapatkan jajanan itu telah menarik perhatian Neptunus, soal selera belakangan, yang dipikirkannya adalah, kalau sudah ramai, sudah pasti enak dan kualitasnya bagus, ia sama sekali tidak memikirkan apakah dirinya akan menyukai jajanan ini atau tidak. Nuansa kemudian menorobs keramaian ini demi bisa mensejajarkan dirinya dengan Neptunus, dan dirinya berhasil, tentunya usai melalui sebuah usaha keras melewati keramaian yang menyesakkan ini. "Astaga, kenapa kau menerobos antrean?" tanya Neptunus pada Nuansa usai gadis itu berdiri tepat di sebelahnya. "Ya tentu saja agar aku bisa berada di dekatmu." "Apa?" Neptunus malah menyalah artikan apa yang dikatakan Nuansa tadi menjadi hal yang sangat romantis, sehingga ia agak salah tingkah sekarang, entah sudah berapa kali ia salah tingkah hari ini karena Nuansa. "Kenapa? Aku juga ingin melihat apa yang kau beli, karena aku tidak tahu harus apa, dan aku tidak mulas ataupun mual, terima kasih atas saranmu tadi," ucap Nuansa. "Kalau begitu kenapa kau tidak mencari buah-buahan saja? Atau jajanan lain? Jangan dekat-dekatan denganku seperti ini." "Loh? Memangnya kenapa? Lagi pula untuk apa kita datang ke pasar ini dan berbelanja jajanan?" "Kita ingin jalan-jalan, kan? Sebaiknya kita membawa jajanan, karena kalaupun ada orang yang berjualan di tempat wisata yang akan kita kunjungi nanti, pasti harganya akan sangat mahal, kau ini ratu irit, kenapa tidak paham trik berwisata?" "Kita akan pergi ke mana memangnya?" "Jangan banyak bertanya, kau ikut saja nanti." "Bertanya saja tidak boleh, diam pun tidak boleh." "Siapa bilang kau tidak boleh diam?" "Kau memang tidak melarangku untuk diam, tapi sekalinya aku diam, kau malah berpikir aku ingin buang air besar atau muntah, ada-ada saja." "Itu karena diammu benar-benar diam, kau hanya melamun tidak jelas sambil memalingkan wajahmu dariku." "Jadi kau ingin aku diam sambil terus menatapmu?" "Maksudku bukan begitu, Nuansa. Diammu itu ... kau bahkan sampai tidak tahu kita sedang berada di mana, pikiranmu jadi blank, itu bukan diam biasa, kau pasti memikirkan sesuatu, kan? Kupikir kau hanya fokus menahan rasa ingin muntah dan mulasmu, tapi ternyata kau tidak merasakan hal-hal itu, jadi apa yang membuatmu diam seperti tadi?" "Jangan banyak bertanya, maju sana, antrean di depan sudah mulai lengang, orang-orang dibelakang mulai heran melihat kita, bukannya maju malah mengobrol tidak jelas." Neptunus lantas menoleh ke belakang, dan benar saja, orang-orang menatapnya dan Nuansa dengan rasa heran, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nuansa. "Kau yang memulainya, sudah bagus tadi kau diam tidak jelas, eh tiba-tiba malah jadi banyak bicara," kata Neptunus. "Hei, kau ini maunya apa? Kau! Grh! Bicara salah, diam salah, ikut mengantre salah, dan diusir pula," keluh Nuansa yang berniat untuk keluar dari antrean tersebut sebab Neptunus menyuruhnya keluar dari antrean tadi, kan?. "Bagus, pergi sana, jantungku berdebar sangat cepat ketika berada di dekatmu," ucap Neptunus. "Apa?" "Engh?! Apa?" "Kau bilang apa tadi?" "Tidak ada." "Telingaku berfungsi dengan baik, Nep." Neptunus seketika langsung merasa ''meleleh'' usai mendengar Nuansa memanggilnya dengan nama ''Nep'', ia selalu suka Nuansa memanggilnya seperti itu, dia sudah pernah mengatakannya, kan?. Tubuh Neptunus pun langsung lemas seketika dan jantungnya berdebar semakin kencang, perasaan ini jauh lebih dalam dari saat pertama kali dirinya mendengar Nuansa memanggilnya seperti itu. Neptunus menatap Nuansa dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan akibat ucapan-ucapan Nuansa yang membuatnya menjadi salah tingkah dari tadi, tatapan itu pun malah membuat Nuansa jadi ikutan salah tingkah dan tidak menyadari bahwa Neptunus tidak membalas ucapannya lagi. Nuansa lalu berniat untuk pergi ketika seorang pelanggan di belakang mereka menegur keduanya karena tak kunjung maju, namun tiba-tiba Neptunus meraih tangan Nuansa dan melarangnya untuk pergi. "Jangan pergi, jangan tinggalkan aku," ujar Neptunus. Entah kenapa apa yang dikatakan Neptunus barusan terasa sangat berbeda bagi Nuansa, itu terasa sangat dalam, sulit untuk menjelaskannya, namun Nuansa sendiri terdiam ketika Neptunus meraih tangannya dan mengatakan hal tersebut. ''Tuhan, perasaan apa ini? Kenapa yang dilakukannya terasa sangat berarti bagiku? Apa dia merasakannya juga? Apa ... itu adalah ungkapan perasaan cintanya padaku?'' batin Nuansa. ''Astaga! Aku gila, apa yang aku pikirkan?! Kenapa aku bisa semudah itu berpikiran seperti itu? Aku tidak pernah bisa memahami bagaimana cintanya Neptunus pada Tiana. Tapi, apa aku berharap dia akan mengatakan dengan sungguh-sungguh kalau dia mencintaiku? Tunggu, itu artinya ... tidak, aku tidak mungkin menyukainya, dia menjijikkan, aku tidak boleh terperdaya olehnya, dia hanya ingin mengetahui ukuran BHku, aku tidak akan membiarkanmu, Neptunus.'' "Maju, bodoh!" seru Nuansa pada Neptunus, gadis itu kemudian maju duluan seraya melepaskan tangan Neptunus dari tangannya. Neptunus lantas menyeringai melihat sikap Nuansa barusan. ''Itu mengingatkanku pada saat aku sangat ingin tahu ukuran BHnya, apa aku masih ingin mengetahuinya? Itu bukan hal yang penting, bukan? Itu hanya hal bodoh. Sekarang masih ada hal yang sangat ingin kuketahui darinya, tapi bukan ukuran BHnya, lalu apa? Hahaha, aku malah bertanya pada diriku sendiri,'' batin Neptunus. "Neptunus!" Nuansa memanggil Neptunus, karena orang-orang di belakang mulai naik darah. Chapter 55 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 10 Camellia Hill Usai membeli cukup banyak makanan ringan di pasar tradisional tadi, Neptunus dan Nuansa pun akhirnya sampai di tempat yang dituju oleh Neptunus, yaitu Camellia Hill, sebuah taman Bunga besar yang menyuguhkan pemandangan yang luar biasa indahnya. "Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Nuansa pads Neptunus begitu ia tahu bahwa Neptunus dari tadi sebenarnya ingin membawanya ke taman Bunga sebesar ini. "Memangnya kenapa?" Neptunus malah bertanya balik. "Kupikir kau akan membawaku berbelanja saja, membeli oleh-oleh untuk keluarga kita di Indonesia, tapu kau malah mengajakku menghabiskan waktu di taman Bunga seperti ini." "Kau tidak suka?" "Bukan tidak suka, hanya tidak menyangka saja kalau kau akan membawaku ke taman Bunga." "Memangnya kenapa?" "Argh! Sudahlah!" sewot Nuansa yang merasa kesal dengan pertanyaan Neptunus. "Wkwkwk." "Kau pikir kita berbicara melalui aplikasi perpesanan sampai kau tertawa seperti itu?" "Biar lain dari yang lain saja, kau ini tidak mengerti yang namanya perbedaan, sih." "Halah, terserahlah, aku tidak peduli. Apa tidak ada bangku taman di sini?" "Memangnya kenapa?" "Aku ingin duduk, Neptunus. Berhentilah memberikanku pertanyaan yang menyebalkan seperti itu!" "Loh, aku kan bertanya memangnya kenapa? Apa bertanya secara baik-baik seperti itu salah?" "Tidak, tapi itu terasa menyebalkan." "Hei, aku ini peduli padamu, bagian mananya yang membuatmu sebal?" "Ih, sudahlah! Kau tidak akan mengerti!" Nuansa kemudian pergi mencari bangku taman. "Kau mau ke mana?! Hei!" teriak Neptunus, ia pun lantas langsung menyusul pacar sewaannya itu. Nuansa tidak memedulikan Neptunus, ia terus berjalan demi mendapatkan sebuah bangku taman. "Kau ini kenapa, sih?" tanya Neptunus pada Nuansa begitu ia berhasil menyusulnya. "Orang kalau berada di taman sebesar dan seindah ini itu kerjaannya cuma jalan kesana-kemari untuk menikmati keindahan bunga-bunga di sini, atau paling tidak berfoto-foto, dan kau? Kau malah ingin duduk saja? Rugi kau Nuansa kalau tidak berkeliling taman ini dan menikmati keindahannya," sambung Neptunus. "Masa bodoh, aku lelah," ucap Nuansa. "Maka teruslah berjalan, melihat bunga-bunga ini pasti akan membuat rasa lelahmu itu hilang." "Sok tahu." "Sungguh, dengan melihat pemandangan yang indah, rasa lelah manusia bisa hilang seketika." "Sok tahu." "Kau- argh!" Nuansa akhirnya menemukan sebuah bangku taman, dan ia pun segera berlari menuju bangku tersebut dengan ekspresi bahagia. "Itu bangkunya!" seru Nuansa seraya berlari ke arah bangku itu, Neptunus tentu saja langsung menyusulnya. Nuansa duduk di bangku itu bersamaan dengan seorang ibu hamil, mereka pun saling menoleh dan tersenyum begitu mengetahui kalau diri mereka masing-masing ternyata tidak sendirian mengincar bangku yang hanya muat untuk di duduki oleh 2 orang itu. "Huft." Nuansa lantas menghela napasnya sebab ia merasa lelah, sementara Neptunus hanya berdiri di sampingnya seperti bodyguardnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Sana." Nuansa kemudian mengusir Neptunus. "Hei, apa-apaan kau ini," protes Neptunus. "Kau bilang kau maunya jalan terus mengelilingi taman ini, yasudah sana." Neptunus lalu menatap Nuansa sembari menyipitkan matanya. "Apa?!" tantang Nuansa. Neptunus lantas mendengus dan pergi dari sana untuk mengelilingi taman ini. "Eh! Eh!" Namun tiba-tiba Nuansa memanggilnya. Pria itu pun kemudian berhenti melangkah dan menoleh ke belakang. "Mana makanan untukku?" tanya Nuansa. Neptunus lalu melihat ke bawah, ia memegang semua makanan ringan yang mereka beli di pasar tadi, ia pun lantas kembali pada Nuansa dan memberikan semua makanan ringan itu secara paksa padanya, kemudian ia pergi lagi dengan langkah cepat. "Apa dia ... marah?" gumam Nuansa yang sedang memeluk semua makanan ringan itu sebab Neptunus memberikannya secara paksa pada dirinya tadi. "Ahahaha, pertengkaran itu adalah hal biasa di dalam suatu hubungan, pertengkaran lah yang membuat sebuah hubungan semakin erat, jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik saja," ucap wanita hamil yang duduk di sebelah Nuansa pada gadis itu. "Eh? Anda orang Indonesia?" tanya Nuansa padanya. "Indonesia-Korea, aku bisa berbahasa Indonesia dan Korea, dan tolong jangan menggunakan bahasa formal seperti itu, aku tidak terbiasa," kata wanita itu dengan ramahnya. "O-ok." "Kau kerepotan memegang semua itu? Sini aku bantu." "Jangan, bagaimana dengan bayimu?" "Aku hanya akan membantumu mengurangi makanan-makanan yang kau peluk itu dan meletakkannya ditengah-tengah kita, aku tidak aman memeluknya." "Oh, baiklah, terima kasih." Wanita itu pun lantas mengambil satu persatu makanan-makanan yang sedang dipeluk Nuansa dan kemudian menaruhnya di antara mereka berdua, di ruang kosong yang ada di antara keduanya. "Huft, terima kasih sekali lagi," ujar Nuansa yang akhirnya bisa merasa lega lagi. "Sama-sama." "Dia itu memang begitu, memang sangat menyebakkan." "Hihihi, tapi aku tebak, dia pasti pria yang romantis, ya, kan? Biasanya yang cara marahnya seperti itu adalah orang yang penyayang dan romantis." "Iya, kah?" "Seharusnya iya, tapi mungkin hanya pendapatku saja, jadi ... lupakan saja." "Tapi, dia mungkin seorang penyayang, tapi romantis ..." ''Apa menanyakan ukuran BH itu adalah hal yang romantis?'' batin Nuansa. "Kenaoa kau menggunakan kata ''mungkin''?" tanya wanita tersebut. "Engh-" "Kalian pasangan, kan? Kau memiliki keraguan padanya?" "Ti-tidak, kami bukan pasangan." "Benarkah?!" "Ya, kami hanya ... begitulah, aku tidak bisa menceritakannya pada orang yang baru kukenal." "Ah, tidak apa-apa, aku mengerti. Ngomong-ngomong, namaku Hana." "Aku Nuansa. Senang rasanya bisa bertemu dan berkenalan dengan orang Indonesia di Korea, apa lagi kau adalah seorang perempuan. Selama di Korea, hanya pria tadi yang aku kenal, dia menyebalkan, dan dia adalah seorang pria, terkadang, kita lebih nyaman jika bersama dengan orang yang sesama jenis, kan? Maksudku, antara perempuan dan perempuan pasti lebih nyambung jika berbicara berbagai hal, kan?" "Siapa bilang? Bagiku pria juga nyambung jika diajak berbicara berbagai hal." "Ya, tapi, ada kalanya kita hanya ingin mengobrol dengan orang sesama jenis, kan?" "Ya, terkadang, sih." "Bagaimana denganmu? Apa kau punya teman atau keluarga yang berjenis kelamin perempuan baik di Korea maupun di Indonesia?" "Ya, di keduanya aku punya keluarga dan teman berjenis kelamin perempuan." "Wah, enak sekali, kau jadi tidak kesepian dan selalu punya teman yang nyambung jika diajak berbicara." "Memangnya pria itu tidak nyambung jika diajak berbicara? Dia bodoh atau semacamnya?" "Tidak, tidak, bukan begitu maksudku, tapi ... kalau bersamanya rasanya aneh saja, kami malah tidak punya waktu yang serius untuk mengobrol, pasti hanya akan ada keributan, lalu diam-diaman entah kenapa, dan aku merasa kesal dengannya." "Bagaimana bisa seperti itu?" "Entahlah, aku juga tidak mengerti, entah ada apa di dalam dirinya itu sehingga cuma dia orang yang bisa membuatku merasa seperti itu." "Mungkin karena kau memiliki perasaan spesial padanya? Atau sebaliknya? Atau bahkan sebenarnya kalian berdua sama-sama memiliki perasaan spesial antara satu sama lain? Entahlah, mungkin seperti cinta diam-diam begitu?" Nuansa terdiam mendengar hal itu. "Ngomong-ngomong soal cinta, aku sama sekali tidak punya pengalaman dalam sebuah hubungan dengan pria, kau mau berbagi pengalaman denganku?" tanya Nuansa tiba-tiba. "Tentu saja, kurasa aku sudah cukup pengalaman untuk berbagi pengalaman dengan pemula." "Benarkah?" "Ya, aku sudah menjalin hubungan selama lima tahun dengan suamiku, dan kami menikah tiga tahun lalu, sekarang kami sudah punya sepasang anak kembar berusia satu tahun, ditambah lagi tiga bulan lagi mereka akan punya adik, jadi, ya, aku telah melalui cukup banyak hal dalam kisah percintaan kami, kurasa. Memangnya kau ingin bertanya tentang hal apa?" "Hmm, apa yang kau rasakan pertama kali ketika kau menyadari kalau kau jatuh cinta pada suamimu itu? Atau jangan-jangan kalian dijodohkan?" "Tidak, kami tidak dijodohkan, kami saling suka dari awal, jadi pertanyaanmu itu bisa kujawab." "Syukurlah." "Hmm, aku tidak yakin apakah aku ingat betul atau tidak bagaimana rasanya, tapi satu hal yang pasti, perasaan ketika kau sedang jatuh cinta dengan seseorang itu benar-benar berbeda dengan perasaan lainnya." "Seperti apa?" "Seperti kau merasa nyaman dengannya, merasa kagum padanya, dan ... entahlah, aku juga tidak bisa menjelaskan hal itu dengan baik, karena ketika aku pertama kali jatuh cinta dengan suamiku dulu, rasanya hariku berbunga-bunga terus, itu ... rasanya benar-benar berbeda dari hal apapun di dunia ini." "Benarkah?" "Ya." "Lalu ... bagaimana tanda-tanda suamimu ketika dia jatuh cinta padamu? Maksudku, tanda-tanda yang bisa kau pastikan bahwa saat itu dia sudah mulai menyukaimu." "Hmmm." "Apa dia menanyakan ukuran BHmu?" "Apa? Tidak! Apa-apaan itu?" "Sudah kuduga, itu tidak termasuk sebagai tanda-tandanya, berarti itu murni bawaan dari sifat mesumnya. Itu berarti dia belum memiliki perasaan apa-apa ketika kami pertama kali bertemu," gumam Nuansa. "Huh?" "Engh, tidak, tidak. Maafkan aku, bicaraku malah jadi melantur, hahaha." Hana lantas menatap Nuansa secara keseluruhan. ''Ok, dia agak aneh,'' batin Hana yang kemudian menjaga jarak dari Nuansa. Chapter 56 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 11 Melahirkan "A-aku tidak terlalu memerhatikan perilakunya ketika dia mulai jatuh cinta padaku, dan aku sendiri sebenarnya tidak pernah bertanya padanya kapan pastinya dia mulai menyukaiku, jadi aku mungkin tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu. Intinya adalah, manusia tetap akan berubah perilakunya ketika jatuh cinta, dia berubah padaku saat kami mulai terbuka, perlakuannya tidak seperti dulu, seperti, aku lebih diperhatikan, dan ... hal-hal umumnya terjadi, seperti kami lebih sering berkomunikasi, dan sebagainya," papar Hana pada Nuansa. ''Aku dan Neptunus sejak awal kami berkenalan memang sudah harus rajin berkomunikasi, kan? Jadi aku tidak memastikan perasaan dia yang sesungguhnya padaku melalui hal itu. Dan dia sepertinya tidak pernah perhatian padaku,'' batin Nuansa. "Apa ada lagi yang ingin kau tanyakan?" tanya Hana pada Nuansa. "Engh, mungkin cukup," ucap Nuansa. "Ok, baiklah." "Ngomong-ngomong, di mana suamimu? Kau sendirian saja?" ''Apa tidak apa-apa jika aku jujur padanya? Dia terlihat mencurigakan,'' batin Hana. "Dia ..." Hana bingung harus menjawab apa pada Nuansa, ia mulai takut pada gadis itu. Raut wajah Nuansa tiba-tib berubah, lalu ia berkata, "Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk membuatmu merasa sedih, maaf." "Huh? Apa maksudmu?" "Aku turut berduka cita, ya. Kau pasti bisa mengurus anak-anakmu, aku tahu kalau kau adalah wanita yang kuat." "Astaga! Kau ini bicara apa?! Suamiku masih hidup!" "Astaga, benarkah? Maaf, maaf, kukira tadi kau terdiam karena suamimu-" "Tidak! Dia masih hidup! Dia sedang ke toilet bersama anak-anakku!" "Oh, astaga, maafkan aku, maaf sekali." Hana tiba-tiba saja merasa kesakitan sambil memegang perutnya. "Eh, eh, ada apa ini? Kakak Hana, kau baik-baik saja?!" tanya Nuansa yang merasa panik. "Aduh," keluh Hana. "Ada apa ini, hei?!" "Aku ... perutku terasa mulas." "Kau akan melahirkan?! Astaga, ini gawat! Tolong! Eh, tidak ada yang mengerti, ya? Engh, help! Help!" teriak Nuansa. "Bawa aku pada suamiku dan anak-anakku," pinta Hana yang terlihat sudah tidak kuat lagi. "Kau tidak bisa jalan dalam keadaan seperti ini!" Nuansa kemudian bangkit. "Aku harus mencari bantuan, ke mana? Ke mana? Tidak ada orang di sekitar sini," ujarnya yang kepanikan. "Cepatlah!" kata Hana. "Bayinya akan keluar!" sambung Hana. "Help! Aduh, help! Anyone! Help!" jerit Nuansa. "Kau benar-benar akan melahirkan?!" tanya Nuansa. "Entahlah, padahal besok baru genap delapan bulan. Ah! Cepatlah cari bantuan!" jawab Hana. "Tidak ada orang di sini?!" Nuansa kemudian berlarian kesana-kemari. Untung saja ia kepikiran untuk menelpon Neptunus. Neptunus yang sedang selfie di sebelah pohon-pohon Bunga pun terkejut begitu menerima panggilan dari Nuansa, sebab baru saja ia akan menekan tombol menjepretnya, namun tiba-tiba ada panggilan yang menghentikan kegiatan selfienya itu. Neptunus tidak hanya terkejut karena mendapatkan panggilan dari Nuansa, namun juga terkejut dengan nada deringnya yang berubah, tetapi ia tidak tahu siapa yang menggantinya, terlebih lagi nada volume suara nada deringnya ada pada tingkat 100%. Nada dering di ponsel Neptunus adalah lagu Pamer Bojo bagian Cendol Dawet yang dibawakan oleh Didi Kempot dengan volume 100%nya. Tentu saja Neptunus terkejut setengah mati akan hal ini, ia pun sontak menjadi perhatian orang-orang. Cendol dawet, cendol dawet seger Cendol cendol dawet dawet Cendol cendol dawet dawet Cendol dawet seger piro, lima ngatusan Terus gak pake ketan Ji ro lu pat nem pitu wolu... Begitulah suara nada dering Neptunus dengan volume 100%nya. Neptunus pun segera menolak panggilan itu karena semua mata sedang tertuju padanya sekarang, namun untunglah ini di Korea karena tidak ada yang tahu lagu apa itu, mereka hanya melirik Neptunus karena besarnya volume suara nada deringnya. ''Kenapa nada deringku jadi seperti ini?!'' batin Neptunus yang merasa malu sendiri karena jadi pusat perhatian orang. Belum sempat Neptunus mengecilkan volume suara nada deringnya, tiba-tiba Nuansa menelpon lagi, sehingga sekali lagi, dengan lirik lagu dangdut Cendol Dawet itu, Neptunus menjadi pusat perhatian orang-orang. Pria itu pun lantas memutuskan untuk lari dari sana dan menjawab panggilan Nuansa. "Kenapa kau mengajakku dangdutan?!" "KENAPA KAU MENOLAK PANGGILANKU?! CEPAT KEMARI, ASTAGA!" Teriak Neptunus dan Nuansa secara bersamaan begitu panggilan Nuansa tersambung. "Apa?!" ucap keduanya, secara bersamaan lagi. "Ada apa?" "Kau bilang apa tadi?" Tanya keduanya, secara bersamaan lagi. "Biarkan aku berbicara duluan! Laki-laki mengalah!" seru Nuansa yang merasa kesal sebab dari tadi Neptunus selalu bicara secara bersamaan dengannya. "Ah, cepat!" teriak Hana yang sudah tidak kuat lagi, ia harus melahirkan sekarang. "CEPAT KEMARI, OTAK KOTOR! KENAPA KAU MALAH MENGAJAKKU BERBICARA?!" teriak Nuansa pada Neptunus. Kontan saja Neptunus menjauhkan ponselnya dari telinganya karena teriakan yang hampir memecahkan gendang telinganya tersebut. Dengan wajah yang datar, Neptunus sebenarnya menggerutu di dalam hatinya. "Ada apa?" tanya Neptunus pada Nuansa dengan santainya usai Nuansa berhenti berteriak. "Wanita tadi akan melahirkan, astaga! Kenapa kau lama sekali?!" jawab Nuansa. "Apa?!" sekarang Neptunus mulai ikutan panik. "Cepat kemari, HEI, CEPAT KEMARI!" "Iya, iya, aku akan segera ke sana!" "Untuk urusan BH saja cepat, giliran untuk urusan darurat seperti ini lamanya minta ampun," gerutu Nuansa. Neptunus yang mendengarnya pun langsung mengernyitkan dahinya. "Apa?!" ujar Neptunus, namun ternyata Nuansa telah memutuskan sambungan telepon mereka sesaat setelah ia menggerutu tadi. "Dasar tidak jelas, pasti dia yang menyetel lagu dangdut itu menjadi nada deringku, heuh!" gumam Neptunus, ia lalu langsung berlari ke tempat Nuansa dan Hana berada. *** Sementara itu, Nuansa sedang berusaha menenangkan Hana yang sudah melakukan ancang-ancang akan melahirkan bayinya sekarang juga. "Di mana suamimu?! Astaga!" seru Nuansa. "Aku tidak tahu, mungkin mereka mengantre di toilet, huft, huft." Hana mulai berusaha mengatur napasnya. "Astaga jangan melahirkan sekarang!" "Aku tidak bisa!" "Tapi aku tidak tahu caranya membantu orang melahirkan!" "EEEEEEEEENNNNGGGGGGGHHHHHH." Hana mulai ngeden, dan hal ini membuat Nuansa sangat panik sekarang. "Oh, tidak," gumam gadis itu. Chapter 57 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 12 Pose Masih di Camellia Hill, Nuansa sedang difoto-foto bak model oleh Neptunus. Namun yang tidak membuatnya tampak seperti model adalah posenya yang dari tadi tidak ada yang benar. Mulai dari mulut monyong-monyong tidak jelas, lalu pura-pura menghirup wanginya bunga dengan mata tertutup namun dengan gaya yang sangat kaku, kemudian gaya pura-pura candid yang benar-benar kaku, dan terakhir, karena Neptunus sebagai fotografernya terus memprotesnya, Nuansa pun akhirnua jadi kesal sendiri. "Tidak bisakah kau menggunakan gaya normal dan bagus?!" tanya Neptunus yang mulai lelah memfoto Nuansa dengan tidak ada satu pun hasil yang bagus, ada yang ngeblur karena Nuansa tidak berhenti bergerak dan malah terus bergaya, ada pula yang menunjukkan wajah Nuansa dalam keadaan terjeleknya, alias foto itu diambil pada saat Nuansa tidak mengondisikan mukanya. "Apa aku terlihat seperti orang yang tidak normal?! Kenapa dari tadi kau protes akan hal itu terus?!" sewot Nuansa. "Yang benar posenya, aku sudah lelah terus-terusan memfotomu tapi tidak ada satu pun hasil yang bagus!" "Hih! Mana sini! Coba aku lihat," Nuansa menghampiri pria itu dan mengambil kameranya, ia pun lantas melihat hasil foto-fotonya, dan benar apa yang dikatakan oleh Neptunus, tidak ada satu pun hasil fotonya yang bagus. "Sudahlah, aku sudah lelah memfotomu kalau begini terus jadinya," ucap Neptunus. "Eh, eh, satu kali lagi, satu kali lagi saja," pinta Nuansa. "Tidak, tidak, aku tidak mau, kau berpose entah bagaimana, sia-sia saja aku terus-terusan." "Kali ini aku serius." "Kau dari tadi mengatakan kalau kau akan serius, tapi pada kenyataannya kau tidak berhenti membuat pose-pose yang aneh." "Tidak, tidak, kali ini aku bersungguh-sungguh." "Malas." "Neptunus, ayolah, satu kali lagi saja." "T-i-d-a-k." "Ck, ayolah." "Tidak, tidak, waktu kita sudah habis, kita harus datang ke pernikahan anaknya teman Ibuku itu sekarang juga." "Tapi-" "Tidak ada bantahan lagi!" "Akan kuberi kau keripikku sebanyak sepuluh kilo jika kau mau memfotoku lagi satu kali saja." "Sepuluh kilo?" Neptunus tampak mempertimbangkan tawaran Nuansa tersebut. "Ya." "Hmm." "Tidak ada tawaran lain?" "Apa? Aku cuma punya singkong di rumahku." "Hmm. Bagaimana dengan u-" "Jangan bilang ukuran BH! Aku benar-benar menolaknya jika yang kau minta adalah ukuran BHku!" Neptunus kemudian terdiam. "Kau ini suka sekali menyela orang bicara ya, padahal aku tidak akan mengatakan itu tadi." "Lalu apa?!" "Rahasia." "Humph, otak kok kotor." "Otak siapa yang kotor?" "Dasar tidak tahu diri." "Hei!" "Sudahlah, ayo kita pergi!" ajak Nuansa yang tampaknya kesal pada Neptunus, sampai-sampai ia salah memilih jalan. "Kau mau ke mana?" tanya Neptunus pada gadis tersebut. "Otak itu disapu makanya! Sudah jelas tadi aku bilang ''ayo kita pergi dari sini'' tapi kau malah bertanya lagi!" sahut Nuansa. "Aku mengepel otakku setiap hari, ngomong-ngomong, kau salah jalan, mungkin otakmu lah yang perlu disapu atau bahkan dipel." Nuansa pun tersadar bahwa ia salah memilih jalan dan jadi malu sendiri, ia kemudian pergi ke arah yang benar. "Hahahaha, sini, paling tidak aku lap dulu otakmu," kata Neptunus. "Tidak lucu!" ujar Nuansa. Neptunus lantas mengusap-usap pucuk kepala Nuansa, yang mana itu membuat jantung Nuansa tiba-tiba berdebar sangat kencang. "Sekarang sepertinya otakmu sudah bersih, terima kasih padaku," ujar Neptunus, ia lalu bertatap muka dengan Nuansa, dan keduanya menjadi salah tingkah lagi. Wajah keduanya memerah bak kepiting rebus sekarang, dan keduanya sama-sama memalingkan wajah mereka untuk mengurangi perasaan yang tidak bisa dijelaskan ini. ''Kenapa aku merasa nyaman saat dia mengelus kepalaku tadi?'' batin Nuansa. "Neptunus," Nuansa memanggil Neptunus dalam keadaan memalingkan wajah darinya. "Apa?" sahut Neptunus yang juga masih memalingkan wajahnya dari Nuansa. "Sepertinya otakku belum bersih." Mendengar hal itu, sontak saja Neptunus langsung menoleh ke arah Nuansa lagi, namun Nuansa tetap memalingkan wajahnya dari pria tersebut. Neptunus tampaknya peka dengan apa yang dimaksudkan oleh Nuansa, jadi ia pun menyentuh kepala gadis itu lagi dengan telapak tangannya, dan hanya tinggal perlu mengelusnya. Bukannya mengelusnya lagi, Neptunus kali ini malah menjambak rambutnya, dan tentu saja hal ini membuat Nuansa berteriak kesakitan, sampai-sampai secara refleks gadis itu mencubit perut Neptunus dan membuat Neptunus berteriak kesakitan juga. Entah bagaimana caranya, namun kejahilan Neptunus pada Nuansa selalu saja mendapatkan karma, seperti pada saat Neptunus menyorong-nyorongkan kedelai goreng pada Nuansa dan secara tidak sengaja Nuansa menendang rudalnya, dan kali ini Nuansa membalas kejahilan Neptunus secara tidak sengaja lagi, namun cukup untuk membuat pria itu kapok untuk melakukannya lagi, sepertinya. "Aduh, kau ini jahat sekali, kenapa kau mencubitku? Apa salahku?" ujar Neptunus. "Hei! Harusnya aku yang bertanya seperti itu! Kenapa kau menjambakku?!" Nuansa mengamuk. "Kau bilang otakmu kan belum bersih, jadi kujambak rambutmu, siapa tahu kan kotoran-kotoran di otakmu itu juga ikut tertarik, iya, kan?" "Kau-! Grrrrh!" Tiba-tiba seorang pria berlari menghampiri mereka, pria ini bukanlah orang asing bagi Neptunus dan Nuansa, dia adalah suami Hana. "Nuansa! Neptunus!" teriak pria itu. "Kau?" kata Neptunus. "Terima kasih," ucapnya begitu ia berhasil menghampiri Neptunus dan Nuansa. "Kak Hana sudah melahirkan?!" tanya Nuansa. "Ya, dia dan bayibya dalam keadaan baik-baik saja sekarang dan itu berkat kalian, jadi, terima kasih!" "Wah, syukurlah!" ujar Nuansa dan Neptunus secara bersamaan. "Bayinya laki-laki atau perempuan?" tanya Neptunus. "Perempuan, kami namai dia Venus, mengambil dari nama sebuah Planet, seperti nama orang yang telah menolongnya, Neptunus," jawab suami Hana tersebut. "Ahahaha, kami turut senang mendengarnya, dan selamat, kalian menjadi orangtua untuk lebih banyak anak sekarang." "Ya, sekali lagi terima kasih karena telah menolong Hana tadi, kalau kalian tidak tepat waktu menolongnya dan membawanya ke rumah sakit tadi, entah apa yang akan terjadi. Intinya, terima kasih sebesar-besarnya." "Sama-sama." "Aku harus kembali lagi ke rumah sakit, jadi, permisi." "Hati-hati di jalan." "Sampaikan salamku untuk kak Hana!" seru Nuansa. "Siap, dan semoga kalian bisa cepat menyusul, ya!" pungkas suami Hana itu, ia lantas pergi kembali ke rumah sakit. "Dia ingin kita menyusulnya ke rumah sakit? Tapi kita tadi bilang kalau kita tidak punya waktu, kan?" kata Nuansa. "Menyusul menjadi orangtua maksud dia," ujar Neptunus. "Benarkah?" "Ya." "Aku bahkan belum kepikiran untuk menikah sekarang." "Kalau nanti?" "Sama siapa memangnya? Aku belum melirik pria manapun." "Kau sedang melirikku sekarang." "Itu beda!" "Hahaha, baiklah, kau ingin aku ambilkan foto satu kali lagi saja? Gratis tanpa bayaran apapun." "Sungguh?" "Cepat, atau tawarannya akan berakhir satu detik lagi." Nuansa pun kontan saja langsung membuat pose yang sangat bagus, dan kali ini ia terlihat seperti seorang model, Neptunus sampai mematung melihat Nuansa seperti itu, jantungnya berdebar lebih kencang dan semakin kencang. Ia kembali mengagumi Nuansa untuk yang kesekian kalinya. "Kau cantik," ucap Neptunus. "Huh?" kata Nuansa yang mulai merasa pegal dengan posenya. "Cepatlah, aku mulai merasa pegal," sambung Nuansa. "Engh, ok, baiklah," segera saja Neptunus memfoto Nuansa dalam pose itu, dan keduanya merasa sangat puas dengan hasilnya, terlebih lagi Neptunus. "Kau bisa menjadi seorang model jika kau mau, aku yakin kau bakal menjadi seorang supermodel jika kau memilih untuk menjadi model," ujar Neptunus pada Nuansa. "Hm? Menjadi model? Kurasa aku tidak akan melakukannya, aku sudah nyaman dengan kehidupanku yang sekarang, maksudku, aku tidak ingin menjadi seorang bintang, aku tetap ingin menjadi orang yang sukses, tapi tanpa kilauan cahaya kamera setiap harinya. Lagi pula, aku bukan orang yang cocok untuk menjadi model, wajahku pas-pasan," ucap Nuansa. "Kau sedang bercanda atau bagaimana? Kau itu-" "Apa?" "Engh, tidak, ayo kita pergi ke acara pernikahan itu, ini sudah mulai sore." "Oh, astaga, ya, kau benar. Ayo, ayo." Nuansa kemudian berjalan duluan keluar dari Camellia Hill. Hari ini keduanya cukup banyak melalui banyak hal, dan mungkin yang terbesar adalah ketika Neptunus datang dengan tepat waktu, lalu membopong Hana keluar dari Camellia Hill, sementara Nuansa sudah menghubungi Ambulans sebelum Neptunus datang dengan sedikit kendala bahasa yang dialaminya dengan pihak rumah sakit. Namun meski begitu, mereka berdua berhasil menyelamatkan nyawa Hana dan bayinya, sebab ketika Neptunus berhasil membawa Hana keluar, Ambulansnya sudah tiba dan Hana melahirkan di dalam Ambulans tersebut. Mereka merasa lega setelah itu semua berlalu, namun disaat yang bersamaan, mereka cukup merasa lelah untuk hari ini, namun sekarang, mereka harus menghilangkan rasa lelah itu, sebab keduanya harus datang ke pernikahan Kim Lion dan Nana Khalila. Chapter 58 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 13 Neptunus! Neptunus dan Nuansa akhirnya sampai di lokasi tempat pernikahan Kim Lion dan Nana Khalila di adakan. Keduanya tampak mempesona dengan setelan pakaian masing-masing. Sebelum sampai di sini, mereka berdua lebih dulu kembali ke hotel untuk mengganti pakaian, makanya akhirnya mereka sampai pada sore hari seperti ini. Setelah diperbolehkan masuk oleh penjaga, segera saja Neptunus dan Nuansa masuk dan berjalan mendekati seorang wanita paruh baya yang duduk di hadapan sebuah meja. "Siapa itu?" bisik Nuansa pada Neptunus. "Kau akan tahu nanti," jawab Neptunus. "Tinggal jawab saja apa susahnya?" "Berisik." Nuansa lantas hanya bisa mendengus. "Selamat sore, Bibi," sapa Neptunus pada wanita paruh baya tersebut dengan senyum yang sudah dia ciptakan dengan sempurna. Mendengar suara itu, wanita paruh baya itu langsung menoleh ke arah mereka. "Kau ...?" wanita itu terlihat bingung melihat Neptunus yang menyapanya, karena terakhir kali ia bertemu dengan Neptunus adalah ketika Nep masih SMP, saat itu Bulan membawanya jalan-jalan ke Korea, dan bertemu dengan wanita paruh baya ini. "Aku Neptunus, Bibi," ucap Neptunus yang mencoba untuk mengingatkan wanita ini siapa dirinya. ''Apa wanita ini adalah ibunya Kim Lion?'' batin Nuansa. "Ah! Iya, aku baru ingat. Ya ampun, Neptunus kau sudah besar dan tampan sekali, pantas Bini tidak mengenalimu. Yasudah, kalau begitu duduk dulu," kata Ny. Tresia, ibu Kim Lion, sembari mempersilakan Neptunus untuk duduk. Ia berhasil mengingat siapa itu Neptunus karena jarang sekali ada orang bernama Neptunus, dan seingatnya kalau nama Neptunus yang dia tahu itu hanya satu, yaitu anak teman baiknya. "Terima kasih, Bibi," kata Neptunus seraya duduk bersama Nuansa. "Oh iya, di mana Ibumu?" tanya Ny. Tresia. "Ada suatu hal yang membuatnya tidak bisa datang, Ibu memintaku untuk mewakilinya dan menyampaikan langsung permintaan maafnya kepada Bibi," jelas Neptunus. Nuansa hanya terdiam kaku tidak tahu harus berkata apa, namun bola matanya terus saja menjelajahi keindahan tempat itu. "Kenapa dia tidak memberitahuku tentang hal ini?" tanya Ny. Tresia. "Engh ..." Neptunus bingung harus menjawab apa. "Karena ini adalah hal dadakan, bahkan setelah aku sampai di Korea, Ibu tidak bisa dihubungi karena ponselnya mati," sambung Neptunus. "Aduh, sayang sekali ya, padahal aku ingin sekali bertemu dengannya. Kemarin dia bilang dia tidak mau datang ketika anakku ini mengadakan resepsi pernikahan di Indonesia karena katanya dia hanya ingin ada aku. Tapi sekarang buktinya dia juga tidak datang. Yasudahlah, apapun hal dadakan itu, aku hanya akan menitipkan salamku untuknya padamu," ucap Ny. Tresia. "Iya, Bibi, akan aku sampaikan," ujar Neptunus. Sesaat setelah itu, tatapan Ny. Tresia menangkap sosok manis yang duduk diam di dekat Neptunus. "Ah, boleh aku tahu dia siapa?" tanya Ny. Tresia sambil menatap Nuansa. Nuansa langsung salah tingkah dan menelan ludahnya dalam-dalam karena dia bingung harus berkata apa, secara statusnya hanya pacar sewaan Neptunus. "Dia pacarku, Bibi," jawab Neptunus seraya melirik Nuansa dengan senyum nakal. Ny. Tresia lansung tersenyum dan memuji Nuansa yang terlihat anggun. Mereka kemudian berkenalan dan membicarakan beberapa hal. Setelah itu, Neptunus berpamitan untuk membawa Nuansa pindah duduk agar lebih dekat dengan pemandangan pantai sambil menunggu detik-detik munculnya sunset. "Jadi itu ibunya Lion, ya?" tanya Nuansa pada Neptunus. "Ya," jawab Neptunus. "Dia sangat ramah." "Ya." "Kau sudah lama tidak bertemu dengannya, ya? Sampai dia tidak mengenalimu tadi." "Ya." "Ish! Nep!" "Lagi-lagi." "Apanya?!" "Panggil aku dengan nama itu lagi." Napas Nuansa mulai tidak teratur begitu Neptunus mengatakan hal itu, ingin rasanya ia menghajar pria ini, namun ia harus jaga sikap di sini. "Cepat," pinta Neptunus. "Ya." "Tidak lucu, Nuansa-" "Aku tidak melucu." Neptunus lantas menyipitkan matanya, kemudian mendengus. Pria itu lalu fokus bermain ponsel, sementara Nuansa menikmati keindahan sunset di sini, ia tidak henti-hentinya mengagumi keindahan ciptaan Tuhan ini. "Hei." Nuansa memanggil Neptunus beberapa menit kemudian. "Apa?" sahut Neptunus. "Kau tidak memberi hadiah apa-apa pada pengantinnya?" "Astaga, pertanyaan macam apa itu?" "Aku tidak melihat kau membawa apa-apa ke sini selain aku, jadi ya wajar saja kan kalau aku bertanya seperti itu." "Kau pikir Ibuku belum memberi hadiah pada mereka?" "Jadi bibi Bulan yang memberikan hadiahnya sebelum kita sampai di Korea?" "Yang diundang kan awalnya Ibuku, jadi pasti Ibuku sudah membeli hadiahnya, dan kurasa dia sudah mengirimnya sekarang. Lihat saja, bibi Tresia akan mendapatkan panggilan dari Ibuku nanti." "Bagaimana kau bisa seyakin itu?" "Ibuku tahu diri! Astaga, dari tadi pertanyaanmu membuatku geram." "Hehehe, maaf." "Ngomong-ngomong, pengantinnya di mana?" "Di ruangan lain, kau ingin bertemu dengan mereka?" "Ya." "Baiklah." Nuansa lantas bangkit. "Nanti," lanjut Neptunus. "Huh?" ucap Nuansa. "Aku ingin menikmati keindahan sunset di sini dulu." "Ish, kau ini! Bukannya dari tadi!" sewot Nuansa. "Suka-suka aku." "Humph!" Nuansa hanya bisa mendengus. "Sunsetnya indah, ya," ujar Neptunus. "Siapapun yang bilang sunset itu tidak indah pasti punya masalah," ketus Nuansa. "Sunsetnya tidak indah, ya." "Grrh! Aku tidak peduli kau mau bilang apa, karena sejak awal kau memang bermasalah!" Wajah Neptunus langsung berubah begitu Nuansa mengatakan hal itu. Nuansa menyadari jika Neptunus memberikan reaksi yang tidak ia duga sebab pria itu tidak membalasnya lagi. Gadis tersebut pun kemudian kembali menoleh pada Neptunus. Nuansa terkejut melihat ekspresi wajah Neptunus, ia tidak pernah melihat Neptunus begitu sebelumnya, membayangkan saja tidak pernah. Nep benar-benar memberikan reaksi yang tidak Nuansa duga. "Nep, apa kau baik-baik saja?" tanya Nuansa yang sengaja memanggil Neptunus dengan nama itu agar Neptunus ''kembali''. Namun Neptunus tetap diam sambil menatap Nuansa. Meskipun ia menatap Nuansa, tampak jelas bahwa pikirannya sedang melayang kemana-mana. Ekspresi wajah Neptunus sekarang menggambarkan ketakutan dan kegelisahan yang luar biasa, namun ia juga terlihat seperti sedang merasakan sakit, bahkan dirinya berkeringat sekarang, padahal tempat ini sangat sejuk. "Neptunus!" panggil Nuansa sembari menghentakkan tubuh pria itu. "Uh?!" sahut Neptunus yang akhirnya ''tersadar''. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Nuansa yang tampak khawatir. "Ti-tidak ada, ayo kita masuk, kau ingin bertemu dengan pengantinnya, kan?" "Ya." "Kalau begitu, ayo." Neptunus kemudian bangkit dan pergi duluan, sementara Nuansa masih berada di tempat itu, ia terdiam karena merasa bingung dengan Neptunus. ''Ada apa dengannya? Dia terlihat sangat berbeda tadi,'' batin Nuansa. "Aku paham jika di hadapan teman-temannya juga lingkungan kampusnya, dia terlihat keren atau semacamnya, lalu di hadapan keluarganya dia hanya orang normal, dan di hadapanku juga para mantan-mantannya, serta Gladys, dia menyebalkan. Meskipun aku dan Gladys bingung dia yang sebenarnya itu bagaimana, tapi yang tadi itu sangat berbeda, apa itu dia yang asli? Tidak, tidak, apa yang aku pikirkan? Sudahlah," gumam Nuansa, ia lantas pergi menyusul Neptunus. Chapter 59 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 14 Salah Bicara "Ini salahmu! Salahmu! Salahmu!" seru Neptunus sembari buru-buru membereskan barang-barangnya di hotel. "Berhentilah menyalahkanku, lebih baik kau mempercepat kecepatan tanganmu membereskan barang-barangmu itu!" sewot Nuansa yang tidak terima jika dirinya disalahkan. "Ini benar-benar salahmu, kalau saja kau tidak mengajakku pergi membeli dodol tadi, mungkin kita tidak akan merasa khawatir ketinggalan pesawat seperti ini!" "Kau yang membawaku ke tempat itu, jadi wajar saja jika mataku melirik seorang penjual dodol dan perutku menginginkannya!" "Aku hanya membawamu ke sana untuk mengambil jalan pintas, bukan untuk melihat-lihat kuliner yang ada di sana!" "Sudahlah, sudahlah, lagi pula yang kubeli hanya dodol, jarang jarang kan ada dodol di Korea?" "Huft!" Keduanya benar-benar sedang sangat terburu-buru saat ini. Sepulang dari acara pernikahan Kim Lion dan Nana tadi, Neptunus dan Nuansa melewati sebuah jalan yang adalah jalan pusat kuliner di Pulau Jeju ini. Jadi, di sepanjang jalan itu ada banyak sekali pedagang-pedagang yang menjual berbagai makanan dari berbagai belahan dunia, termasuk dodol. Melihat ada yang menjual dodol di Korea, Nuansa pun jadi tertarik untuk membelinya, selain karena dirinya menginginkannya sebab sudah lama ia tidak makan dodol. Beberapa saat setelah Nuansa membeli dodol, Neptunus dan Nuansa sadar bahwa ini sudah jam enam lewat, pesawat yang akan mereka tumpangi, yang akan pergi ke Seoul, akan berangkat pada pukul tujuh kurang lima belas, jadi mereka benar-benar sudah telat sekarang, seharusnya saat ini keduanya sudah melakukan check in di bandara, namun pada kenyataannya mereka masih berada di hotel dan sedang membereskan barang masing-masing seperti orang yang sedang kerasukan setan. Bahkan, keduanya yang tadi berpikir kalau mereka akan sempat berganti pakaian, namun ternyata tidak ada waktu untuk melakukannya, sekarang memakai pakaian yang entah bagaimana jadinya. Neptunus dan Nuansa tadi sama-sama sudah mengganti pakaian mereka, namun kemudian mereka sadar kalau tidak ada waktu untuk mengganti pakaian, jadi mereka berhenti mengganti pakaian dan tidak menyelesaikannya. Alhasil, pakaian yang sedang mereka gunakan saat ini benar-benar kacau. Setengah pakaian mereka adalah pakaian yang mereka pakai ke pesta tadi, dam setengah lagi adalah pakaian yang sudah sempat mereka ganti. Parahnya lagi, Nuansa bahkan sudah sempat menghapus make upnya, namun ia tidak menghapus make upnya secara keseluruhan karena sadar kalau dirinya tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk membereskan barang-barangnya apabila ia menyempatkan waktu untuk menghapus make upnya, dan sudah bisa ditebak bagaimana dirinya sekarang. Wajahnya seperti badut karena ia membersihkan make upnya secara asal-asalan tadi, plus tidak selesai, jadi, begitulah. Rambutnya juga sangat acaka-acakan, mereka berdua sama-sama terlihat kacau sekarang. Dan yang Neptunus lakukan hanyalah menyalahkan Nuansa atas semua ini. Nuansa yang merasa bersalah tetap mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah, walaupun ia tahu bahwa semua ini memang salahnya. "Ayo, ayo!" ajak Neptunus yang sudah selesai membereskan barang-barangnya duluan. "Eh, tunggu!" ucap Nuansa yang masih belum selesai. "Ah, kau lama!" "Sabar!" "Cepat, cepat!" "Duh, berasa seperti mengikuti ajang memasak kalau begini jadinya." "Jangan banyak mengoceh, cepat bereskan barang-barangmu!" "Ish, berisik!" "Yasudah, aku tinggal." Neptunus lalu membuka pintu kamar mereka. "Woi, woi!" panggil Nuansa dengan kerasnya. Neptunus yang sudah membuka pintu kamar mereka pun menjadi pusat perhatian orang yang tengah berlalu-lalang di lorong tempat kamar mereka berada. Pria itu menjadi pusat perhatian karena dua hal, yang pertama karena panggilan Nuansa yang seperti preman tadi, lalu karena tampilannya yang benar-benar nyeleneh. "Ah, berhentilah membuatku malu!" kata Neptunus pada Nuansa sembari kembali menutup pintu kamar mereka. "Kau yang mempermalukan dirimu sendiri, argh! Berhentilah menyalahkanku! Dari tadi kau terus-terusan menyalahkanku!" "Nah, sudah, ayo!" ajak Nuansa. "Hua!" Neptunus terkejut melihat tampilan Nuansa yang seperti badut. "Kenapa?" tanya Nuansa. "Ti-tidak apa-apa, ayo kita pergi." Keduanya pun kemudian keluar dari kamar itu dan turun dengan terburu-buru. Tidak lupa, selama mereka berjalan, mereka menjadi pusat perhatian orang-orang, terlebih lagi Nuansa dengan tampilannya yang benar-benar kacau. "Neptunus." Nuansa memanggil Neptunus. "Apa?" sahut Neptunus. "Kenapa semua orang menatap aku seperti itu? Maksudku, menatap kita. Aku tahu mereka menatapmu pasti karena tampilanmu yang berantakan, tapi apa aku juga?" "Menurutmu?" "Tidak." "Yasudah." "Yasudah apa?" "Ya ... yasudah." "Ish! Kau ini." *** Neptunus dan Nuansa akhirnya sampai di bandara, dan Nuansa masih belum sadar kalau wajah dan rambutnya lah yang membuat orang merasa geli padanya, namun Neptunus memilih untuk tidak mengatakannya pada gadis tersebut agar mereka tidak semakin terlambat dengan meluangkan waktu bagi Nuansa untuk merapikan dirinya. Lima belas menit lagi pesawatnya lepas landas, dan mereka baru akan melakukan check in, dan di sinilah Nuansa akhirnya menyadari bahwa ia berada dalam keadaan yang sangat kacau dan Neptunus tidak memberitahunya. Seorang Petugas memberitahukannya akan hal itu, dan seketika itu ia merasa terkejut dengan wajahnya sendiri. Segera saja Nuansa membersihkan seluruh make up di wajahnya menggunakan tisu basah yang ada di tasnya. Ia juga merapikan rambutnya, dan dirinya baru selesai melakukan itu semua tepat pada saat ia dan Neptunus akhirnya masuk ke dalam pesawat dan duduk di bangku mereka masing-masing. "Fyuh." Nuansa membuang napas lega. "Hampir saja," ujar Neptunus. "Akhirnua kau tidak menyalahkanku lagi," kata Nuansa. "Masih, tapi untunglah kita tidak ketinggalan pesawat." "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau penampilanku sangat berantakan?!" tanya Nuansa. "Agar kita tidak semakin terlambat karena kau pasti akan meluangkan waktu untuk membersihkan wajah dan merapikan rambutmu jika aku memberitahumu tentang hal itu." "Tapi itu memalukan, Neptunus! Kau-! Kau keterlaluan! Kau-! Huft, sabar, aku harus sabar." "Ngomong-ngomong soal memalukan, KAU KAN YANG MEMASANG LAGU CENDOL DAWET SEBAGAI NADA DERING DI PONSELKU DAN MENYETELNYA PADA VOLUME SERATUS?!" "Apa?" "Ya, saat kau menghubungiku tadi di Camellia Hill, aku jadi pusat perhatian orang gara-gara volume nada deringku yang sangat besar, apa lagi lagunya lagu dangut. Nuansa, kau benar-benar!" "Engh, hehehe." "Ish!" "Aku memainkan ponselmu di malam saat kita sampai di hotel, aku tidak bisa tidur, lalu aku penasaran dengan isi ponselmu, tapi semua aplikasi kau kunci, kecuali aplikasi musik, karena aku kesal, aku memilih lagu cendol dawet itu dan kujadikan mada deringmu dengan volume seratus, hehehe." "Kau-! Argh!" "Lagi pula kenapa kau tidak mengunci ponselmu dan malah mengunci semua aplikasi?!" "Kenapa kau membuka ponselku?!" "Kalau menonton film pendek kan bisa di ponselmu, koleksiku tidak begitu banyak, tapi lumayan lah. Tapi aku tidak akan memberikannya kepada siapapun, mahal-mahal aku download itu film-film pendeknya." "Film pendek?" "Ya, kau membuka ponselku untuk menonton film pendek, kan?" "Film pendek? Oh! Hei! Hei! Kau!" Nuansa lantas memukuli Neptunus, dan di sebrang mereka, ada seorang anak kecil yang ketakutan melihat keganasan Nuansa memukuli Neptunus. "Ibu, apa mereka baik-baik saja?" tanya anak itu pada Ibunya yang berada di sebelahnya, dalam bahasa Korea tentunya. Sang Ibu pun seketika menoleh ke arah Neptunus dan Nuansa, dan akhirnya Nuansa menyadari bahwa ia dan Neptunus sedang menjadi pusat perhatian orang, lagi. (Dalam bahasa Korea) "Ok, tutup matamu, itu contoh yang buruk untukmu," ucap Ibu anak itu sembari menutup mata anaknya. "Kau terus membuatku menjadi perhatian banyak orang hari ini, tidak bisakah hanya kau saja yang memperhatikanku?!" protes Neptunus pada Nuansa. "Eh," sambungnya. "Ah, aku sudah lelah merasa deg-degan dan salah tingkah," kata Nuansa. "Kau salah tingkah dan deg-degan saat aku mengatakan hal-hal seperti itu?" ''Oh tidak, aku salah bicara,'' batin Nuansa. Chapter 60 - PERGI KE KOREA, BAGIAN 15 Konser BTS Pesawat yang ditumpangi oleh Neptunus dan Nuansa akhirnya mendarat di Seoul. Ini sudah jam 7 malam, dan konser yang akan mereka hadiri akan dimulai pada jam 8. Karena lapar, Neptunus dan Nuansa memutuskan untuk makan lebih dulu, namun Nuansa hanya memakan mie cup instan yang mirip dengan mie instan yang ada di Indonesia, ia benar-benar tidak mau memakan makanan Korea. Setelah makan, mereka ternyata masih memiliki waktu sebanyak 30 menit lagi sebelum konsernya dimulai, jadi mereka memastikan kalau mereka tidak akan terlambat menghadiri konsernya. Sesampainya di lokasi konser boyband bernama BTS ini, Neptunus dan Nuansa merasa bingung harus menaruh barang-barang mereka di mana, namun untunglah di sana ada tempat penitipan barang, jadi mereka bisa berkonser dengan bebas. Konsernya akan dimulai dalam 3 menit, tetapi Neptunus dan Nuansa masih sibuk ribut mencari kursi mereka dan membuat orang-orang bingung karena mereka ribut sendiri mencari kursi mereka. Keduanya akhirnya berhasil menemukan kursi mereka setelah beberapa menit konsernya dimulai. Neptunus memilih tempat yang sangat nyaman untuk mereka berdua, sepasang kursi di kelas VIP yang berada di atas, jadi mereka bisa menonton konsernya dengan nyaman sambil memakan beberapa camilan. Nuansa tampak sangat bahagia bisa datang di konser ini, ia ikut berteriak ketika orang-orang berteriak, sementara Neptunus hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Nuansa. "Sudah lama kau menjadi penggemar mereka?" tanya Neptunus pada Nuansa. "Tidak, aku bukan penggemar mereka," jawab Nuansa. "Huh?" "Aku kurang tahu artis-artis Korea, yang kutahu paling hanya Jackie Chan." "Jackie Chan? Apa kau bercanda?" "Dia dari Korea, kan?" "Emh, lupakan saja. Kenapa kau mau datang ke konser mereka padahal kau bukan penggemar mereka? Dan jangan-jangan kau tidak tahu lagu-lagu mereka?" "Ya, memang, aku mau datang ke konser ini hanya untuk pengalaman, yang penting aku sudah pernah datang ke konser, hahahaha." "Tapi kau bilang padaku saat kita akan berangkat kalau kau sangat menyukai mereka, dan sekarang kau bilang kalau kau hanya tahu Jackie Chan. Yang mana yang benar jadinya?" "Dua-duanya benar, pertama aku menyukai semua orang, dan yang kedua memang artis Korea yang kutahu hanya Jackie Chan." "Maksudku- Argh! Sudahlah, percuma berbicara denganmu." "Aku benar, kan? Aku tidak membenci orang, aku menyukai semua orang, lagi pula orang yang tidak kukenal tidak memiliki alasan untuk kubenci. Masuk akal, kan?" "Ya, alasanmu selalu masuk akal." "Meskipun tidak semasuk akal alasanmu ingin tahu ukuran BH mantan-mantanmu." "Hei, konser ini tidak ada hubungannya dengan BH." "Jangan diperpanjang, kalau sudah menyebut BH saja kau tidak bisa berhentj membicarakannya." "Kau yang memulai, Nuansa, kenapa jadi aku yang salah?!" "Sssht, berisik, kau sudah membeli tiket untuk bisa masuk ke sini dengan harga yang mahal, jadi nikmati saja konsernya, kau penggemar mereka kok malah santai-santai saja." "Aku bukan penggemar BTS." "Apa?!" "Sama halnya sepertimu, aku kurang tahu tentang artis-artis Korea, tapi setidaknya aku bisa membedakan mana artis Korea dan mana artis Hong Kong." "Huh?" "Aku memutuskan untuk datang ke konser ini karena nama mereka sangat terkenal, aku jadi penasaran seperti apa mereka itu, jadi ketika aku memiliki kesempatan untuk bertemu dengan mereka langsung, kenapa tidak? Lagi pula aku jarang datang ke konser, sudah lebih dari tiga tahun sejak terakhir kali aku datang ke konser, jadi kurasa tidak ada salahnya jika aku datang ke konser ini, iya, kan?" "Tapi cara paling tepat untuk menikmati konser kan dengan mengetahui lagu-lagu penyanyinya, jadi kenapa kau memutuskan untuk datang?" "Bagaimana denganmu?" "Untukku, balik lagi seperti apa yang aku katakan tadi, hitung-hitung untuk menambah pengalaman, lagi pula kalau gratis, kenapa tidak? Iya, kan?" Neptunus kemudian mendengus. "Yah, aku sih ... mungkin hanya sekedar untuk menghibur diri, sesekali kita itu dianjurkan untuk datang ke konser dan menikmati musik dengan volume suara yang keras." "Siapa yang menganjurkan hal itu?" "Ahli kesehatan." "Ahli kesehatan mana?" "Berisik kau, Nuansa! Nikmati saja konsernya!" "Sudah kuduga sumbermu sama sekali tidak terpercaya." "Yasudah kalau tidak percaya." "Yasudah." "AAAAAA! OPPA!!!!" teriak seluruh perempuan yang hadir sebagai penonton konser ini, kecuali mungkin Nuansa yang tidak berteriak. "Neptunus, kau tahu kenapa dari tadi para gadis-gadis di sini memanggil anggota-anggota BTS ini dengan sebutan ''oppa''? Tidak mungkin nama mereka semua ''oppa'', kan? Aku tidak mengerti kenapa, apa mereka bukan memanggil anggota-anggota BTS ini, ya? Tapi aku tidak melihat Neneknya Upin dan Ipin di layar-layar besar itu," ucap Nuansa. "Duh, kau ini." "Kenapa?" "Pertama, kau tahu dari mana kalau semua perempuan yang hadir di konser ini masih gadis?" "Eh, benar juga, ya." "Kedua, kalau tidak salah, di Korea, ''oppa'' itu sebutan yang digunakan perempuan untuk memanggil pacarnya, dan jangan kau pikir nama mereka bertujuh adalah ''oppa'', itu sangat konyol, dan ingat satu hal lagi, ini tidak ada sangkut pautnya dengan Neneknya Upin dan Ipin." "Oh, hehehe. Tapi ... itu artinya para perempuan-perempuan di sini menganggap mereka bertujuh sebagai pacar mereka?" "Ya tidak begitu juga, ibaratnya itu panggilan sayang." "Kau ini bagaimana sih, tadi kau bilang itu panggilan kepada pacar, itu artinya mereka menganggap anggota-anggota BTS ini sebagai pacar mereka." "Terserah kau saja, Nuansa, lagi pula begitulah penggemar wanita, kan? Selalu menganggap idola mereka sebagai pasangan hidup." "Memangnya kau tidak begitu?" "Aku tidak mengidolakan siapa-siapa." "Bagaimana dengan Taylor Swift?" "Taylor Swift sudah punya pacar." "Berpengaruh bagimu?" "Tentu saja." "Bagaimana dengan Aktris-aktris film pendek yang sering kau tonton? Pasti ada yang kau idolakan, kan?" "Kenapa jadi membahas film pendek?!" "Hayo, kau pasti menganggap salah satu dari mereka sebagai pacar, kan?" "Kau ini apa-apaan?!" "Hayo, ngaku." "Nuansa! Aku-" "Apa?" "Itu konyol, lagi pula aku benci untuk menjadi halu, dan selama aku memilikimu aku tidak perlu melakukannya, kan? Berkhayal pacaran dengan idola, pffft, apa-apaan itu. Ya, kan?" "Selama kau memilikiku?" ''Ok, salah bicara,'' batin Neptunus. "Engh, kau tadi bertanya kan bagaimana bisa mereka menganggap kalau idola mereka sebagai pacar mereka?" tanya Neptunus. "Ah, iya, aku masih penasaran akan hal itu, seperti ... bagaimana bisa." "Sekarang aku akan bertanya padamu, bagaimana bisa kau menganggapku sebagai pacarmu? Pasti itu adalah hal yang sama, meskipun aku bukan idolamu." "Permisi, tapi apa aku pernah menganggapmu sebagai pacarku?" Neptunus seketika terdiam begitu Nuansa mengatakan hal itu. "A-aku ke toilet dulu," kata Neptunus beberapa saat kemudian, ia sudah kalah malu. Chapter 61 - Pulang Neptunus dan Nuansa kini sedang berada di bandara untuk kembali ke Indonesia. Konser tadi benar-benar melelahkan, walaupun sebenarnya satu harian ini terasa sangat melelahkan bagi keduanya, tapi mereka sudah merasa cukup puas untuk berada di Korea. Keduanya memang tidak menghabiskan waktu yang begitu lama di negara ini, namun hal itu sudah cukup untuk memberikan kesan yang manis bagi mereka. Korea akan menjadi memori yang kuat dan indah bagi Neptunus dan Nuansa, bagaimana tidak, hal-hal yang sangat membuat kesan terjadi selama mereka berada di negara orang ini. Sebut saja seperti kehebohan mereka saat menolong Hana, lalu rasa kesal Neptunus pada Nuansa karena telah mengganti nada deringnya, keindahan Camellia Hill, menikmati jajanan-jajanan khas Korea, sampai bertemu dan memiliki kesempatan foto bersama para anggota BTS. Walaupun untuk bisa berfoto dengan mereka bertujuh Neptunus dan Nuansa harus mengeluarkan biaya tambahan, namun keduanya tetap mau melakukannya karena ini adalah kesempatan yang jarang-jarang di dapatkan oleh siapapun, bertemu dengan salah satu group paling top di dunia saat ini. Tidak peduli kalau keduanya sama-sama bukan penggemar BTS, tetapi mereka bahkan melakukan hal-hal yang belum tentu akan dilakukan oleh para penggemar, seperti meminta tanda tangan yang sangat banyak. Nuansa yang melakukan hal itu, tentu saja, ia meminta para anggota BTS untuk tanda tangan di baju-bajunya, celana-celananya, tasnya, dan di sebuah kertas. Entah berapa belas kali para anggota BTS harus memenuhi keinginan Nuansa yang menginginkan tanda tangan mereka sebanyak-banyaknya, sampai-sampai hal itu membuat Neptunus sangat malu, pria itu akhirnya tidak berani meminta tanda tangan mereka bertujuh walaupun hanya satu saja, ia benar-benar tidak mau melakukannya karena telah merasa malu dengan apa yang dilakukan oleh Nuansa. Kini, saat mereka sedang menunggu pesawat mereka, Nuansa tak henti-hentinya memandangi barang-barangnya yang telah memiliki tanda tangan para anggota BTS itu. Entah apa tujuannya dengan meminta tanda tangan sebanyak itu, toh pada akhirnya tanda tangan tanda tangan itu juga akan hilang jika barang-barang tersebut dicuci, kecuali kalau Nuansa tidak pernah mau mencucinya. Neptunus hanya bisa memutar kedua bola matanya melihat Nuansa, padahal gadis itu seharusnya merasa sangat lelah, tapi tanda tangan para anggota BTS yang dimilikinya dalam jumlah yang banyak telah menjadi obat penyegar matanya. "Kenapa kau tidak berhenti memandangi barang-barang itu?" tanya Neptunus pada Nuansa sambil menonton sebuah video lucu. "Memangnya kenapa? Ada masalah bagimu? Lagi pula ini kan barang-barangku, terserah aku mau bagaimana terhadap barang-barang ini," ucap Nuansa. Neptunus lantas hanya bisa menghela napasnya sembari kembali fokus menonton video lucu yang sangat garing itu, jadi dirinya benar-benar tidak tertawa saat menontonnya. "Membuat kuotaku terbuang sia-sia saja," ujar Neptunus. "Kau menggunakan Wi-Fi yang ada di sini, aku tahu kau tidak mau rugi sepertiku, jadi jangan merasa rugi," kata Nuansa. "Hahahaha kau sangat mengetahuinya." "Lebih baik aku melihat foto-foto kita dengan para anggota BTS itu saja," sambung Neptunus, ia lalu membuka galeri foto di ponselnya untuk melihat-lihat foto-fotonya bersama para anggota BTS. Cukup banyak foto yang di abadikan melalui kamera ponsel Neptunus, sebagian besar adalah selfienya bersama mereka, ada juga yang bersama Nuansa sekalian, dan sebagian kecilnya adalah foto-foto full body yang bisa Neptunus dapatkan karena ia meminta kepada para penjaga untuk memfotokan dirinya dan Nuansa bersama para anggota BTS. "Aku tidak jauh beda dari mereka, ya?" ucap Neptunus pada Nuansa. "Ya, di mimpimu yang paling liar," jawab Nuansa yang kemudian memeriksa ponselnya untuk juga melihat-lihat foto-fotonya bersama para anggota BTS yang ada di ponselnya. Neptunus kemudian hanya mendengus mendengar jawaban Nuansa. "Hei, kau menyimpan foto kita dengan mereka yang dari Fotografer itu, kan?" tanya Nuansa pada Neptunus beberapa saat kemudian. Memang, di ruangan di mana para penggemar yang mau membayar biaya tambahan untuk bisa bertemu dan berfoto langsung dengan para anggota BTS di sediakan pula jasa foto gratis dari seorang Fotografer profesional sebagai sebuah fasilitas tambahan yang gratis, jadi tentu saja Neptunus dan Nuansa mau menggunakan jasa Fotografer itu, apa lagi setelah mereka difoto, foto mereka langsung dicuci 3 menit kemudian. Namun, jasa Fotografer itu hanya menerima satu kali foto, jika ingin dua atau lebih, akan dikenakan biaya tambahan lagi, dan Nuansa serta Neptunus memilih untuk mengabadikan satu foto yang dicuci saja, karena biaya tambahan yang dikenakan untuk Fotografer tersebut cukup mahal, dihitung sebab Fotografer itu adalah Fotografer profesional. Jadi, karena foto yang dicuci hanya ada satu, foto itu benar-benar berharga bagi Nuansa, dirinya bahkan meminta Neptunus yang menyimpannya karena ia tidak percaya pada dirinya sendiri. "Tentu saja, kenapa?" Neptunus bertanya balik pada Nuansa. "Aku ingin lihat," pinta Nuansa. "Untuk apa? Aku sudah menyimpannya, akan sulit untuk mengeluarkannya, nanti saja ketika kita sudah tiba di Indonesia." "Tidak, aku ingin melihatnya sekarang juga." "Ayolah, Nuansa." "Ayolah, Neptunus." "Huft, kau sungguh menyebalkan." "Sekali-kali aku yang menyebalkan, jangan hanya kau saja." "Humph," Neptunus tampak kesal pada apa yang dikatakan Nuansa barusan, namun dirinya tetap menuruti permintaan gadis itu. Setelah mendapatkan foto itu, Nuansa terlihat kegirangan seperti anak umur 3 tahun yang baru saja diberikan permen. Tetapi wajah gembiranya itu langsung berubah menjadi sangat bertolak belakang saat ia melihat foto tersebut. "Tunggu, ada apa ini?" ujar Nuansa. "Huft, apa lagi?" tanya Neptunus. "Katakan padaku bahwa ini memang wajah kita, kan?" kata Nuansa sembari menunjukkan foto itu pada Neptunus. Dahi Neptunus langsung berkerut tatkala dirinya melihat foto itu, karena ternyata itu adalah foto orang lain, dan kemungkinan besar bahwa foto mereka tertukar dengan foto orang lain karena Fotografer tersebut memang mencuci beberapa foto sekaligus, termasuk foto Nuansa-Neptunus bersama beberapa foto lainnya. "Tidak mungkin," ucap Nuansa tak percaya. "Apa yang kau lakukan?! Kenapa fotonya malah foto orang?" lanjut Nuansa. "E-entahlah, mungkin Fotografer itu salah memberikan foto kepada kita," ujar Neptunus. Nuansa lantas memeriksa bagian belakang foto tersebut, disitu tertulis nama Aisyah Rahma, yang artinya, kemungkinan besar fotonya tertukar dengan foto perempuan ini yang tampaknya merupakan orang Indonesia juga. "Kita harus menemukan si Aisyah ini," kata Nuansa. Tiba-tiba ada pengumuman tentang keberangkatan pesawat yang akan ditumpangi oleh Neptunus dan Nuansa, para penumpangnua disuruh untuk masuk ke dal pesawat sekarang juga. "Sial!" geram Nuansa. "Kau masih punya lebih dari seratus foto lagi bersama BTS, tidak perlu stress seperti itu, kau bisa mencuci ratusan fotomu bersama mereka itu," ujar Neptunus. "Tapi-" "Diam, aku sudah lelah, video garing itu semakin membuatku lelah, sebaiknya kita segera masuk ke pesawat." "Kau-" "Tidak ada bantahan." "Grrrrh!" Chapter 62 - Wekawekaweka Tepat pada pukul 12 siang, pesawat yang ditumpangi oleh Neptunus dan Nuansa akhirnya mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Perut keduanya sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu, dan kini mereka sama-sama sudah siap untuk memberi jatah kepada perut mereka masing-masing. Neptunus dan Nuansa sepakat untuk makan di sebuah restoran yang ada di Bandara tersebut. Neptunus mengantre di kasir, sementara Nuansa memilih kursi untuk didudukinya bersama Neptunus. Setelah mendapatkan kursi dan meja, Nuansa berniat menelpon kedua orangtuanya untuk memberikan kabar kepada mereka bahwa ia sudah tiba di Indonesia, namun ketika ia sedang mencari-cari nomor kontak mereka di ponselnya, ia baru ingat bahwa kedua orangtuanya itu tidak memiliki ponsel. ''Oh, iya. Ibu dan Ayah tidak punya ponsel,'' batin Salma, ia pun lantas memasukkan ponselnya lagi ke dalam tasnya, sesaat kemudian, Neptunus datang. "Bagaimana?" tanya Nuansa. "Sudah aku pesan, nanti Pelayan datang mengantarkan pesananku," jawab Neptunus. "Oh, begitu. Ngomong-ngomong, siapa yang akan menjemput kita nanti? Apa kita akan pulang dengan menaiki taksi?" "Tentu saja tidak, aku sudah menghubungi paman Hoho, dia yang akan menjemput kita." "Aku malah mengira Finn yang akan menjemput kita." "Finn? Tidak, aku tidak ingin merepotkannya." "Memangnya kapan kau tidak merepotkan orang?" "Tidak pernah, sesekali mungkin aku merepotkanmu, tapi itu pun karena kau sangat merepotkanku." "Masaaaaa." "Aku bukan kau, yang benar-benar merepotkan, sampai foto yang tertukar saja ditangisi." Nuansa memang menangis di dalam pesawat sembari memeluk foto yang tertukar itu sampai dirinya tertidur, ia membuat Neptunus khawatir karena tidak mau memakan atau meminum apapun, sebab itu Neptunus jadi kerepotan, ia tidak bisa tidur karena memikirkan Nuansa, tapi untunglah ketika bangun, Nuansa menjadi ''waras''. "Itu normal, jangan kau samakan hal itu dengan hal yang merepotkan," ucap Nuansa yang membela diri. "Bagiku sama saja," ujar Neptunus, Nuansa pun kemudian hanya bisa mendengus. "Ngomong-ngomong, Wisnu ternyata kemarin keluar secara terpaksa dari kampus karena ada masalah keluarga, dia memberitahuku melalui pesan ketika aku masih berada di dalam pesawat, dan tadi aku baru membaca pesannya," kata Neptunus pada Nuansa. "Lalu?" tanya Nuansa. "Aku hanya memberitahumu saja." "Kau tidak akan memiliki teman laki-laki? Gladys bilang kau hanya memiliki dua orang teman laki-laki." "Aku punya banyak teman asal kau tahu saja, mungkin kau salah dengar dari Gladys, karena dia tahu kalau temanku banyak, tapi yang paling dekat hanya dua, dan mereka sering jadi temanku dalam bermain musik." "Kalau begitu kau hanya akan memiliki satu teman dekat yang laki-laki?" "Aku bisa dekat dengan siapa saja, aku tidak akan menganggap bahwa teman dekatku kini hanya akan tersisa satu, kalau aku mau akrab dengan yang lainnya aku juga bisa memiliki banyak teman dekat." "Hanya saja mereka tidak mau." "Hei, terbalik." "Tidak apa-apa, lebih cocok seperti itu." "Kau ini." Beberapa saat kemudian makanan mereka pun datang, Nuansa dengan cacing di perutnya yang sedang menari-nari pun ingin langsung membumi hanguskan hidangan yang disajikan untuknya, sampai ia lupa untuk berdoa terlebih dahulu, tetapi untung saja Neptunus menegurnya, sehingga Nuansa pun jadi merasa sedikit malu, tapi tak apalah, toh Neptunus juga orangnya malu-maluin, pikir Nuansa. Tak butuh waktu yang lama bagi Nuansa dan Neptunus yang sama-sama sedang lapar untuk memborbardir makanan mereka secara cetar membahana sehingga menjadi sesuatu di dalam lambung mereka, keduanya menuntaskan makanan mereka secara tajam setajam silet hanya dalam waktu dua menit saja. Bayangkan saja, dengan porsi yang cukup banyak itu, mereka berdua sanggup membuka dan menutup portal untuk makanan-makanan tersebut agar masuk ke dalam lambung mereka hanya dalam waktu 2 menit saja, dan piring keduanya benar-benar sudah bersih licin, bahkan jauh lebih licin dari pada kepala Ipin. Melihat Nuansa yang juga makan dengan sangat buas sepertinya, Neptunus pun ragu bahwa gadis itu sudah merasa kenyang. "Kau mau tambah? Pesan saja lagi, tidak apa-apa," tawar Neptunus. "Tidak, tidak, aku sudah kenyang, tidak usah lagi, ini saja sudah begah rasanya, aku rasa perutku membuncit sekarang," ucap Nuansa yang perutnya memang sudah terasa manja setelah sebelumnya cacing-cacing di perutnya melakukan aksi maju mundur cantik. "Yakin?" tanya Neptunus yang ingin memastikan bahwa Nuansa sudah benar-benar kenyang. "Kau mau ingin perutku meledak atau bagaimana?" Nuansa bertanya balik. "Aku hanya bertanya, siapa tahu kau masih lapar, soalnya aku lihat kau makan dengan sangat lahap tadi," ujar Neptunus. "Katakan hal itu untuk dirimu sendiri." "Hei, aku kalau makan memang secepat cahaya." "Benarkah?" "Ya, aku benci untuk mendiamkan makanan, kalau sudah disajikan, aku akan langsung menghabiskannya detik itu juga." "Rekormu makan paling lama berapa menit?" "Enam jam." "Tunggu, apa?! Kau bilang makanmu sangat cepat kan?! Enam jam itu seharusnya sudah ... kau tahu kan? Maksudku, perut kita merasa lapar setiap empat jam sekali, jadi ... bagaimana bisa?!" "Wekawekaweka, waktu aku kecil, aku justru makan sangat lama, tapi entah kenapa semakin dewasa, durasi aku makan juga semakin cepat." "Memangnya pengaruh?" "Tidak juga, karena pada saat umurku enam tahun saja porsi makanku sama dengan Ayahku." "Apa?!" "Ya, itu kenapa aku dulu makan dengan sangat lama, bahkan jika sesekali porsi makanku cukup sedikit, waktu yang aku habiskan untuk menghabiskannya bisa sampai setengah jam karena aku sudah terbiasa makan dengan sangat lama." "Tunggu, tunggu, aku bingung. Itu artinya kau dulu obesitas?" "Aku dulu aktif bergerak, bahkan ketika makan saja aku bisa sambil bermain, maksudku, aku meninggalkan makananku di meja, lalu pergi bermain, lalu setiap beberapa menit sekali aku masuk lagi untuk memakan makananku." "Oh, pantas saja kau makan dengan sangat lama." "Tidak, bukan begitu juga sebenarnya, aduh, bagaimana cara menjelaskannya ya. Jadi pada saat aku masih kecil, kira-kira ketika usiaku masih enam sampai delapan itu memang makanku entah kenapa sedang banyak-banyaknya, dan Ibuku sama sekali tidak melarang jika aku makan sebanyak itu, asalkan aku menghabiskannya, tidak boleh dibuang sama sekali, karena itu juga salah satu bentuk tanggung jawab, kan? Yasudah, kalau aku sudah merasa kenyang dan makanan di piringku masih ada, aku pergi main. Dan rekor terlamaku makan itu dari jam enam sore sampai jam dua belas malam baru selesai." "Bagaimana bisa anak kecil tidak tidur pada saat jam dua belas? Apa kau sudah tidur sebelumnya?" "Tidak, aku hanya tidur siang, tapi bagi anak-anak sebenarnya itu tidak ada pengaruhnya, kan? Karena semua anak-anak pasti sudah mengantuk sebelum jam sepuluh malam, saat itu aku tidak tidur karena aku tidak akan tidur sebelum makananku habis." "Dan kau kapok untuk makan banyak-banyak?" "Tidak juga." "Apa?!" "Ya, tapi beberapa lama setelah itu, aku rasa setelah kasus penculikan Ayah dan Ibuku, aku mulai jarang makan, dan akhirnya makan dengan porsi yang sesuai." "Kenapa kau makan dengan begitu banyak dulu?" "Aku tidak tahu, aneh memang, tapi aku bahkan tidak mengetahui alasannya, karena aku mengambil makananku sendiri mungkin, tapi itu tidak ada pengaruhnya, kan? Seharusnya kita semua tahu porsi mana yang sesuai untuk lambung kita, kan? Nah, saat itu aku tahu kalau itu sangat banyak untukku, tapi aku tetap melakukannya setiap hari." "Dan kau selalu menghabiskan makananmu?" "Selalu, tapi kurasa satu atau dua kali aku tidak habis, karena bahkan bisa kukatakan bahwa pada saat itu porsi makanku melebihi porsi makanku yang sekarang." "Dan kau tidak obesitas?" "Tidak, aku bahkan tidak gemuk, tapi badanku cukup padat, jadi terlihat sehat." "Ah, pasti sangat menggemaskan." "Begitulah, bagaimana denganmu?" "Kurasa makanan yang pernah masuk ke lambungku sejauh ini, sembilan puluh persennya adalah singkong, kau bisa membayangkan bagaimana jenuhnya aku memakan singkong, jadi aku kalau makan selalu sedikit, dan tidak pernah lama," jawab Nuansa. "Kupikir jika menunya dibuat bervariasi tidak akan membosankan, kan?" "Ya, tapi dulu kami buta dengan yang namanya variasi, setiap hari hanya ada singkong rebus, terkadang digoreng, itupun kalau ada stok minyak. Di rumah kami dulu sangat jarang ada minyak, kami membuat keripik menggunakan pasir, jadi ketika aku bisa memakan singkong goreng, saat itu aku berasa sedang memakan makanan di sebuah restoran bintang lima," papar Nuansa. Neptunus lantas hanya terdiam. "Tapi itu dulu, sekarang ketika kami sudah sanggup membeli minyak, ya kami jadi tidak buta lagi akan yang namanya variasi, ditambah lagi aku adalah seorang gadis, pastilah tahu cukup banyak tentang masakan, jadi akulah yang mengajak Ibu pertama kalinya untuk membuat perkedel singkong, risol singkong, dan lain-lain," sambung Nuansa. "Bagaimana dengan getuk?" tanya Neptunus. "Kami satu keluarga kurang suka olahan yang manis, lebih suka kepada yang gurih, alhasil kami dulu sangat jarang membuat getuk, tapi sekarang lumayan sering juga dibuat demi variasi," jawab Nuansa. Neptunus kembali terdiam. "Tidak usah kau bayangkan bagaimana rasanya ada di posisiku, hahaha, lagi pula itu hanya masa lalu, lupakan saja," kata Nuansa. "Aku hanya memikirkan seberapa sehat kau dan kedua orangtuamu, karena singkong itu sangat menyehatkan, kan?" ujar Neptunus. "Ya, itu kenapa walaupun Ayah sakit-sakitan, tapi fisiknya masih tetap kuat," ucap Nuansa. "Kurasa aku ingin memakan singkong saja setiap harinya." "Kalau kau minum alkohol ya sama saja, Neptunus." "Hmmm, pengaruh ya." "Tentu saja." "Ngomong-ngomong, apa tawaranmu tadi masih berlaku?" lanjut Nuansa. "Tawaran yang mana?" Neptunus bertanya balik. "Itu loh ... yang tentang tambah." "Hm?" "Aku pesan satu porsi lagi, ya? Perutku ternyata masih belum puas berkonser." "Halah, kau ini, tadi ditawari tidak mau. Yasudah sana." "Wekawekaweka." Nuansa lantas berdiri. "Ngomong-ngomong, ''wekawekaweka'' itu cukup menyebalkan," protes Nuansa. "Lalu kenapa kau mengatakannya juga?" tanya Neptunus. "Aku hanya ingin membuatmu kesal juga, tapi ternyata kau tidak kesal sama sekali," jawab Nuansa. "Wekawekaweka," Neptunus tertawa. Nuansa pun hanya bisa memasang ekspresi wajah datar melihat pria itu. Chapter 63 - Berputar Hoho membuka bagasi mobil Neptunus, kemudian Nuansa mengambil barang-barangnya dan barang-barang Neptunus. "Eh, eh, jangan, Nona, biar saya saja," ucap Hoho. "Tidak apa-apa, Paman, aku saja," ujar Nuansa, mereka saat ini sudah sampai di rumah Neptunus, dan sekarang tengah berada di garasi rumah itu. "Saya saja, Nona, tidak apa-apa, ini pekerjaan saya." "Tapi-" "Sudahlah, biar saya saja." Nuansa pun lantas menyingkir dan membiarkan Hoho mengambil barang-barangnya dan Neptunus, lalu membawanya ke dalam. Melihat Hoho yang membawa barang-barang itu sekaligus, Nuansa jadi semakin merasa tidak enak, siapa dirinya sampai diperlakukan seperti itu oleh pembantu di rumah ini, dan lagi pula bukan hanya karena itu Nuansa merasa tidak enak, ia merasa kasihan pada pria paruh baya tersebut sebab Hoho sudah tua, tidak layak lagi untuk mengangkat barang-barang seperti itu walaupun statusnya adalah pembantu di sini. Dan satu hal yang paling membuat Nuansa merasa kasihan kepada adik Haha, Hihi, Huhu, dan Hehe itu adalah ketika melihat dirinya, Nuansa selalu teringat akan Ayahnya yang dulunya merupakan seorang kuli bangunan dan sering mengangkat benda-benda yang berat seperti itu. Nuansa sangat ingin membantu Hoho, tapi pastilah Hoho akan terus menolak, terlebih lagi Nuansa adalah seorang gadis, jadi pasti Hoho benar-benar tidak akan membiarkan Nuansa untuk membawa barang-barang itu. Nuansa pun kemudian melihat ke dalam mobil melalui bagasi yang masih terbuka. "Neptunus, apa yang kau lakukan di dalam sana?! Kenapa kau malah mematung dan memasang pose seperti Monalisa?! Paman Hoho sedang membawa barang-barang kita! Apa kau tidak kasihan padanya?!" ucap Nuansa pada Neptunus yang memang masih berada di dalam mobil, di bangku tengah, dalam posisi mematung, tetapi tidak seperti Monalisa juga. "Hei! Dia tidak mengizinkanku untuk membantunya karena mungkin aku adalah seorang gadis, atau mungkin dia segan padaku padahal aku bukan siapa-siapa di sini. Ayolah, Neptunus, bantu dia, kasihan dia, masa kau tega membiarkan orangtua sepertinya mengangkat beban-beban berat seperti itu?!" lanjut Nuansa tatkala dirinya tak kunjung mendapat respon dari Neptunus. "Isssh!" gerutu Nuansa saat dirinya benar-benar tidak mendapatkan repson apapun dari pria itu. Nuansa lantas menutup pintu bagasinya dari pergi menghampiri Neptunus dari pintu bangku tengah. "Keluar, boneng!" Nuansa mengajak Neptunus untuk keluar dengan cara menarik tangannya, namun Neptunus tetap mematung. Nuansa pun lalu berbalik badan. "Ada apa?" tanya Nuansa pada Neptunus. "Bagaimana dengan Ibuku? Apa dia akan menerimaku?" ujar Neptunus. "Halah, kau berlebihan! Ayo, keluar! Jadi laki-laki jangan pemalas! Ringan tangan sedikit! Atau kalau bisa ringan tangan banyak sekalian! Itu lebih bagus. Ayo," kata Nuansa. "Kau tidak paham." "Aku paham, bantu saja Paman Hoho dulu, ayo!" "Ish! Iya! Kau berisik sekali." "Ini demi kesejahteraan bersama!" "Kesejahteraan kesejahteraan," ucap Neptunus dengan nada mengejek. Tiba-tiba terdengar suara sesuatu terjatuh ke tanah, ternyata Hoho terjatuh beserta barang-barang yang dibawanya di tengah-tengah halaman rumah Neptunus. "Cepat!" seru Nuansa sembari mendorong Neptunus untuk keluar dari dalam mobil sampai Neptunus terjatuh ke tanah. "Aduh!" keluh Neptunus. "Aduh ... kau sangat brutal," sambungnya. "Makanya cepat!" teriak Nuansa. "Ya tapi kalau aku sampai terjatuh seperti ini juga jadi sia-sia saja, aku jadi terluka dan tidak bisa membantu paman Hoho!" "Kau memang sangat berlebihan! Sudah, cepat sana!" "Ck!" Neptunus lantas bangkit dan berjalan menghampiri Hoho. Nuansa lalu menghela napasnya, ia berniat untuk keluar dari dalam mobil tersebut, namun dilihatnya kunci mobil ini masih menggantung, memang untuk membuka bagasi di mobil ini, hanya perlu menekan satu tombol saja, tidak perlu lagi menggunakan kunci, jadi Hoho tidak mencabut kunci mobil Neptunus saat membuka pintu bagasi tadi. Melihat hal itu, Nuansa pun berniat untuk mencabut kunci tersebut, karena kunci itu membuat mobil ini terus menyala. Sialnya, Nuansa secara tidak sengaja menekan dan menggeser rem tangan, sehingga hal itu pun membuat mobil ini jadi jalan mundur. Seketika, Nuansa pun menjadi panik setengah mati. "Eh, eh. Tolong!" teriak Nuansa. Teriakan Nuansa barusan tentu saja di dengar oleh Neptunus dan Hoho yang sedang berjalan masuk ke dalam rumah, mereka sama-sama terkejut melihat mobil Neptunus yang berjalan mundur dengan kecepatan yang lumayan kencang, terlebih lagi jalan menuju garasi bersifat menanjak, jadi jika kasusnya ada mobil yang berjalan mundur, tentu saja kecepatannya akan bertambah, karena ketika keluar dari garasi, jalannya bersifat menurun. "AAAAAH!" Nuansa yang semakin panik pun berteriak semakin kencang. "Tolong aku!" seru Nuansa. Menyadari bahwa pintu mobil tengah terbuka, Nuansa pun berniat untuk melompat, namun Neptunus melarangnya. "Jangan!" teriak Neptunus yang merasa khawatir Nuansa akan terluka jika melompat. "KALAU BEGITU TOLONG AKU!" jerit Nuansa. "Injak remnya!" suruh Hoho. "Huh?! Rem?! Ok!" ucap Nuansa, ia pun lantas maju ke depan melalui celah-celah yang ada, namun kali ini ia lebih berhati-hati agar tidak membuat rem tangan tergeser lagi, dan ia akhirnya berhasil duduk di bangku sopir. Namun masalah baru datang: Nuansa tidak tahu harus menginjak yang mana, ia tidak tahu mana pedal gas dan mana pedal rem. "Yang mana pedal remnya?!" tanya Nuansa, ia kemudian menyadari bahwa jaraknya dengan tembok hanya 10 cm lagi, jadi dirinya pun langsung menginjak sembarang pedal karena sangat panik. "Yang-" Neptunus yang baru saja akan menjawab pertanyaan Nuansa pun hanya bisa terdiam saat mengetahui bahwa ia terlambat untuk menjawab gadis itu, Nuansa sudah terlanjur menginjak sebuah pedal, yakni pedal gas. Nuansa menginjak pedal gas dengan sepenuh tenaga, sehingga tentu saja mobil Neptunus ini langsung melaju secepat kilat, dan hal tersebut membuat pintu bangku tengah tertutup, efek dari perubahan arah yang terjadi secara tiba-tiba. "Tidaaaaaak!" teriak Nuansa yang melaju sangat cepat menuju garasi. Gadis itu secara cepat menjauhkan kakinya dari pedal-pedal yang ada dibawah, ia tidak berani menginjak pedal apapun lagi karena takut salah injak lagi. Sementara itu Neptunus berteriak-teriak sampai urat-urat di lehernya terlihat semua. Pria itu berteriak memberitahukan pedal mana yang harus diinjak oleh Nuansa, namun karena semua pintu dan jendela tertutup, Nuansa jadi tidak bisa mendengarnya, terlebih lagi rasa panik Nuansa membuatnya hanya fokus pada dirinya dan mobil ini, jadi ia tidak bisa mendengar Neptunus. Tidak kehabisan akal, Nuansa lantas memutar-mutar setir mobil ini, sehingga ia tidak jadi menabrak garasi dan malah berputar-putar tidak jelas di halaman. Tentu saja putaran itu berlangsung lama karena mobil ini sedang dalam kecepatan yang tinggi. "OOOOOO," ujar Nuansa yang merasa tegang sekaligus pusing. "Sial, sial, sial, hanya ini satu-satunya yang bisa kulakukan," sambungnya. "Berhenti!!" teriak Nuansa, ia menjadi heboh sendiri di dalam mobil yang ada dalam keadaan terputar-putar itu. Bukannya memikirkan cara untuk membantu Nuansa, Neptunus malah tertawa terbahak-bahak melihat mobilnya dan Nuansa berputar-putar seperti itu. Tidak bisa dipungkiri memang kalau hal itu sebenarnya juga lucu kalau dilihat-lihat, namun tentu saja itu tidak benar-benar lucu, nyawa Nuansa bisa jadi taruhannya jika Neptunus malah menyepelekan hal tersebut dan terus-terusan menganggap hal itu sebagai hiburan baginya. Chapter 64 - Belajar Mengendarai Mobil "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Vega pada Nuansa sembari terus mengusap-usap punggungnya. "Sudah lebih baik," jawab Nuansa yang sedang duduk sambil menghadap ke lantai, mereka sedang berada di ruang tamu sekarang. "Syukurlah." "Ya, syukurlah." "Itu sangat mengerikan, kau tahu. Jika saja kau masih terus menginjak pedal gasnya, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padamu," ucap Eugene yang juga berada di sana. "Oooh, iya, itu benar-benar mengerikan, mungkin sekarang aku punya trauma untuk menaiki mobil," ujar Nuansa. "Kenapa? Seharusnya yang terjadi adalah kebalikannya, kau sepatutnya jadi memiliki niat yang besar untuk belajar cara mengendarai mobil agar hal seperti itu tidak terulang lagi." "Bagaimana bisa aku malah memiliki niat yang besar untuk belajar mengendarai mobil sekarang setelah apa yang terjadi tadi? Kau sendiri juga menyadarinya, Paman, bahwa itu sangat mengerikan." "Ahaha, ya, aku paham." "Lalu kenapa kau malah mendorongku untuk memiliki niat belajar cara mengendarai mobil?" "Hanya untuk berjaga-jaga agar hal seperti itu tidak akan terjadi lagi, Nuansa. Dan, lagi pula itu akan berguna untuk tidak membuatmu memiliki rasa trauma untuk menaiki mobil, ditambah lagi tidak ada salahnya kan belajar cara mengendarai mobil? Hitung-hitung untuk membuat kau sendiri bisa mengendarai mobil, iya, kan?" Nuansa kemudian terdiam, namun hanya dalam sesaat. "Ya, benar juga, tapi mungkin aku tidak akan melakukannya dalam waktu dekat, aku masih belum siap," kata Nuansa. "Ahaha, tidak apa-apa, itu wajar-wajar saja," ucap Eugene. Beberapa saat kemudian, Bulan datang, tampaknya Ibu dari dua anak itu masih belum ''lepas'' setelah apa yang terjadi diantara dirinya dan Neptunus. Baik Eugene, Vega, maupun Nuansa paham bahwa Bulan membutuhkan waktu untuk berbicara empat mata dengan Neptunus dan menyelesaikan ketegangan yang masih terjadi di antara mereka berdua. "Engh, halo, Bibi," Nuansa menyapa Bulan, Bulan lalu hanya membalasnya dengan sebuah senyuman dingin, dan hal ini semakin meyakinkan Nuansa bahwa pemikirannya tentang Bulan yang sepertinya menginginkan pembicaraan empat mata dengan Neptunus memang benar. "Atau mungkin aku bisa mulai belajar mengendarai mobil sekarang, entah kenapa tiba-tiba rasa takutku hilang, aku sangat siap sekarang," ujar Nuansa pada Eugene saat mendapat sambutan kurang hangat dari Bulan, selain itu dirinya berkata demikian karena ingin memberikan waktu kepada Bulan dan Neptunus. Eugene hanya terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh Nuansa barusan. "Baiklah, ayo, aku yang akan mengajarimu, semoga saja aku adalah guru yang tepat bagimu," kata Eugene, ia kemudian mengajak Nuansa untuk keluar dari dalam rumah ini, Vega lalu mengikuti mereka, jadi Neptunus dan Bulan benar-benar berdua di dalam ruang tamu ini. *** "Paham, kan?" tanya Eugene pada Nuansa usai dirinya menunjukkan cara mengemudi pada gadis itu. "Iya," jawab Nuansa. "Sekarang kau akan mencobanya atau tidak?" "Tentu saja aku akan mencobanya." "Bagus, ayo bertukar bangku." Nuansa dan Eugene lantas sama-sama keluar dari dalam mobil tersebut untuk bertukar tempat duduk. "Ayo, semangat, kak Nuansa!" seru Vega yang memberikan dukungan kepada Nuansa, ia hanya bisa menonton sambil duduk di teras, sebab Nuansa belajar mengemudi di halaman, halaman rumah ini luas, jadi sangat cocok untuk dijadikan sebagai tempat untuk berlatih mengendarai mobil. Nuansa hanya membalas Vega dengan tawaan kecil karena ia benar-benar tegang sekarang. Sebenarnya dirinya belum siap untuk belajar mengendarai mobil, namun karena keadaan diantara Bulan dan Neptunus yang masih belum sepenuhnya kembali seperti semula, Nuansa pun memutuskan untuk mengalihkan dirinya dari hal itu dengan cara seperti ini. "Kau pasti bisa!" sambung Vega. Nuansa yang kini sudah berada di kursi sopir pun menyentuh setir dengan rasa keraguan yang cukup besar, karena sebenarnya ia belum siap untuk belajar mengendarai mobil, ia hanya terpaksa kali ini. Gadis itu pun kemudian menarik napas dalam-dalam. *** Sementara itu, di dalam, Bulan menghampiri Neptunus dan duduk di sebelahnya. "Bagaimana perjalananmu di Korea?" tanya Bulan kepada putranya itu sebagai cara untuk memulai pembicaraan yang sebenarnya. "Baik-baik saja, aku dan Nuansa benar-benar menikmatinya," jawab Neptunus. "Ibu rasa semua itu membuat kita merasa lebih baik dari pada saat kita terakhir mengobrol, kan?" "Ya." "Baguslah, Ibu harap kita sama-sama bisa berpikir dengan jernih sekarang." "Aku juga." "Kau tahu Ibu ingin membicarakan apa denganmu saat ini, kan?" Neptunus terdiam sesaat sebelum menjawab. "Ya." "Ibu harap kau tidak akan keberatan untuk membahasnya lagi." "Aku tidak akan keberatan, karena sebaiknya kita membuat semuanya menjadi jelas sekarang, kita harus membicarakan hal itu sampai menemukan titik terangnya agar semuanya selesai." "Itulah yang Ibu inginkan." Mereka berdua lantas sama-sama terdiam. Beberapa saat kemudian, Neptunus menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya. "Baiklah, aku akan membiarkan Ibu menikah dengan Eugene, jika itu akan membuat Ibu bahagia, maka mungkin memang sebaiknya aku memberikan lampu hijau untuk kalian," ucap Neptunus usai ia menarik napas dalam-dalam tadi. "Apa yang membuatmu berubah pikiran?" tanya Bulan. "Tidak ada." "Pasti ada." Neptunus lantas terdiam, perubahan sikap yang di ambilnya sebenarnya merupakan efek dari pembicaraannya dengan Nuansa di studio musiknya beberapa hari yang lalu, namun tidak hanya hal itu yang akhirnya membuatnya mengambil keputusan ini, ia juga telah memikirkan semuanya secara matang sejak saat pembicaraannya dengan Nuansa di studio musiknya waktu itu. "Kalaupun ada, aku rasa Ibu tidak perlu tahu apa itu," ujar Neptunus. ''Nuansa, dan pemikiranku sendiri,'' batin Neptunus. *** "HATI-HATI, HATI-HATI!" seru Eugene yang merasa ngeri dengan cara Nuansa membawa mobil. Bagaimana tidak, Nuansa yang masih ketakutan selalu menginjak pedal gas dan rem secara bersamaan, jadi mobilnya hanya maju dengan langkah yang kecil, namun selalu maju dan selalu berhenti karena selalu di rem setiap 2 detik sekali. Jadi sejak tadi, Nuansa membawa mobil ini dengan langkah yang kecil-kecil, tetapi mengerikan, sebab ketika mobil langsung di rem seperti itu setelah di gas pastilah akan membuat tubub penumpang di dalamnya dibuat maju mundur cantik, dan hal itulah yang membuat Eugene merasa ngeri. "Aku sudah sangat berhati-hati!" kata Nuansa yang merasa sangat tegang saat ini, sampai-sampai keringatnya mengalir dengan sangat deras seperti air terjun Niagara. "Tapi kau selalu menginjak remnya dan membuat kita terpental ke depan dan ke belakang, jangan langsung injak remnya seperti itu," ujar Eugene. "Kalau tidak aku injak remnya, kita akan menabrak karena keterusan." "Kau bisa langsung injak remnya jika sampai keterusan." "Aku tidak akan bisa fokus." "Kenapa?" "Mengendalikan fokus ke dua pedal sekaligus itu susah." "Tidak, itu mudah, kau harus mencobanya, kau tidak akan bisa mengendarai mobil jika kau selalu menginjak remnya dua detik setelah kau menginjak pedal gasnya." "Tapi itu akan mengerikan." "Tidak, percayalah padaku." Nuansa lantas meneguk ludahnya, dan dari luar, Vega hanya bisa merasa geli melihat mobil yang sedang dibawa Nuansa. Mobil itu selalu maju dan langsung berhenti, sehingga tentu saja mobil itu selalu memantul-mantul sesaat setelah berhenti, dan hal itulah yang berhasil membuat Vega merasa geli, terlebih lagi ia membayangkan bagaimana rasanya jadi penumpang jika mobilnya melaju dengan cara seperti itu, tubuhnya pasti hanya akan terus-terusan maju-mundur karena selalu terhempas. Chapter 65 - Membiasakan Diri Vega yang tak berhenti tertawa melihat Nuansa yang sedang belajar mengendarai mobil dikejutkan dengan kehadiran Neptunus yang tiba-tiba berada di sampingnya, dan membuatnya akhirnya berhenti tertawa. "Ih! Kau ini!" seru Vega sembari menampar bahu Neptunus. "Aduh! Apa masalahmu?" ucap Neptunus yang merasa kesal sebab Vega menampar bahunya dengan cukup keras seperti itu. "Kau mengagetkanku!" "Mana ada!" "Kau datang dengan tiba-tiba, kau membuatku terkejut." "Tapi aku tidak mengejutkanmu secara sengaja!" "Tetap saja, kau mengejutkanku." "Tentu saja, perempuan selalu benar." "Hei, ini tidak ada hubungannya dengan perempuan selalu benar atau tidak." "Terserahmulah, apapun yang akan aku katakan pasti akan kau patahkan karena itu selalu salah bagimu." "Tidak." "Omong kosong." "Hei, kau menyebalkan." "Maka diamlah." "Kau yang seharusnya diam. Lagi pula apa yang kau lakukan di sini? Bukannya tadi kau sedang mengobrol dengan Ibu?" Neptunus hanya diam, dia tidak menjawab pertanyaan Vega barusan. "Hei, jawab aku," ujar Vega saat dirinya tak kunjung mendapatkan jawaban dari Neptunus, dan Neptunusnya malah tertawa melihat bagaimana Nuansa belajar mengendarai mobil. "Kak," panggil Vega. "Huft," gadis itu kemudian menghembuskan napasnya dengan kasar, ia benar-benar kesal dengan sang kakak sekarang. "Aku tahu berapa ukuran BH kak Nuansa," kata Vega. "BERAPA?" sahut Neptunus dengan sangat cepat, bahkan cahaya saja kalah cepat. "Dasar!" ucap Vega sembari menjitak kepala Neptunus. "Aw! Kenapa kau hobi sekali melakukan kekeran padaku?!" keluh Neptunus. "Lebay," ujar Vega. "Tapi itu benar, ini namanya KDRT, kekerasan dalam rumah tangga." "Jangan berlebihan, itu menjijikkan." "Kan, benar apa yang aku katakan, pria selalu salah, dan wanita selalu benar, hal itu memang benar-benar tidak bisa dibantah lagi." "Huft," Vega menghembuskan napasnya dengan kasar sekali lagi, tetapi kali ini sambil menundukkan kepalanya dan menutup wajahnua menggunakan tangan kanannya. "Ngomong-ngomong, aku sedang bertanya padamu," lanjut Vega. "Apa?" Neptunus akhirnya menyahutinya. "Tapi aku tidak akan menjawab jika kau menyuruhku untuk diam," sambungnya. "Astaga, kau ini benar-benar berlebihan," kata Vega. "Kau menyuruhku untuk diam, jadi bagaimana aku akan berbicara?" "Aku menyuruhmu diam, tapi aku tidak bisa mengancing mulutmu, jadi kau tetap bisa berbicara, jangan berlebihan." "Aku hanya mematuhi perintah." "Banyak alasan." "Perempuan selalu-" "Diamlah!" Neptunus lantas terdiam. "Bagus, aku akan bertanya sekarang, tapi kau harus menjawab, mengerti, kakakku sayang?" ujar Vega, Neptunus lalu hanya menjawabnya dengan cara mengangguk. "Bagus, bagus sekali, ketampananmu bertambah kalau kau begini," sambung Vega. "Terima kasih. Tapi apa kau memang tahu ukuran BH Nuansa?" tanya Neptunus. "Ya Tuhan!" seru Vega. "Kau tahu? Dia pernah menceritakan padaku bahwa kau pernah menanyakan ukuran BHnya padanya, dan astaga, itu benar-benar memalukan, kau tahu," lanjut Vega. "Kapan dia menceritakannya padamu?! Pantas saja kau bisa mengetahuinya," ucap Neptunus. "Saat kalian sedang di Korea, saat itu dia mengabariku bahwa kalian sudah sampai, kira-kira saat dini hari." "Saat yang sama dengan dia mengganti nada deringku? Astaga, gadis itu memang sangat kurang kerjaan." "Lupakan saja, itu membuatku jadi malu padamu, dan berjanjilah kepadamu untuk tidak mengatakan kepadanya bahwa aku menceritakan hal ini padamu, aku yakin kalau dia sampai tahu kalau aku menceritakan hal ini padamu, dia tidak mau menceritakan hal-hal pribadinya lagi kepadaku, dia pasti tidak akan memercayaiku lagi, karena kebetulan, pada saat itu kami sedang saling curhat, dia bilang dia sedang tidak ada kerjaan." "Kau ini, kenapa suka sekali mengoleksi aib orang." "Hei, kami saling bertukar cerita." "Tapi tadi kau bilang kalau aku mengatakan padanya kalau kau menceritakan tentang hal itu padaku, kau tidak akan lagi mengetahui hal-hal pribadinya, itu artinya kau berharap kalau dia akan terus mengumbar aibnya padamu." "Hal-hal pribadi tidak selalu aib, kakak. Kami hanya saling curhat." "Dan dia benar-benar memberitahumu berapa ukuran BHnya?" "Kenapa kau sangat ingin tahu?!" "Hanya untuk mendata saja." "Kau memalukan," kata Vega seraya menepuk jidatnya. "Hahahaha," Neptunus tertawa sembari mengusap-usap kepala Vega hingga membuat rambutnya berantakan. "Nikmati saja aku yang sekarang bagaimana," ucap Neptunus. "Huh?" ujar Vega. "Sekarang kau sudah mengetahui sisi mesumku, bisa dibilang tingkat kemesumanku itu di atas rata-rata, hahaha. Sebagai informasi tambahan, aku mengoleksi beberapa film pendek dan majalah pria dewasa di kamarku." "Ah, aku benci informasi tambahan itu, lebih baik bagiku untuk tidak pernah mengetahuinya." "Hahahaha, maaf, aku memang sangat jahat untuk membuatmu tidak suci lagi." "Aku memang sudah tidak suci lagi sejak aku mengetahui bahwa kau pernah menanyakan ukuran BH kak Nuansa." "Ahahaha, kau ini. Tapi, kembali lagi seperti yang aku katakan, nikmati saja aku yang sekarang bagaimana." "Maksudnya?" Neptunus kemudian kembali menatap ke depan. "Begitulah, orang itu berubah, kan? Seiring berjalannya waktu, kita semua itu berubah," kata Neptunus. "Tentu saja, tapi apa maksudmu dengan mengatakan hal itu?" tanya Vega. "Sejak kau menjadi tidak suci lagi, kau akan lebih mudah mencari tahu jawabannya, jadi aku akan membiarkanmu mencari tahu jawabannya sendiri," jawab Neptunus. "Humph, aku tidak akan mencari tahunya, itu bukan hal yang penting." "Hahaha, sudah kuduga kau akan mengatakan hal itu, tidak apa-apa, tapi kau pasti akan mengingatnya suatu saat nanti." "Terserahmulah mau mengatakan apa, intinya jangan sampai kau ingin tahu ukuran BHku," pungkas Vega, ia lantas masuk ke dalam. "Hahaha, dasar," ujar Neptunus. Sesaat setelah Vega masuk, Nuansa menghampiri Neptunus, tampaknya latihannya sudah usai, dan Eugene memasukkan mobilnya kembali ke dalam garasi. "Bagaimana latihannya?" tanya Neptunus pada Nuansa yang terlihat lelah. "Huft, melelahkan," jawab Nuansa sembari duduk di sebelah Neptunus. "Kau suka belajar mengendarai mobil?" "Suka, apa lagi paman Eugene mengajariku dengan sangat sabar." "Baguslah kalau begitu, dia guru yang baik, ya?" "Ya. Ada apa? Kenapa kau mengatakan hal seperti itu? Itu terlihat seperti bukan dirimu." "Tidak ada apa-apa, aku hanya berharap dia akan menjadi kepala keluarga yang baik bagi keluargaku, sama seperti bagaimana dia menjadi guru yang baik untukmu." "HUH? KAU AKHIRNYA MERESTUI HUBUNGAN BIBI BULAN DAN PAMAN EUGENE?!" tanya Nuansa dengan perasaan tidak percaya. "Ya," jawab Neptunus secara singkat, padat, dan cepat. "IHIHIHIHI," Nuansa mendadak tertawa kegirangan sambil memeluk Neptunus. "Eh, eh, kau ini kenapa?" tanya Neptunus yang merasa heran dengan Nuansa yang tiba-tiba salah tingkah. "Tidak apa-apa, aku hanya senang karena akan ada pesta pernikahan, hihihi, perbaikan gizi," ucap Nuansa. "Maksudnya?" "Pasti akan ada waktu bagi tamu untuk makan, kan? Sudah lama aku tidak memakan makanan yang hanya ada di pernikahan." "Memangnya kau bakalan di undang?" "Eh." "Hehehe," sambung Nuansa. "Hahaha, kau di undang, tentu saja, silakan perbaiki gizimu," kata Neptunus. "Gizi siapa yang perlu diperbaiki?" tanya Eugene yang berjalan menghampiri Neptunus dan Nuansa, sebenarnya dia ingin masuk ke dalam, namun ia menimbrung percakapan Nuansa dan Neptunus dulu. "Tidak ada, hanya pembicaraan anak-anak," jawab Neptunus. Eugene tersentak mendengar hal itu, beberapa saat kemudian ia tersenyum. "Baiklah, kalau begitu mungkin sebaiknya aku masuk dulu," kata Eugene sesaat kemudian, ia pun lantas masuk dan meninggalkan Neptunus dan Nuansa berdua. "Kau terlihat sudah sangat siap untuk menjadi anaknya, ya?" ucap Nuansa kepada Neptunus seraya tersenyum. "Hanya mulai membiasakan diri, takutnya nanti aku sulit untuk membiasakan diri, makanya aku mulai dari sekarang," ujar Neptunus. Nuansa lalu hanya terkekeh. Chapter 66 - Ada Cinta Dimana-mana "Ngomong-ngomong, mereka akan menikah dalam waktu dua minggu ke depan, makanya kau akan diundang, karena masa kontrak kita belum berakhir pada saat mereka menikah," ucap Neptunus pada Nuansa. "Dua minggu lagi? Cepat sekali, mereka tidak membutuhkan persiapan atau bagaimana?!" ujar Nuansa yang tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Neptunus barusan. "Mereka sudah melakukan persiapan sejak lama, dan Ibu sudah bisa menebak kalau pada akhirnya aku akan tetap merestui hubungan mereka." "Huh?" "Mereka mempermainkanku, hahaha. Tapi tidak apa-apalah, semua ini demi kebahagiaan Ibuku." "Kalau begitu, itu artinya keluarga paman Eugene akan datang di pernikahan itu?" tanya Nuansa. "Kenapa kau menanyakan hal itu?" Neptunus bertanya balik. "Karena aku penasaran dengan keluarganya, apa kau tahu bagaimana keluarganya?" "Jangankan keluarganya, alamat rumahnya saja aku tidak tahu." "A-apa?" "Sungguh, dan aku rasa Vega juga tidak mengetahuinya." "Bagaimana dengan Ibumu? Pasti dia mengetahuinya, kan? Ibumu pasti sudah mengetahui segala hal tentang paman Eugene, kalau tidak mana mungkin dia mau menikah dengannya, iya, kan?" "Berharap saja begitu." "Hei, kenapa kau ragu kalau Ibumu juga tidak mengetahuinya?" "Entahlah, mungkin karena Eugene itu terlalu tertutup." "Kau pernah bertanya tentang hal-hal seperti itu padanya?" "Pernah, tapi dia malah memutar-mutar pertanyaanku, dan hasilnya aku tidak mendapatkan jawabannya." "Kapan itu terjadi?" "Sudah beberapa tahun yang lalu, saat terakhir kali dia ke Indonesia sebelum yang kali ini." "Mungkin dia sengaja, tapi menurutku, Vega dan bibi Bulan pasti tahu." "Kemungkinan Ibu tahu, tapi kalau Vega, aku rasa tidak. Eugene itu sangat menjaga privasinya, kehidupan pribadinya seperti siapa keluarganya, di mana tepatnya dia lahir, berapa umurnya, semua dia tutupi dari orang-orang, mungkin karena dia adalah seorang Detektif, dia jadi begitu agar target-targetnya tidak mudah untuk melacaknya, lagi pula dia sering berurusan dengan kasus kriminal, mungkin memang lebih baik baginya untuk tidak membiarkan orang-orang tahu tentang kehidupan pribadinya agar semuanya menjadi aman." "Tapi seharusnya tidak ada hal yang dia sembunyikan darimu dan dari Ibumu juga Vega, kan?" "Hmm, bagaimana ya, aku ... aku pun tidak peduli, jadi kurasa itu bukan masalah besar, mau keluarganya nanti datang atau tidak." "Dan kau masih tidak peduli jika Ibumu tidak mengetahui segala hal tentangnya?" "Ibuku tidak bodoh, dia tidak akan menikahi pria asing, lagi pula mereka sudah menjalin hubungan selama lebih dari sepuluh tahun, jadi aku rasa Ibuku sudah mengetahui segala hal tentangnya." "Bagaimana kalau tidak?" "Tidak ada kemungkinan kalau tidak." "Kau yakin?" "Oh, ayolah, bagaimana bisa orang menikahi orang yang tidak diketahuinya dimana keluarganya dan rumahnya, kan?" "Hmmm, lalu setelah menikah kalian akan tinggal di rumah paman Eugene?" "Tidak, justru dia yang akan tinggal di sini." "Apa?" "Ibuku sudah menceritakan semuanya padaku tadi. Eugene pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang Detektif, dia akan menjadi seorang warga negara Indonesia secara permanen dan menghabiskan sisa hidupnya bersama kami di sini. Dia juga akan membantu Ibuku dalam mengembangkan bisnis yang Ayah tinggalkan, mungkin dia akan memberikan modal untuk membuka gerai-gerai baru lagi." "Itu artinya ..." "Ya, dia pulang kali ini benar-benar untuk menetap di Indonesia karena sudah berhenti dari pekerjaannya sebagai Detektif. Dia dan Ibuku benar-benar telah mengetahui bagaimana semuanya akan terjadi kedepannya, mereka telah merencanakan semuanya, ketika Eugene pulang, mereka telah merencanakan tentang pernikahan mereka, bahkan telah melakukan persiapan, dan mereka hanya perlu restu dariku, tapi kalau sudah begitu jadinya, sepertinya tanpa restuku pun mereka akan menikah, tapi mereka sudah menebak kalau aku akan memberikan restu, jadi pada saat Eugene pulang, mereka benar-benar hanya tinggal perlu untuk mematangkan persiapan mereka." "Dan ....?" "Dan pernikahan mereka akan digelar dua minggu lagi di sebuah gedung." "Hmmm." Mereka berdua lantas sama-sama terdiam. "Kenapa kau akhirnya merestui hubungan mereka?" tanya Nuansa yang berusaha mencairkan suasana yang sempat membeku tadi. "Entahlah, aku juga tidak mengerti, tapi kurasa kata-katamu saat itu sedikit mengubah jalan pikiranku," jawab Neptunus. "Kata-kataku?" "Saat di studioku, kau bilang bahwa kebahagiaan Ibuku adalah segalanya bagiku, jadi kalau menikah dengan Eugene membuatnya bahagia, lalu kenapa aku tidak membiarkannya? Kemudian kau mengatakan jika aku tidak membiarkannya, itu sama saja dengan aku membunuhnya. Tidak hanya dua itu sebenarnya, semua yang kau katakan saat itu, benar-benar terus terngiang-ngiang di kepalaku." "Dan mengubah caramu berpikir?" "Hmm, aku rasa begitulah." Nuansa lantas tersenyum. "Kalau begitu ayo kita ke studiomu lagi, studio itu memberikan energi yang sangat positif!" ucap Nuansa dengan semangatnya. Mendengar hal itu, Neptunus lalu membalas senyuman Nuansa. "Baiklah, ayo," ia menerima ajakan gadis itu dengan senang hati. Keduanya pun kemudian masuk dan pergi ke studio musik Neptunus yang berada di bawah tanah. Begitu sampai di studio itu, Nuansa langsung duduk di hadapan piano Neptunus. "Ayo, ajari aku cara bermain piano," pinta Nuansa. "Apa?" kata Neptunus tak percaya. "Ya, kau bisa memainkan piano, kan? Itu artinya kau bisa mengajariku, kan?" "Tapi ... bukankah kau bilang kau tidak suka alat musik? Itu artinya kau tidak tertarik untuk belajar memainkan alat musik, kan?" "Ya ... tapi itu dulu, sekarang aku tertarik untuk belajar main piano. Ayo, ajari aku." Neptunus lalu hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia pun kemudian duduk di samping Nuansa dan mulai mengajarkannya beberapa kunci dasar, sebab Nuansa dari tadi hanya asal memencet-mencet piano tersebut. Nuansa memperhatikan Neptunus dengan seksama, ketika Neptunus menyuruhnua untuk mulai mempraktikkan apa yang diajarkannya tadi, dengan cepat Nuansa bisa melakukannya dengan lancar, sampai-sampai Neptunus tercengang melihatnya. "Wow, aku butuh waktu satu minggu lebih untuk bisa selancar itu, itu pun aku belajarnya tidak berhenti selama satu minggu berturut-turut, tapi kau bisa langsung menguasainya," ujar Neptunus. "Ehehehe, terima kasih," ucap Nuansa. "Aku tidak memujimu." "Eh?!" Nuansa jadi malu sendiri. "Lanjutkan," suruh Neptunus. "Ok, ok," Nuansa pun lalu melanjutkan permainannya. "Bagus, bagus sekali," Neptunus memuji Nuansa seraya bertepuk tangan usai gadis itu berhasil melakukan semua yang diajarkannya dengan sangat cepat dan lancar. "Sekarang tinggal memainkan lagu yang kau inginkan. Terserahmu ingin lagu apa, aku akan mengajarimu untuk memainkannya," lanjut Neptunus. "Lagu apa saja kau bisa?" tanya Nuansa. "Semoga saja." "Hmm, bagaimana kalau lagu Lover yang saat itu kau nyanyikan di hadapanku?" "Lover?" "Ya." "Aku sangat bisa memainkannya, tapi aku ragu kau bisa memainkannya hari ini juga, karena itu cukup sulit untuk dimainkan oleh pemula." "Jadi?" "Itu akan memakan waktu sampai beberapa hari untuk dikuasai, aku harap kau bisa bersabar." "Tentu saja aku akan bersabar, tapi aku akan melihatmu dulu yang memainkannya, agar aku bisa semakin cepat menguasainya." "Baiklah, tidak masalah. Perhatikan ya," Neptunus lantas bersiap untuk memainkan sebuah lagu yang diinginkan oleh Nuansa itu. Denting piano yang dipencet Neptunus terasa begitu indah untuk di dengar, apa lagi ketika ia mulai menyanyikan lirik lagu yang begitu romantis ini, rasanya seperti ada bunga dimana-mana karena lagu ini benar-benar sangat romantis. Dan beginilah penggalan arti dari lirik lagu berbahasa Inggris itu: Bisakah aku pergi kemana kau pergi? Bisakah kita selalu sedekat ini? Selama-lamanya Dan bawa aku keluar Bawa aku pulang Kau adalah kekasihku Hadirin sekalian Bisa tolong berdiri? Dengan setiap bekas luka senar gitar di tanganku Aku menggunakan kekuatan magnet ini kepada seorang wanita Untuk menjadi kekasihku Dan kau akan menyimpan semua lelucon paling kotormu untukku Dan di setiap meja Aku akan menyiapkan sebuah kursi untukmu, sayang Pada bagian terakhir lirik itu, tepatnya pada bagian ''Dan kau akan menyimpan semua lelucon paling kotormu untukku'' terasa akan lebih mengena apabila Nuansa yang membawakannya, tapi untuk saat ini, sepertinya tidak masalah jika Neptunus yang membawakannya. Dan akhirnya Neptunus selesai membawakan lagu tersebut. Entah kenapa, hal itu sangat menghanyutkan dan menyentuh bagi Nuansa. Gadis itu bahkan sampai bertepuk tangan dan tersenyum, senyumannya dibalas oleh Neptunus. Nuansa kemudian semakin mendekatkan dirinya kepada Neptunus, dan tiba-tiba ia mulai memainkan lagu itu, ia sukses membuat Neptunus terkejut sebab dirinya bisa memainkan lahi tersebut dengan hanya bermodal menonton Neptunus memainkannya. Namun, dipertengahan, Nuansa lupa harus memencet yang mana, dan Neptunus yang peka lantas langsung membantunya dengan cara memegang kedua tangannya, sehingga mereka memainkan pianonya berdua sekarang. Rasanya semakin berbeda sebuah lagu romantis dibawakan dengan cara seperti ini, tidak lagi seperti ada bunga dimana-mana, melainkan seperti ada cinta dimana-mana. Chapter 67 - Bertemu Taufan "Dadah," Nuansa melambaikan tangannya kepada Neptunus usai turun dari mobil pria itu. Neptunus mengantar Nuansa pulang dan membantunya mengangkat barang-barangnya, namun hanya sampai di depan gang rumah Nuansa saja. Tadinya Neptunus ingin membantunya untuk mengangkat barang-barangnya sampai ke dalam rumahnya, tetapi Nuansa menolak karena tidak ingin merepotkan Neptunus lebih jauh. Neptunus yang memang sudah merasa lelah pun mengikuti penolakan Nuansa itu, kemudian pergi sambil saling melambaikan tangan dengan Nuansa. Barang Nuansa memang tidak banyak, jadi sebenarnya tidak masalah memang jika dirinya seorang yang membawa barang-barangnya masuk ke dalam rumahnya. Saat baru akan memasuki gang rumahnya, Nuansa dihampiri oleh seseorang yang tidak asing baginya, namun sudah lama tidak lama bertemu dengannya. "Nuansa!" panggil pria tersebut, ia berlari menghampiri gadis itu. Nuansa pun lantas menoleh ke arahnya. "Kak Taufan?" sahut Nuansa. Sebagai informasi, Taufan adalah rekan kerja Reynand di kantor Polisi, terakhir kali Nuansa bertemu dengannya adalah di hari dimana ia bertemu dengan Fani yang kemudian memperkenalkannya dengan situs menyewa pacar itu. "Apa kabar? Lama tidak berjumpa," ucap Taufam begitu ia berhasil menyamai posisinya dengan Nuansa. "Baik, bagaimana denganmu?" tanya Nuansa balik. "Aku juga baik. Kau dari mana?" "Dari rumah teman, ada apa, ya? Tumben sekali kau datang ke sini, malah sepertinya tidak pernah." "Tidak ada ... aku hanya ingin bertanya padamu, kenapa kau tidak pernah datang ke kantor lagi? Kami semua sangat merindukan kau dan keripikmu." Nuansa lalu terkekeh, namun saat ia akan menjawab pertanyaan Taufan itu, Taufan malah menyelanya. "Apa karena pria yang menyewamu itu?" "Huh?" ucap Nuansa dengan perasaan bingung. "Kau menjadi pacar sewaan seseorang, kan?" sambung Taufan. "Dari mana kau mengetahuinya?" tanya Nuansa. "Kau tidak perlu tahu dari mana aku mengetahuinya, jawab saja pertanyaanku," jawab Taufan. "Kalau iya memangnya kenapa?" Nuansa bertanya balik. "Tidak apa-apa, kau kan digaji untuk menjadi pacarnya, jadi memang kau harus mengikuti segala perintahnya, kan?" Nuansa lantas hanya diam. "Memangnya berapa kau digaji olehnya sampai-sampai kau tidak berjualan keripik lagi?" tanya Taufan. "Kenapa kau ingin tahu?" Nuansa bertanya balik, lagi. "Aku hanya bertanya." "Hmm, aku boleh tidak menjawab, kan?" "Boleh boleh saja, tapi yang pasti, kau digaji dengan sangat besar olehnya, ya?" "Engh, itu privasiku." "Ahahaha, baiklah." "Hmm, boleh aku bertanya satu hal?" lanjut Taufan. "Kau sudah bertanya beberapa hal tadi, tapi tidak apa-apa jika kau ingin bertanya lagi," kata Nuansa. "Apa ... semuanya aman dan baik-baik saja?" "Maksudmu?" "Maksudku, pekerjaanmu ini sangat rentan dan beresiko, kan?" "Apa maksudmu?" "Kau tidak paham? Kau bekerja untuk orang yang tidak kau kenal, maksudku ... kau menjadi seorang pacar sewaan, dan dia adalah pria asing bagimu, apakah itu akan baik-baik saja? Apa lagi kau adalah pacar sewaannya, pacar. Kau melakukan apa saja yang dia perintahkan, kan?" "Kak Taufan, aku benar-benar tidak mengerti apa maksudmu yang sebenarnya. Kau berniat untuk merendahkan harga diriku?" "Ti-tidak, bukan begitu, Nuansa, aku ... aku hanya-" "Maaf, kak Taufan, sampaikan salamku pada Reynand yang telah menyuruhmu untuk datang ke sini. Satu hal yang harus kalian ketahui adalah, pria itu adalah pria baik-baik, aku tidak menjual diriku dengan melakoni pekerjaan ini, ini adalah pekerjaan baik yang sama sekali tidak seperti yang kalian pikirkan. Kalau kau akan beralasan atas nama kepedulian, maka terima kasih, aku tidak membutuhkan kepedulian semacam itu. Dan, satu lagi. Meskipun statusku adalah pacar sewaannya, tapi itu bukan berarti aku akan melakukan apa saja yang dia perintahkan, jadi pikiran kalian salah besar, aku dibesarkan dan di didik untuk menjaga kehormatanku sebagai seorang wanita, inilah yang orangtuaku jaga sejak aku lahir, dan tidak akan ada yang merusaknya, bahkan jika pria itu menyewaku untuk menjadi pacarnya dengan harga yang mahal, aku tidak akan membiarkannya mengotori kehormatanku yang telah susah payah kedua orangtuaku jaga, lagi pula dia adalah pria baik-baik, jadi terima kasih atas perhatianmu dan perhatian Reynand, permisi," ujar Nuansa yang kemudian mengangkat barang-barangnya sekaligus dan pergi ke rumahnya. Gadis itu terlihat sangat kesal dengan apa yang Taufan katakan padanya tadi, ia benar-benar tidak menyangka bahwa Reynand akan menyuruh Taufan untuk mengatakan hal-hal seperti itu padanya. Meskipun belum mendapatkan kepastian tentang apakah memang benar Reynand yang menyuruh Taufan untuk mengatakan tentang hal-hal itu padanya, namun Nuansa yakin 100% bahwa dugaannya sangat tepat dan akurat. Ia sangat tidak suka ketika Reynand dan Taufan berprasangka bahwa dengan menjadi pacar sewaan Neptunus, itu sama saja dengan menjual harga diri dan kehormatannya kepada pria tersebut. Hal itu membuat Nuansa naik darah sekarang, ia merasa sangat direndahkan dengan anggapan Taufan dan Reynand itu. Nuansa pun akhirnya sampai di rumahnya, ketika sampai, ia mendapati kedua orangtuanya sedang mengobrol di teras rumahnya yang lebih condong ke bentuk sebuah gubuk dari pada bentuk rumah itu. "Eh, Nuansa?!" ucap Durah. "Hai, Ibu, Ayah," Nuansa menyapa kedua orangtuanya dengan perasaan yang tidak karuan. Menyadari bahwa Nuansa sedang dalam mood yang tidak bagus, Arfan dan Durah lantas saling melirik. "Ada apa, Nak? Kelihatannya kau sedang kesal, ya?" kata Arfan. Mendengar pertanyaan sang Ayah, Nuansa lalu terdiam sesaat. "Tidak ada apa-apa, Ayah, hanya ada seseorang yang menyebalkan yang mengusik ketenanganku," jawab Nuansa. "Siapa?" "Sudahlah, tidak usah dibahas lagi, aku tidak mau Ayah dan Ibu jadi memikirkannya, anggap saja seperti angin yang lewat, karena aku sendiri tidak mau memikirkannya lagi." Arfan dan Durah kembali saling melirik usai mendengar jawaban Nuansa itu. "Baiklah, kami akan menghargai keinginanmu itu," ucap Durah. "Bagaimana perjalananmu di Korea? Bagaimana Korea itu, Nak?" tanya Arfan pada Nuansa. "Eh, kau ini apa-apaan, dia pasti lelah karena baru pulang, biarkan dia beristirahat dulu. Ayo, Nuansa, ayo masuk," ajak Durah. Nuansa kemudian tersenyum kecil, moodnya masih kacau gara-gara Taufan tadi, entah kenapa para Polisi menjadi sangat menyebalkan baginya akhir-akhir ini. Chapter 68 - Bantuan Neptunus "EEEENNNNNGGGGGGHHHH," Nuansa mengerang keras, ia baru bangun, dan itu berguna untuk membuang rasa kantuknya. Ya, hari telah berganti, dan sepertinya Nuansa tidur terlalu nyenyak setelah semalam menceritakan kepada orangtuanya tentang perjalanannya ke Korea bersama Neptunus. Usai mengerang, Nuansa pun lantas duduk dengan kondisi wajah yang masih kusut, ia lalu melihat jam. "HUH?! JAM DELAPAN?!" seru Nuansa, kedua matanya langsung terbelalak begitu ia melihat jam. "Kenapa Ayah atau Ibu tidak membangunkanku?!" sambungnya, ia kemudian langsung keluar dari dalam kamarnya dan pergi ke kamar mandi untuk mandi. *** Usai mandi dan berpakaian, Nuansa lantas pergi ke dapur dan melihat Ibunya yang sedang membuat banyak sekali menu makanan berbahan dasar singkong yang jarang mereka buat, mulai dari risol singkong, tiwul, tape, lemet, cenil, kemudian kolak singkong, sawut singkong, hingga kue talam. Nuansa tentu saja terkejut melihat Ibunya membuat olahan sebanyak itu, apa lagi olahan-olahan tersebut sangat jarang mereka buat. "Ibu?" Nuansa menyapa Durah. "Ibu sedang membuat apa? Kok banyak sekali?" sambung Nuansa. "Oh, iya, pergi bawa ini ke kebun, kau akan tahu jawabannya," ucap Durah yang menyuruh Nuansa untuk membawa kolak singkong yang dibuatnya ke kebun singkong mereka. "Baik, Ibu," Nuansa lantas langsung melaksanakan perintah sang Ibu. "Buat dua piring, ya," ujar Durah. "Dua porsi?" tanya Nuansa. "Iya, dua porsi." "Untuk-" "Sudah, lakukan saja apa yang Ibu suruh." "Hm, baiklah." Gadis itu kemudian pergi ke kebun singkong dengan membawa dua piring kolak singkong. ''Kenapa Neptunus tidak menelpon atau mengirimku pesan? Apa dia tidak akan pergi kemana-mana hari ini? Tapi tidak biasanya dia tidak menggunakan jasaku seperti ini, karena kalau tidak, dia akan rugi jika tidak aku tidak ada di dekatnya satu hari saja, sebab lima jutanya akan melayang begitu saja,'' batin Nuansa yang sebelumnya telah memeriksa ponselnya, ia melihat tidak ada panggilan ataupun pesan apapun dari Neptunus, dan itu cukup aneh baginya. Saat akhirnya sampai di kebun, Nuansa langsung pergi menuju pondok, dan ia mengedarkan pandangannya untuk melihat sudah seberapa kosong kebun keluarganya itu, dan ternyata kebunnya itu sudah kosong dari pohon singkong. Hal ini membuatnya terkejut, karena dia tidak menyangka bahwa orangtuanya bisa mengosongkan kebun ini dari pohon singkong dengan begitu cepat. Nuansa kemudian melihat ke arah pondok, dan menyadari bahwa sang Ayah sedang tidak sendirian berada di sana, ada seorang pria yang duduk membelakangi Nuansa dan sedang mengobrol dengan Arfan, Nuansa tidak bisa melihat wajahnya karena posisi duduknya itu. "Siapa itu?" gumam Nuansa, dirinya lantas mempercepat langkahnya agar ia bisa cepat sampai ke pondok. "Neptunus?" ucap Nuansa dengan perasaan tidak menyangka saat ia sampai di pondok dan memberikan Neptunus juga Arfan satu porsi kolak buatan Durah. "Hei," Neptunus menyapanya, ia terlihat sangat kotor, namun pria itu menggunakan pakaian yang biasa-biasa saja, jadi Nuansa bisa memastikan kalau dia datang memang untuk membantu Arfan mencabuti pohon-pohon singkong di kebun ini. "Kenapa kau datang kemari?" tanya Nuansa. "Memangnya kenapa? Tidak boleh?" Neptunus bertanya balik. "Bukan begitu, tapi ... kenapa kau tidak menyuruhku untuk bangun?" "Memangnya kenapa kalau aku tidak menyuruhmu untuk bangun?" "Ish!" "Aku kan hanya bertanya." "Sudahlah, berbicara denganmu hanya akan membuatku merasa sakit." "Hahaha, aku datang hanya untuk membantu Ayahmu memanen seluruh singkong di sini," ujar Neptunus. "Bagaimana bisa kau tahu kalau kami akan memanen semua singkong di sini?" tanya Nuansa. "Kau yang menceritakannya padaku kemarin saat kita sedang dalam perjalanan menuju rumahmu, kan?" "Eh, iya ya, hehehe." "Jadi aku memutuskan untuk datang ke sini pagi tadi dan membantu paman Arfan menyelesaikan semua ini." "Dia anak baik," kata Arfan pada Nuansa. Nuansa kemudian terdiam sembari menatap Neptunus. "Ayo, dimakan, Nak," Arfan menyuruh Neptunus memakan kolak buatan Durah itu. "Iya, Paman," sahut Neptunus dengan bersemangat, mereka berdua lantas sama-sama langsung memakan kolak itu dengan sangat lahap, tampaknya memanen seluruh pohon singkong yang tersisa di sini dibawah teriknya panas Matahari pagi membuat perut Arfan dan Neptunus menjadi kosong, terlebih lagi memanen semua pohon singkong yang tersisa di sini memang sangat melelahkan, dan mereka berhasil menyelesaikannya dalam waktu 2 jam. Menyadari dirinya sedang ditatap oleh Nuansa, Neptunus pun kemudian mengangkat kedua alisnya secara bersamaan sebagai bahasa isyarat untuk mempertanyakan kepada Nuansa mengenai alasan gadis itu menatapnya seperti itu. "Bantuanmu ... tidak ada hubungannya dengan gajiku, kan?" tanya Nuansa dengan nada penuh selidik. Mendengar hal itu, Neptunus langsung tersedak karena tertawa, pria itu lantas terbatuk-batuk dan meminum segelas air putih. "Nuansa, kau ini," Arfan menegur putrinya. "Bantuannya ini patut dicurigai, Ayah, bisa saja ini akal-akalannya untuk mengurangi gajiku karena uangnya mulai habis," kata Nuansa. "Hei ... kau ini apa-apaan." "Hanya untuk berjaga-jaga, Ayah." Arfan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hahahaha, tidak, ini tidak ada hubungannya dengan gajimu, aku memang melakukannya secara cuma-cuma karena memang aku ingin melakukannya. Lagi pula kegiatan seperti ini sangat menyehatkan, kan? Apa lagi bekerjanya dibawah terik Matahari pagi yang sangat bagus untuk tubuh, ditambah lagi olahan-olahan singkong bibi Durah yang rasanya ingin aku nikmati setiap hari, berhasil membuatku sangat ingin membantu paman Arfan. Jangan khawatir, ini benar-benar tidak akan ada hubungannya dengan gajimu, ini murni karena aku ingin melakukannya," papar Neptunus. "Janji?" tanya Nuansa. Mendengar hal itu, Arfan sangat malu rasanya. Namun Neptunus malah tersenyum lebar. "Iya, janji," balas Neptunus, ia dan Nuansa lantas membuat simbol berjanji dengan menyatukan kelingking mereka. "Yasudah, aku mau membantu Ibu masak dulu," ujar Nuansa, ia kemudian pergi masuk ke rumahnya untuk membantu Durah menyelesaikan masakan-masakannya itu. Chapter 69 - Hot "Bagaimana rasanya?" tanya Durah pada Nuansa. "Emhm, enak," jawab Nuansa yang sedang memakan tape sang Ibu. Durah memang sudah membuat olahan tape ini sejak Nuansa masih di Korea, dan untunglah tapenya sudah siap untuk dimakan ketika Neptunus datang hari ini. "Sungguh?" Durah memastikan. "Ya, Ibu coba rasa saja sendiri," suruh Nuansa, tampaknya ia memang jujur, buktinya dia memakan tape itu lagi. Melihat Nuansa yang terlihat ketagihan, Durah pun akhirnya mencicipi tape buatannya itu, dan ternyata rasanya memang enak. "Ibu memang hebat, baru pertama kali buat tapi rasanya sudah seenak ini," Nuansa memuji Durah. "Sebenarnya dulu Ibu pernah membuatnya juga, malah dulu cukup sering, tapi Ibu baru ingin membuatnya lagi beberapa hari yang lalu," ujar Durah. "Ooo, nanti tolong ajari aku ya, Ibu," pinta Nuansa. "Kau memang harus belajar membuat semua menu yang pernah Ibu buat." Nuansa kemudian terkekeh. Keduanya lantas lanjut membuat olahan-olahan singkong mereka. Beberapa belas menit kemudian, saat Nuansa sedang menggoreng risol, Neptunus masuk ke dapur dan menaruh piringnya dan piring Arfan yang telah licin tanpa perlu dicuci ke tempat cuci piring. Pria itu bahkan langsung mencuci piringnya dan piring Arfan, beserta semua piring, gelas, panci, dan sendok yang kotor. "Eh, Nak, apa yang kau lakukan?" tanya Durah saat ia menyadari bahwa Neptunus mencuci semua piring kotor. "Mencuci piring, Bibi," jawab Neptunus. "Iya, aku tahu, tapi kau tidak perlu melakukannya, biar Nuansa saja nanti." "Jarang-jarang loh Bibi aku mencuci piring, jadi kenapa tidak Bibi biarkan aku cuci piring?" "Biarkan saja, Ibu, lumayan kan pekerjaanku bisa berkurang," ucap Nuansa pada Durah. "Nuansa ..." ujar Durah. "Ayolah, Ibu," Nuansa memaksa. "Baiklah, terserah kalian saja." Neptunus pun lalu mencuci semua piring kotor di sana, ia kemudian langsung menaruh semua cuciannya yang telah dicucinya ke tempat masing-masing. "Wah, banyak sekali yang dibuat dari singkong," kata Neptunus begitu ia melihat Nuansa dan Durah sedang bekerjasama membuat banyak sekali olahan singkong. "Kau mau mencoba risolnya?" tanya Nuansa. "Boleh," ucap Neptunus yang lantas mengambil satu risol dan memakannya. "Mmm, ini jauh lebih enak dari risol manapun!" puji Neptunus. "Lebay," kata Nuansa yang kemudian lanjut menggoreng. "Sebaiknya kau belajar menghargai pendapat orang." "Kalau pendapatnya berlebihan untuk apa dihargai." Durah lalu menatap Nuansa, pertanda ia menegur putrinya itu. "Terserahmu, aku minta satu lagi," ujar Neptunus seraya mengambil risol lagi. "EMH, KAU BAU SEKALI!" seru Nuansa saat Neptunus mengambil risol yang ada di dekatnya. Mendengar hal itu, Neptunus pun lantas langsung mencium aroma tubuhnya. "Lebay," ucap Neptunus usai dirinya mencium aroma tubuhnya. "Orang yang menilai, Neptunus! Bukan diri sendiri," sewot Nuansa. "Emh, ya Tuhan! Tidak pernah kucium bau yang seperti ini! Dan kau benar-benar kotor! Pergi mandi sana!" teriak Nuansa, ia sekarang sudah seperti seorang Ibu beranak sepuluh saja. "A-" "Mandi!" Gadis itu bahkan menyela Neptunus yang baru saja akan berbicara. Neptunus pun kemudian menghabiskan risol yang sedang dipegangnya, ia lalu pergi dari dapur. "Hei, kau ini apa-apaan," Durah menegur putrinya dengan pelan. "Dia memang bau, Ibu," kata Nuansa. "Tapi kan bisa diucapkan secara baik-baik, Nak." Nuansa lantas terdiam, dan tiba-tiba Neptunus kembali ke dapur. "Astaga, dasar bandal! Kenapa kau belum mandi juga?!" seru Nuansa begitu ia melihat Neptunus muncul lagi di dapur dalam keadaan yang masih sama. "Engh, kamar mandi di mana, ya?" tanya Neptunus. "Kamar mandi kami di luar, dari sini kau-" "Antarkan dia," suruh Durah. "Tapi aku lagi menggoreng, Ibu," ucap Nuansa yang disela omongannya oleh Ibunya tadi. "Biar Ibu saja. Sana, antarkan dia," ujar Durah. Nuansa kemudian menghela napasnya, ia lantas bangkit, karena memang mereka memasak di bawah. "Ayo ikut aku," Nuansa mengajak Neptunus untuk pergi ke kamar mandi. Ternyata kamar mandi rumah ini berada cukup jauh dari dalam rumah, tidak jauh-jauh sekali memang, tapi kamar mandinya tidak berada pada jarak yang seharusnya antara rumah dan kamar mandi. Mereka harus keluar melalui dapur dulu, lalu belok ke kanan dan berjalan lurus sejauh 150 meter, ini bahkan lebih jauh dari pada jarak rumah ke kebun. Dan akhirnya Nuansa dan Neptunus sampai di kamar mandi minimalis itu. Dengan tanah yang cukup becek, keduanya sempat kesulitan untuk sampai di kamar mandi ini tadi. "Sudah, sana mandi," suruh Nuansa. Neptunus lantas masuk ke dalam kamar mandi dan mulai mandi, Nuansa pun kemudian meninggalkannya dan kembali ke dapur. *** Beberapa menit kemudian, saat Nuansa sudah berada di dapur, Neptunus akhirnya selesai mandi. Ia kembali ke dalam rumah dalam keadaan buka baju, dan bagian bawahnya hanya ditutupi oleh handuk. Ketika kembali ke dalam rumah, tentu saja pria itu harus melewati dapur dulu, dan ketika ia berlalu begitu saja di dapur, jantung Nuansa mendadak berdetak 5 kali lebih cepat, dan itu tentu saja karena ia mungkin baru saja melihat pemandangan terindah yang pernah dilihatnya sejauh ini, yaitu tubuh atletis Neptunus. Nuansa mematung bahkan setelah Neptunus sudah melewati dapur. "Nuansa!" Durah memanggil Nuansa yang terdiam. "Engh, ya, Ibu?" sahut Nuansa. "Kenapa kau diam?" tanya Durah. "A-aku ... aku melihat badan-, m-maksudku ... sebentar ya, Ibu," ucap Nuansa, ia kemudian pergi dari dapur dan meninggalkan Durah dalam rasa bingung. Nuansa berniat untuk pergi ke kamarnya karena ia jadi salah tingkah. Wajahnya memerah, dan jantungnya berdetak semakin kencang, ia seperti terkena serangan jantung usai melihat Neptunus dalam keadaan telanjang dada tadi, jadi ia ingin menenangkan dirinya lebih dulu di kamarnya. ''Ok, itu terlalu hot,'' batin Nuansa sembari membuka pintu kamarnya dengan napas yang tidak beraturan, ia pun lantas langsung masuk ke kamarnya. Mengejutkan, ternyata Neptunus sedang berpakaian di kamar Nuansa dalam keadaan pintu yang tidak terkunci, karena memang tidak bisa dikunci. Sontak saja Neptunus dan Nuansa sama-sama syok, apa lagi Neptunus baru saja akan membuka handuk yang menutupi bagian bawahnya, dan sebelumnya, di hadapan Nuansa, handuknya sudah terbuka setengah, dan tentu saja hal itu semakin membuat Nuansa tidak bisa mengendalikan dirinya. Neptunus secara refleks langsung menutupi bagian bawahnya sepenuhnya lagi, ini benar-benar mengejutkan baginya, karena ia baru akan berpakaian, dimulai dari membuka handuknya, namun tiba-tiba Nuansa masuk dan ikut terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Neptunus. "M-maaf, aku tidak tahu kalau kau di sini," ujar Nuansa sembari berusaha untuk tidak melihat Neptunus yang sedang dalam keadaan yang berhasil membuat ia kesulitan bernapas itu. Nuansa kemudian berniat untuk keluar, namun karena menutupi penglihatannya sendiri, Nuansa secara tidak sengaja menabrak meja dan hampir terjatuh. Satu hal yang membuat Nuansa tidak benar-benar jatuh adalah, Neptunus menahan tubuhnya secara cepat, dan hal ini sukses membekukan suasana. Aroma tubuh Neptunus yang sedang tanpa baju kali ini membuat Nuansa sangat nyaman karena pria itu benar-benar wangi sekarang. Untuk sesaat, mereka terjebak dalam aksi saling tatap, dan sesaat kemudian, Nuansa sadar bahwa ia sedang dalam tangkapan Neptunus, dan dirinya sendiri sedang menahan tubuhnya dengan cara memegang lengan berotot Neptunus. "Kau tidak apa-apa?" tanya Neptunus sembari membantu Nuansa untuk berdiri lagi. "Y-ya," jawab Nuansa yang malu-malu, ia memilih untuk memalingkan pandangannya dari Neptunus, namun tetap saja ia tidak kuat untuk tidak menikmati ''pemandangan'' itu, dan hal itu pun membuat Nuansa akhirnya mencuri-curi pandangan. "Yakin?" Neptunus memastikan. "Aku bilang iya!" tegas Nuansa yang akhirnya menghadap ke Neptunus sepenuhnya. Dan entah kenapa, mereka sama-sama saling terdiam lagi sambil saling tatap-tatapan. Beberapa saat kemudian, Nuansa melakukan hal yang sangat tidak terduga: ia dengan cepat mencium pipi kiri Neptunus dan kemudian langsung keluar begitu saja. Hal ini membuat Nuansa benar-benar tidak baik-baik saja sekarang, dan ''serangan jantungnya'' malah menular ke Neptunus yang hanya bisa mematung usai dicium oleh Nuansa tadi di bagian pipi. ''Sial! Sial! Hal gila apa yang aku lakukan tadi?! Itu benar-benar memalukan!'' batin Nuansa saat dirinya telah menutup pintu kamarnya, tampaknya ia benar-benar merasa kacau sekarang karena tidak tahu harus merasakan apa, semuanya terjadi secara spontan. Namun mau jujur atau tidak, Nuansa sebenarnya menikmati apa yang terjadi tadi, begitu pula dengan Neptunus yang benar-benar mematung sekarang dengan jantung yang berdetak 5 kali lebih cepat, dan tentunya dengan wajah yang perlahan memerah. Chapter 70 - Irit Bicara Setelah selesai memasak, Nuansa membawa masakan-masakannya dan Durah ke ruang tamu, sementara Durah mencuci piring. Saat sedang mengantar makanan-makanan itu, Nuansa bertemu dengan Neptunus yang sedang bermain ponsel seorang diri di sana. Neptunus hanya memakai kaos biasa dan celana pendek, seolah ini adalah rumahnya sendiri. Neptunus tampak be tidak peduli dengan aktifitas Nuansa, ia fokus pada ponselnya, namun Nuansa tahu kalau mereka harus membicarakan tentang hal yang tadi, dan melihat Neptunus yang terlihat tidak peduli, Nuansa pun menyadari bahwa dialah yang harus memulai pembicaraannya. Jadi dia menarik napas untuk mempersiapkan dirinya. "Ehm, hei," Nuansa memanggil Neptunus, Nep kemudian menegakkan kepalanya dan melihat Nuansa. "Kau memanggilku?" tanya Neptunus. "Ya, aku ... aku ingin minta maaf soal yang tadi, aku tidak bermaksud untuk melakukannya, tapi ... aku melakukannya. Maafkan aku, aku hanya ..." "Nafsu?" "TI-TIDAK! Bukan begitu!" "Lalu?" "A-aku juga tidak tahu kenapa bisa aku melakukannya, aku ... intinya aku ingin meminta maaf." "Baiklah, permintaan maafmu diterima, tapi sebenarnya jika kau tidak meminta maaf juga tidak apa-apa, itu bukan hal yang salah bagiku." "Itu tetap salah, sebagai seseorang yang bekerja untukmu, aku telah terlalu lancang dengan melakukan hal itu, dan lagi pula aku tahu kau berbohong dengan apa yang kau katakan barusan, kau juga menganggap hal itu salah, kan? Sejak kau begitu mencintai Tiana, kau pasti tidak akan membiarkan wanita manapun menciummu." Neptunus lantas terdiam sesaat. "Oh, iya, itu salah," ucapnya beberapa detik kemudian, suasana terasa aneh saat ia mengatakan hal itu, terlebih lagi dirinya langsung memainkan ponselnya lagi setelah berucap seperti itu. Nuansa menyadari keanehan ini, dan ini terjadi akibat perubahan sikap Neptunus secara tiba-tiba, dan itu dikarenakan dia mengungkit-ungkit tentang Tiana dalam pembicaraan mereka tadi, dan gadis tersebut benar-benar menyadari semua itu. "A-aku minta maaf, aku tidak bermaksud untuk mengungkit-ungkit soal Tiana-" "Tidak apa-apa, aku sudah memaafkanmu, dan mungkin sebaiknua kita menyudahi pembicaraan tentang hal itu, kau hanya akan semakin bersalah nanti, kan? Dan lagi pula memang semuanya sudah selesai, kau sudah meminta maaf dan aku memaafkanmu, selesai," Neptunus menyela Nuansa. "Y-ya, sekali lagi aku minta maaf, ya," ujar Nuansa. "Ya, tidak apa-apa." "Permisi," Nuansa lalu kembali ke dapur dan melanjutkan apa yang sedang dia lakukan tadi. Saat Nuansa pergi, Neptunus terdiam. ''Kau benar tentang Tiana, maafkan aku, Nuansa,'' batin Neptunus. *** Nuansa, Neptunus, Arfan, dan Durah sedang makan bersama sekarang. Nuansa tidak bicara apapun sejak tadi, sementara orangtuanya dan Neptunus sampai sekarang masih terus mengobrol. "Kampusku akan membuat pertunjukan musik, Paman, dan pertunjukannya bisa disaksikan secara gratis oleh masyarakat umum," ujar Neptunus sebab Arfan banyak bertanya tentang kuliahnya. "Jadi kau akan terlibat di dalam pertunjukan itu?" tanya Durah. "Belum tahu, Bibi, pemilihan peserta pertunjukannya akan dilakukan hari ini, dan setelah itu mereka yang terpilih akan melakukan latihan selama dua minggu sebelum melakukan pertunjukkan beberapa hari setelah selesai latihan," jawab Neptunus. "Berapa orang yang akan dipilih?" "Sepertinya tidak akan banyak, yang terpenting sepertinya akan ada satu orang laki-laki dan satu orang perempuan yang akan ditunjuk sebagai Penyanyi." "Ooooh, begitu. Kau sendiri bagaimana? Kau tertarik jika terpilih sebagai pesertanya?" "Sebenarnya tidak, tapi aku tidak akan menolak juga jika terpilih, hitung-hitung sebagai penambah pengalaman, tidak salah juga kan kalau terpilih?" "Ya, memang." Mereka kemudian lanjut membicarakan hal lain, sementara Nuansa tetap diam, bahkan sampai akhirnya Neptunus mengajaknya ikut pergi ke kampusnya, Nuansa benar-benar sangat irit berbicara. "Ada apa denganmu?" tanya Neptunus pada Nuansa saat mereka sudah di dalam mobilnya dan sedang dalam perjalanan menuju kampusnya. "Hm? Apa?" Nuansa bertanya balik, namun ia memalingkan wajahnya dari Neptunus. "Kau sangat irit berbicara sejak tadi." "Aku lagi sariawan." "Benarkah?" "Ya." "Tadi pagi kau sangat lancar berbicara dan memarahiku, apa sariawanmu tidak terasa sakit pada saat itu?" Nuansa lantas terdiam, ia menyadari bahwa Neptunus tahu bahwa dirinya berbohong mengenai sariawan itu. "Huft, lupakan saja," ujar Neptunus yang tidak ingin memperpanjang pembicaraan itu, karena ia pun tahu bahwa Nuansa berbohong, jadi tidak perlu lagi memaksa gadis itu untuk mengakui bahwa dia berbohong, dan Neptunus malas untuk bertanya lagi apa alasan Nuansa jadi irit berbicara seperti ini. "Ngomong-ngomong, Vega pindah sekolah mulai hari ini," kata Neptunus yang membuat topik pembicaraan baru. "Oh, ya?" Nuansa menyahutinya dengan nada datar. "Ya." Keduanya lalu sama-sama saling terdiam, sampai akhirnya Neptunus kembali membuat topik pembicaraan baru karena ia tidak tahan dengan aksi saling diam-diaman mereka. "Jujur aku bingung, kau irit bicara karena kau menciumku atau karena kau menyebut-nyebut Tiana tadi?" tanya Neptunus, dan begitu Neptunus mengatakan hal tersebut, Nuansa memberikan respon yang jauh lebih bermakna dari pada yang sebelum-sebelumnya, ia tampak merasa bersalah, dan dirinya hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaan Neptunus. "Tidak perlu merasa bersalah karena kau telah menyebut nama Tiana tadi, aku tahu bahwa kau tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanku atau apalah, intinya, tidak perlu sampai jadi sebegininya," ucap Neptunus. "Tidak, permasalahannya ada di dirimu, sikapmu langsung berubah tadi bahkan setelah kau mengatakan semuanya sudah selesai, aku tahu kau berbohong, aku tahu perasaanmu sebenarnya terganggu, kan? Aku bisa merasakannya, perasaanmu itu sangat berbeda dari semua yang pernah kau tunjukkan padaku, seperti ada luka lain yang tercipta di dalam dirimu setelah pembicaraan kita itu," ujar Nuansa. Neptunus kemudian terdiam. "Ada suatu hal yang ingin aku katakan, tapi aku tidak pernah bisa melakukannya, bahkan mungkin tidak hanya satu," kata Neptunus beberapa saat kemudian. "Dan itu memiliki hubungan dengan apa yang terjadi tadi pagi?" tanya Nuansa. "Ya, beberapa dari sekian banyak hal yang ingin kukatakan itu memiliki kaitan dengan apa yang terjadi tadi pagi, dan ketahuilah bahwa kau adalah orang pertama yang tahu bahwa aku menyimpan banyak sekali hal yang tidak pernah aku katakan pada siapapun, tadi sangat ingin aku katakan pada orang-orang, setidaknya hanya satu, karena selama ini aku memendamnya seorang diri," ucap Neptunus. "Lalu kenapa tidak kau menceritakannya padaku? Dan lagi pula kenapa kau memendam semua hal itu selama ini? Memangnya hal-hal semacam apa itu?" "Lupakan, ini semua sudah terlalu jauh." Mereka kemudian sama-sama terdiam. ''Syukurlah dia tidak menanggapinya terlalu serius, aku tahu dia berpikir kalau semua itu bukanlah hal yang penting, baguslah, karena sampai di sini saja aku sudah terlalu jauh, aku tidak pernah membayangkan kalau pada akhirnya aku akan menceritakan kepada seseorang sebagian kecil dari semua itu, walaupun hanya sekedar memberitahu kalau aku menyimpan banyak hal yang aku pendam sendiri,'' batin Neptunus. Chapter 71 - 20 MB Sesampainya di kampus Neptunus, Neptunus dan Nuansa langsung keluar dari dalam mobil Neptunus, tentu saja setelah Neptunus memarkirkan mobilnya. "Jadi ... apa yang akan aku lakukan di sini? Hanya sebagai penggembira?" tanya Nuansa yang bingung harus apa, dia juga tidak mengerti kenapa Neptunus mau membayarnya hanya untuk melakukan hal-hal yang tidak penting seperti ini, lagi pula sejauh ini dilihatnya tidak ada yang membahas tentang bagaimana akhirnya Neptunus memiliki pasangan lagi. Di awal pertemuan mereka, Neptunus mengatakan kepada Nuansa bahwa dia menyewanya sebagai seorang kekasih semata hanya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan orang mengenai kapan dia akan memiliki pasangan baru, move on, dan sebagainya. Namun, sejauh ini, Nuansa melihat orang-orang justru cuek dengan status Neptunus yang sekarang telah memiliki ''kekasih'' lagi, dan Neptunus sendiri terlihat tidak heboh memperkenalkan Nuansa kepada orang-orang yang dikenalnya. Logikanya, jika Neptunus memang diserbu dengan pertanyaan-pertanyaan sejenis itu sebelum dia bertemu dengan Nuansa, seharusnya cukup banyak orang yang memerhatikan mereka, atau setidaknya Neptunus rajin memperkenalkannya kepada orang-orang yang dia kenal, tetapi yang terjadi justru malah sebaliknya, Neptunus malah tampak sangat jarang memperkenalkan Nuansa kepada teman-temannya, dan keluarganya sendiri tidak banyak membicarakan tentang status Neptunus yang akhirnya tidak ''menjomblo'' lagi. Meskipun Neptunus sudah pernah memperkenalkan Nuansa secara tidak langsung kepada teman-temannya di pesta Emma dengan cara menjilati tangannya, namun tetap saja hal itu terasa belum cukup untuk seseorang yang sudah gerah dihujani pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk menyewa seseorang untuk dijadikan sebagai pacar, kan?. Neptunus bahkan tidak berusaha mendekatkan Nuansa dengan beberapa temannya hanya untuk menegaskan bahwa dia tidak ''jomblo'' lagi, seperti misalnya rutin ''memamerkan'' Nuansa kepada Finn, membicarakan tentangnya setiap kali dia mengobrol dengan orang, tapi tidak, Neptunus tidak melakukan semua itu. Hal inilah yang akhirnya membuat Nuansa bingung, sebenarnya apa guna dia disewa oleh Neptunus jika Neptunus saja seperti itu?. "Kau bisa melakukan apapun yang kau mau, terserahmu," ucap Neptunus. "Kau tidak mau mengenalkanku kepada seluruh kampus?" tanya Nuansa lagi. "Untuk apa?" Neptunus malah bertanya balik. "Ya ... kau bilang kalau banyak orang yang mendesakmu dengan pertanyaan-pertanyaan sejenis ''apa kau tidak akan pernah move on?'' atau ''di mana pasangan barumu? Kau belum memulai hubungan baru lagi?'' atau malah ''kau jomblo?'', jadi ketika kau sudah menyewaku, kenapa kau tidak mempromosikanku, maksudku, memperkenalkanku kepada semua orang?" "Sudah, kan? Di pesta Emma yang kau kacaukan dengan jus manggamu itu." "Ya, tapi ... bagimu itu cukup?" "Ya." "Ugh, ok." "Ada apa memangnya?" "Tidak apa-apa, sebaiknya kau pergi sekarang, sepertinya semua Mahasiswa di sini telah berkumpul." "Masih belum sebenarnya, tapi kalau kau ingin aku pergi, maka baiklah, aku akan ke sana, dadah." Neptunus kemudian pergi meninggalkan Nuansa di tempat parkir. "Huft, kalau aku jadi dia aku tidak akan menggunakan jasa diriku, entah untuk apa dia membayarku, rasanya dia seperti hanya sekedar memberikan sumbangan kepada orang kurang mampu sepertiku," gumam Nuansa. "Tapi untuk apa aku memikirkan tentang hal itu? Dia itu orang kaya, uangnya tidak akan habis sampai beberapa generasi, jadi membayarku sebanyak lima juta untuk tidak melakukan apa-apa setiap hari bukanlah hal yang besar, kan? Huh, dasar orang kaya," lanjut Nuansa. Gadis itu lantas terdiam di tempat parkir dan bolak-balik memeriksa jam di ponselnya, dia merasa bosan sekarang dan tidak tahu apa hal yang mampu mengusir rasa bosannya ini, dia tidak tahu apa yang enak dimainkan di ponselnya ini, tidak ada game di sini, dan dirinya tidak tahu cara mengunduh game. Nuansa juga tidak memiliki aplikasi media sosial apapun di ponselnya, kecuali mungkin aplikasi pesan bawaan ponselnya, dia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya menggunakan media sosial lain yang banyak orang pakai, dan sebenarnya ia sendiri tidak pernah memikirkan tentang hal tersebut, tidak pernah terlintas di pikirannya untuk membuat akun media sosial. Ponselnya hanya digunakannya untuk berfoto, menelpon, mengirim pesan, mengecek jam, terkadang untuk memasang alarm, terkadang untuk timer, dan yang terakhir terkadang untuk membuat video. Hal itu membuat baterainya sangat lama habisnya, bahkan Nuansa hanya mengisi daya ponselnya sebanyak tiga hari sekali, itu pun sudah termasuk boros, sebab ia rata-rata baru mengisi daya ponselnya lagi setelah lima hari sejak terakhir kali diisi dayanya, dan itu membuatnya bersyukur, karena baginya itu membantunya untuk menghemat pulsa listrik. Walaupun tidak bisa dipungkiri memang bahwa akhirnya hal itu membuatnya merasa bosan sekarang, karena di ponselnya benar-benar tidak ada hal yang menarik untuk dimainkan. Pada kebanyakan situasi memang Nuansa bersyukur, karena hal itu juga membantunya untuk menghemat kuota datanya, dan jangan ditanya berapa banyak MB yang dihabiskan Nuansa satu harinya gara-gara ponselnya yang bak planet Mars yang sepi itu. Nuansa rata-rata menghabiskan kurang dari 20 MB sehari, dan dia membeli paketan 100 MB seharga 2000 Rupiah, itu adalah paket harian, jadi setiap hari Nuansa harus mengeluarkan 2000 Rupiah untuk mendapatkan kuota data, namun dia sendiri merasa kesal karena tidak pernah bisa setidaknya menghabiskan 21 MB saja, karena dia benar-benar merasa rugi sebab setiap hari ada 80 MB yang terbuang begitu saja. Percayalah bahwa Nuansa telah mencari harga paketan yang lebih murah lagi, namun benar-benar tidak ada, 2000 Rupiah itulah yang paling murah, dan untuk mendapatkannya, Nuansa harus melewati usaha yang sangat sulit selama satu harian penuh, ia mencari paket paling murah itu selama belasan jam. "GRRH! Astaga, aku harus apa sekarang?!" ujar Nuansa. ''Hei, sudah lama rasanya aku tidak bertemu dengan Gladys, kenapa tidak aku pergi ke restoran tempatnya bekerja dan mengobrol dengannya sambil memakan Takoyaki?'' batin Nuansa. Akhirnya gadis itu tahu hal seru apa yang mampu mengusir rasa bosannya, ia pun lantas pergi ke restoran Asia Timur favorit Neptunus itu, tempat di mana Gladys bekerja sebagai pelayan di sana. Chapter 72 - Akan Menyelesaikannya Nuansa langsung memilih sebuah kursi begitu ia masuk ke dalam restoran yang menjual makanan-makanan khas Asia Timur ini, dan di sana, Gladys langsung datang menghampirinya. "Hai, lama tidak berjumpa," sapa Nuansa. "Ya, apa kabar?" tanya Gladys. "Aku baik, kau bagaimana?" Nuansa bertanya balik. "Aku juga baik, kau ingin pesan apa?" "Takoyaki saja." "Oh, ok, tunggu sebentar ya." "Ok." Gladys kemudian pergi, sementara Nuansa mengedarkan pandangannya di restoran itu. Secara tidak sengaja, Nuansa melihat Emma di sana, Emma sedang mengobrol dengan beberapa temannya, ada yang laki-laki, dan ada yang perempuan. Saat Nuansa melihatnya, Emma juga menyadari keberadaan Nuansa. Begitu Emma melirik ke arahnya, Nuansa lantas langsung memalingkan pandangannya, dan sesaat kemudian, Gladys datang membawa pesanan Nuansa, dan lantas duduk di sampingnya. "Uf, panas," ucap Nuansa saat ia menyentuh takoyakinya untuk menakar seberapa panas suhunya, apakah sudah bisa dimakan atau belum, namun dengan suhu yang sebegini panasnya, sepertinya ia harus menunggu paling tidak 10 menit lagi baru bisa memakannya. "Bagaimana perjalananmu ke Korea?" tanya Gladys pada Nuansa. "Kau tahu dari mana aku habis dari Korea?" Nuansa bertanya balik. "Finn, dan jangan kau tanya dari mana dia mengetahuinya." "Hmm, sebenarnya aku pergi ke Korea bukan untuk jalan-jalan." "Lalu?" "Untuk menghadiri acara pernikahan orang." "Tapi kau pasti tetap jalan-jalan di sana, kan?* "Tentu saja aku jalan, kalau tidak namanya aku lumpuh." "Nuansa, aku serius." "Hehehe, sebenarnya ya, aku dan Neptunus mendatangi Camellia Hill, konser BTS, pasar-" "Kau mendatangi konser BTS?!" "Ya." "BTS?!" "Ya." "Bangtan?!" "Apa itu?" "Itu-, lupakan. Tapi, kau benar-benar mendatangi konser mereka?!" "Iya, Gladys." "Kau mengabadikan momen-momen saat kau ada di konser mereka?" "Tentu saja, walaupun aku bukan penggemar mereka, tapi kapan lagi bisa berfoto dengan boyband yang mendunia, kan?" "Benarkah? Coba aku lihat." "Tunggu," Nuansa lantas merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya. "Kau terlihat sangat tertarik, apa kau menggemari mereka?" tanya Nuansa seraya memberikan ponselnya kepada Gladys. "Kupikir semua gadis menyukai mereka," ujar Gladys. "Kau yakin?" "Ya, tidak semua sih, tapi ... aku yakin kebanyakan pasti menyukai mereka." "Ok, aku tidak termasuk salah satu dari kebanyakan itu." "Huh?" "Neptunus mengatakan kepadaku bahwa dia akan datang ke konser BTS dan ketika dia mengatakannya, aku tahu bahwa dia telah memesan dua tiket, jadi aku memutuskan untuk ikut. Aku tahu BTS, tapi aku bukan penggemar mereka, tapi aku tetap datang ke konser mereka, karena gratis, dan ... ya, kapan lagi bisa melihat artis internasional secara langsung, kan? Meskipun memang dibutuhkan biaya tambahan untuk bisa berfoto bersama mereka seperti ini, dan aku tidak akan pernah bisa lupa bagaimana hancurnya hatiku saat ternyata fotoku tertukar dengan foto orang lain," kata Nuansa. Begitu selesai berbicara, Nuansa menyadari bahwa Gladys justru asyik melihat foto-fotonya bersama para anggota BTS dan tampaknya tidak mendengarnya sama sekali walaupun mereka duduk dengan jarak yang sangat dekat, dan tidak lupa, Gladys terus-terusan tersenyum lebar setiap kali dia menggeser layar ponsel Nuansa untuk melihat foto-foto lainnya. "Bah, lupakan lah," sambung Nuansa, ia kemudian memakan takoyakinya. "Wah, seru sekali perjalananmu ke Korea, ya," ucap Gladys saat ia akhirnya selesai melihat foto-foto Nuansa bersama para anggota BTS, ia lalu mengembalikan ponsel Nuansa itu kepada Nuansa. Tampaknya Gladys tidak hanya melihat foto-foto Nuansa bersama para anggota BTS, melainkan juga foto-foto Nuansa di Camellia Hill. "Lumayan lah, sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui," ujar Nuansa. "Maksudmu?" tanya Gladys. "Ya ... Neptunus mengajakku ke Korea, dan aku langsung mendapatkan banyak hal yang bisa kukatakan sebagai keuntungan begitu aku menerima ajakannya," kata Nuansa. "Pertama aku akhirnya merasakan bagaimana rasanya naik pesawat, aku akhirnya merasakan bagaimana rasanya pergi ke luar negeri, rasanya musim gugur, rasanya bertemu dengan orang-orang terkenal, rasanya ada di sebuah konser besar, rasanya melihat orang luar negeri, karena jujur, sejauh ini aku belum pernah melihat orang luar negeri dengan mataku langsung," lanjut Nuansa. "Hahaha, benar juga, tapi tampaknya tidak hanya dua tiga pulau yang kau lampaui, tapi enam sekaligus," ujar Gladys. "Hahaha," keduanya lantas tertawa terbahak-bahak. Dari kejauhan, Emma mengamati mereka. ''Gladys tampaknya memiliki kedekatan dengannya, aku akan memaksanya untuk memberitahukanku informasi mengenai gadis itu, bagaimana bisa gadis kampungan seperti dia menjadi pacar Neptunus? Sementara aku yang sudah bertahun-tahun mengincar Neptunus tak kunjung bisa mendapatkannya,'' batin Emma. "Sebaiknya kita cepat kembali ke kampus, jam masuknya lima menit lagi," ucap salah satu teman Emma yang berada di dekatnya. "Iya, huft, dan setelah itu kita akan mulai sangat sibuk, mempersiapkan pertunjukan itu, lalu mulai memasuki tahap akhir dari semua ini, membuat skripsi, sidang, wisuda, huft, semuanya pasti akan terasa melelahkan," kata yang lainnya. "Belum berakhir kalau kau ingin melanjutkan ke S2," sahut yang lainnya lagi. "Ya, begitulah." Mereka bersama Emma kemudian pergi dari sana. Karena Nuansa duduk di dekat pintu, jadi otomatis, ketika Emma bersama teman-temannya itu keluar dari restoran ini, mereka melewati Nuansa, dan tampaknya tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan Nuansa di antara mereka selain Emma, bahkan setelah perhatian Emma terpusat kepada Nuansa ketika mereka berjalan keluar, mereka tetap tidak menyadari keberadaan Nuansa yang juga mereka lihat ada di pesta Emma beberapa waktu yang lalu. Nuansa dan Gladys sadar jika Emma melihat ke arah mereka, atau mungkin lebih tepatnya ke arah Nuansa seorang, dan begitu gadis itu bersama teman-temannya tersebut akhirnya keluar, mereka langsung membicarakannya. "Dia sering datang ke sini?" tanya Nuansa pada Gladys. "Tidak terlalu, tapi tidak jarang pula," jawab Gladys. "Nuansa, dilihat dari tatapannya, dia pasti masih marah padamu," lanjut Gladys. Nuansa kemudian merasa heran dengan apa yang dikatakan oleh Gladys itu. "Oh, ayolah, aku memang tidak ada di pestanya yang kau rusak malam itu, tapi Finn memberitahuku semuanya," kata Gladys yang mengerti hal apa yang membuat Nuansa merasa heran. "Ooh, hehehe. Ya ... kelihatannya memang seperti itu, tapi aku akan menyelesaikannya," ujar Nuansa. "Apa maksudmu?" Chapter 73 - Meminta Maaf Nuansa saat ini sedang berada di area parkir kampus Neptunus, ia sudah berada di sini selama beberapa belas menit, setelah menghabiskan waktu puluhan menit berada di restoran tempat Gladys bekerja. Gadis itu terus mengedarkan pandangannya, dan ia akhirnya melihat apa yang sejak tadi dia cari: Emma. Emma berada sangat jauh dari Nuansa, namun Nuansa berhasil melihatnya. Para Mahasiswa dan Mahasiswi baru saja keluar dari kelas mereka, jadi saat ini keadaan sedang sangat ramai di area depan kampus, dan secara tidak sengaja, Nuansa yang berniat untuk menghampiri Emma menabrak seorang gadis yang sedang berjalan bersama seorang temannya. "Eh, astaga, maaf, maaf," ucap Nuansa usai dirinya menabrak gadis itu. "Iya, tidak apa-apa," ujar gadis tersebut. "Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Nuansa. "Tidak apa-apa, kita hanya saling menyenggol, tidak ada masalah." "Tapi aku yang menabrakmu-" "Tidak apa-apa." "Tunggu, kau yang waktu itu merusak pestanya Emma, kan?" kata teman gadis yang ditabrak Nuansa tadi secara tiba-tiba. ''Ok, julukan perusak melekat padaku,'' batin Nuansa. "Ya, kau ada di pesta itu malam itu?" Nuansa bertanya balik padanya. "Tentu saja." "Gadis ini yang merusak pesta Emma malam itu?" ucap gadis yang ditabrak Nuansa tadi. "Ya, kau tidak ingat?" ujar temannya. "Neptunus menyelamatkannya dengan cara menjilati tangannya," sambung teman gadis yang ditabrak oleh Nuansa tadi. "Kalau boleh tahu, kalian ini siapa, ya?" tanya Nuansa. "Itulah yang ingin aku tanyakan padamu juga, kau ini sebenarnya siapa? Kenapa Neptunus sampai menjilati tanganmu saat itu?" Teman gadis yang ditabrak Nuansa tersebut malah bertanya balik pada Nuansa. "Aku ... aku pacarnya Neptunus," jawab Nuansa. Kedua gadis itu terkejut mendengar jawaban Nuansa. "Sungguh?" tanya gadis yang ditabrak Nuansa tadi dengan rasa tidak percaya. "Ya," jawab Nuansa secara singkat dan cepat. Gadis yang ditabrak Nuansa itu kemudian saling melirik dengan temannya. "Ada apa memangnya?" tanya Nuansa. "Ti-tidak ada apa-apa, maaf telah membuang waktumu," jawab gadis yang ditabrak Nuansa. "Kalian belum menjawab pertanyaanku, kalian siapa?" Nuansa tampaknya masih belum ingin mengakhiri pembicaraan ini. "Namaku Stephanie-" "Stephanie?!" Nuansa menyela gadis yang ditabraknya itu. "Namamu Stephanie?!" lanjut Nuansa. "Ya," ucap Stephanie, gadis yang ditabrak Nuansa tadi. Dengan rasa terkejut ia menjawab Nuansa sebab Nuansa terlihat sangat tidak menyangka mengetahui siapa yang telah ditabraknya. "Kau mantannya Neptunus?!" tanya Nuansa. Mendengar pertanyaan itu, Stephanie dan temannya pun lantas saling melirik. "Aku rasa Neptunus telah menceritakan cukup banyak hal mengenai kita padanya," ujar teman Stephanie. "Tidak hanya dia, tapi juga aku. Namaku Zhenya," lanjut temannya Stephanie tersebut. "Tunggu, apa?!" kata Nuansa dengan perasaan yang seperti habis diberikan kejutan besar. "Ya," ucap Stephanie. "Kenapa kau terkejut?" tanya Zhenya. "Maafkan aku, aku hanya tidak menyangka akan bertemu dengan kalian, ini sulit untuk dipercaya, tapi mengingat kalian juga berkuliah di sini, mana mungkin aku tidak akan bertemu dengan kalian," jawab Nuansa. "Memangnya kenapa?" "Tidak apa-apa, aku hanya merasa senang bisa berkenalan dengan kalian." Mendengar jawaban Nuansa, Stephanie dan Zhenya lantas saling melirik lagi. "Senang berkenalan denganmu juga," balas Zhenya. "Jadi ... ya ... intinya ... ya, senang berkenalan denganmu," kata Stephanie pada Nuansa dengan canggung. "Kenapa canggung? Biasa saja, aku ingin kita berteman, tidak masalah, kan?" ujar Nuansa. "Teman?" tanya Stephanie. "Ya, aku tahu kau merasa canggung karena statusku adalah pacar Neptunus, sementara kalian adalah mantan-mantannya, tapi apa itu penting? Maksudku, untuk orang yang tidak waras seperti dia, sebaiknya tidak usah terlalu dijadikan pengaruh yang besar," kata Nuansa. Mendengar perkataan Nuansa barusan, sontak saja Stephanie dan Zhenya terkejut, belum pernah di antara mereka yang berani sevulgar itu membicarakan tentang Neptunus. "Ayolah, mau menghabiskan waktu bersamaku? Mengobrol untuk pengakraban?" sambung Nuansa. Stephanie terlihat bingung. "Boleh saja, tapi sepertinya tidak bisa sekarang, kami sedang ada urusan, mohon dimaklumi, ya," ujar Zhenya. "Oh, ok, tidak apa-apa," kata Nuansa. "Ngomong-ngomong, siapa namamu?" tanya Zhenya lagi. "Nuansa." "Oh, ok, salam kenal, Nuansa." Mereka berdua lantas saling berjabat tangan, begitu juga dengan Nuansa-Stephanie. "Baiklah, kalau begitu kami pergi dulu, ya," Zhenya berpamitan pada Nuansa. "Ok," jawab Nuansa. Stephanie dan Zhenya pun kemudian pergi. Setelah kedua gadis itu pergi, Nuansa kembali fokus pada tujuan awalnya: mencari Emma. Namun, tanpa di duga, Emma bersama Anne ternyata sedang berjalan menghampiri Nuansa, sehingga Nuansa tidak perlu repot-repot menghampiri mereka. Dengan kedua tangan yang terlipat di dadanya, Emma menghampiri Nuansa dengan langkah yang pelan, dan dengan kepala yang tegak, sementara Nuansa hanya berdiam diri. "Kelihatannya kau tidak memiliki masalah dengan Stephanie dan Zhenya," ucap Emma pada Nuansa begitu akhirnya ia bisa mensejajarkan posisi mereka. "Untuk apa aku memiliki masalah dengan mereka?" tanya Nuansa. "Kau pembuat masalah, kau sudah lupa dengan apa yang kau lakukan di pesta ulang tahunku?" Emma bertanya balik. "Emma, dengar-" "Aku menghampirimu bukan untuk mendengarkanmu! Aku ingin memberitahu padamu bahwa tidak peduli jika benar kau adalah pacar baru Neptunus, aku tidak akan membiarkanmu merusak kehidupanku begitu saja. Pertama kau merusak pesta mahal dan mewahku, dan kedua kau merebut Neptunus dariku, jadi aku akan memperingatimu kalau kau tidak sedang baik-baik saja, Nona," pungkas Emma, dia dan Anne lantas pergi meninggalkan Nuansa. "Satu-satunya hal yang ingin kukatakan padamu adalah aku ingin meminta maaf!" ujar Nuansa saat Emma dan Anne mulai berjalan menjauhinya. Mendengar hal itu, Emma pun mengehentikan langkahnya, dan diikuti oleh Anne, namun mereka tidak berbalik badan, mereka membiarkan Nuansa melanjutkan ucapannya. "Itu adalah hal yang tidak kusampaikan padamu malam itu, dan maaf karena aku baru bisa menyampaikannya sekarang, itu saja," lanjut Nuansa. Beberapa saat kemudian, Emma dan Anne melanjutkan langkah mereka yang sempat terhenti itu. ''Ada apa dengannya?! Aku meminta maaf baik-baik, tapi dia malah seperti itu! Humph!'' batin Nuansa. Chapter 74 - Lampu Merah 5 Menit Neptunus dan Nuansa sedang dalam perjalanan menuju rumah Neptunus sekarang, mereka sedang berhenti karena lampu merah. Nuansa dari tadi hanya terdiam dengan pandangan yang tetap sama sejak pertama kali ia masuk ke dalam mobil ini tadi, Neptunus pun baru menyadari hal itu sekarang, dan dirinya langsung menanyakan apa hal yang membuat gadis itu menjadi begitu, sebab Nuansa biasanya tidak pernah seperti ini. "Apa kau baik-baik saja? Kau tidak seperti biasanya, ada apa?" tanya Neptunus. "Engh, tidak, aku tidak apa-apa," jawab Nuansa. "Sungguh?" "Ya ... mungkin ... tapi sepertinya ... tidak." "Ada apa?" "Aku meminta maaf kepada Emma, tapi dia malah mengancam akan membuat hidupku tidak tenang, aku hanya heran, kenapa dia malah memiliki niat seperti itu? Maksudku, aku paham bahwa aku telah merusak acaranya, tapi aku merasa itu bukan hal yang besar, mungkin dia itu adalah hal yang besar dan keterlaluan, tapi ... apakah memberikan ancaman seperti itu adalah hal yang wajar?" keluh Nuansa. "Emma mengancammu?" "Sebenarnya dia mengancamku lebih dulu baru aku meminta maaf padanya, tapi sebenarnya aku ingin meminta maaf lebih dulu sebelum dia mengatakan sepatah katapun, tapi dia melarangku berbicara, jadi kurasa pada akhirnya sama saja." "Well, kurasa dia memang merasa mengancam seperti itu adalah hal yang wajar, padahal sebenarnya jika dia memang masih sangat marah padamu, dia tidak perlu berbicara denganmu, maksudku, normalnya begitu, kan? Ketika orang sedang sangat marah dengan seseorang, kita pasti tidak ingin berbicara dengannya sampai waktu yang kita sendiri tidak bisa tentukan, iya, kan? Rasanya seperti muak begitu, jadi kita pasti berusaha sebisa mungkin bahkan untuk tidak melihat batang hidung orang itu." "Jadi, maksudmu dia tidak normal?" "Aku tidak bermaksud seperti itu." "Lalu?" "Aku rasa ada hal lain yang membuatnya mengancammu." "Apa?" "Entahlah, mungkin ada hubungannya dengan perasaan dia ke aku. Kau tahu? Dia sangat menyukaiku-" "Ya, aku tahu, tidak usah membangga-banggakan dirimu." "Dari mana kau mengetahuinya?" "Gladys." "Oh, astaga, tentu saja dia sudah menceritakannya padamu." "Jadi menurutmu, Emma mengancamku karena dia cemburu padaku? Karena yang dia tahu adalah aku pacarmu?" tanya Nuansa. "Hmm, begitulah." Nuansa kemudian terdiam sesaat, sebelum tiba-tiba dia bertepuk tangan satu kali dengan wajah yang berseri, dan sukses membuat Neptunus terkejut karena tepukan tangannya itu. "Hih! Kau ini! Mengagetkan saja!" sewot Neptunus. "Jadi itu masalahnya!" seru Nuansa. "Jika dia cemburu dengan hubungan kita yang tidak dia tahu hanya pura-pura, aku hanya perlu membuatnya semakin merasa cemburu dan terbakar!" sambung Nuansa. "Apa maksudmu?" tanya Neptunus. "Sudah cukup bagiku untuk mengharapkan maaf darinya, aku tidak mau jadi terlihat lemah seperti itu, intinya aku sudah meminta maaf, urusanku sudah selesai dengan hal itu, sekarang giliranku untuk menjadi setara dengannya." "Kau seperti seorang pasukan perang yang sedang berusaha menyeimbangi kekuatan lawan setelah kalah saja," ucap Neptunus. "Ya, kami memang sedang berperang, dan dia telah memulainya." "Asyik, ribut." "Pertama dia memercikkan api perang di antara kami, lalu dia dengan sengaja menyalakan api itu karena sejak awal itulah yang dia inginkan dengan menciptakan percikan api itu, sejak awal dia memang berniat untuk membuat situasi di antara kami menjadi sepanas supernova, lalu dia seolah meledakkan bom nuklir di antara kami-" Selama Nuansa berbicara dengan kata-kata berlebihan seperti itu, Neptunus hanya menatapnya dengan perasaan yang sangat ingin berhenti mendengar Nuansa berbicara seperti itu. "OK CUKUP!" teriak Neptunus, akhirnya. "Apa? Memangnya kenapa?" tanya Nuansa yang langsung terdiam dengan keadaan gerakan tangan yang masih mendukung ucapan-ucapan dengan bahasa-bahasa berlebihannya itu. "Kau berlebihan," ujar Neptunus. "Hei!-" "Ssssht!" "Grrrh!" Nuansa kemudian melipat kedua tangannya di dadanya dengan perasaan kesal. Neptunus lantas melihat waktu yang tersisa hingga lampu merah ini berganti menjadi lampu kuning, lalu akhirnya menjadi lampu hijau. "Aku tidak percaya ini, bagaimana mungkin ada lampu merah berdurasi lima menit?" kata Neptunus, namun Nuansa tidak menanggapinya. Melihat Nuansa yang tampak marah padanya, Neptunus pun hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan pelan dan tersenyum kecil. Beberapa detik kemudian, Neptunus berusaha untuk mencairkan suasana di antara mereka. "Aku akan sibuk mulai besok sampai beberapa bukan ke depan, jadi mungkin kita akan jarang bertemu. Aku akan mengerjakan tugas terakhirku sebelum mulai masuk masa pengerjaan skripsi, kau tahulah, tentang pertunjukkan itu, aku dipilih sebagai Penyanyi tunggal, aku dipasangkan dengan beberapa orang yang bukan dari kelasku sebagai sebuah band, anggap saja begitu. Kami memang tidak satu kelas, tapi kami sudah saling kenal sebelumnya, jadi kurasa untuk membangun chemistry di dalam band sementara kami itu tidak akan mudah, walaupun mungkin beberapa karakter akan sulit untuk disatukan, seperti Thomas yang bermain Bass, anak itu agak pendek, tapi jari-jarinya sangat lincah, dia banyak bicara, konyol, dan lucu, meskipun kadang dia membuat kelucuan di saat yang tidak tepat. Jika Wisnu tidak berhenti secara tiba-tiba, aku yakin posisi Thomas akan diisi oleh Wisnu, ngomong-ngomong, ya, Wisnu berhenti secara tiba-tiba karena sedang memiliki masalah keluarga yang sangat berat, dia melakukannya saat kita sedang berada di Korea dan tidak mengabariku, Finn yang memberitahuku, Finn bilang bahkan Wisnu telah pindah kota secara mendadak, dan tidak ada satupun dari kami yang mengetahui apa masalah yang sedang dia hadapi, meskipun dia adalah sahabatku sejak lama, tapi ternyata dia tidak benar-benar terbuka denganku, juga dengan Finn. Entahlah, kurasa aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Ok, balik ke anggota band yang akan memberikan pertunjukan utama, posisi Drummer diisi oleh Zecmax, dia seorang gadis yang sangat feminin, tapi ternyata bisa sangat menggila ketika bermain Drum, nama aslinya Zeze Maharani, dia mengubah nama panggilannya agar terkesan seperti anak punk, aku bahkan tidak menyangka dia memiliki pikiran seperti itu, karena sosoknya benar-benar sangat feminin dan ayu dari luar. Posisi Gitaris diisi oleh Nyoman, dari namanya sudah ketahuan kalau dia adalah orang Bali, kan? Dan terakhir, posisi Keyoboardist diisi oleh Ali. Sejauh ini aku hanya kenal cukup dengan dengan Thomas dan Zecmax, tapi aku akan berusaha untuk akrab dengan mereka semua demi memberikan penampilan yang terbaik nanti," ucap Neptunus, panjang lebar. "Oh, iya, selain itu nanti ada penampilan solo dari beberapa orang, seperti ada yang memberikan pertunjukan Piano, pertunjukan Gitar, Penyanyi solo, Drum, dan lain-lain, tapi tentu bukan kami lagi, tapi tetap kamilah pertunjukan utamanya," sambungnya, namun Nuansa masih diam. "Kau sebaiknya tidak mengacuhkanku begitu, nanti kau menyesal karena kita akan hampir tidak memiliki waktu bersama, atau bahkan untuk bertemu," kata Neptunus, tetapi Nuansa masih diam. Chapter 75 - Mengakhiri Kontrak "Ehm, ngomong-ngomong, kontrak kita baru berjalan satu minggu, masih ada sisa tiga minggu lebih lagi, tapi sepertinya aku akan menyelesaikan hubungan palsu kita ini dalam waktu dekat, mungkin dua atau tiga hari lagi," ucap Neptunus, mendengar hal itu, Nuansa lantas memberikan sedikit respon, walaupun hanya sedikit, namun terlihat jelas bahwa dirinya kelihatan tertarik untuk membahas tentang hal ini, dan Neptunus pun menyadari. "Aku tahu bahwa perjanjian awal kita adalah satu bulan kontrak, tapi setelah satu minggu berjalan, aku merasa ini sudah cukup, tidak ada yang mendesakku untuk move on lagi, dan lagi pula aku akan sangat sibuk dengan kuliahku, jadi peranmu tidak akan aku butuhkan lagi, maksudku, aku jadi rugi, kan? Aku membayarmu setiap hari, tapi aku tidak menggunakan jasamu karena aku begitu sibuk dengan kuliahku. Aku minta maaf untuk mengatakan hal ini, tapi ... inilah yang memang harus aku lakukan, aku bukan bermaksud untuk menyakitimu atau bagaimana, tapi ... begitulah, lagi pula aku membayarmu perhari, kan? Jadi itu akan memudahkan kita untuk mengakhiri ini, soal kontrak antara kita di situs itu, kita bisa membuatnya berakhir juga dengan cepat, asal ada persetujuan dari kita berdua. Aku tahu ini akan sedikit berat bagimu, tapi aku yakin gajimu selama satu minggu ini sudah cukup untuk membuatmu bisa memulai kehidupan yang lebih baik. Kau mengerti, kan?" sambung Neptunus. Nuansa masih diam, namun beberapa saat kemudian, ia akhirnya buka suara. "Baiklah," ujar Nuansa. Neptunus sama sekali tidak merasa lega mendengar hal itu dari Nuansa, justru ia jadi merasa sangat bersalah, karena baginya, Nuansa beserta Arfan dan Durah pasti masih mengharapkan uang darinya, namun mau bagaimana lagi, dia pun tidak mungkin harus sampai merugi demi mereka, dan sejauh ini sendiri Neptunus telah banyak memberikan bantuan kepada Nuansa dan kedua orangtuanya, jadi mungkin tidak masalah jika dia mengakhiri kontrak di antara mereka sekarang, lagi pula memang kontraknya bisa di akhiri lebih cepat dari yang seharusnya, jadi sepertinya inilah akhir dari kisah mereka berdua. "Kau marah?" tanya Neptunus. "Aku minta maaf, aku juga merasa tidak enak untuk mengatakan hal itu padamu, tapi ... tapi ... aku ... aku minta maaf," lanjutnya, dan suasana kemudian menjadi hening. Tersisa 1 menit lagi sebelum lampu merahnya berubah menjadi lampu kuning, kemudian menjadi lampu hijau, dan disaat itulah tiba-tiba Nuansa membuat pergerakan, ia duduk secara tegak, dan akhirnya melirik Neptunus. Nuansa juga tiba-tiba tersenyum kepada pria itu. "Tidak, aku hanya merasa sedih kita akan berpisah. Kau tahu? Tadinya aku berniat untuk tidak berbicara denganmu selama beberapa hari karena aku sangat kesal padamu, tapi begitu kau mengatakan hal itu tadi, aku tidak sanggup untuk tetap diam, jadi aku akan mengatakan apa yang ingin aku katakan sekarang," kata Nuansa. "Baiklah, aku akan mendengarkan," ucap Neptunus. "Ahahaha, ini bukan hal yang panjang, aku hanya ingin mengatakan bahwa ... aku senang kau menyuruhku untuk diam tadi, dan kemudian kau malah banyak berbicara tentang dirimu. Awalnya aku merasa kesal dengan hal itu, tapi sekarang aku merasa sangat bersyukur." "Kenapa?" "Karena itu pasti akan sangat kuingat, maksudku, kita akan mengakhiri masa kontrak kita dalam dua sampai tiga hari ke depan, jadi sebelum masa itu benar-benar tiba, aku ingin mendengar suaramu terus menerus, agar aku tidak terlalu merindukanmu nanti." "Jadi kau berencana untuk merindukanku?" "Hahaha, tidak juga, tapi kau telah membuat kesan yang begitu banyak hanya dalam waktu satu minggu, jadi ... itu semua pasti akan sangat membekas, dan ... ya, gajiku darimu satu minggu ini sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membuat kehidupanku menjadi lebih baik, jadi aku tidak merasa tidak masalah jika kau ingin mengakhiri kontraknya secepat ini, semoga kau bisa menyelesaikan kuliahmu dengan baik, aku akan selalu mendukungmu." Neptunus lantas tersenyum. "Hei, jangan katakan hal itu sekarang, kita belum akan berpisah, nanti saja," kata Neptunus beberapa saat kemudian. "Kalau bisa aku ingin mengatakan hal itu padamu terus, karena aku yakin kalau nanti kita akan sangat jarang bertemu, bahkan mungkin tidak akan pernah lagi." "Jangan begitu, kau memiliki ponsel sekarang, kita masih bisa melakukan panggilan video, iya, kan?" "Kuharap begitu, tapi aku paham bagaimana kuliah itu sangat menyita waktu, jadi fokus saja pada pada kuliahmu, untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Aku juga harus fokus untuk memulai usaha baru, yang tentunya akan menjamin masa depan keluargaku menjadi lebih baik. Jadi, pada dasarnya kita berdua akan sama-sama sangat sibuk setelah kontrak kita berakhir." "Ya, sepertinya kau benar." "Aku senang bisa berkenalan denganmu," ujar Nuansa. "Aku juga," balas Neptunus. Suasana kemudian menjadi hening, namun hanya untuk sesaat. Nuansa lalu menarik napas dalam-dalam sambil tersenyum, senyuman itu dibalas oleh Neptunus, tampaknya mereka sama-sama sedih dengan hal yang baru saja mereka bicarakan. "Lampu merahnya! Lampu merahnya!" seru Nuansa secara tiba-tiba karena sekarang lampu merahnya sudah berganti dengan lampu hijau. "Oh, astaga!" kata Neptunus, ia pun lantas langsung bersiap untuk menjalankan mobilnya, namun tiba-tiba pria itu terdiam saat melihat sesuatu dari arah jam 9. "Neptunus, jalan!" Nuansa menyuruh Neptunus untuk menjalankan mobilnya karena di belakang mereka banyak kendaraan yang pengendara-pengendaranya membunyikan klakson kepada Neptunus. Tetapi Neptunus tidak merespon Nuansa. "Neptunus, ayo jalan!" teriak Nuansa sembari menggoyangkan badan Neptunus. "Uh?! Ya?!" sahut Neptunus akhirnya. "Apa yang kau lakukan?! Orang-orang dibelakang sudah marah-marah! Memangnya kau melihat apa?" tanya Nuansa. "Ti-tidak ada, maafkan aku," jawab Neptunus, ia pun kemudian langsung menjalankan mobilnya, mereka masih dalam perjalanan menuju rumah Neptunus. Chapter 76 - Pertanyaan Bulan Neptunus dan Nuansa akhirnya sampai di rumah Neptunus. Sebisa mungkin Nuansa tidak berubah sikap di hadapan orang-orang di rumah Neptunus. Ya, keputusan Neptunus untuk mengakhiri kontrak mereka secepat ini tadi membuatnya merasa lemas dan sedih, bukan karena dirinya tidak akan mendapatkan gaji besar lagi, namun karena ia kemungkinan besar benar-benar tidak akan pernah bertemu dengan pria itu lagi, dan Nuansa tidak mau hal yang mempengaruhi pikirannya itu membuat ada perubahan sikap di dalam dirinya yang bisa terbaca oleh orang-orang di rumah Neptunus. Tidak, itu tidak boleh terjadi, karena itu akan mengacaukan segalanya. Nuansa dan Neptunus lantas keluar dari dalam mobil Neptunus yang sudah terparkir di garasi, mereka kemudian berjalan menuju pintu depan rumah ini. "Jadi ... ternyata baru satu minggu, ya?" ucap Nuansa. "Hm? Apanya?" tanya Neptunus. "Hubungan kita. Maksudku ... kontrak kita, karena aku merasa seperti satu tahun, rasanya sangat lama, namun tidak terasa, tunggu dulu, apa yang sebenarnya aku katakan? Lupakan saja, intinya, kau tahulah, kita telah pergi ke Korea bersama, aku belajar mengendarai mobil, mengacaukan pesta Emma, berduet di studio musikmu, mengubah penampilanku sebelum datang ke pesta Emma, wow, hal-hal itu rasanya terjadi bukan baru-baru ini, dan sulit rasanya dipercaya kalau semua itu terjadi hanya dalam waktu satu minggu. Maksudku, wow, hal-hal gila itu terjadi hanya dalam satu minggu ternyata." "Hahaha, tampaknya kau benar-benar akan sangat merindukan masa-masa disaat kau menjadi pacar sewaanku." "Sebenarnya aku tidak membicarakannya agar aku tidak merindukanmu nanti, itu murni karena aku ingin mengingat-ingat lagi apa saja yang telah aku lalui hanya dalam waktu satu minggu. Bisa dibilang, ini adalah satu minggu paling gila di kehidupanku." "Hei, hei, hei, sudahlah, tidak usah diingat-ingat, lebih baik fokus saja dengan usaha apa yang akan kau buat nanti setelah kontrak kita selesai?" "Hmm, aku belum memikirkannya, ada saran?" "Aku ragu, tapi kurasa kau bisa mencoba untuk bermitra dengan Ibuku." "Bermitra? Maksudmu ..." "Ya, kau menanam saham di perusahaannya." "Tunggu, itu adalah ide yang bagus, tapi kurasa aku tidak akan bisa melakukannya, maksudku ... aku hanya pedagang kecil, seorang penjual keripik singkong keliling, dan tiba-tiba aku berbisnis ala Pengusaha kaya raya, apa itu tidak akan membuatku sedikit terkejut badan?" "Awalnya aku juga sedikit ragu, tapi sekarang aku seratus persen yakin kau akan bisa." "Kenapa?" "Kau gadis yang berbakat, percayalah." Nuansa lantas tersenyum. "Tapi ... setelah kontrak kita selesai, Ibumu pasti tahunya kalau kita putus, kan? Maksudku, kalau di otaknya aku adalah mantanmu, apa dia mau bermitra denganku?" tanya Nuansa. "Ibuku mau bermitra dengan siapa saja, asalkan orang itu baik, jujur, dan tidak perhitungan, dan semua itu ada padamu," ujar Neptunus. "Aku? Hahaha, kau pasti bercanda, aku minus besar di poin terakhir itu." "Jadi kau menyadarinya, hahaha. Maaf, mungkin memang hanya itu kekuranganmu, tapi aku rasa itu bukan masalah besar darimu, kau bukannya orang yang perhitungan dalam artian yang benar-benar pahit, kau mengerti msksudku?" "Ya." "Begitulah, secara keseluruhan, kau sangat baik, dan Ibuku sangat menyukaimu, dia tidak akan peduli sekalipun kau adalah ''mantanku'', itu bukan urusannya, kan? Begitulah pola pikir dia, apa lagi kalau yang dia tahu jika ''kita pisah secara baik-baik'', dia pasti akan sangat mau bermitra denganmu, percayalah." "Benarkah?" "Iya." "Tapi aku begitu minim pengalaman, aku pasti akan sangat merepotkan jika menjadi mitra, apa itu tidak akan apa-apa?" "Minim pengalaman? Kau sudah menjadi seorang pengusaha sejak usiamu masih tiga belas tahun, sudah satu windu kau menjadi seorang pengusaha, Nuansa. Pengalamanmu sudah lebih dari cukup, kau pasti sudah paham tentang pangsa pasar dan yang lain-lain. Ingat kata-kataku ini baik-baik, tidak peduli sekecil apapun daganganmu, jika kau adalah bosnya, maka kau sangat bisa disebut sebagai seorang pengusaha, kau tidak ada bedanya dengan pengusaha besar seperti orangtuaku, yang membedakan kalian hanya cara bermain kalian, itu saja." Nuansa terdiam takjub mendengar hal itu, kemudian ia memejamkan matanya sembari tersenyum. "Terima kasih," ujar Nuansa, Neptunus lalu ikut-ikutan tersenyum. "Ngomong-ngomong, kau cantik," kata Neptunus. "Huh?" Nuansa langsung membuka matanya begitu mendengar pujian itu. "Eh?! Apa?!" Neptunus tiba-tiba panik. "Kau bilang apa tadi?" tanya Nuansa. "Ti-tidak ada, lupakan saja, ayo kita masuk." Keduanya lantas masuk ke dalam, tepatnya masuk ke ruang tamu, sementara di ruang tamu sendiri, Bulan terlihat sedang bermain ponsel dengan tasnya yang berada di sebelahnya. Haha memberikan secangkit kepada Bulan yang terlihat sangat fokus pada ponselnya, sampai-sampai ia sepertinya tidak sadar dengan kehadiran orang lain di ruangan tersebut. "Bibi, ada kedelai goreng?" tanya Neptunus pada Haha, belum sempat Haha menjawab, Nuansa langsung memotong. "Jangan macam-macam kau, Neptunus!" seru Nuansa. "Oh, ayolah, aku sangat ingin kedelai goreng sekarang," ujar Neptunus. "Tidak ada hari tanpa kedelai goreng di rumah ini, Tuan Neptunus, kau tahu sendiri, kan?" Haha menjawab pertanyaan Neptunus. "Bibi, sudah berapa kali aku bilang? Cukup ''Neptunus'' saja, tidak usah pakai ''Tuan'', begitu juga dengan Vega," kata Neptunus. "Ah, iya, lupa." Neptunus kemudian tersenyum. "Berarti kedelai gorengnya ada di dapur, ya?" tanya Neptunus. "Iya, ada," jawab Haha. "Ayo kita ke dapur," ajak Neptunus, ia dan Haha pun lalu pergi ke dapur, meninggalkan Nuansa dan Bulan di ruang tamu, dengan Bulan yang dari tadi tidak melepaskan pandangannya dari layar ponselnya. Nuansa kemudian duduk dan memerhatikan Bulan. ''Apa bibi Bulan bermain game? Kenapa sampai segitu seriusnya?'' batin Nuansa. ''Game? Yang benar saja, wanita karier seperti dia mana mungkin memiliki waktu untuk bermain game,'' pikir Nuansa, ia terus memerhatikan ibu Neptunus dan Vega tersebut. Dilihatnya jari-jari bulan yang bergereak lincah, dari situ Nuansa memahami bahwa Bulan sedang berkirim pesan dengan seseorang, dan tampaknya itu adalah urusan bisnis, makanya Bulan terlihat sangat serius, hingga akhirnya, sekitar 2 menit kemudian, Bulan selesai bermain ponsel dan terkejut dengan kehadiran Nuansa. "Eh, Nuansa?" ucap Bulan. "Engh, hai, Bibi," sapa Nuansa. "Sejak kapan kau ada di sini?" tanya Bulan yang terlihat sangat terkejut. "Sejak beberapa menit yang lalu, Bibi." "Ya ampun, maafkan aku karena aku tidak menyadari keberadaanmu, aku benar-benar keterlaluan." "Ahahaha, tidak apa-apa, Bibi, aku mewajarkannya. Bibi ada urusan bisnis, ya?" "Iya, bahkan ketika aku ingin beristirahat sebentar di rumah sambil menikmati secangkir kopi, selalu ada saja urusan bisnis yang minta perhatian lebih." "Hahaha." "Yah, begitulah," ujar Bulan sembari menyeruput kopinya. "Tapi bukannya sekarang paman Eugene membantu Bibi? Seharusnya hal itu semakin memperingan pekerjaan Bibi, kan?" tanya Nuansa. "Tepat sekali, saat ini aku telah mendapatkan bantuannya, tapi aku masih sesibuk ini," ucap Bulan. "Hahaha." "Ya, pengaruhnya cukup kecil untuk saat ini, tapi kedepannya keberadaannya akan sangat membantuku, syukurlah." "Bibi dan paman Eugene benar-benar saling melengkapi, ya." "Itulah gunanya pasangan, Nuansa, sama halnya dengan kau dan Neptunus, kalian pasti saling melengkapi, kan?" "Ahahaha, ya." Bulan kemudian tersenyum. "Ngomong-ngomong, apa kalian sudah pernah membicarakan tentang rencana pernikahan kalian?" tanya Bulan. Mendengar pertanyaan itu, sontak saja Nuansa terkejut. "Huh? Pernikahan?" ucap Nuansa. "Iya, pernikahan kalian, kalian berdua pasti akan menikah, kan? Aku yakin Neptunus sudah tidak sabar untuk menikahimu, kau adalah gadis yang baik, kami semua menyukaimu, jadi Neptunus pasti sudah kepikiran untuk melamarmu walaupun kalian sepertinya baru menjalin hubungan." "Engh ..." Chapter 77 - Ingin Bertanya-tanya "Maksudku ... sebaiknya jangan terlalu lama menjalin hubungan tanpa ikatan, kalian sudah sangat cocok, kalian sama-sama baik, jadi untuk apa berlama-lama, kan?" ucap Bulan. "Anu, Bibi ... sebenarnya ... kami ..." Nuansa bingung harus mengatakan apa, ia bahkan hampir keceplosan untuk memberitahu Bulan mengenai hubungannya dengan Neptunus yang sebenarnya. "Hm? Apa?" tanya Bulan. Tanpa sengaja, Nuansa melirik ke pintu ruang tamu, ternyata Neptunus berada di sana sambil bersandar di dinding dengan sebuah toples berisi kedelai goreng yang dipegangnya, tak lupa Neptunus juga mengunyahi kedelai-kedelai tersebut dengan sangat lancar. ''Kapan dia kembali? Apa bibi Bulan menyadarinya?'' batin Nuansa. Nuansa lantas kembali fokus pada Bulan. "Sebenarnya kami belum terlalu saling kenal. Maksudku ... kami rasa kami masih perlu pengenalan yang lebih dalam lagi," ujar Nuansa. "Oooh, begitu rupanya. Kalau kalian merasa seperti itu, yasudah, tidak apa-apa, tunggu saja sampai kalian benar-benar siap, biar kedepannya semuanya akan baik-baik saja. Maaf jika aku terkesan memaksa atau mendesak, karena terkadang aku ingin menggendong bayi lagi, kau tahulah kalau meskipun nanti akhirnya aku akan menikah lagi, tidak mungkin aku akan memiliki anak lagi, jadi satu-satunya harapan adalah Neptunus. Tapi itu hanya keinginan yang terkadang-kadang, maklum saja, usiaku sudah terhitung tua, jadi ... aku kadang rindu pada masa saat anak-anakku masih bayi, mereka menjadi hiburan nomor satuku saat itu, hahaha." Nuansa lalu tersenyum. "Orangtuaku juga sering berkata kalau mereka sangat ingin ada kehadiran bayi atau anak kecil di keluarga kami, mereka rindu untuk menimang-nimang bayi seperti saat aku masih bayi dulu, tapi ... ya, begitulah, Bibi," kata Nuansa. "Begitulah orangtua, biar kau tahu saja. Tapi ... kalian anak muda pasti baru akan memahaminya setelah seusia kami, dan disaat itu tiba, kalian pasti tidak akan jarang membicarakan tentang pernikahan dengan anak kalian," ucap Bulan. "Salah satu kenikmatan masa tua ya, Bibi." "Ahahaha, ya, begitulah," kata Bulan sembari menghabiskan kopinya. "Aku tidak memiliki banyak waktu untuk beristirahat, sekarang aku harus kembali bekerja, aku pamit ya," kata Bulan. "Ah, iya, Bibi, hati-hati di jalan ya," ucap Nuansa seraya berdiri, sama seperti Bulan. Mereka berdua kemudian berpelukan, dan Bulan pun berniat untuk pergi dari sana. "Neptunus?!" ujar Bulan yang terlihat sangat terkejut begitu menyadari keberadaan Neptunus. "Se-sejak kapan kau berada di situ?!" sambungnya. Neptunus melirik Nuansa, lalu menjawab Ibunya. "Baru saja." Bulan lantas terlihat lega begitu mendengar jawaban putranya tersebut. "Oh, yasudah, Ibu pergi dulu ya," kata Bulan. "Hati-hati di jalan, Ibu," ucap Neptunus, Bulan lantas hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman, lalu pergi, meninggalkan Nuansa dan dan Neptunus di ruang tamu. "Jadi ... membahas tentang cucu, ya?" ujar Neptunus pada Nuansa setelah Ibunya pergi. "Memangnya kau tertarik?" tanya Nuansa. "Menurutmu?" Neptunus bertanya balik. "Tidak." "Hahaha, tidak, aku sangat tertarik. Jujur, aku sangat ingin punya anak, anak kecil itu sangat lucu." "Kau ingin memiliki anak lalu hanya merawatnya ketika dia masih kecil saja karena kelucuannya hanya ada pada saat dia masih kecil saja? Astaga, kau sama sekali tidak cocok untuk menjadi orangtua." "Tidak begitu juga. Ah, kau ini." "Hahaha." "Bagaimana denganmu? Berencana untuk memiliki anak suatu saat nanti?" tanya Neptunus pada Nuansa. "Aku adalah seorang perempuan, tentu saja aku sangat ingin untuk merasakan rasanya melahirkan dan menjadi seorang Ibu," kata Nuansa. Neptunus kemudian tersenyum. "Kau akan menjadi seorang Ibu yang sangat hebat, dan kau akan mendapatkan pria terbaik di dunia ini," ujar Neptunus. "Amin." Mereka berdua lantas sama-sama tersenyum. "Ngomong-ngomong, kau benar-benar memiliki niat untuk memiliki anak?" tanya Nuansa. "Tentu saja," jawab Neptunus. "Lalu bagaimana dengan sumpahmu?" Neptunus terdiam sesaat. "Huh?" Nuansa lantas sadar bahwa ia telah salah bicara. "Engh, tidak, tidak, lupakan saja," kata Nuansa. Suasana kemudian mendadak jadi hening. "Gladys benar-benar menceritakan segala hal padamu, ya?" ujar Neptunus yang memecah keheningan. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud apa-apa," ucap Nuansa. "Tidak apa-apa, aku senang kau mengetahui cukup banyak hal tentang aku." "Nep, aku-" "Sudahlah, lupakan saja, tidak usah dibahas lagi. Aku ke dapur dulu, ya? Mau menaruh kedelai ini." "Baiklah." Neptunus pun lantas pergi dapur. "Mulut! Mulut!" gumam Nuansa yang memarahi dirinya sendiri usai Neptunus pergi. *** Sore akhirnya tiba, Gladys sedang bersiap untuk pulang karena memang jam kerjanya hanya sampai sore, dan restoran tempat dia bekerja pun tutupnya sore. Gadis itu selalu jadi yang terakhir pulang, dan biasanya Finn yang mengantarnya pulang, namun Finn sudah mengatakan kepadanya bahwa ia tidak bisa mengantarnya pulang hari ini, Finn meminta maaf atas hal tersebut, namun Gladys tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali, ia akan pulang menggunakan ojek online Kini Gladys pun sedang menunggu ojek yang dipesannya datang. Gadis itu berdiri di depan restoran favorit Neptunus tersebut, dan tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti di depannya. "Aku memesan ojek, kan? Bukan taksi?" gumam Gladys sembari memeriksa ulang orderannya, dan ternyata ia memang memesan sebuah ojek, bukan taksi. ''Jadi mobil siapa ini?'' batin Gladys. Sesaat kemudian, seorang gadis keluar dari dalam mobil tersebut, dan ternyata itu adalah Emma. "Emma?" lirih Gladys seraya mengernyitkan dahinya. "Hai," Emma menyapanya begitu keluar dari dalam mobilnya. "Ada apa?" tanya Gladys. "Aku minta waktu sebentar," kata Emma. "Apa?" "Aku ingin bertanya-tanya kepadamu." "Tentang apa?" "Tentang Nuansa." Gladys terkejut mendengar hal itu, ia bahkan menarik napas sedikit, menandakan ia memang terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Emma barusan. Chapter 78 - Emma dan Gladys "Siapa gadis itu sebenarnya?" tanya Emma pada Gladys. "Maksudmu?" Gladys bertanya balik. "Dengar, aku tahu kau tidak memiliki banyak waktu, begitu juga dengan aku, jadi sebaiknya kau tidak mengulur-ulur waktu." "Aku bertanya padamu, apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mengulur waktu, Emma." "Aku tidak bodoh." "Tentu saja." "Sekarang jawab aku sungguh-sungguh, siapa sebenarnya Nuansa itu? Di mana Neptunus mengenalnya?" tanya Emma. "Mana aku tahu, yang berkenalan kan mereka, bukan aku," ucap Gladys. "Kau pikir aku tidak tahu bagaimana dekatnya kau dengan Neptunus?" "Lalu kenapa kau tidak pernah merasa cemburu dengan kedekatan kami?" Emma terdiam. "Kau selalu cemburu dan tidak suka dengan gadis yang sangat dekat dengan Neptunus, kan? Kau bukan hanya tidak suka saat melihat Neptunus memacari gadis yang bukan dirimu, tapi kau tidak suka melihatnya dekat dengan gadis manapun. Aku selalu dekatnya, jadi kenapa kau tidak pernah membenciku?" sambung Gladys. "Itu bukan urusanmu," ujar Emma. "Kau orang yang tidak memiliki alasan yang rasional atas perbuatanmu yang telah menjauhi Tiana, Stephanie, dan Zhenya, kau benar-benar aneh." "Jawab saja-" "Jadi sebaiknya kau tidak perlu mencari tahu tentang Nuansa meskipun hanya tentang inisial nama lengkapnya, karena kau tidak memiliki alasan yang rasional untuk melakukan hal itu," Gladys menyela Emma. "Tutup mulutmu, miskin!" "Begitulah dirimu, kau berusaha membuat orang-orang takut padamu dengan menggunakan kekayaanmu. Dengar, uang orangtuamu memang lebih banyak dariku, tapi ingat, itu adalah uang orangtuamu, bukan uangmu, jadi aku sama sekali tidak takut padamu, bahkan jika kau memiliki banyak uang, aku tidak akan pernah takut padamu. Status sosial tidak pernah mempengaruhi rasa takutku, Emma, camkan itu," pungkas Gladys, ia kemudian pergi meninggalkan Emma, sebab ojeknya memang sudah datang, namun sebelum Gladys benar-benar menghampiri ojek yang dia pesan tadi, Emma mengucapkan sesuatu padanya. "Aku akan memberi tawaran yang menggiurkan untukmu, aku tahu kau pasti tertarik," ucap Emma. Gladys lantas menghentikan langkahnya. "Ayahmu sedang sakit keras, kan? Dan adikmu masih sekolah, iya, kan? Kau membutuhkan uang yang besar untuk menghidupi mereka, dan kau sendiri tentunya, jadi aku akan memberikanmu uang, tidak hanya uang, tapi sejumlah besar uang, yang tidak pernah kau bayangkan akan kau miliki pastinya," lanjut Emma. Gladys lalu berbalik badan, kembali menghadap ke Emma, namun ia tetap diam, ia memilih untuk mendengarkan saja, sementara Emma berjalan mendekatinya. "Aku punya uang seratus juta yang akan kuberikan padamu dengan senang hati dan sangat ikhlas jika kau mau memberitahuku di mana alamat rumah Nuansa, dan menceritakan hal-hal tentang dirinya. Intinya, beritahu aku semua hal yang kau ketahui tentang gadis itu, dan akan kuberi kau seratus juta. Bagaimana?" tawar Emma. "Kecuali jika kau ingin Adikmu dileluarkan dari sekolah dan membiarkan Ayahmu mati, ya tidak masalah," sambungnya, dan Gladys masih tetap diam. Emma kemudian tidak tahan lagi menunggu jawaban Gladys, sebab ini sudah tiga menit sejak mereka hanya saling tatap-tatapan. "Oh, ayolah, terima saja! Aku tahu keluargamu benar-benar jatuh sejak Ibumu meninggal! Ayahmu sakit sejak saat itu dan kehidupan kalian langsung menjadi sangat susah sehingga kau harus menggantikan Ayahmu sebagai tulang punggung keluargamu, kan?! Walaupun kalian sebenarnya bukannya orang kaya sepertiku sebelumnya, tapi aku tahu bahwa kau memiliki selera tawar yang bagus, jadi kau pasti akan menerima tawaranku, iya, kan?" kata Emma. Gladys masih diam. "Baiklah, akan kutambah jumlahnya menjadi lima ratus juta! Bayangkan saja, kau mendapatkan lima ratus juta dengan tidak melakukan apa-apa, sangat menyenangkan, bukan?" lanjut Emma. "Kau benar, aku tidak pernah sekaya dirimu bahkan sebelum keluargaku jatuh sejak kematian Ibuku, tapi asal kau tahu saja, aku senang bekerja dan mendapatkan uang dengan cara yang baik dan jujur. Juga, orangtuaku selalu mengajariku untuk menghargai orang, terutama mereka, orang-orangtua, dan teman-temanku, jadi aku lebih tahu caranya menghargai teman dari pada kau. Uang yang kau tawarkan menang banyak, tapi harga diriku sebagai seorang anak dan teman tidak bisa dibeli dengan harga berapapun, camkan itu!" seru Gladys, ia lantas pergi menghampiri ojek yang dipesannya tadi dan segera duduk di belakang sang tukang ojek. "Maaf telah membuat Anda menunggu lama," kata Gladys pada si tukang ojek. "Oh, iya, tidak apa-apa," ucap si tukang ojek, Gladys pun kemudian memakai helmnya. "Kau menjaga harga dirimu sebagai seorang anak dan sebagai seorang teman, tapi kau sama sekali tidak menjaga harga dirimu sebagai seorang wanita. Kau menyedihkan," ujar Emma pada Gladys. Mendengar hal itu, tentu saja hati Gladys langsung terasa panas, gadis tersebut lantas meminta waktu kepada tukang ojek itu untuk mengurus Emma sebentar saja, dan ia mendapat persetujuan dari tukang ojek tersebut. Gladys pun kemudian turun dan menghampiri Emma sembari melepaskan helmnya. "Apa maksudmu?" tanya Gladys pada Emma. "Kau pikir orang-orang tidak tahu tentang dirimu?" Emma bertanya balik. "Apa?" "Kau menjual harga dirimu itu kepada Finn untuk mendapatkan uang darinya, kan? Kalian mengaku-ngaku sebagai pasangan di hadapan orang-orang dan berpura-pura sudah bertunangan, semata hanya agar untuk menutupi bahwa kau adalah-" Plak! Belum sempat Emma menyelesaikan ucapannya, Gladys langsung menamparnya dengan amat keras, sampai membuat si tukang ojek terkejut. Gladys kemudian terlihat ingin mengatakan sesuatu kepada Emma dengan seluruh tubuh yang sedang bergetar saat ini, namun tampaknya ia mengurungkan niatnya itu, tetapi ia tetap mengatakan hal singkat kepada Emma untuk menyelesaikan pembicaraan mereka yang dirasa sudah terlampau jauh. "Aku tidak akan mengotori diriku dengan berurusan denganmu lagi," ujar Gladys, ia kemudian kembali kepada ojeknya. "Hei! Penakut kau! Sini kau!" teriak Emma. "Orang miskin saja belagu kau!" sambung Emma. "Ayo kita jalan," suruh Gladys pada tukang ojeknya. "Aku akan mengacaukan kehidupanmu, gadis sialan!" seru Emma saat Gladys bersama ojek yang dipesannya mulai menjuahinya. "Kurang ajar!" gumam Emma begitu ia sendirian sekarang. Chapter 79 - Uang Gladys akhirnya sampai di rumahnya, saat ia baru akan masuk, seorang tetangganya bertanya kepadanya, tetangganya itu adalah seorang ibu muda, jadi wajar saja jika dia sedikit kepo. "Gladys, di mana Finn?" "Oh, dia ada urusan mendadak, jadi dia tidak mengantarku pulang hari ini," jawab Gladys. "Ooh. Yasudah, aku pergi dulu, ya, aku hanya ingin bertanya tentang Finn." "Baiklah." Begitu tetangganya tersebut pergi, Gladys pun masuk ke dalam rumahnya yang lebih baik dari pada rumah Nuansa. Ia melihat adiknya yang sedang belajar dengan posisi tengkurap di lantai, sementara Ayahnya tengah menikmati air hangat sembari menonton TV. Gladys tersenyum melihat adiknya yang belajar dengan sangat tekun, ia pun lantas mengusap kepala saudara kandung satu-satunya itu. "Eh, kapan kau pulang?!" tanya sang adik yang tampak terkejut dengan kehadiran Gladys yang dia rasa sangat tiba-tiba, karena ia baru menyadarinya saat kakaknya itu mengusap-usap kepalanya. "Baru saja," jawab Gladys. "Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?!" "Itu artinya kau belajar dengan sangat bersungguh-sungguh, dan itu membuatku senang. Teruskan belajarmu, Trisha." Trisha, adik Gladys kemudian tersenyum dan melanjutkan kegiatan belajarnya. Gladys pun lantas masuk dan menghampiri Ayahnya yang lemah. "Bagaimana kondisi Ayah?" tanya Gladys pada Ayahnya itu. "Sudah lebih baik dari pada tadi pagi," jawab sang Ayah. Gladys kemudian tersenyum. "Syukurlah," ucap gadis itu, matanya tampak berkaca-kaca. "Ada apa, Nak? Kenapa kau terlihat sedih?" tanya Ayah Gladys. "Tidak apa-apa, aku hanya merasa bersyukur saja," ujar Gladys. "Bersyukur kenapa?" "Tidak ada, lupakan saja," kata Gladys. ''Aku mungkin butuh uang yang banyak, tapi aku tidak mau menjual harga diriku dengan benda itu. Aku bersyukur karena aku tidak menjadi seseorang yang murahan, walaupun mungkin keputusanku itu akan mengganggu pikiranku mengingat kondisi Ayah yang tidak stabil, tapi aku tidak akan menyesalinya sama sekali, itu hanya tawaran dari orang gila, aku hanya akan menjadi orang yang tidak waras jika menerima tawaran seperti itu,'' batin Gladys, ia kemudian tersenyum pada Ayahnya. *** Nuansa dan Neptunus akhirnya sampai di depan gang tempat rumah Nuansa berada. Ya, Neptunus mengantar gadis itu pulang. Nuansa saat ini bersiap untuk turun dari dalam mobil Neptunus, namun sebelum melepaskan sabuk pengamannya, ia mengatakan sesuatu. "Jadi ... bagaimana kita akan menjelaskan kepada Ibumu mengenai ''hubungan'' kita yang ''berakhir''?" tanya Nuansa pada Neptunus. "Itu urusan kecil, tidak usah dipikirkan," ujar Neptunus. "Kita harus membuatnya percaya, Neptunus." "Aku tahu, kalau tidak pasti semuanya akan terbongkar." "Ya, kau memahaminya dengan baik." "Tentu saja." "Tapi kau bersikap seolah kau tidak memahaminya dengan baik." "Itulah kenapa ada pepatah yang mengatakan bahwa jangan menilai sesuatu dari luarnya." Nuansa kemudian terkekeh. "Yasudah, aku masuk dulu, ya. Terima kasih karena sudah mengantarku pulang," kata Nuansa. "Sama-sama," balas Neptunus. Nuansa pun lalu membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil itu. Usai Nuansa keluar dari dalam mobilnya, Neptunus pun pergi, mereka saling melambaikan tangan saat Neptunus pergi, dan Nuansa akhirnya berjalan ke rumahnya setelah mobil Neptunus benar-benar tidak terlihat lagi. Saat ia sampai di rumahnya, ia melihat Ibu dan Ayahnya yang sedang mengobrol dengan tetangga-tetangga mereka, Nuansa menyapa mereka semua dan ikut menimbrung, namun tidak lama kemudian ia masuk ke dalam rumahnya, tepatnya ke dalam kamarnya, ia lalu berbaring di atas kasurnya. Setelah berbaring selama beberapa menit, gadis itu kemudian memeriksa laci yang ada di dekat kasurnya, itu adalah laci tempat ia menyimpan gajinya dari Neptunus selama ini. Nuansa kemudian menghitung jumlah uang-uang tersebut. Mengejutkan, uang-uang itu masih utuh jumlahnya, dalam artian, selama ini uang itu sama sekali tidak terpakai. ''Ibu dan Ayah sama sekali tidak memakai uang-uang ini selama aku berada di Korea? Kenapa?'' batin Nuansa. Nuansa memang tidak ingin menggunakan uang-uang itu sebelum urusan dia dengan Neptunus benar-benar selesai, dan dia memang tidak mau langsung berfoya-foya dengan uang sebanyak itu, ia memilih untuk menyimpannya dulu, namun saat dirinya akan berangkat ke Korea, dia mengatakan kepada orangtuanya kalau sebaiknya mereka menggunakan uang-uang itu selama dia berada di Korea, Nuansa menyuruh kedua orangtuanya untuk memakai uang-uang itu untuk makan dan lain-lain, dia mengatakan bahwa tidak masalah uang itu terpakai walaupun urusannya dengan Neptunus belum selesai, karena waktu itu memang keadaannya memang mengharuskan Arfan dan Durah untuk ''mencubit'', uang-uang tersebut untuk bertahan hidup. Namun begitu Nuansa menghitungnya untuk yang pertama kalinya, jumlahnya benar-benar sesuai dengan gajinya selama ini. Nuansa memang tidak pernah menghitung uang-uang itu selama ini, ia baru menghitungnya sekarang karena kontraknya dengan Neptunus akan segera berakhir, jadi ia ingin memastikan bahwa semuanya sudah pas, tetapi tentu saja ia terkejut dengan jumlahnya yang benar-benar utuh. Gadis itu pun kemudian keluar dari kamarnya dan mendapati kedua orangtuanya yang baru saja masuk ke dalam rumah mereka. "Ayah, Ibu, boleh aku bertanya?" ujar Nuansa. "Silakan saja," sahut Durah. "Kenapa gajiku dari Neptunus masih sangat utuh? Kenapa Ayah dan Ibu tidak memakainya ketika aku sedang berada di Korea? Uang kita tidak cukup lagi, kan?" "Ah, soal itu. Ingat saat Neptunus pertama kali datang ke sini? Dia memberikan kami uang lima ratus ribu, dan kami baru memakainya saat kau pergi ke Korea, saat itu kebetulan memang penjualan sisa singkong di kebun kita sedang menurun, jadi terpaksa kami menggunakan uang yang diberikan Neptunus saat itu," papar Durah. "Ya ampun, Ibu, uang itu dia berikan kan untuk makan siang Ibu dan Ayah." "Ya, tapi ... harga makan siang kami tidak sampai lima puluh ribu, jadi sisanya masih bisa disimpan." "Padahal kalau Ibu dan Ayah memakai uang di laci itu juga tidak masalah." "Iya, Ibu tahu, tapi uang yang lain masih ada, ditambah lagi setelah kau kembali dari Korea, entah kenapa penjualan singkong kita meningkat lagi, jadi gajimu dari Neptunus itu benar-benar tidak akan terpakai sampai urusanmu dengan dia selesai, sesuai keinginanmu. Tapi memang bagus juga prinsipmu itu, berguna agar kita tidak malah berfoya-foya." "Iya, tapi tidak apa-apa jika Ibu dan Ayah menggunakannya kemarin." "Sudahlah, yang kemarin tidak usah dibahad lagi, uang dari Neptunus dan penjualan singkong masih mencukupi." Nuansa lantas terdiam. "Soal Neptunus, ada beberapa hal yang ingin aku ceritakan pada Ayah dan Ibu," kata Nuansa beberapa saat kemudian. Mendengar hal itu, Durah dan Arfan lantas saling melirik. "Kami akan mengakhiri kontrak tiga minggu lebih cepat, antara lusa atau tiga hari lagi," ucap Nuansa, ia kemudian menjelaskan tentang semua hal mengenai kontraknya dengan Neptunus yang akan mereka akhiri jauh lebih cepat dari yang seharusnya. Chapter 80 - Tentang Reynand ... "Kalau begitu, sebaiknya kita mulai memikirkan usaha yang akan kita jalani setelah kontrak Nuansa dengan Neptunus selesai. Kita tidak akan kembali berjualan keripik singkong dengan modal sebanyak itu, kan?" kata Arfan. "Ya, benar, setelah kontraknya berakhir, kita sudah harus memulai usaha baru kita. Maksimal adalah tiga hari lagi, itu waktu yang sedikit, tapi usahakan tetap cukup," ucap Durah. "Kau setuju, kan, Nuansa?" tanya Arfan pada Nuansa, ia sengaja bertanya seperti itu kepada putrinya sebab Nuansa terdiam sejak ia selesai bercerita tadi. "Engh, ya ... sangat setuju," ujar Nuansa dengan jawaban yang terdengar sangat tidak meyakinkan. Menyadari ada yang aneh dengan putri mereka, Arfan dan Durah pun lantas merasa bingung. "Nak, ada apa?" tanya Durah pada Nuansa yang menundukkan kepalanya. "Ada satu hal lagi yang ingin kubicarakan pada Ayah dan Ibu," kata Nuansa. "Katakan saja," ucap Durah. "Setelah kontraknya berakhir, tentu saja aku akan menjalani kehidupan normal lagi yang seperti biasa, berdagang lagi, namun beda dagangan, intinya, semuanya terasa kembali seperti semula, tapi akan jauh lebih baik. Termasuk tentang Reynand, setelah kontraknya berakhir, Ibu dan Ayah pasti akan semakin sering membahasnya, kan?" ujar Nuansa. "Ah, iya, Ayah sampai lupa tentang Reynand," kata Arfan. "Setelah ini Ayah pasti tidak akan berhenti membicarakannya denganku, aku yakin itu." "Jadi ... apa yang membuatmu merasa berat?" tanya Durah. Nuansa kemudian menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, aku akan jujur pada Ayah dan Ibu, meskipun ini berat, tapi aku tetap akan mengatakannya," ucap Nuansa. "Aku ... selama ini aku tidak pernah menyukai Reynand, aku sering menceritakan tentangnya dulu karena aku ingin tahu bagaimana tanggapan Ibu dan Ayah tentangnya, ternyata bagus, itu artinya dia memang pria baik-baik, karena menurut Ayah dan Ibu juga begitu. Aku berusaha untuk berteman baik dengannya sejak aku mendapatkan respon yang positif mengenai dirinya dari Ibu dan Ayah, tapi dia justru menafsirkan hal itu dengan salah. Dia menganggap semua itu adalah bagian dari sebuah perasaan, yang ... yang mungkin bisa disebut sebagai cinta atau apalah itu. Dia menyukaiku karena kedekatan kami, tapi aku tidak. Suatu saat dia pernah menyatakan perasaan sukanya padaku langsung kepadaku, dan saat itu aku langsung menceritakannya ke Ayah dan Ibu, kan? Aku menolaknya, lalu Ayah dan Ibu menyuruhku untuk belajar menerimanya, menurut Ayah dan Ibu dia adalah pria yang baik, kita sama-sama menganggap apa yang Ayah dan Ibu katakan itu bukanlah sebuah paksaan, semuanya masih tergantung padaku, jika aku tidak mau bersama Reynand, seharusnya tidak apa-apa, tapi ... aku tidak tahu kenapa aku tidak pernah bisa menyukainya, dia pria yang baik, Ibu dan Ayah menyukainya, tapi aku tidak bisa membalas perasaannya kepadaku. Dan setelah penyataan dia padaku langsung itu, aku terus berusaha untuk menumbuhkan rasa suka kepadanya, apa lagi Ayah dan Ibu benar-benar mendukungku untuk bersamanya, tapi ... aku tetap tidak bisa, ketika aku berusaha untuk membangun rasa itu diantara hubungan kami yang sebatas berteman, aku merasa seperti masakan tanpa garam, hambar. Lalu aku menyadari bahwa aku sebenarnya tidak akan pernah bisa membalas perasaannya kepadaku, dan selama ini aku telah menyuruhnya untuk menunggu, karena aku sangat jujur kepadanya mengenai aku yang belum bisa membalas perasaannya, dan itu adalah hal yang sangat salah, karena ketika aku akhirnya memutuskan untuk ingin mengatakannya kepada dia juga Ayah dan Ibu, aku tidak bisa, aku merasa hal itu akan mengacaukan segalanya, jadi aku memendam hal itu, dan membiarkan Reynand terus menunggu saat di mana aku akan membalas perasaannya, tapi seperti yang aku bilang, aku tidak bisa membalas perasaannya. Sedih rasanya saat melihat Ibu dan Ayah berharap aku akan hidup bersama dengannya nanti, aku sangat ingin mengatakan semua ini pada Ayah dan Ibu sejak lama, tapi aku baru bisa melakukannya sekarang, karena untuk mengatakan kepada Ayah dan Ibu, menurutku aku sebaiknya mengatakannya dulu kepada Reynand," jelas Nuansa panjang lebar. "Dan kau sudah mengatakannya padanya?" tanya Arfan. "Sudah," jawab Nuansa. "Apa tanggapan dia?" Giliran Durah yang bertanya. "Mengejutkan," jawab Nuansa. "Huh?" "Setelah aku terbuka kepadanya mengenai perasaanku padanya yang sebenarnya, dia ... dia agak berubah, dia bukan Reynand yang kukenal dulu lagi." "Dia memaksamu untuk membalas perasaannya? Apa dia melakukan kekeran padamu?" tanya Arfan. "Tidak, dia tidak melakukan kekerasan apapun padaku, tapi, ya, dia agak terkesan memaksaku untuk membalas perasaannya, dan itu membuatku semakin tidak menyukainya, dia ... dia berbeda setelah aku mengatakan semua itu padanya." Suasana kemudian menjadi hening. "Ketika aku pertama kali mengatakan semua ini kepadanya, perasaanku menjadi tidak karuan, sebab dia malah menyudutkanku, dia menyebutku sebagai wanita gila harta, atau marte, dan menjurus ke seperti murahan. Saat itu aku sempat keceplosan di hadapan Ayah dan Ibu, aku mengatakan kalau aku tidak mencintainya kepada Ayah dan Ibu, tapi mungkin baik Ayah maupun Ibu sudah lupa, karena bicaraku agak kurang jelas saat itu," lanjut Nuansa. "Dia menuduhmu dengan hal yang tidak-tidak seperti itu?!" tanya Arfan. "Ya, dan yang lebih parahnya, dia menyuruh kak Taufan untuk mengorek informasi dariku. Aku ... aku benar-benar tidak menyukainya sekarang. Msksudku, aku menang tidak pernah menyukainya dalam hal ketertarikan, tapi sekarang aku tidak menyukainya secara keseluruhan," ujar Nuansa. "Aku mengatakan semua ini pada Ayah dan Ibu sekarang untuk membuat semuanya menjadi jelas, dari pada Ayah dan Ibu nanti malah mendukungku untuk melakukan pendekatan dengannya usai kontrakku dengan Neptunus berakhir. Aku hanya ingin Ayah dan Ibu tahu, bahwa ... bahwa aku tidak menyukainya, aku tidak pernah dan tidak akan pernah menyukainya, bahkan sekarang aku tambah tidak menyukainya," sambung Nuansa. "Kami mengerti, Nak, kami mengerti," kata Durah seraya memeluk Nuansa. "Ibu bersyukur kau akhirnya mengatakan semua ini, kau membuka penglihatan kami mengenai Reynand," lanjutnya. "Langsung katakan pada kami jika dia mengganggumu lagi, ya?" ucap Arfan. "Baik, Ayah," kata Nuansa. Durah lantas mencium kening Nuansa. "Tidak apa-apa, pria seperti itu memang tidak cocok untukmu, kami akan melindungimu dari dia," ujar Durah pada Nuansa. "Tidak, aku yang akan mengurus dia jika dia berusaha untuk mengacau lagi," kata Nuansa. "Tapi-" "Dengar, Ibu. Ini adalah permasalahanku dengannya, dan Ayah juga Ibu berhak untuk mencampurinya, tapi untuk menyelesaikannya, tetap aku satu-satunya yang bisa, dan harus menyelesaikannnya," papar Nuansa, Durah hanya bisa diam. "Baiklah, tapi berjanjilah untuk terus memberitahu kami jika kau mendapat gangguan darinya," ucap Arfan. Nuansa kemudian mengangguk. "Terus ingat apa yang dikatakan Ayahmu itu," kata Durah. "Baik," ujar Nuansa. Chapter 81 - Audio Hari akhirnya berganti, saat ini Nuansa dan Neptunus sedang berada di dalam mobil Neptunus, mereka sedang menuju ke suatu tempat. "Jadi ... kita sepakat bahwa besok adalah hari terakhir kita menjalin hubungan palsu ini?" ucap Nuansa. "Ya, kita akan membuat keluargaku tahu lusa," ujar Neptunus. "Baiklah." Keduanya telah membuat kesepakatan tentang kapan pastinya mereka akan mengakhiri hubungan kontrak mereka ini. Besok adalah hari terakhir Nuansa menjadi pacar sewaan Neptunus, dan besok pula hari terakhir ia mendapatkan gaji 5 jutanya itu. Mulai lusa, mereka akan membuat ''pengumuman'' tentang ''hubungan'' mereka yang ''berakhir''. "Ke mana kita akan pergi?" tanya Nuansa. "Ke kampusku," jawab Neptunus. "Oh, ayolah, aku tidak ingin pergi ke sana lagi, setiap berada di sana aku selalu tidak tahu harus melakukan apa, tidak mungkin aku terus-terusan mampir ke restoran tempat Gladys bekerja, kan?" "Ya memangnya kenapa?" "Aku bosan." "Kau belum sesering itu datang ke restoran tempat Gladys bekerja untuk merasa bosan terus-terusan berada di sana." "Apa maksudmu?" "Kau saja tidak tahu nama restoran itu, kan? Jadi bagaimana bisa kau menyebut dirimu itu sudah bosan ke sana disaat kau saja tidak tahu nama restorannya?" "Eh ..." Nuansa hanya bisa terdiam. "Sudahlah, jangan banyak protes." "Maksudku ... kau benar-benar telah rugi besar dengan membayarku untuk melakukan hal-hal yang tidak penting. Mengikutimu ke kampusmu dan segala macam." "Kalau kau tidak mau gajimu tidak masalah." "Eh, eh, eh. Mau lah!" "Yasudah, makanya jangan banyak protes." "Ish, kau ini, di mana selera humormu? Aku tadi hanya bercanda." "Aku tahu kau tidak bercanda." "Tentu saja." "Eh, m-maksudku, tentu saja aku bercanda," sambung Nuansa. Neptunus kemudian hanya menggelengkan kepalanya. Beberapa saat setelahnya, suasana menjadi hening di dalam mobil tersebut, hingga akhirnya Nuansa buka suara dan memulai pembicaraan lagi. "Kau tahu? Mungkin setelah hubungan palsu kita ini berakhir, aku harus serius belajar cara menggunakan ponsel pintar," ucap Nuansa sembari memandangi ponselnya yang merupakan pemberian Neptunus. "Ya, kau memang harus melakukannya,'' ujar Neptunus. "Menurutmu otodidak saja cukup?" "Istilah otodidak aku rasa terlalu mewah untuk digunakan sebagai cara untuk mahir bermain ponsel, karena anak zaman sekarang yang masih buta huruf dan angka saja bisa memainkan gadeget dengan lancar, jadi itu sebenarnya bisa dikuasai dengan mudah, bahkan tanpa harus melewati belajar atau semacamnya lah." "Menurutmu aku bisa dengan cepat menguasainya?" "Kau gadis yang pintar, walaupun kau sangat asing dengan barang itu sebelumnya, aku yakin kau akan bisa menguasainya hanya dalam satu hari." "Kalau tidak itu artinya aku kalah dari anak ingusan, hahaha." "Tidak juga, anak-anak ingusan zaman sekarang juga butuh waktu untuk bisa menguasai gadget, mereka buta huruf, gagap teknologi, dan sebagainya, tapi mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga mereka bisa dengan cepat mahir menggunakan gadget, meskipun sebelumnya mereka pasti pernah melakukan kesalahan dengan gadget. Tapi kau bukan mereka, pertama kau tidak ingusan, kedua kau bukan anak-anak, ketiga kau mengenal huruf, angka, dan warna, tidak seperti mereka, jadi kau pasti akan bisa mahir menggunakan ponsel itu dengan cepat, karena kau memiliki rasa ingin tahu yang sama besarnya dengan anak-anak ingusan itu, kecuali jika usiamu sudah mulai menua, karena biasanya orang-orangtua yang sudah tahu banyak hal karena telah memiliki pengalaman hidup yang banyak sudah berkurang rasa keingin tahuannya, jadi orang-orangtua yang belum mahir menggunakan gadget pasti agak susah untuk mahir menggunakan benda-benda itu." Nuansa lantas menyalakan ponselnya. "Jadi aku benar-benar tidak perlu memerlukan pembelajaran yang agak ribet?" tanya Nuansa. "Itu hanya ponsel, bukan soal Matematika," kata Neptunus. "Tapi bagaimana jika aku malah merusak ponsel ini?" "Balik lagi seperti yang aku bilang tadi, anak-anak ingusan itu membutuhkan waktu juga untuk bisa mahir menggunakan gadget, mereka pasti pernah melakukan kesalahan, walaupun aku yakin kalau kau tidak akan terlalu membutuhkan waktu untuk bisa mahir menggunakan ponsel itu, tapi aku yakin kau tetap akan melakukan kesalahan. Jangan takut, salah itu adalah hal yang biasa, asal kau mau terus berusaha untuk menjadi benar, kau pasti akan bisa memperbaiki kesalahanmu. Lagi pula kau punya uang puluhan juta sekarang, membuat satu ponsel bekas rusak bukanlah sebuah masalah bagimu." "Hei, tidak begitu juga." "Hahaha, tapi benar, kan?" "Tidak juga." "Kau ratunya memberikan jawaban yang tidak pasti." "Karena aku tidak berpikiran seperti kau itu, aku tidak merasa santai-santai saja karena memiliki uang puluhan juta sekarang, aku harus tetap bisa menjaga barang, memiliki uang puluhan juta bukan berarti aku bisa merusak barang-barang dengan senang hati." "Hahaha, baiklah, baiklah." Kebetulan, setelah pembicaraan mereka mengenai ponsel itu selesai, mereka akhirnya sampai di kampus Neptunus. Saat Nuansa dan Neptunus sama-sama keluar dari dalam mobil yang telah Neptunus parkirkan di area parkir itu, mereka agak sedikit bingung karena semua Mahasiswa dan Mahasiswi yang ada di sini saat ini tampak sedang membicarakan sesuatu satu sama lain sembari memegang ponsel masing-masing, ini menunjukkan bahwa kemungkinan mereka semua sedang membicarakan satu hal yang sama, karena semuanya berlagak sama: berkumpul membentuk kelompok, mulai dari yang isinya dua hingga lima orang, lalu masing-masing mengeluarkan ponsel, dan membicarakan hal yang sepertinya sama berdasarkan hal-hal yang mereka ucapkan, yang kesemuanya benar-benar mirip. "Ada apa ini?" ujar Neptunus, tidak lama kemudian, ponselnya berbunyi, ada sebuah pesan masuk, ternyata itu adalah sebuah pesan dari Thomas. Thomas bertanya kepada Neptunus apa dirinya sudah mengetahui tentang berita yang menggemparkan satu kampus sekarang, dan Neptunus menjawab bahwa dirinya tidak mengetahui apa-apa, dan sesaat kemudian, Thomas mengirimkannya sebuah audio singkat. Neptunus tentu saja langsung mendengarkan audio tersebut. ''Kau pikir aku tidak tahu bagaimana dekatnya kau dengan Neptunus?'' ''Lalu kenapa kau tidak pernah merasa cemburu dengan kedekatan kami?'' ''Kau selalu cemburu dan tidak suka dengan gadis yang sangat dekat dengan Neptunus, kan? Kau bukan hanya tidak suka saat melihat Neptunus memacari gadis yang bukan dirimu, tapi kau tidak suka melihatnya dekat dengan gadis manapun. Aku selalu dekatnya, jadi kenapa kau tidak pernah membenciku?'' ''Itu bukan urusanmu.'' Ternyata itu adalah rekaman suara percakapan antara Emma dan Gladys, suara mereka sudah sangat familiar bagi Neptunus juga Nuansa, dan mungkin juga bagi seluruh Mahasiswa dan Mahasiswi di kampus ini. Setelah mendengar itu dengan volume yang cukup kuat dan membuat Nuansa juga bisa mendengarnya, Neptunus langsung mengerti apa yang sedang terjadi. "Ada apa, Neptunus?" tanya Nuansa, ia menanyakan hal tersebut sebab Neptunus terlihat panik. "Oh, tidak," tanpa menjawab Nuansa, Neptunus kemudian langsung berlari meninggalkannya. "Hei!" teriak Nuansa, segera saja ia menyusul pria tersebut. Chapter 82 - Thomas and Friends Nuansa mengikuti Neptunus yang sedang berlari menghampiri Thomas. Thomas sendiri memang bisa terlihat dari area parkir, pria itu sedang berkumpul dengan beberapa temannya sembari berjalan menuju sebuah kelas. Neptunus akhirnya berhasil menghampiri Thomas, begitu juga Nuansa. "Jangan katakan padaku bahwa ini yang membuat mereka semua terlihat membicarakan topik yang sama," ucap Neptunus pada Thomas saat ia baru saja berhasil menghampiri teman dekat barunya itu. Thomas tentu saja terkejut dengan kehadiran Neptunus yang sangat tiba-tiba dan langsung bertanya padanya seperti itu. "Ish, kau ini! Mengangetkan saja!" seru Thomas. "Jawab saja pertanyaanku!" ujar Neptunus. "Ya," jawab Thomas. "Semua orang tengah membahas tentang rekaman ini, Emma yang menyebarkannya, dia mengatakan ini adalah bukti bahwa Gladys berselingkuh denganmu disaat dia menyadari bahwa hubungan Gladys dan Finn sebenarnya tidak pura-pura. Kau tahu kan bagaimana anggapan Emma tentang hubungan Gladys dan Finn, dia bilang dia akhirnya mengubah pendapatnya tentang hal itu-" Belum selesai Thomas berbicara, Neptunus langsung pergi begitu saja. "Hei! Kau mau ke mana?!" teriak Thomas dan Nuansa secara bersamaan. "Wah, kita serempak," kata Thomas pada Nuansa. "Jangan-jangan kita jodoh," sambungnya. "Aku pacarnya Neptunus," ucap Nuansa. "Kau?! Benarkah?!" "Ya." "Kupikir semua orang di sini tahu siapa aku," lanjut Nuansa. "Kau bukan orang terkenal, bagaimana bisa semua orang di sini mengenalmu?" ujar Thomas. "AAAAH, tentang pesta Emma itu, ya?" sambung Thomas. Nuansa lantas mengangguk. "Aku tidak ada di sana malam itu, aku tidak terlalu dekat dengan diktator teri itu, tapi berita mengenai kau yang merusak pestanya begitu menggelegar di sini, jadi ... ya, aku hanya tahu sedikit kisahmu, tapi tidak dengan wajahmu, bahkan juga namamu, Neptunus tidak menceritakan apa-apa tentangmu padaku," kata Thomas. "Diktator?" tanya Nuansa. "Oh, ayolah, kenapa malah jadi membahas diktator itu?" "Kenapa kau menyebutnya begitu?" "Karena dia memang begitu, apa lagi?! Dia Princess Hitler, tapi bedanya dia bukan siapa-siapa." Nuansa mengernyitkan dahinya mendengar hal itu. "Tentu saja dia bukan siapa-siapa!" lanjut Thomas, ia mengatakan hal itu usai melihat ekspresi Nuansa. "Dia hanya berlagak seperti itu! Dia mengendalikan teman-temannya seperti boneka! Itulah kenapa aku tidak suka padanya! Jika dia mendapati ada satu orang temannya yang berusaha melawannya, dia tidak akan segan untuk melakukan hal-hal gila!" sambung Thomas. "Hal-hal gila?" tanya Nuansa. "Ya ... seperti ... mencari tahu ukuran BH mereka." "Itu Neptunus, bukan Emma." "Kau mengetahuinya?!" "Tentang Neptunus? Tentu saja." "Dan kau bertahan padanya?" "Well, ya." "Oh hohoho, gadis yang malang." "Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu? Itu adalah rahasia Neptunus." "Kau tidak tahu siapa aku, kan?" "Thomas." "Ya, itu memang namaku, tapi itu bukan yang sebenarnya." "Lalu siapa namamu yang sebenarnya? Thomas and Friends?" Seketika kedua bola mata Thomas terbelalak mendengar hal itu. "Maaf, tapi kau bersama teman-temanmu saat ini, jadi ..." "Kau benar!" Thomas menyela Nuansa sembari mendekatinya. "Teman-temanku ini memiliki keahlian intelijen setingkat agen-agen CIA, itulah kenapa aku mengetahui semua hal tentang setiap orang di sini, termasuk tentang Neptunus, itu mengapa orang-orang menyebutku sebagai Thomas and Friends," bisik Thomas pada Nuansa. "Karena teman-temanmu memberikanmu segala informasi?" tanya Nuansa. "Tepat sekali!" Nuansa tiba-tiba menarik napas panjang ala orang yang terkejut setengah mati. "Kau adalah biang gosip!" ucap Nuansa. "Hei, itu tidak keren," ujar Thomas dengan ekspresi wajah datar. "Tapi sama saja, kan?!" "Harus kuakui. Ya. Tapi aku tidak suka menggosip." "Jadi apa keuntunganmu dengan mengetahui semua hal tentang semua orang di sini?" "Tidak ada." "Kau hanya membuang-buang waktumu untuk melakukan hal yang sia-sia asal kau tahu saja." "Memang, tapi aku hanya terus melatih kemampuan anak-anak ini," kata Thomas sembari menunjuk tiga temannya yang sangat culun-culun. "Uh ... kau yakin mereka memiliki kemampuan intelijen setingkat agen-agen CIA?" tanya Nuansa begitu ia menyadari bagaimana ''bentuk'' teman-teman Thomas itu. "Nona cantik, itulah kenapa ada pepatah yang mengatakan jangan menilai isi dari tampilan luarnya. Sama seperti kau," ujar Thomas. "Aku?" "Ya, dari luar kau seperti gadis yang banyak tidak tahu apa-apa, tapi aku yakin kalau kau pandai menyelesaikan masalah, dalam artian, kau memiliki kemampuan untuk menyelidiki hal, baik kau sadari atau tidak." "Aku sedikit menyadarinya sebenarnya." "Benar, kan?! Itulah kemampuanku!" "Jadi ... kalian ini tim intelijen atau bagaimana?" "Kau bisa menyebutnya seperti itu, tapi Thomad and Friends saja sudah cukup." "Ok ..." "Jadi ... aku telah memikirkannya." "Memikirkan apa?" tanya Nuansa. "Siapa namamu?" "Aku? Nuansa." "Aku sedang serius." "Aku juga serius." Thomas lantas terdiam, namun tak lama kemudian ia mendadak tersenyum. "Ada apa?" tanya Nuansa. "Kau gadis yang menarik, aku akan dengan senang hati mengajakmu bergabung dengan timku," kata Thomas. "Untuk apa?" tanya Nuansa. "Tentu saja untuk melatih kemampuan intelijen kita!" "Maaf, tapi aku punya seorang master yang bakal bersedia melatihku." "Siapa?" "Paman Eugene, calon Ayah tiri Neptunus, kami belum membicarakannya, sih, tapi aku yakin dia akan dengan senang hati mengajariku cara menjadi seorang Detektif," ujar Nuansa sembari tersenyum penuh keyakinan. "Uh ... memangnya siapa si paman Eugene itu?" tanya Thomas. "Dia seorang Detektif swasta di Inggris, kemampuannya di bidangnya tidak perlu kau pertanyakan lagi, dia seorang Detektif profesional." "Benarkah?!" "Ya." "Kalau begitu aku akan bergabung denganmu untuk berguru dengan calon Ayah sambung Neptunus itu." "Kalian bertiga aku pecat!" sambung Thomas, ketiga temannya itu kemudian pergi dengan perasaan lega. "Well, kau jauh lebih terlihat seperti seorang diktator dari pada Emma," ucap Nuansa pada Thomas. "Tidak apa-apa, mereka hanya orang-orang yang tidak berguna, lupakan saja." "Tapi kau bilang ..." "Lupakan saja, lupakan saja." "O-ok ..." "Ngomong-ngomong, bisa kau beritahu aku alamat rumah paman Eugene? Aku selalu ingin menjadi seseorang yang terlibat dalam urusan intelijensi, tetapi orangtuaku memaksaku untuk berada di bidang musik, awalnya aku merasa sangat tidak suka berada di sini, tapi setelah mendengar kabar baikmu mengenai paman Eugene, mungkin aku akan betah berada di sini, karena kampus ini telah mempertemukanku dengan Neptunus yang memiliki calon Ayah sambung seperti paman Eugene, lalu aku bertemu denganmu yang memberitahuku tentang hal itu, jadi ... ini terasa seperti mimpi bagiku," ujar Thomas. "Tapi kau dipilih sebagai salah satu penampil utama dalam pertunjukan kampus ini nanti, itu artinya kau memiliki bakat yang besar dalam bidang musik, kenapa kau tidak fokus pada musik saja?" tanya Nuansa. "Kau belum menjawab pertanyaanku tentang alamat rumah paman Eugene." "Ah, soal itu ... aku tidak tahu, begitu juga dengan Neptunus. Paman Eugene adalah orang yang sangat tertutup, jadi jangan harap kau akan mengetahui hal tentang dia meskipun hanya sebutiran pasir saja." "Benarkah?" "Ya." "Itulah master yang kubutuhkan! Tak kusangka Neptunus tidak menceritakan apapun padaku tentang kau dan paman Eugene itu, keterlaluan dia." "Kalian tidak dekat, kan?" "Ya, tapi ..." "Yasudah, itu saja sudah cukup untuk menjawabnya." "Engh, iya juga ya. Ngomong-ngomong, aku pergi ke sana dulu senang berkenalan denganmu, N," ucap Thomas, ia kemudian pergi. "N? Itu nama panggilan yang aneh," gumam Nuansa usai Thomas pergi. "Neptunus juga bisa dipanggil dengan nama panggilan ''N''," lanjutnya. "Lupakanlah." "Eh, apa yang aku lakukan? Di mana Neptunus? Kenapa aku malah mengobrol dengan Thomas tadi?" ucap Nuansa seraya menepuk jidatnya. Gadis itu lalu terdiam, namun sesaat kemudian ia tersenyum kecil. ''Dia lumayan menarik, tidak kusangka akan ada orang yang bukan mantan-mantan Neptunus berhasil mengetahui bahwa Neptunus memiliki ketertarikan dengan ukuran BH. Paman Eugene pasti akan senang melihat tipe orang yang seperti itu,'' batin Nuansa. Chapter 83 - Melepaskan Cincin Neptunus berlari menghampiri Anne yang sedang berjalan sendirian di kampus mereka. Anne juga sama dengan yang lainnya: menatap layar ponselnya, dan begitu Neptunus tiba-tiba berada di dekatnya, ia pun terkejut saat menyadari kehadiran Neptunus yang terkesan tiba-tiba. "Di mana Emma?!" tanya Neptunus pada Anne, ia terlihat ingin jawaban dari Anne dengan segera, karena ia tampak sedang buru-buru. "A-ada apa?" Anne bertanya balik. "Jawab saja pertanyaanku!" Neptunus terlihat ngos-ngosan. "Aku tidak tahu." "Jangan berbohong!" "Kau ini kenapa?!" "Jangan buat aku melakukan hal yang kasar padamu karena kau membuatku emosi! Cepat katakan di mana Emma! Ini tentang rekaman itu!" "Terakhir aku melihatnya saat kami berada di kelas tadi, kemungkinan dia masih ada di sana," Anne akhirnya menjawab pertanyaan Neptunus. Setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, Neptunus kemudian berlari lagi menuju kelas Emma. "Ok, sama-sama," ucap Anne yang menyindir Neptunus yang tidak berterima kasih padanya. *** Sementara itu, Nuansa yang kembali mengejar Neptunus kehilangan jejaknya, untungnya ia bertemu dengan Stephanie dan Zhenya yang sedang mengobrol di salah satu lorong yang ada di kampus ini. "Stephanie! Zhenya!" panggil Nuansa sembari menghampiri kedua gadis tersebut. Stephanie dan Zhenya lantas menoleh ke arah Nuansa yang sedang menghampiri mereka. "Ada apa?" sahut Stephanie. "Yang benar saja pertanyaanmu itu," ucap Zhenya pada Stephanie. "Ini tentang Neptunus, kan?" tanya Zhenya pada Nuansa. "Ya, kalian tahu di mana dia berada? Aku tadi bersamanya, tapi dia meninggalkanku begitu saja setelah berbicara dengan Thomas," ujar Nuansa. "Kami dari tadi di sini dan tidak melihatnya sama sekali," kata Zhenya. Nuansa kemudian terlihat lemas karena benar-benar tidak bisa menyusul Neptunus. "Bagaimana dengan Finn? Di mana dia? Aku mulai paham situasinya," ucap Nuansa. "Setahuku ketika Finn mendengar rekaman itu, dia langsung pergi ke Hanyang," ujar Zhenya. "Hanyang?" "Restoran tempat Gladys bekerja." "Astaga, kapan itu?" "Belum lama, sepertinya dia masih di sana." "Aku tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi di sana," kata Stephanie. "Apapun itu, pasti itu bukanlah hal yang baik," ucap Nuansa, ia lantas berniat untuk pergi ke Hanyang. "Eh, kau mau ke mana?!" tanya Zhenya secara tiba-tiba. "Ke Hanyang," jawab Nuansa. "Aku ikut." "Apa?!" Stephanie tampak terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Zhenya barusan. "Kita tidak benar-benar memahami segala situasinya, jadi sebaiknya kita tidak usah ikut campur," sambung Stephanie. "Well, Neptunus belum memahami situasinya ketika dia memutuskan untuk lari begitu saja, maksudku, ini semua pasti seperti yang kita pikirkan," ucap Nuansa. "Kau tidak marah pada Neptunus?" tanya Zhenya. "Emma pasti telah menjebak Gladys dengan membuat cerita seolah-olah kedekatan antara Neptunus dengannya adalah sebuah hubungan yang lebih dari sekedar sahabat, Emma pasti berusaha merusak hubungan Gladys dengan Finn, dan aku dengan Neptunus, aku sama sekali tidak percaya dengan rekaman itu, lagi pula itu sepertinya tidak utuh, hasil editan, maksudku, sudah dipotong-potong, walaupun itu adalah bukti kuat, tapi aku yakin Emma telah merekayasa semuanya," kata Nuansa. "Kenapa? Kenapa dia melakukan hal itu? Maksudku, untuk apa?" "Entahlah, mungkin dia melakukannya kepadaku dengan Neptunus untuk mengacaukan hubungan kami, tapi sebenarnya itu hanya akan memberikan dampak yang sangat besar pada hubungan Gladys dengan Finn, bukan pada hubunganku dengan Neptunus." Mendengar hal itu, Stephanie dan Zhenya sontak langsubg saling melirik. "Kenapa?" tanya Stephanie. "Karena ..." "Huft, lupakan saja, aku akan pergi ke Hanyang," lanjut Nuansa, hampir saja dia menceritakan semua tentang hubungan palsunya dengan Neptunus pada Stephanie dan Zhenya. "Aku ikut," ucap Zhenya. "Baiklah, aku juga," ujar Stephanie. Mereka bertiga kemudian berlari menuju restoran Hanyang. *** Di sisi lain, Neptunus akhirnya berhasil menemukan Emma berdasarkan petunjuk dari Anne tadi, ternyata Emma memang masih berada di dalam kelas, malah ia sedang berdandan sedikit di sana. "Apa-apaan ini, Emma?!" Neptunus membentak Emma begitu ia masuk ke dalam kelas tersebut, hanya ada beberapa orang selain Emma di sana, dan begitu Neptunus masuk dengan emosi yang meledak-ledak, yang lainnya pun keluar dan meninggalkan Neptunus berdua berdama Emma berada di dalam kelas itu. "Hei, ada apa ini?" Emma malah bertanya balik. "Jangan berlagak seolah kau tidan mengetahui apa-apa, aku tidak ingin mengulur-ulur waktu!" "Aku tidak mengerti, kau ini sebenarnya sedang membicarakan apa? Datang-datang langsung bertanya padaku dengan nada bicara yang keras seperti itu, wajar kan jika aku bertanya ada apa?" "Kau memuakkan!" "Hei, tenang." "Bagaimana aku bisa tenang kalau kau telah membuat satu kampus geger dengan fitnahmu itu?!" "Fitnah apa?!" Neptunus kemudian memutar rekaman suara percakapan Emma dengan Gladys. Namun Emma justru memasang ekspresi wajah bingung usai mendengarnya. "Apa itu sebuah fitnah?" tanya Emma. "Kurang ajar kau. Apa maumu sebenarnya?!" tanya Neptunus. "Mengungkap kebenaran, apa lagi?" "Kau sedang sangat terbakar, itu semakin membuktikan bahwa apa yabg ada di rekaman itu adalah kenyataan," lanjut Emma, dia lantas melanjutkan kegiatan meriasnya. "Dengar-" "Aku tidak ingin mendengar apapun darimu, pergilah, aku ingin bermake-up sebentar," ucap Emma. Tiba-tiba Neptunus mendekati Emma dan menepuk meja yang ada di hadapan Emma dengan sangat keras, dan tentu saja hal itu membuat Emma terkejut setengah mati sampai membuat make-upnya jadi berantakan. "Apa masalahmu?!" bentak Emma sembari berdiri dan menepuk meja tersebut juga. "Sebaiknya kau berbicara denganku atau kalau tidak-" "Kalau tidak apa?!" Emma menyela Neptunus. Keduanya lalu terdiam sembari saling menatap tajam. *** Nuansa, Stephanie, dan Zhenya akhirnya sampai di Hanyang, tetapi sepertinya mereka terlambat. Restoran itu terlihat ramai di luar, dan ternyata baru saja terjadi momen yang sangat menyakitkan bagi Gladys: Finn melepaskan cincin pertunangan mereka dari jari manisnya di hadapan banyak orang di luar, sekaligus itu menjadi tanda bahwa Finn telah mengakhiri hubungan mereka hanya karena rekaman yang telah dipotong itu. Saat Nuansa bersama Stephanie dan Zhenya sampai di Hanyang, Finn pergi dari sana, meninggalkan Gladys dalam perasaan yang hancur dan menjadi tontonan orang-orang. Chapter 84 - Tolol "Apa yang terjadi?" tanya Nuansa pada Gladys dengan perasaan khawatir. "Dia memutuskan hubungan kami," jawab Gladys. Sontak saja Nuansa terkejut mendengar hal itu. "Hanya gara-gara rekaman itu?!" "Ya." "Bagaimana bisa?!" "Kau tidak mengerti, Nuansa," ujar Stephanie. "Apa?" kata Nuansa. "Tadi Emma tidak hanya menyebarkan rekaman itu, tapi juga mengatakan kepada orang-orang bahwa rekaman itu di ambil olehnya dengan sengaja, dia bilang saat rekaman itu di ambil, dia sengaja bertanya-tanya kepada Gladys mengenai kedekatannya dengan Neptunus. Emma bilang dia sudah lama curiga bahwa kedekatan mereka sebenarnya bukan sekedar sahabat, dan kalau ternyata hubungan Gladys dan Finn yang banyak diragukan ternyata memang serius, itu artinya Gladys sudah mengkhianati Finn, Emma bilang artinya Gladys berselingkuh dekat sahabat terdekat Finn sendiri. Dan dia bilang, setelah cukup lama memaksa Gladys untuk mengaku, akhirnya Gladys mengakuinya secara tidak langsung, rekaman itu buktinya. Dia bilang dia melakukan semua ini demi melepaskan Neptunus dari genggaman Gladys yang katanya licik, sebab kita semua tahulah kan kalau dia sangat menyukai Neptunus," papar Stephanie. "Dan Finn ada di sana saat dia mengatakan semua itu?" tanya Nuansa. Stephanie kemudian hanya menjawabnya dengan beberapa anggukan kepala. "Itu tidak benar, aku berusaha menjelaskan semuanya kepada Finn, tapi dua memilih untuk tidak ingin mendengarkan penjelasanku. Emma mengarang cerita itu, itu benar-benar sebuah kebohongan, dia melakukan semua ini demi menghancurkan kehidupanku," ucap Gladys. "Aku percaya padamu, sekarang masuklah dan kembali bekerja, aku ingin mengurus satu hal lagi," ujar Nuansa. "Tapi kau tidak tahu bagaimana cerita yang sebenarnya, apa yang akan kau lakukan?" "Aku tidak peduli bagaimana cerita yang sebenarnya, aku hanya percaya padamu, aku tahu kau dan Neptunus hanya bersahabat, Emma memang sengaja ingin menghancurkan hubunganmu dengan Finn ketika akhirnya dia menyadari bahwa hubungan kalian bukan hubungan palsu. Dia menyerah untuk mendapatkan Neptunus, tapi dia malah mengejar Finn dan menghalalkan segala cara untuk bisa merebutnya darimu, gadis itu benar-benar keterlaluan," Nuansa menggeram. "Tidak, menurutku dia sama sekali tidak berniat untuk merebut Finn dariku, dia hanya ingin menghancurkan kehidupanku." "Kenapa?" Gladys lalu melirik Stephanie dan Zhenya. "Aku tidak bisa mengatakannya," kata Gladys. Untunglah Nuansa paham apa alasan Gladys mengatakan hal itu. "Baiklah, masuklah," Nuansa menyuruh Gladys masuk. "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Gladys pada Nuansa. "Apapun itu, aku hanya akan melakukan hal yang benar, kau jangan memikirkanku, fokuslah pada pekerjaanmu." "Kau sebaiknya tidak usah ikut campur dalam permasalahan ini. Maaf, tapi ini hanya saranku, tapi ketika kau berurusan dengan Emma, semuanya akan menjadi ribet, aku mengatakan itu karena aku juga pernah mengalaminya, dia benar-benar menindasku ketika aku menjalin hubungan dengan Neptunus. Kau tidak memiliki hubungan apapun dalam permasalahan ini, meskipun kau adalah kekasih Neptunus, tapi aku sarankan kau untuk tidak ikut campur," ucap Zhenya pada Nuansa. "Kau tidak mengerti, aku sedang tidak membicarakan tentang Emma," ujar Nuansa. "Lalu kau akan melakukan apa?" tanya Zhenya. Nuansa lantas memejamkan matanya, kemudian menatap Gladys dengan seksama. "Masuklah, banyak pelanggan yang membutuhkanmu," kata Nuansa pada Gladys. "Kau akan kehilangan pekerjaanmu jika kau terus-terusan berada di sini," lanjutnya. "Tapi berjanjilah padaku untuk tidak melakukan hal-hal yang gila," pinta Gladys. "Aku berjanji, kau akan menceritakan semuanya padaku nanti, ok?" "Ok." Nuansa lalu tersenyum, sebelum akhirnya ia berlari kembali ke kampus. "Well, apa yang harus kita lakukan?" tanya Zhenya pada Stephanie. "Aku benci untuk terus mengekorinya, tapi ... aku tidak akan membiarkan dia mendapatkan perlakuan buruk dari Emma seperti yang pernah kita alami, well, dia pernah mengalaminya juga sih, dan sejujurnya apa yang dia dapatkan malah lebih sadis dari pada apa yang kita dapatkan, tapi ... tetap saja aku tidak mau melihat ada yang sengaja Emma senggol lagi hingga terjatuh dan menjadi bahan tertawaan, aku tidak mau melihat ada yang sengaja Emma kotori lagi pakaiannya, aku tidak mau melihat ada yang diganggu lagi oleh Emma, jadi aku akan mengejar Nuansa," kata Stephanie. "Aku juga." "Nuansa benar, kau sebaiknya masuk, jangan hiraukan orang-orang yang menontonmu itu, mereka bukan pelangganmu, pelangganmu ada di dalam, mereka hanya orang asing yang tidak sengaja lewat dan melihat, abaikan saja mereka, kau akan membuat dirimu sendiri kehilangan pekerjaanmu jika kau masih berada di sini," lanjut Zhenya, ia mengatakan itu pada Gladys. "Ya," sahut Gladys, ia kemudian masuk ke dalam restoran Hanyang, sementara Stephanie dan Zhenya berlari mengejar Nuansa. *** Nuansa akhirnya sampai di kampus, dan ia berhasil mengejar Finn yang memang menjadi tujuannya, Finn juga terlihat baru sampai. Begitu berhasil menyusul Finn, Nuansa langsung menepuk pundak pria itu, sehingga Finn pun langsung menoleh ke arahnya. Saat mengetahui bahwa Nuansa lah yang menepuk pundaknya, Finn lantas tidak memedulikannya, ia melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Nuansa di tengah jalan di dalam kampus tersebut. "Tunggu! Aku ingin berbicara denganmu!" seru Nuansa, namun Finn tidak benar-benar peduli, ia terus berjalan dan sama sekali tidak menggubris Nuansa. Sementara itu, Stephanie dan Zhenya berhasil menyusul Nuansa. "Dia tidak mendatangi Emma? Tapi Finn?" ujar Zhenya pada Stephanie. "Kau sebut dirimu itu seorang pria?!" teruak Nuansa pada Finn yang tetap tidak memedulikannya. "Mungkin seharusnya aku bersyukur karena mendapatkan pasangan seperti Neptunus, bukan sepertimu! Aku tahu dia tidak akan mengambil sikap seperti kau jika seandainya dia berada di posisimu!" sambung Nuansa. Finn masih tetap tidak peduli. "Aku tahu kau kecewa! Tapi jangan mau dibodohi oleh orang yang tidak punya akal sehat!" Nuansa terlihat ngos-ngosan karena berteriak-teriak, sementara Finn sama sekali tidak meresponnya. "Baiklah, kuanggap kau hanya orang dungu dan tidak punya akal sehat! Kau tolol, Finn!" seru Nuansa. Akhirnya Finn menghentikan langkahnya, bersamaan dengan Nuansa yang menjadi perhatian orang-orang di kampus karena teriakan-teriakannya. Tetapi Nuansa tidak peduli jika dirinya menjadi pusat perhatian dan menjadi bahan bisik-bisik orang-orang, yang terpenting baginya, ia sudah melakukan hal yang benar sebagai seorang teman. Chapter 85 - Penjelasan Finn akhirnya berbalik badan, menghadap ke Nuansa. Nuansa sendiri mengepalkan kedua tangannya, pertanda ia sedang dikuasai oleh emosi sekarang. Ingin sekali rasanya Nuansa meninju wajah Finn yang telah bodohnya percaya pada Emma. Finn kemudian berjalan menghampiri Nuansa. "Aku tidak punya urusan apapun denganmu, kau tidak ada hubungannya dengan permasalahan ini. Tapi jika kau segitu inginnya aku mendengarkanmu, maka baiklah, aku akan mendengarkanmu," ucap Finn pada Nuansa. Nuansa kemudian hanya bisa diam, saat ini ia sangat ingin memarah-marahi Finn sembari menghajarnya, tapi hal itu tidak akan memberikan solusi apapun, yang ada malah keadaan akan semakin sangat memburuk, jadi Nuansa berusaha sekuat tenaga untuk menahan perasaannya itu. "Kau sebaiknya mempersiapkan kata-katamu sejak tadi," ujar Finn, ia bersiap untuk pergi meninggalkan Nuansa karena dari tadi Nuansa hanya terdiam seraya menatap mata Finn. "Tunggu! Maaf aku telah membuang waktu, aku sangat ingin memukulmu, tapi itu bukan hal yang terbaik, jadi aku berusaha untuk menekan keinginanku itu," kata Nuansa. "Kau sebaiknya benar-benar sudah berhasil menekan keinginanmu itu, aku tidak mungkin saling baku hantam dengan seorang perempuan," ucap Finn. "Aku sudah menekannya, aku akan bicara dengan baik-baik." Mendengar hal itu, Finn lalu kembali menghadap ke Nuansa. "Kenapa kau tidak mau mendengarkan penjelasan Gladys? Bagaimana bisa kau mau mendengarkan penjelasan Emma sementara tidak dengan penjelasan Gladys?" tanya Nuansa pada Finn. "Apa lagi yang harus kudengarkan darinya?" Finn malah bertanya balik. "Kau belum mendengarkan apapun darinya, jadi kau sama sekali tidak pantas untuk mengatakan hal itu." "Penjelasan Emma sudah lebih dari cukup, Nuansa. Apapun yang dikatakan oleh Gladys pasti sebuah kebohongan." "Kenapa? Apa yang membuatmu sanggup mengatakan hal itu? Bagaimana bisa kau sebelumnya membangun sebuah hubungan dengannya sedangkan kau sama sekali tidak memiliki kepercayaan padanya? Finn, itu artinya kau sama sekali tidak mencintainya, sebuah hubungan itu seharusnya dibangun atas rasa kepercayaan yang besar, bukan hanya karena rasa cinta, jadi perasaan apa yang selama ini kau rasakan pada Gladys?" Finn lantas terdiam. "Jadi kau ingin menjelaskan penjelasan Gladys padaku?" tanya Finn beberapa saat kemudian. "Tidak, justru sebaliknya, aku ingin tahu apa yang telah kau dengar dari Emma, karena seharusnya rekaman itu saja tidak cukup, sudah kelihatan jelas bahwa itu adalah rekaman yang telah dipotong, versi aslinya pasti lebih panjang dan akan mengungkap apa yang sebenarnya yang dibicarakan oleh Emma dan Gladys, aku yakin bahwa rekaman itu telah dimanipulasi oleh Emma, dan karena sudah pasti rekaman itu saja tidak cukup untuk menghancurkan hubunganmu dengan Gladys, pasti Emma sudah mengarang cerita untuk meyakinkanmu bahwa rekaman itu sama sekali bukan sebuah bukti yang telah dimanipulasi. Tidak, bukan hanya padamu, dia pasti telah menceritakan cerita palsunya itu kepada semua orang yang ada di sini," jawab Nuansa. "Baiklah, aku akan menjelaskan semuanya, mungkin itu karena kau dan Neptunus datang terlambat untuk semuanya. Tapi asal kau tahu saja, aku sangat terkejut kau bereaksi seperti ini, bagaimana bisa kau sama sekali tidak menanyakan apapun pada Neptunus dan langsung mengambil tindakan seperti ini, meskipun apa yang kau yakini itu sama sekali tidak akan memberikan dampak apapun pada situasi yang ada." "Well, aku sedikit terkejut karena kau tahu kalau aku belum berbicara apapun pada Neptunus mengenai hal ini, sepertinya dia sedang berbicara dengan Emma saat ini, tapi meskipun begitu, seandainya dia tidak memutuskan untuk mencari Emma dan memberikan penjelasan padaku, aku tidak membutuhkannya, aku percaya padanya, aku mengenalnya dengan baik walaupun kami belum kenal lama, tapi aku rasa itu semua sudah cukup untuk membuatku memahami dan sangat mengenalnya. Hubungan kami juga dibangun dengan sebuah rasa saling percaya, dan, ya, aku sama sekali tidak butuh penjelasan apapun, karena aku yakin semua ini adalah ulah busuk Emma yang sama sekali tidak benar." "Sekalinya aku menjelaskan semuanya, aku tahu kalau kau akan terdiam dan berhenti bertanya kenapa aku tidak mendengarkan penjelasan Gladys, jadi dengarkan aku baik-baik. Ya, kau benar tentang rekaman itu, itu telah dipotong, tapi Emma memotongnya hanya pada bagian yang terpenting saja, keseluruhan percakapan mereka tidak perlu dia bagikan, karena itu saja sudaha cukup, dia hanya mengambil poin dari percakapan mereka saja, lagi pula itulah saat satu-satunya Gladys mengakui hubungannya dengan Neptunus. Emma tidak memanipulasi apapun, dia hanya memotong rekaman itu untuk menunjukkan poin paling utama saja, paham? Dan dia memang sengaja bertanya-tanya pada Gladys seperti itu karena sebenarnya dia sudah lama mencurigai hubungan Gladys dengan Neptunus yang sebenarnya, dia mencoba mencari tahu karena dia menyukai Neptunus, tapi setelah semua ini dia memutuskan untuk tidak mengejar Neptunus lagi, dia kecewa, sama sepertiku. Dan perlu kau ingat baik-baik bahwa Emma masih memiliki rekaman yang asli, dia mengatakannya sendiri di hadapan banyak orang, tapi kami semua paham bahwa dia tidak perlu memberikan versi yang lengkap, sebab Gladys tidak kunjung mengakuinya, dan hanya pada potongan rekaman itu saja Gladys secara tidak langsung mengakuinya, potongan itu sudah mencakup semuanya, jawaban Gladys, bukti, dan poin utamanya, yaitu bahwa Gladys dan Neptunus telah menusukku dari belakang, dan aku tidak membutuhkan penjelasan apapun lagi dari Gladys mengenai hal ini, kuharap kau mengerti dan berhenti meneriakiku," pungkas Finn, Nuansa lalu benar-benar terdiam, dan Finn kemudian meninggalkannya. Nuansa lantas berhenti mengepalkan kedua tangannya, ia tengah menjadi tontonan orang-orang, dia menyadarinya, dirinya kemudian pergi mencari Neptunus. Penjelasan Emma kepada orang-orang memang meyakinkan, dia mengatakan bahwa dirinya ''menginterogasi'' Gladys dan Gladys tidak kunjung mengakui hubungan gelapnya bersama Neptunus, cukup lama sampai akhirnya Gladys secara tidak sengaja mengakuinya, dan Emma hanya menunjukkan bagian itu saja kepada orang-orang karena hanya pada bagian itu Gladys membuat pengakuan, Emma mengatakan kalau itu memang rekaman yang telah dipotong, namun dia sengaja memotongnya untuk hanya menunjukkan poin paling utama dan paling penting di dalam rekaman itu yang telah mencakup dan menjawab semuanya. Begitulah penjelasan Emma, tak heran kalau satu kampus sekarang memihaknya. Chapter 86 - Terbuka Nuansa berhasil menemukan Neptunus dan Emma, namun saat ia baru saja sampai, Neptunus justru berjalan keluar dari dalam kelas tersebut, sementara Emma masih di dalam. "Apa yang terjadi?" tanya Nuansa pada Neptunus, ia menanyakan apa yang terjadi antara Neptunus dan Emma. Neptunus terdiam sesaat. "Tidak usah berbicara dengannya," ucap Neptunus. "Huh?" "Kau tunggu aku di dalam mobil saja, lupakan semua ini, kita akan lanjut membahasnya nanti setelah urusan kuliahku selesai." "Baiklah." "Jangan temui Emma, mengerti?" "Ya." Mereka berdua kemudian pergi ke area parkir, Neptunus mengantar Nuansa ke mobilnya, Nuansa lantas masuk dan menunggu di dalam mobil hingga kegiatan Neptunus selesai. *** Cukup lama Nuansa menunggu hingga akhirnya Neptunus selesai, sekitar 3 jam lebih, gadis itu bahkan sampai tertidur di dalam mobil, namun ia sudah membuka kaca mobil itu dulu sebelum tidur. Begitu terbangun, Nuansa melihat jam di ponselnya dan sadar bahwa ia sudah tidur selama 2 jam, dan telah menunggu Neptunus selama 3 jam lebih. "Dia belum selesai juga?" gumam Nuansa, dia kemudian melihat keluar dan suasana sudah ramai kembali, setelah sebelumnya sempat menjadi sangat sepi karena sebagian besar masuk ke dalam kelas. Nuansa lalu berniat untuk mengirim pesan kepada Neptunus yang berisi: ''Kenapa lama sekali? Aku sudah lelah menunggumu'' Namun dirinya ragu untuk mengirim pesan tersebut. ''Kirim tidak, ya? Takutnya malah mengganggu,'' batin Nuansa. "Ah, aku hanya mengirim pesan, bukan menelpon, ini pasti tidak akan mengganggunya sama sekali," ujarnya, ia lantas berniat untuk mengirimkan pesan itu sekarang juga, tetapi tiba-tiba pintu depan bagian kemudi terbuka. "Neptunus?" kata Nuansa, ternyata yang masuk adalah Neptunus. "Aku baru saja akan mengirimkan pesan kepadamu untuk menanyakan kenapa kau lama sekali," lanjut Nuansa. "Tidak jadi, kan? Baguslah, pulsamu bisa tetap utuh," ucap Neptunus. "Aku tidak memikirkan itu sama sekali." "Bagus." "Apa yang terjadi? Apa yang kau bicarakan dengan Emma?" tanya Nuansa. "Tidak ada, dia sama sekali tidak membuat semuanya menjadi semakin membaik, tentu saja, karena dialah yang membuat keadaannya menjadi seperti sekarang ini," ujar Neptunus. "Apa yang kau pertanyakan padanya?" "Hal-hal dasar, aku bertanya padanya apa maksudnya dengan menyebar fitnah seperti itu, tapi dia selalu memiliki jawaban untuk mengelak dan keluar sebagai pemenang, terakhir dia menyuruhku untuk menanyakan semuanya kepada Gladys, untuk meminta penjelasan kepada Gladys, karena menurutnya aku hanya berpura-pura menjadi korban, saat itu juga aku memutuskan untuk pergi karena aku merasa sangat kesal padanya. Dia membuat hubungan pertemananku dengan Finn terancam selesai, juga mengancam hubungan Finn dengan Gladys." "Mereka sudah putus." "Benarkah?!" "Ya." "Sial!" "Kau sudah berbicara dengan Finn?" "Tidak, aku belum berani berbicara padanya, aku takut dia tidak bisa mengendalikan emosinya saat melihatku, aku bisa memahami perasaannya sekarang." Nuansa lantas hanya terdiam. "Emma benar-benar sudah diluar batas, dia keterlaluan, apa maksudnya memanipulasi situasi seperti ini dan membuat berita bohong seperti itu, ini benar-benar gila," sambung Neptunus. "Tidak apa-apa, aku akan ada bersamamu untuk menghadapi permasalahan ini," kata Nuansa. "Kontrak kita akan selesai, kau yakin dengan perkataanmu itu?" "Tidak, tapi sepertinya kau mengharapkan kehadiranku dalam mendampingimu melalui permasalahan ini, kan?" "Itu tidak penting, aku akan menemui Gladys sekarang." "Dia bilang padaku tadi kalau dia akan menceritakan semuanya kepadaku nanti, jadi kurasa ini adalah saat yang tepat untuk mendatanginya." Neptunus kemudian hanya mengangguk, mereka lantas pergi ke Hanyang yang berjarak dekat menggunakan mobil. *** Sesampainya di Hanyang, Nuansa dan Neptunus langsung keluar dari dalam mobil usai mobil itu diparkirkan oleh Neptunus, mereka kemudian masuk secara bersamaan ke dalam restoran tersebut dan mendapati Gladys sedang melayani seorang pelanggan. Gladys menyadari kedatangan Neptunus dan Nuansa, namun tentu saja ia tidak bisa meninggalkan tugasnya begitu saja hanya karena kehadiran Neptunus dan Nuansa di sini. Nep dan Nuansa pun menyadari hal itu, mereka lantas memilih kursi untuk di duduki. Neptunus lalu melihat-lihat menu di daftar menu yang tersedia di meja yang dipakai olehnya dan Nuansa. "Kau mau memesan apa?" tanya Neptunus pada Nuansa. "Kau mau makan?" Nuansa bertanya balik. "Tidak mungkin kita hanya duduk-duduk saja di sini, Nuansa." "Hmmm, aku tidak usah, kau saja." "Yakin?" "Ya." "Biasanya kau memesan apa di sini?" "Takoyaki, karena menurut Gladys itu salah satu menu yang sering kau pesan." "Kau menyukainya?" "Awalnya biasa saja, tapi lama-lama enak juga, jadi bisa dikatakan kalau aku menyukainya." "Baiklah." Neptunus kemudian memanggil salah seorang Pelayan dan memesan Sashimi 1 dan Takoyaki 1. "Kau bisa memakan dua makanan begitu?" tanya Nuansa usai Pelayan yang dipanggil Neptunus tadi pergi untuk menyampaikan pesanan Neptunus ke dapur. "Takoyakinya untukmu," ucap Neptunus. "Aku tidak usah, kan sudah aku bilang," ujar Nuansa. "Aku yang bayar, kau tenang saja." Nuansa lantas terdiam, Neptunus pun kemudian hanya bisa menggelengkan kepalanya. Tidak lama kemudian, pesanan mereka datang, Gladys yang mengantarnya, sekalian Gladys duduk di dekat mereka juga untuk mengobrol dengan mereka. Neptunus memerhatikan jari manis Gladys, sudah tidak terlihat lagi cincin pertunangan Gladys dengan Finn, dan ia merasa sedih tentang hal itu. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa semuanya bisa menjadi seperti ini?" tanya Neptunus pada Gladys. "Aku akan menceritakannya, tapi sebelum itu, aku minta maaf karena situasi ini membuatmu berada di posisi yang buruk juga," kata Gladys pada Neptunus. "Tidak apa-apa, itu bukan salahmu, aku juga minta maaf karena gara-gara aku sering curhat denganmu keadaannya malah menjadi seperti ini." "Tidak, hubungan pertemanan kita tidak seharusnya disesali." "Kalian sama-sama tidak salah, si Emma tikus itu yang satu-satunya bersalah, aku sangat ingin menghajarnya," ucap Nuansa. "Tahan emosimu, makan saja Takoyaki itu," ujar Neptunus pada Nuansa. "Ceritakan, Gladys," sambungnya. "Sebenarnya pembicaraan kami saat itu tidak ada hubungannya dengan kedekatan kita, Neptunus. Kami saat itu sedang membicarakan tentang Nuansa," papar Gladys. "Uhuk! Uhuk! Aku?!" kata Nuansa yang tersedak begitu Gladys menyebut namanya, ia agak terkejut. "Ya." "Dia mencari tahu tentang Nuansa padamu?" tanya Neptunus pada Gladys. "Ya, kejadiannya kemarin," jawab Gladys. "Kenapa dia mencari tahu tentang Nuansa padamu?" "Mungkin karena dilihatnya kami cukup dekat, jadi ..." "Kalian cukup dekat? Sedekat itu kah sampai Emma memutuskan untuk mencari tahu tentang Nuansa melaluimu?" "Ya ... kami memang dekat, kami bersahabat." Neptunus terdiam, dia terlihat mencurigai sesuatu, sementara Gladys tampak gugup. "Iya, apa yang kau pikirkan benar, tidak ada rahasia di antara kami, makanya kami bisa sangat akrab dan Emma menyadarinya dengan hanya melihat kami," ucap Nuansa pada Neptunus dengan sangat jujur, tetapi Neptunus masih diam. "Ugh," lanjut Nuansa, ia tahu kalau Neptunus belum puas dengan apa yang diucapkannya tadi. "Aku menceritakan pada Gladys tentang segalanya, termasuk tentang hubungan kontrak kita, dan Gladys banyak menceritakan tentangmu padamu, itu kenapa kami sangat akrab, selain karena kami cocok untuk berteman," jelas Nuansa. Chapter 87 - Dedek "Kau ...! Apa?!" Neptunus terkejut mendengar pengakuan Nuansa. "Nuansa, apa yang kau lakukan?!" tanya Gladys. "Sudahlah, itu diperlukan untuk membuat semuanya menjadi jelas," ucap Nuansa. Neptunus lantas melotot kepada Nuansa. "Mau melotot sampai matamu keluar pun tidak akan gunanya, Neptunus, semuanya sudah terlanjur, lagi pula hubungan kita akan berakhir besok, kan? Gladys adalah orang yang paling kau percaya sejauh ini, kan? Jadi kenapa dia tidak boleh tahu tentang hubungan kontrak kita?" ujar Nuansa pada Neptunus. "Ya, tapi .... Grrrh!" Neptunus tidak bisa mengatakan apapun lagi. "Kontrak kalian akan selesai besok?" tanya Gladys yang terlihat heran. "Ya, tapi sebaiknya kita tidak usah membicarakan tentang hal itu, lanjutkan saja ceritamu tadi, aku sudah mengambil bagianku untuk membuat ceritamu nanti menjadi sangat jelas, sekarang lanjutkan," kata Nuansa. "Maafkan aku, Neptunus," ucap Gladys yang merasa tidak enak pada Neptunus. Neptunus kemudian mendengus dengan perasaan sedikit kesal. "Yasudah, lanjutkan saja," ujar Neptunus seraya memalingkan wajahnya dari Nuansa dan Gladys. Melihat sikap Neptunus, Nuansa dan Gladys pun kemudian saling melirik, kini mereka sama-sama merasa tidak enak dan bersalah karena sudah saling sangat terbuka mengenai Neptunus di antara satu sama lain. Ketiganya malah sama-sama terdiam sekarang, dan Neptunus tidak menyuruh Gladys untuk menyambungkan ceritanya karena ia terlihat masih kesal pada Nuansa, namun sepertinya tidak hanya pada Nuansa, melainkan juga pada Gladys. Gladys pun lantas bertanya pada Nuansa melalui bahasa isyarat mengenai bagaimana jadinya selanjutnya, gadis itu hanya mengangkatkan sedikit kepalanya. Nuansa terdiam sesaat memikirkan cara terbaik untuk mencairkan suasana. Dia kemudian mengambil sumpit Neptunus dan mengambil Sashimi yang ada di atas piring makan Neptunus, gadis tersebut kemudian berusaha menyuapi Neptunus. "Ayo ... ayo, buka mulutmu, pesawat mau lepas landas," rayu Nuansa, ia memperlakukan Neptunus seperti anak bayi. Neptunus melirik Nuansa sedikit, hanya sedikit, dan kemudian ia tidak merespon sama sekali. "Eh, eh, eh, jangan malu, nanti kalau Dedek atit gimana? Nanti dicuntik pakai jalum loh, atiiiiiit pakai jalum itu. Dedek mau dicuntik? Kalau enggak, buka dong mulutnya, ayo maem, biar enggak atit nanti, biar Dedek sehat terus, angk, buka mulutnya," Nuansa masih berusaha, namun Neptunus sama sekali tidak meresponnya. Gladys hanya bisa tertawa kecil melihat hal itu, apa lagi Nuansa kemudian semakin mendekatkan Sashimi tersebut ke mulut Neptunus dan menempelkannya sekarang. Kepala Neptunus terus mundur saat Nuansa terus mendorong sesuap Sashimi itu ke bibirnya. "Ih, ih, ih, malu-malu dia, gemes deh. Dibuka dulu saya mulutnya, ayo," kata Nuansa. Neptunus menyadari bahwa mereka menjadi tontonan orang-orang karena aksi Nuansa tersebut, dan tentu saja ia merasa malu akan hal itu. ''Apa-apaan dia?! Kenapa dia mau menjadi bahan tertawaan orang?! Memalukan saja!'' batin Neptunus. "Ayo, Dedek, buka mulutnya, nanti Mama cubit loh," ancam Nuansa, tetapi Neptunus tidak meresponnya. Mulai merasa pegal pada tangannya, Nuansa pun kehabisan kesabaran, dia kemudian benar-benar mencubit Neptunus pada bagian paha dengan sangat kuat, sampai-sampai Neptunus berteriak kesakitan dengan mulut yang terbuka lebar, dan itulah kesempatan Nuansa untuk memasukkan Sashimi tersebut ke dalam mulut Neptunus. Dan dia berhasil. "Ih, nakal ya, Dedek. Kalau nakal-nakal lagi Mama jewer, ya," ujar Nuansa sambil tersenyum dan meletakkan kembali sumpit Neptunus di atas piringnya, gadis itu kemudian tertawa terbahak-bahak bersama Gladys sementara Neptunus mengunyah Sashimi di dalam mulutnya sembari menahan sakit di pahanya, dan ia benar-benar menjadi bahan tertawaan orang-orang sekarang, bukan hanya Nuansa dan Gladys yang menertawainya, tapi juga seluruh orang yang berada di dalam restoran ini saat ini. Karena kesal, Neptunus pun kemudian mengambil sumpit Nuansa dan mengambil sebutir Takoyaki Nuansa menggunakan sumpit itu. Nuansa saat ini sedang larut dalam tawa hingga tidak menyadari bahwa Neptunus bersiap untuk membalas perbuatannya. Dengan menggunakan kesempatan emas saat Nuansa tertawa terbahak-bahak dengan mulut yang terbuka lebarz Neptunus pun langsung memasukkan sebutir Takoyaki itu ke dalam mulut Nuansa dan langsung membuat gadis itu terdiam dengan mulutnya yang langsung penuh karena sebutir Takoyaki itu. Neptunus lantas tertawa terbahak-bahak begitu melihat ekspresi Nuansa yang langsung terdiam karena sebutir Takoyaki itu, Nuansa terlihat sangat jelek saat sebutir Takoyaki seukuran satu mulutnya masuk ke dalam mulutnya secara bulat-bulat, ia harus menahan itu dan mengunyahnyaz tidak mungkin memuntahkannya, itu akan sangat menjijikkan, walaupun sekarangpun ia terlihat agak menjijikkan dengan satu Takoyaki berukuran cukup besar masuk begitu saja ke dalam mulutnya dengan bentuk yang benar-benar utuh. Gladys pun ikut berhenti tertawa karena terkejut melihat Takoyaki itu ada di dalam mulut Nuansa secara tiba-tiba, dan ia juga terkejut melihat ekspresi Nuansa yang langsung menjadi datar dengan kondisi mulut yang benar-benar ... lebih baik tidak usah dibayangkan. Nuansa kemudian mulai mengunyah Takoyaki itu dengan tidak ikhlas dan agak kesulitan, ia memalingkan wajahnya dari orang-orang karena malu. "Dimakan ya, Dedek, nanti atit loh. Kalau atit nanti dicuntik, dicuntik itu atit, Dedek," Neptunus meledek Nuansa. Mendengar hal itu, Nuansa sontak melirik pria itu dengan sangat tajam. ''Awas kau!'' batin Nuansa. Dengan usaha yang luar biasa, Nuansa akhirnya berhasil menciutkan ukuran Takoyaki tersebut, sehingga akhirnya dia bisa mengunyahnya secara normal tanpa harus memaju-majukan mulutnya agar Takoyaki tersebut tidak jatuh dari dalam mulutnya. Setelah menelan kunyahan terakhir, Nuansa pun kembali ke posisi Normal, dan dia lantas meminum segelas air putih, sementara Neptunus masih mengunyah dan menertawainya, Neptunus benar-benar merasa puas dengan apa yang telah dia lakukan, sampai-sampai ia tak kunjung berhenti tertawa. Namun tiba-tiba pria itu tersedak dan langsung meminum segelas air putih juga secara cepat, secepat kilat. Hal itu membuat Nuansa ingin sekali tertawa keras dan berteriak, "Kualat!", namun Gladys memperingatkan Nuansa untuk tidak menertawai pria tersebut, karena bisa saja malah dia yang akan kualat, Nuansa pun mengurungkan karena perkataan Gladys itu. "Uh, huah," Neptunus akhirnya tidak dalam kondisi tersedak lagi, namun beberapa saat kemudian, ia terbatuk-batuk. Nuansa dan Gladys pun terpaksa menunggu drama itu selesai untuk melanjutkan pembicaraan mereka yang sebenarnya. Chapter 88 - Mencuri "Jadi ... begitulah," ucap Gladys, ia akhirnya selesai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di antara dirinya dan Emma, apa yang mereka bicarakan kemarin. "Aku sendiri tidak tahu kalau ternyata dia merekam pembicaraan kami, dia memang sengaja menjebakku atau ada maksud lain dengan merekam pembicaraan kami sejak awal?" sambung Gladys. "Apapun alasan dia yang sebenarnya, itu pasti bukan hal yang baik, bahkan mungkin hal terburuk sedunia," kata Nuansa. "Menurutku ada dua kemungkinan kenapa dia merekam pembicaraannya denganmu saat itu. Yang pertama dia mungkin mengira kalau kau akan memberitahukan segala hal tentang Nuansa padanya dengan mudah, sehingga dia yang sangat ingin tahu mengenai Nuansa pun merekam pembicaraan kalian agar tidak ada satupun hal mengenai Nuansa yang dilupakannya. Yang kedua, dia sebenarnya bukan ingin mencaritahu tentang Nuansa, tapi sengaja untuk membuat situasi ini," ucap Neptunus pada Gladys. "Tapi kenapa? Kami tidak memiliki masalah sebelumnya, dia harus memiliki alasan jika dia memang sengaja ingin membuat situasi ini sejak awal," ujar Gladys. "Entahlah." "Alasan dia tidak penting, sama sekali tidak penting, siapapun tidak membutuhkannya, satu-satunya yang kita butuhkan adalah rekaman utuhnya," kata Nuansa. "Apa maksudmu?" tanya Gladys. "Dia masih memiliki rekaman versi lengkapnya, jika kita bisa mendapatkan rekaman itu dan menunjukkannya kepada semua orang, maka Emma akan otomatis kalah telak, senjata makan tuan," papar Nuansa. "Maksudmu kita mencuri ponselnya?" tanya Neptunus pada Nuansa. "Bisa dibilang begitu, tapi masalahnya kita tidak tahu dia merekam pembicaraannya dengan Gladys menggunakan apa, menggunakan ponsel kah, atau alat perekam? Dan apakah dia memindahkan ke sebuah kartu memori dan menyimpannya di tempat yang tentu saja tidak akan ada satu pun orang yang akan mengetahuinya, kita memiliki banyak sekali kemungkinan yang merepotkan untuk hal itu," ucap Nuansa. "Maksudku ... kita bisa saja mencuri ponselnya sekarang juga, tapi tidak ada jaminan kalau rekaman utuhnya ada di ponselnya, jadi kita harus mempertimbangkannya lagi, tapi itu resiko yang layak dicoba," sambung Nuansa. "Tunggu dulu, kau tahu dari mana kalau dia masih memiliki rekaman versi utuhnya?" tanya Gladys pada Nuansa. "Finn yang mengatakannya padaku," jawab Nuansa. "Finn?" "Ya, Emma mengatakan kepada semuanya bahwa rekaman yang utuh masih ada padanya, tapi dia membuat alasan bahwa dirinya tidak perlu menunjukkan rekaman itu pada semua orang, karena isinya tetap sama saja dengan potongannya yang tersebar itu, malah potongannya itu telah mencakup semuanya." "Kalau begitu tidak ada jaminan bahwa dia benar-benar masih memiliki rekaman itu," ujar Neptunus. "Apa yang dia katakan mengenai versi utuh itu memang terdengar seperti hanya omong kosong belaka, tapi aku yakin dia masih memilikinya." "Kenapa dia harus memilikinya? Dia tidak memerlukannya lagi, hanya akan ada bahaya baginya jika dia tetap menyimpannya, jadi aku rasa pendapatmu kurang bisa diterima," ujar Gladys. "Dengar, dia benar-benar tidak bisa ditebak orangnya, aku akan beri contoh, pertama, dari hal yang terkecil dulu, pada saat di pestanya, aku sama sekali tidak akan menduga bahwa dia akan menyiramku dengan jus mangga, kedua, kau tidak menyangka dan tidak tahu sama sekali bahwa dia merekam pembicaraan kalian dan kemudian memanipulasinya, ketiga, kita bahkan tidak bisa menebak apa alasan dia yang sebenarnya dengan merekam pembicaraanmu dengannya saat itu, apa niat awal dia, apa benar kemungkinan-kemungkinan yang dikatakan oleh Neptunus tadi? Kita tidak tahu, Emma benar-benar sulit untuk ditebak dan kadang perbuatannya tidak bisa masuk ke akal sehat kita, jadi kenapa tidak kita yakin kalau dia masih menyimpan rekaman utuh itu dengan alasan yang tidak bisa kita tebak, ya, kan? Kita tetap harus memikirkan segala kemungkinannya, mengingat dia agak sulit orangnya," jelas Nuansa. "Kalau begitu kita harus memikirkan kemungkinan terburuknya juga. Bagaimana kalau dugaanmu itu salah?" tanya Neptunus. "Aku mengatakan tadi bahwa ini adalah resiko yang layak untuk dicoba," jawab Nuansa. Gladys dan Neptunus kemudian terdiam. "Tapi ya itu dia masalahnya, kita tidak tahu di mana rekaman itu, di ponselnya kah? Di sebuah alat perekam? Di kartu memori? Dan dia pasti tidak akan menyimpan rekaman itu dekat dari jangkauan orang, jadi sudah pasti kalau kita mencuri ponselnya sekarang adalah hal yang sia-sia, tapi ini adalah satu-satunya cara untuk membalikkan keadaan dan membuat orang-orang sadar siapa yang benar dan siapa yang salah, ini adalah resiko yang sangat layak untuk dicoba walaupun terlalu banyak kemungkinannya, percayalah padaku," lanjut Nuansa. "Aku tidak bisa," ucap Gladys. "Kenapa? Aku tahu mencuri itu adalah perbuatan yang tidak baik, tapi ini semua demi kebenaran dan kebaikan, pahamilah," ujar Nuansa. "Ini bukan tentang mencurinya, Nuansa, tapi resiko yang kau bilang layak untuk dicoba itu terlalu besar, maksudku, terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang sangat konyol, kalaupun kita sudah berusaha nanti, hasilnya pasti nihil. Bukan aku pesimis, tapi ... pikirkan lagi, kesempatan kita untuk berhasil hanya satu banding sepuluh miliar," kata Gladys. "Aku setuju dengannya," ucap Neptunus. "Lalu apa kalian memikirkan cara lain? Tikus itu sudah kelewat batas, kita harus membalikkan keadaan secepatnya, kalau bisa saat ini juga," ucap Nuansa. "Sebaiknya kita lupakan dulu hal ini sementara, pada suatu waktu nanti kita akan membahasnya lagi," ujar Gladys. "Maksudmu apa? Tunggu sampai kita bertanya-tanya apa dia masih menyimpan versi rekaman yang utuh atau tidak?" tanya Nuansa. "Bukan begitu, Nuansa. Dengar, aku senang dan terharu melihat perjuanganmu untuk membantuku melawan Emma, tapi mencuri rekaman yang original, lalu menjalani resiko konyol yang sangat berbahaya, itu benar-benar sebuah hal yang tak layak untuk dicoba, itu sangat berbahaya, bagaimana kita akan mencurinua? Aku bahkan tidak bisa memikirkan itu." "Aku yang akan mencurinya darinya." "Apa?!" Neptunus dan Gladys sontak terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Nuansa barusan Chapter 89 - Kekeuh "Nuansa, jangan gila," ucap Neptunus. "Aku akan menyelesaikan semua ini, Neptunus, aku harus menggeledah rumahnya pada malam hari, aku tidak peduli jika aku ketahuan sekalipun, aku akan menjelaskan kepada orangtuanya bahwa aku mencuri demi kebenaran, aku yakin orangtuanya pasti bisa memahamiku," ujar Nuansa. "Well, orangtuanya sedang pergi ke luar negeri," kata Thomas yang tiba-tiba berada di dekat Nuansa, Neptunus, dan Gladys. "Whoa!" tentu saja Neptunus bersama Nuansa dan Gladys terkejut karena Thomas hadir tiba-tiba. "Sejak kapan kau di situ?!" tanya Nuansa pada Thomas. "Sejak tadi, kalian membelakangiku, jadi kalian tidak menyadari keberadaanku, itu wajar saja. Tapi kau! Sebagai seseorang yang ingin menjadi seorang Detektif, kau seharusnya menyadari keberadaanku, karena seorang Detektif tidak pernah membiarkan pembicaraan rahasianya di dengar oleh orang lain," ucap Thomas pada Nuansa, ia kemudian duduk sambil menaruh makanannya yang telah ia pegang. "Kau tidak ada hubungannya dengan semua ini, jadi sebaiknya kau diam saja," ujar Neptunus pada Thomas. "Aku memang berencana diam sebentar untuk memasukkan makananku ke dalam mulutku, aku sudah memeganginya dari tadi dan membiarkannya dingin demi menguping pembicaraan kalian," kata Thomas. "Siapa dia? Aku seperti pernah melihatnya, tapi dia tidak familiar bagiku," bisik Gladys pada Nuansa. "Thomas, dia teman Neptunus, mereka berada di dalam satu band yang sama untuk menjadi penampil utama dalam pertunjukan yang akan di adakan oleh kampus mereka nanti," jawab Nuansa. "Itu benar sekali, tapi mari kita tidak membicarakan tentang hal itu sekarang, topik pembicaraan kalian lebih menarik dari pada siapa aku ini," ujar Thomas. "Nuansa, aku akan menawarkan kebaikan untukmu," sambung Thomas. "Apa?" tanya Nuansa. "Aku akan membantu dan mendukungmu." "Apa?!" kata Neptunus. "Kau tidak ada hubungannya dalam permasalahan ini," lanjut Neptunus. "Kau benar, tapi jika aku tidak ikut campur, permasalahan ini tidak akan selesai dengan baik," ucap Thomas. "Kau berlebihan." "Tunggu dulu, Thomas. Kau bilang tadi orangtua Emma sedang berada di luar negeri?" tanya Nuansa. "Ya," jawab Thomas. "Kau tahu dari mana?" "Ugh, rasanya baru tadi aku menjelaskan padamu siapa aku ini, bagaimana bisa kau melupakannya?" "Maksudku ... kau yakin?" "Kau meragukanku? Sekarang tanya Neptunus berapa ukuran BH Stephanie." Neptunus kontan saja mengenyitkan dahinya mendengar hal tersebut sambil menatap Thomas dengan perasaan heran. "Aku tahu segalanya, Sobat. Jadi jangan kau ragukan informasi dariku, orangtua si Princess Hitler itu sedang berada di luar negeri, kalau kalian ingin menggeledah rumahnya, malam ini adalah kesempatan terbaik," ujar Thomas yang seakan menjawab keheranan Neptunus. "Tapi kalau orangtuanya pulang hari ini kan sama saja bohong," ucap Nuansa. "Itulah kekurangan informasiku, aku tidak tahu kapan mereka akan pulang, itu agak buruk memang. Tapi, tadi kau terlihat senang jika kau bisa menjelaskan kepada orangtuanya apa yang sebenarnya terjadi, lalu kenapa sekarang kau terlihat mengharapkan ketidak hadiran mereka?" "Itu karena jika jumlah orang di rumah sebesar itu sedikit, akan lebih mudah untuk melakukan apa yang ingin aku lakukan, kau tahulah, menggeledah dan mencuri." "Tapi sepertinya bagimu ada atau tidaknya orangtua dia tidak masalah, kan?" "Kira-kira begitu." "Tapi kau akan memiliki satu masalah sebelum bisa masuk ke dalam rumahnya." "Aku tahu, ada Satpam di perumahan tempat rumahnya berada, kan?" "Ya, kau pintar juga ternyata." "Aku sudah pernah ke sana." "Bagus, itu artinya kau sudah cukup mengenali medan perangnya." "Aaah, itu terdengar sangat keren." "Kau tidak mengerti maksudku yang sebenarnya, ya?" "Huh?" Thomas lantas menatap Nuansa dengan ekspresi datar. "Baiklah, kutarik kata-kataku yang tadi, kau tidak sepintar itu ternyata," ujarnya. "Maksudku, kau seharusnya sadar jika keberadaan Satpam itu membuatmu membutuhkan partner untuk melancarkan aksimu demi mengalihkan perhatiannya, dan orang yang tepat adalah aku, aku bisa menangani hal semudah itu, dan saat perhatian Satpam yang kita tidak tahu jumlahnya itu sudah teralihkan, aku bisa memastikan kalau kau akan sampai di rumah Diktator teri itu dengan aman," sambung Thomas. "Tapi ... kita tidak tahu jumlah Satpamnya, seperti yang kau bilang," kata Nuansa. "Yah ... aku tidak memiliki informasi mengenai hal itu. Tapi, tidak apa-apa, aku pasti bisa menangani mereka berapapun jumlah mereka, aku yakin paling banyak pasti tiga atau empat." "Baiklah, terima kasih informasinya." "Tunggu, kalian benar-benar akan ke sana malam ini?" tanya Neptunus. "Tentu saja, di mana kau berada dari tadi? Kenapa kau tidak mendengar pembicaraan kami?" ucap Thomas. Neptunus kemudian melirik Nuansa. "Tidak, Nuansa. Bahkan jika kau pergi dengan Eugene sekalipun, aku tidak akan mengizinkanmu! Itu terlalu berbahaya!" bentak Neptunus. "Kau tidak mengerti, aku akan pergi sendiri," kata Nuansa. Mendengar hal itu, Thomas langsung tersedak. "Apa?! Apa kau gila?!" ujar Neptunus. "Kau bukan orangtuaku, kau tidak berhak mengatur-ngaturku." "Tapi!-" "Kau hanya pacar pura-puraku, Neptunus! Kau klienku, kau bukan siapa-siapa!" Thomas kembali tersedak saat Nuansa mengatakan hal tersebut. "Apa?!" ucap Thomas. "Diam kau!" seru Nuansa pada Thomas, pria itu lantas langsung terdiam. "Kau tidak mengerti-" "Kaulah satu-satunya yang tidak mengerti," Nuansa lagi-lagi menyela Neptunus. "Aku berusaha menyelamatkan hubungan pertemananmu dengan Finn, aku berusaha menyelamatkan hubungan Finn dengan Gladys, dan aku berusaha agar kau tidak dikeluarkan sebagai salah satu peserta yang akan tampil dalam acara di kampus kalian! Namamu sudah buruk di kalangan teman-temanmu, mereka pasti bisa saja mendepakmu dari acara itu, dan aku berusaha untuk membersihkan namamu, Neptunus, jadi sebaiknya kau tidak melarang-larangku," sambung Nuansa. "Aku lebih memilih untuk di depak dari acara itu dari pada kau harus menyelinap malam-malam ke rumah Emma," lirih Neptunus. Ia dan Nuansa kemudian terjebak dalam aksi saling tatap dalam hening di antara keduanya. Chapter 90 - Pendapat Gladys Neptunus dan Nuansa masih terjebak dalam aksi saling tatap, sampai mata mereka mulai berkaca-kaca karena mereka tak kunjung berkedip. "Kenapa kau berusaha peduli padaku padahal aku ini bukan siapa-siapa?" Nuansa akhirnya bertanya dan memecahkan keheningan di antara mereka berdua. "Karena kau peduli padaku," jawab Neptunus. "Kau bilang aku bukan siapa-siapa, tapi pada kenyataannya kau berusaha agar aku tidak memiliki nama yang jelek dan bisa kembali berteman dengan Finn, kau sangat peduli padaku, dan itu bukan tindakan seseorang yang mengatakan bahwa dia tidak peduli padaku. Aku tidak mengerti bagaimana perasaanmu padaku, tapi ... aku hanya berusaha untuk menyesuaikan perasaanmu padamu, jadi aku bersikap peduli padamu, aku tidak ingin kau terlibat dalam hal berbahaya apapun walaupun alasanmu adalah untuk kebaikan. Tolong, Nuansa, kau peduli padaku, biarkan aku peduli padamu. Aku mengerti kalau suka dalam hal-hal seperti ini, tapi ini bukan saatnya kau menunjukkan bagaimana kau sebenarnya, kami semua tahu bahwa kau hebat, kau memiliki potensi untuk menjadi seperti Eugene, tapi itu bukan berarti kau harus menyelesaikan semua ini sendirian dan dengan cara seperti itu. Tolong, mengertilah," sambung Neptunus, Nuansa kemudian terdiam. Saat Nuansa tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, Neptunus memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan mereka mengenai hal ini. "Jadi ... kalian ini sebenarnya hanya berpura-pura pacaran? Apa maksudnya?" tanya Thomas. "Aku menyawanya untuk menjadi pacar palsuku," jawab Neptunus. "Aku mengerti, tapi ... kenapa?" "Itu tidak penting lagi sekarang." "Kenapa?" "Berhentilah untuk ingin tahu mengenai kehidupan orang lain, kau sungguh menyebalkan dengan ''bakat''mu itu." "Ok, aku diam. Tapi, Nuansa, kau akan tetap pergi malam ini, kan?" "Thomas ... tolong jangan memancing amarahku," ucap Neptunus. "Aku hanya bertanya," ujar Thomas. "Kenapa kau diam saja dari tadi?" Nuansa tiba-tiba bertanya pada Gladys yang memang dari tadi hanya diam, hal ini pun membuat Neptunus tidak jadi meluapkan emosinya pada Thomas. "Apa pendapatmu?" lanjut Nuansa. ''Pendiriannya masih belum berubah?'' batin Neptunus. Gladys lantas memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam, kemudian membuka kembali matanya. "Neptunus benar, apa yang ingin aku katakan sudah dikatakan semua oleh Neptunus. Aku memahami bagaimana pedulinya kau pada kami sebagai temanmu, tapi tolong jangan gegabah sampai mengambil keputusan yang cukup ekstrem seperti itu," kata Gladys. "Tapi kita akan kehilangan barang buktinya jika kita terlalu lama melakukan pergerakan, dan satu-satunya hal yang bisa kita lakukan untuk menang adalah dengan cara seperti itu, tidak peduli kapan kita melakukannya, tapi bagiku semakin cepat semakin bagus. Ada apa denganmu? Kenapa kau tidak memikirkan hal itu?" tanya Nuansa. "Karena aku sama sekali tidak peduli pada rekaman versi utuhnya lagi." "Apa?" "Kau benar, satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa kita benar dan Emma berbohong adalah dengan mendapatkan rekaman versi utuhnya, dan untuk bisa mendapatkannya, kita harus menyelinap masuk ke dalam rumahnya pada malam hari, tapi hal itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko." "Kau berpikir ada cara lain?" "Aku sudah mengatakan bahwa itulah cara satu-satunya, tapi untuk kebaikan semua pihak, sebaiknya kita tidak usah melakukannya." "Kenapa?" tanya Nuansa dengan nada yang melemah. "Dengar, aku sangat berterima kasih padamu atas kepedulianmu sebagai seorang teman, tapi sesungguhnya ini masalahku-" "Tidak, ini masalahku juga, karena semuanya bermula dariku, kalau Emma tidak ingin mencaritahu hal-hal mengenaiku, semuanya tidak akan menjadi seperti ini, jadi aku terlibat." "Aku tahu, dengarkan dulu." "Kau memang terlibat, tapi keterlibatanmu mendekati nol persen. Jadi aku memintamu untuk menyerahkan permasalahan ini padaku dan Neptunus saja," sambung Gladys. "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Nuansa. "Tidak ada," jawab Gladys. "Huh?" "Aku tidak akan melakukan apa-apa, aku akan membiarkan semua ini berjalan begitu saja, tou pada akhirnya semua orang akan lupa pada masalah ini." "Tapi ..." "Aku tahu kau berpikir bahwa apapun yang terjadi, kita harus berusaha untuk mengungkapkan kebenerannya, kan?" Nuansa kemudian mengangguk. "Dengar, posisi kita sangat tidak memungkinkan untuk bisa membuktikan kebenerannya, apa lagi mengingat bahwa kita hanya memiliki satu cara, dan satu-satunya cara itu terlalu beresiko, jadi sekarang aku hanya akan berpegang teguh pada sebuah keyakinan," kata Gladys. "Bahwa setiap perbuatan, baik atau buruk, pasti akan mendapat balasannya," lanjutnya. "Apa? Kau ingin Emma mendapatkan balasan entah dari mana atas perbuatannya?" ucap Nuansa. "Karma itu nyata, Nuansa, kau tidak perlu mengkhawatirkannya, kadang memakan waktu yang terlalu lama sampai karma itu berlaku, tapi jika kita sebagai korbannya memilih untuk mengikhlaskannya dan terus fokus pada apa yang sedang kerjakan, seperti contohnya aku yang tetap fokus pada pekerjaanku, maka kita akan benar-benar mengerti dengan apa yang namanya bersyukur juga bahagia, karena orang-orang yang berusaha menjatuhkan kita hanya akan akan semakin gila jika kita berhasil menemukan dua hal itu pada saat kita sedang terpuruk, dan aku percaya, ketika kita berhasil menemukan dan merasakan kedua hal itu pada saat sedang terpuruk, rasanya benar-benar akan sangat nikmat dan berbeda dari yang pernah kita rasakan sebelumnya. Hidup ini mengalir, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya, jalani saja, karena yang berbuat baik akan mendapat kebaikan, dan yang berbuat buruk akan mendapat keburukan, kau tidak perlu ragu atas hal itu, siapapun pasti akan mendapat balasan atas perbuatan mereka, jadi sebaiknya kita melupakan masalah ini mulai sekarang dan fokuslah pada hal-hal yang jauh lebih penting." Nuansa terdiam usai Gladys mengatakan hal itu. "Baiklah," ujar Nuansa beberapa saat kemudian, apa yang dikatakannya itu tentu saja membuat Neptunus dan Gladys merasa lega. "Terima kasih, terima kasih untuk segalanya, kau benar-benar seorang teman yang sangat baik," kata Gladys pada Nuansa, Nuansa lantas hanya membalasnya dengan sebuah senyuman. "Tapi bagaimana denganmu, Neptunus, pernyataan kalian sedikit berbeda tadi," meskipun begitu, Nuansa tampaknya masih agak belum puas. "Ya, memang. Tapi setelah mendengar apa yang dikatakan Gladys tadi, aku akan seratus persen satu suara dengannya, dia sangat benar," jawab Neptunus. Nuansa lalu hanya bisa mengangguk-angguk. Chapter 91 - Menceritakan Tentang Reynand "Tadi itu gila sekali," ucap Neptunus pada Nuansa, mereka berdua kini sedang dalam perjalanan menuju sekolah Vega, dan Nuansa tidak mengetahui ke mana mereka akan pergi. "Ya, maafkan aku karena-" "Tidak apa-apa, kau tidak perlu meminta maaf untuk hal itu, kami memahami bagaimana perasaanmu sebagai seorang teman," Neptunus menyela Nuansa. "Sebenarnya aku akan meminta maaf karena telah memasukkan Sashimi itu secara paksa ke dalam mulutmu, tapi ... sepertinya tidak jadi karena kau sendiri yang menghalangiku," ujar Nuansa. "Benarkah?" "Ya." "Kenapa kau tidak meminta maaf tentang kau yang telah memberitahu dua orang selain orangtuamu mengenai hubungan kontrak kita?" Mendengar hal itu, Nuansa mendadak merasa sedikit ngeri karena ia takut Neptunus akan marah. "A-aku minta maaf untuk hal itu, aku memang sengaja memberitahukannya kepada Gladys, tapi kepada Thomas tidak, kau lihat sendiri tadi, kan?" kata Nuansa. "Ya, ya, lupakan saja, lagi pula kontrak kita akan berakhir satu hari lagi." "Baiklah kalau kau rasa itu berpengaruh." "Sebenarnya tidak, dan aku marah padamu, tapi aku sudah lelah untuk marah-marah, jadi lupakan saja." "Tapi ... sebenarnya ... selain mereka, juga orangtuaku yang sudah mengetahuinya sejak awal, masih ada dua orang lagi yang mengetahui tentang kontrak kita," ucap Nuansa sembari sedikit ketakutan. "Apa?!" "Ya ... yang dua itu ... bukan salahku." "Lalu salah siapa?!" "Orangtuaku." Neptunus lantas terdiam. "Mereka menceritakannya pada Reynand, dan kemudian Reynand menceritakannya kepada kak Taufan," sambung Nuansa. "Siapa mereka?" "Mereka adalah pelanggan setia keripikku, mereka berdua sama-sama Polisi, aku selalu datang ke kantor Polisi tempat mereka bertugas pada saat aku berjualan keripik singkong," jelas Nuansa. "Kenapa orangtuamu memberitahu mereka?" "Reynand menyukaiku, dan dia tidak suka dengan pekerjaan baruku." Mendengar hal itu, Neptunus lalu melirik Nuansa. "Kau menyukainya juga?" tanya Neptunus. "Tidak, benar-benar tidak, terlebih lagi sekarang," jawab Nuansa. Usai mendapatkan jawaban dari Nuansa, Neptunus kemudian kembali fokus ke depan dan terlihat lega. "Selama ini Reynand terbuka kepadaku mengenai perasaannya padaku, dan aku tidak pernah membalas perasaannya, aku pernah jujur padanya saat dia menyatakan perasaan sukanya padaku ke aku langsung, saat itu dia mengatakan kalau dia akan memberiku waktu, karena dia yakin kalau aku akan membalas perasaannya, menurutnya aku hanya butuh waktu untuk bisa merasakan hal yang sama dengannya, tapi pada kenyataannya tidak, aku benar-benar tidak bisa membalas perasaannya," papar Nuansa. "Dan ... dia bertanya padaku apakah perasaanku padanya sudah berubah tak lama setelah itu, aku memberikan jawaban yang tidak pasti, tapi dia malah menganggapku telah membalas perasaannya, dan dia langsung mengatakan bahwa dia akan membicarakan kepada orangtua kami tentang hubungan kami yang dia mau lebih serius lagi, dan itu terjadi beberapa hari sebelum pertemuan pertama kita di restoran romantis itu," lanjutnya. "Apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Neptunus. "Aku tidak mampir ke kantornya sejak dia mengira kalau aku membalas perasaannya, karena lagi pula aku lebih fokus ke pendafataranku ke situs itu, sampai akhirnya aku mulai bekerja padamu dan aku tidak pernah melihatnya lagi saat itu, tapi tentu saja aku tidak benar-benar tidak bertemu dengannya lagi, karena kantor dia berada dekat dengan rumahku." "Kantor Polisi itu?! Yang dekat rumahmu itu?!" "Iya." "Kenapa aku tidak menyadarinya dari tadi padahal aku sangat sering melewatinya jika aku pergi ke rumahmu?" "Itu tidak penting, tapi ... ngomong-ngomong, ke mana kita akan pergi?" "Ke sekolah baru Vega, sekolahnya yang baru ini tidak menyediakan bus sekolah, jadi aku harus mengantar jemputnya kalau aku memiliki waktu, kalau tidak paling dia menggunakan taksi online," jawab Neptunus. "Kenapa dia pindah sekolah?" "Sekolah dia yang sebelumnya terlalu jauh dari rumah kami, dan Vega sendiri tidak suka menaiki bus sekolah sebenarnya, menurut dia itu terlalu kekanak-kanakan, makanya sekarang dia memilih sekolah yang tidak menyediakan jasa bus sekolah itu. Anak itu memang banyak tingkah dan tidak tahu cara bersyukur, padahal masih banyak orang yang tidak bisa bersekolah, dan dia protes hanya karena bus sekolahnya." "Ahahaha, tidak apa-apa, itu kan demi kenyamanan dia juga." "Iya, tapi ... ugh, lupakan saja, lanjutkan saja ceritamu tadi." "Cerita tentang apa?" "Reynand." "Kau tertarik mendengarnya?" "Tidak, tapi dari pada kita diam-diaman selama perjalanan, kan?" "Hmm, baiklah." Nuansa kemudian menceritakan semuanya mengenai Reynand, sampai pada saat Taufan mendatanginya dan mengatakan hal-hal yang aneh-aneh seolah-olah merendahkannya. Dan tidak terasa, pada saat Nuansa selesai bercerita, mereka sampai pada sekolahnya Vega. "Kau tunggu di sini saja, ya, aku akan turun dan mencarinya," ujar Neptunus pada Nuansa. "Kalian tidak menjanjikan tempat bertemu sebelumnya?" tanya Nuansa. "Tidak." "Astaga." "Biarkan saja, lagi pula aku ingin buang air kecil dulu." "Yasudah, jangan lama-lama." Neptunus pun kemudian keluar dari dalam mobilnyaa dan meninggalkan Nuansa sendirian di dalam mobil tersebut, mobilnya sendiri terparkir di area parkir, jadi tidak mengganggu jalanan. Chapter 92 - Teman-teman Vega Di dalam mobil Neptunus, Nuansa tiba-tiba merasa haus, dia pun kemudian mencari minuman di dalam mobil tersebut, namun tidak ada. "Dia tidak menyediakan sebotol air putih untuk berjaga-jaga?" gumam Nuansa, tampaknya ia baru menyadari bahwa Neptunus tidak pernah menaruh sebotol air putih di dalam mobilnya untuk berjaga-jaga, karena menurut Nuansa, hal itu wajib apabila seseorang memiliki mobil. "Huft," keluh Nuansa, ia lantas memutuskan untuk keluar dari dalam mobil tersebut. Saat keluar, Nuansa secara tidak sengaja melihat Vega yang sedang berjalan santai menuju gerbang bersama beberapa temannya, ada laki-laki, ada pula yang perempuan. ''Sepertinya ini karena mereka tidak membuat janji dulu untuk bertemu di mana, duh,'' batin Nuansa, ia tentu saja langsung berlari menghampiri Vega. "Vega!" seru Nuansa. Vega lalu menoleh ke arah Nuansa, begitu juga dengan keenam temannya. "Kak Nuansa?" ujar Vega. "Di mana dia?" sambung Vega. "''Dia''?" Nuansa terlihat bingung. "Kak Neptunus." "Dia sedang kencing, dia bilang kalian tidak menjajikan tempat untuk bertemu sebelumnya, dan kebetulan aku ingin pergi ke kantin untuk membeli air dan aku melihatmu, mobilnya terparkir di area parkir dan kau malah pergi ke arah gerbang, maksudku ... sebaiknya lain waktu kalian menjanjikan tempat untuk bertemu dulu, karena ... huh, sudahlah." "Siapa dia?" bisik seorang gadis pada Vega. "Kak Nuansa, pacarnya kakakku," jawab Vega. "Halo, salam kenal," kata Nuansa. "Ah, iya. Kau mulus sekali, Kak," ucap teman Vega tersebut. "Iya, kah?" "Iya. Namaku Rea, boleh aku tahu apa perawatan yang kau jalani sehingga kau memiliki kulit mulus seperti itu?" "Hmm, tidak ada," jawab Nuansa sembari melihat-lihat kulitnya. "Ahahahaha, kau berbohong, kan?" "Sepertinya ini karena dulu aku sering mandi lumpur." "Tunggu, apa?" "Ya, orangtuaku punya kebun di belakang rumah kami, dan aku selalu pergi ke kebun setiap hari, dan Ayahku malah selalu memandikanku menggunakan lumpur-lumpur di sana, dia bilang lumpur-lumpur itu berkhasiat untuk mencerahkan, menghaluskan, dan memuluskan kulit, dan aku tidak percaya, aku menangis karena aku jadi terlihat mengerikan karena seluruh tubuhku dipenuhi oleh lumpur, itu sekitar sepuluh tahun yang lalu, mungkin lebih, tapi lama kelamaan aku terbiasa memakai lumpur-lumpur itu dan malah ketagihan, tapi aku tidak percaya pada apa yang Ayahku katakan mengenai khasiatnya, aku hanya ketagihan sebab itu menyenangkan, tapi kurasa Ayahku benar, karena setahuku kulitku tidak pernah seperti ini, aku tidak menyadari perubahannya karena aku tidak pernah memperhatikan bagaimana kulitku, tentu saja aku selalu melihatnya, tapi ... aku hanya tidak pernah memperhatikannya, tapi begitu memerhatikannya, kurasa kau ada benarnya, Rea, kulitku mulus, dan itu pasti karena kegiatan mandi lumpur yang dulu sangat rutin kulakukan, sekarang masih kulakukan, tapi tidak sesering dulu, paling hanya beberapa minggu sekali." "Engh ... kau yakin kau hanya menggunakan lumpur untuk mendapatkan kulit seperti itu?" "Aku tidak pernah melakukan perawatan apapun." "Benarkah? Kau orang kaya, kan?" "Kau bisa menanyakannya pada Vega." Rea kemudian melirik Vega. "Dia seorang penjual keripik singkong," ucap Vega pada Rea. "Pengusaha keripik singkong maksudmu? Yang sudah memiliki cabang besar di mana-mana?" tanya Rea. "Tunggu, aku seperti mengenalimu," ujar salah seorang teman lelaki Vega. "Ah! Ibuku sering membeli keripikmu, aku pernah melihatmu! Kami selalu berhenti saat melihatmu, sebenarnya kami memang sengaja menghampirimu karena keluargaku sangat menyukai keripikmu," sambungnya. "Benarkah?!" sahut Nuansa dengan antusias. "Ah, kau anaknya Nyonya Gina, ya?!" lanjut Nuansa. "Iya!" "Wah, kita bertemu lagi di sini, siapa namamu?" "Itzan." "Senang bisa bertemu denganmu lagi." "Tunggu, apa kau bercanda?" tanya Rea pada Itzan. "Tidak, kami pernah bertemu sebelumnya, dia adalah pedagang keripik singkong keliling, keluargaku adalah pelanggan setianya," jawab Itzan. "Pedagang keripik singkong keliling?!" "Ya, tapi aku tidak menyangka kau ternyata calon kakak iparnya Vega, kak Neptunus pasti salah satu pelangganmu, kan? Dia berlangganan sangat setia dan lama-lama kalian saling menyukai, iya, kan? Tidak heran memang kalau bisa ada pelangganmu yang jatuh cinta padamu, mengingat parasmu yang memang harus diacungi jempol," kata Itzan pada Nuansa. "Ah, aku akan mengaatakan hal itu pada Ibumu, kau ternyata pandai memuji perempuan," ujar Nuansa. "Jangan, jangan, tolong, Ibuku akan sangat marah jika aku berani jatuh cinta saat aku masih dalam masa sekolah." "Kau tidak berencana untuk menikung Neptunus, kan?" "Tidak, tapi aku takut Ibuku berpikir begitu." "Hahaha, baiklah." "Kau benar-benar seorang pedagang biasa?!" tanya Rea pada Nuansa. "Ya, dia hanya orang biasa, tapi dia sangat hebat dan pekerja keras, Ibuku sangat salut padanya, Ibuku selalu menyuruh adikku untuk mencontohnya untuk menjadi seseorang yang pantang menyerah sesulit apapun hidupnya, sebenarnya padaku juga, sih," Itzan menjawab pertanyaan Rea. "Kau harus mencoba perawatan lumpur itu," ucap Nuansa pada Rea. "Bagaimana? Datang ke rumahmu?" tanya Rea. "Boleh saja." "Sungguh?!" "Ya, tapi rumahku sebenarnya tidak layak untuk dijadikan tempat bertamu sekalipun kau hanya ingin pergi ke kebun belakang, tapi tak apalah." "Wah! Baiklah, aku akan pergi ke rumahmu sekarang juga, aku ikut denganmu." "Tunggu, apa?" "Boleh?" "Boleh saja, tapi ..." "Tapi kami berdua akan melakukan makan malam romantis malam ini," ucap Neptunus yang tiba-tiba saja sudah berada di antara mereka berdelapan. Semuanya langsung menoleh ke arah Neptunus. "Hai," Neptunus kemudian menyapa Rosy, teman perempuan Vega yang satu lagi. Vega dan keenam temannya itu terdiri dari empat laki-laki dan tiga perempuan, dan Neptunus selalu menaruh perhatian kepada Rosy yang memiliki tubuh ''berisi''. "Hai," Rosy menyapa Neptunus balik dengan ramah, dan tiba-tiba salah satu teman laki-laki Vega mendekat kepada Rosy. "Ehm, hanya memberitahu, tapi ... kami sekarang berpacaran," kata anak itu. "Apa?!" ucap Neptunus tak terima. "Jadi jangan coba-coba merusak hubungan kami." "Ayo, Rosy, kita pulang," sambungnya. "Engh, kami pamit ya," ujar Rosy dengan ramahnya, suaranya yang comel dan perawakannya yang imut semakin membuat Neptunus tidak bisa melepaskan pandangannya dari gadis tersebut. Pacarnya yang bernama Noah itu kemudian membawanya ke area parkir, kemudian mereka menaiki motor gede Noah. "Oh, aku selalu suka pada gadis itu," bisik Neptunus pada Nuansa. "Kenapa?" tanya Nuansa. "Kau tidak melihatnya, tubuhnya-" Nuansa lantas menjewer Neptunus tanpa membiarkan pria itu menyelesaikan ucapannya. "Pikiranmu itu benar-benar perlu dibersihkan," kata Nuansa. "Jadi ... tidak bisa hari ini, ya?" tanya Rea pada Nuansa. "Tidak bisa, maaf ya," jawab Neptunus. "Ish, Neptunus, kau ini apa-apaan!" ucap Nuansa. "Mungkin besok bisa," Nuansa menjawab pertanyaan Rea. "Baiklah, aku akan datang ke rumahmu besok, alamatnya di mana?" kata Rea. "Vega nanti akan memberitahumu via pesan." "Ok." "Engh, jemputanku sudah datang, aku pamit dulu ya," sambung Rea, yang lainnya kemudian menyahutinya, dia pun lantas pergi dari sana. "Jadi ... bagaimana dengan kalian, boys? Kami akan pulang," kata Neptunus pada Itzan dan tiga teman laki-laki Vega yang lainnya. "Aku sebenarnya berniat untuk mengantar Rea pulang, tapi ternyata dia dijemput, jadi aku akan pulang sendiri," jawab Alan, salah satu dari mereka. "Well, aku sebenarnya berniat untuk mengantar Vega pulang-" "Tidak usah, aku yang menjemputnya," Neptunus menyela Itzan yang menjawabnya. "Ya ... tapi kau menjemputnya, jadi ... aku juga akan pulang sendiri," sambung Itzan. "Ahaha, tidak apa-apa, besok kau bisa mengantarku pulang," ucap Vega pada Itzan. "Benarkah?" sahut Itzan dengan antusias. "Vega, apa-apaan kau ini?" protes Neptunus. "Memangnya kenapa?" tanya Vega, Neptunus lalu terdiam. "Ugh, baiklah," ucap Neptunus, Itzan tampak gembira mendengar hal itu. "Tapi aku mengawasimu, jangan macam-macam kau," kata Neptunus pada Itzan. "Siap!" ujar Itzan. "Dan ... kau?" tanya Neptunus pada yang terakhir, yang satu ini agak sedikit ''belok'', alias agak gemulai. "Aku berencana untuk ikut dengan Rea ke rumah kak Nuansa untuk perawatan kulit itu, tapi karena di undur jadi besok, yasudah aku pulang saja," jawabnya, namanya adalah Alvaro. "Baiklah, kalian semua akan pulang, jadi, Vega, kita pulang sekarang," ajak Neptunus. "Tunggu dulu, kau ingin ikut bersamaku dan Rea besok?" tanya Nuansa pada Alvaro. "Ya," jawab Alvaro. "Engh, tidak salah?" "Tidak, memangnya kenapa?" "Tidak apa-apa." "Dia memang sedikit berbeda," bisik Neptunus pada Nuansa. "Namanya saja yang keren," lanjutnya. "Ssssht," kata Nuansa. "Aku ... pulang dulu, ya," Vega berpamitan pada Itzan. "Uh, ok," ujar Itzan, Nuansa tersenyum melihat mereka berdua. Chapter 93 - Rencana Makan Malam Romantis "Jadi ... Itzan itu pacarmu, ya?" tanya Nuansa pada Vega, mereka bersama Neptunus kini sedang dalam perjalanan menuju rumah Nuansa. "Apa?! Tidak! Tidak!" ucap Neptunus tiba-tiba, sontak saja Vega dan Nuansa langsung meliriknya. "Kenapa kau yang jawab?" tanya Vega pada Neptunus, pria itu pun kemudian hanya terdiam. "Bukan, dia temanku, lagi pula kami baru berteman, dia orang baru di hidupku, soalnya aku kan pindah sekolah, jadi ... mana mungkin kami pacaran," Vega menjawab pertanyaan Nuansa. "Tapi kau memiliki niat untuk berpacaran dengannya?" tanya Nuansa, mendengar pertanyaan Nuansa, tiba-tiba Neptunus langsung melirik gadis itu. "Kami hanya berteman, tapi ... siapa yang tahu kedepannya, kan? Dia baik, yang lain juga, sama saja seperti suasana sekolah lamaku, semuanya baik-baik, tapi sepertinya mereka-mereka yang baru ini akan membuat kesan yang lebih membekas, walaupun teman-teman lamaku juga tetap membekas, tapi ... di awal-awal seperti ini saja aku bisa bergabung dengan mereka seolah kami adalah teman lama." "Bagus, itu artinya kalian sama-sama nyaman dengan kedatanganmu, kan?" "Begitulah." "Tapi jujur saja kau cocok dengan Itzan." Sekali lagi, Neptunus melirik Nuansa. "Benarkah?" tanya Vega yang tampak malu-malu. "Ya." "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan temanmu yang satu lagi itu?" sambung Nuansa. "Yang mana?" tanya Vega. "Alvaro, Nuansa menanyakan Alvaro," ujar Neptunus. "Iya, yang agak gemulai itu," kata Nuansa. "Tidak usah dibahas, dia memang salah baris." "Hei, kau ini apa-apaan," ucap Vega yang tidak terima dengan perkataan Neptunus yang dinilainya terlalu kasar. "Seharusnya kita membuatnya berprilaku sebagaimana seharusnya dia, seperti pria sesungguhnya, bukan malah mencacainya seperti itu," lanjut Vega. "Lalu kau akan membiarkannya ikut dengan Rea dan Nuansa melakukan perawatan lumpur konyol itu?" tanya Neptunus. "Hei, perawatan lumpur itu tidak konyol, itu sungguh-sungguh membuat hasil seperti kulitku ini, kalau tidak dari mana aku bisa mendapatkan kulit seperti? Aku waktu lahir tidak seperti ini, dan kulit orangtuaku juga sawo matang, tidak mungkin aku anak adopsi, kan? Wajahku sangat mirip dengan orangtuaku," protes Nuansa pada Neptunus. "Kau memakai pemutih," kata Neptunus. "Hei!" "Lagi pula mana ada benda jorok dan hitam seperti lumpur bisa membuat kulit menjadi putih? Yang ada kulitmu seharusnya menjadi hitam." "Tapi kulitku buktinya, lihat saja!" "Hei, sudah, sudah, kalian kenapa jadi ribut?" Vega melerai keributan Neptunus dan Nuansa. "Memangnya apa yang bisa aku lakukan? Untuk hal itu biarkan saja," Vega menjawab pertanyaan Neptunus. "Huh? Kau bicara apa?" tanya Neptunus. "Aku menjawab pertanyaanmu tadi," jawab Vega. "Telat." "Tidak telat kalau kalian tidak ribut." "Salahkan Nuansa." "Aku?!" ucap Nuansa tidak terima. "Kau menyahutiku tadi." "Kau yang mencari ribut tadi." "Hei, kalian, sudahlah, apa kalian selalu bertengkar seperti ini setiap hari?" tanya Vega. "Bisa dibilang begitu," jawab Neptunus. "Astaga." "Dia selalu mencari ribut," ucap Nuansa. "Sekarang sepertinya kau ingin cari ribut denganku," kata Neptunus. "Cukup! Kalian akan pergi makan malam romantis dan kalian malah bertengkar seperti ini?!" seru Vega. Mendengar hal itu, Nuansa dan Neptunus kontan langsung saling melirik, mereka tidak merencanakan tentang makan malam itu sebelumnya, itu hanya alasan agar Nuansa bisa memiliki waktu untuk membereskan rumahnya sebelum Rea datang, dan Neptunus bisa memahami hal itu, ia tahu Nuansa tidak langsung meng-iyakan ucapan Rea tadi karena ada sesuatu, dan dirinya memberikan alasan yang tepat. Nuansa sendiri seharusnya ingin membicarakan tentang hal itu dengan Neptunus tadi, tapi tentu saja tidak di hadapan Vega, mereka harus hanya berdua saja, entah bagaimana caranya itu, yang jelas, mereka harus membicarakannya sebelum malam tiba, karena kalau tidak, Vega pasti akan berpikir hal yang lain, bisa saja kalau dia tahu itu hanya sebuah alasan, dia jadi salah paham dan menganggap Nuansa tidak menerima kedatangan Rea, makanya Neptunus dan Nuansa benar-benar harus membicarakan hal dadakan ini berdua nanti. Suasana kemudian menjadi hening usai Vega mengatakan hal tersebut, dan tidak terasa, mereka akhirnya sampai di depan gang tempat rumah Nuansa berada, ini adalah kali pertama Vega berada di sini, dan ia juga baru tau jika rumah Nuansa berada di gang sempit seperti itu, jadi ia banyak melihat-lihat dari dalam mobil. Nuansa dan Neptunus lantas keluar dari dalam mobil. "Eh, kau mau ke mana?" tanya Vega pada Neptunus yang juga keluar. "Kau tidak mengizinkanku untuk berbicara empat mata dengan pacarku sendiri?" Neptunus bertanya balik, Vega lalu terdiam. "Kau tunggu di sini saja, ini urusan orang dewasa," sambung Neptunus. Vega lantas hanya bisa mendengus, namun menuruti apa yang dikatakan oleh Neptunus. Usai memiliki kesempatan untuk berbicara berdua, Neptunus dan Nuansa langsung saja berbicara mengenai makan malam romantis itu. "Bagaimana ini? Tentang makan malam itu, kenapa kau mengatakannya tadi?" tanya Nuansa pada Neptunus. "Itu hanya untuk alasan, aku tahu kau harus melakukan sesuatu dulu sebelum Rea datang, makanya aku memberi alasan itu agar dia tidak datang hari ini ke rumahmu," jawab Neptunus. "Memang, aku memang harus berberes rumah dulu, makanya aku tidak mau dia datang sekarang, tapi alasan yang kau berikan tadi sangat tidak tepat, dan saat itu sebenarnya aku baru saja akan mengatakan alasanku, tapi kau mengacaukannya. Kalau begini jadinya, kita harus benar-benar pergi makan malam romantis, kalau tidak Vega pasti akan berpikiran hal yang aneh-aneh mengenaiku juga kau, dia pasti akan berspekulasi itu hanya pembelaanmu kepadaku karena aku tidak mau temannya datang ke rumahku." "Kau ini ada-ada saja, Vega tidak mungkin akan berpikir seperti itu." "Kita harus mempertimbangkan kemungkinan terburuknya, Neptunus, tidak ada hal yang tidak mungkin." "Sebenarnya jika kita ingin membuat hal itu bukan sebuah kebohongan, aku bisa mengatasinya, aku sendiri, dengan pergi dari rumah selama beberapa saat, lalu kembali lagi, dengan alasan makan malam itu, jadi kita tidak perlu repot-repot benar-benar melakukan makan malam romantis, tapi kau terlihat sangat menginginkannya, jadi ... kurasa tidak masalah jika kita melakukannya, lagi pula kontrak kita akan berakhir, anggap saja itu sebagai salam perpisahan." "Ish, kau ini." "Apa?" "Aku mengajakmu untuk benar-benar melakukannya karena kau yang memberikan alasan itu, padahal sebenarnya kita tidak merencanakan hal itu sama sekali, maksudku ... kau harus bertanggung jawab untuk membawaku makan malam, karena jika kita tidak melakukannya, sekalipun kau membuat sandiwara agar terlihat kita benar-benar melakukannya, Vega pasti akan tahu, dia suka menyelidiki hal-hal sepertiku, jadi kita memang harus benar-benar melakukannya." "Hahahaha," Neptunus tertawa geli. "Kenapa kau tertawa?" tanya Nuansa. "Baiklah, baiklah, kita akan pergi malam ini." "Pergi ke mana?" tanya sebuah suara yang tiba-tiba berada di dekat Neptunus dan Nuansa, suara tersebut terdengar mendekat, dan ternyata itu adalah Reynand yang sedang berjalan menghampiri Neptunus dan Nuansa. Chapter 94 - Tamparan Keras Neptunus "Siapa dia?" tanya Neptunus pada Nuansa. "Reynand," jawab Nuansa. "Apa urusanmu?" Nuansa bertanya pada Reynand. "Tidak ada, aku hanya ingin tahu mana yang namanya Neptunus itu," ujar Reynand. "Aku," jawab Neptunus dengan lantang. "Tidak usah marah-marah," bisik Nuansa pada Neptunus. "Kau?" Reynand bertanya lagi. "Ya, memangnya ada apa?" Giliran Neptunus yang bertanya. Reynand kemudian tertawa, dan tentu saja Nuansa dan Neptunus merasa bingung akan hal itu. "Siapa orang itu?" gumam Vega yang masih berada di dalam mobil, ia pun berniat untuk keluar, namun dia tidak jadi keluar saar dirinya tak sengaja melihat ke belakang. Vega melihat ke sebuah mobil yang berada di belakang mobil Neptunus dengan jarak beberapa puluh meter. "Mobil itu? Kenapa berhenti di situ juga? Apa mobil itu mengikuti kami?" Rupanya, Vega menyadari bahwa sebuah mobil dari tadi mengikuti ke mana perginya mobil Neptunus, dan berhenti saat mobil Neptunus berhenti juga. Vega berusaha melihat wajah pengemudinya, namun tidak bisa karena jarak antaranya dan mobil itu cukup jauh untuk membuatnya bisa melihat sang pengemudi. ''Aneh sekali,'' batin Vega, gadis itu lantas memilih untuk menetap di dalam mobil untuk memerhatikan mobil tersebut walaupun dia juga ingin tahu siapa orang yang menghampiri Neptunus dan Nuansa itu. *** "Kenapa kau tertawa?" tanya Nuansa pada Reynand. "Tidak, tidak, maafkan aku, aku hanya tidak menyangka kalau dia hanya ternyata seorang anak-anak," ucap Reynand, dia mencomooh wajah Neptunus yang memang baby face, jadi ia terlihat seperti masih remaja meskipun usianya sudah bisa dibilang dewasa. "Aku bukan anak-anak, memangnya berapa umurmu?" tanya Neptunus. "Berapa umurku tidak penting, tapi yang jelas, aku tahu Nuansa tidak akan mau denganmu meskipun kekayaanmu berlimpah, tapi aku tahu bahwa Nuansa bukanlah perempuan yang gila harta, iya, kan, Nuansa?" kata Reynand. "Jika kau berniat untuk merendahkanku lagi, maka sebaiknya kau pergi sekarang," Nuansa mengusir Reynand. "Oh, aku minta maaf soal tempo hari, tapi sekarang-" "Pergi kau! Dan jangan pernah muncul di hadapnku ataupun di hadapan orangtuaku! Mereka juga tidak sudi melihat wajahmu lagi!" "Nuansa-" "Reynand, mengertilah, kau tidak bisa memaksa perasaan orang semaumu, dari dulu aku hanya ingin berteman denganmu, aku tidak pernah memiliki perasaan yang sama sepertimu, bukan karena pekerjaan baruku, mengertilah, karena lagi pula, aku dan Neptunus tidak memiliki hubungan spesial apapun." Reynand lantas terdiam. "Hubungan kami hanya sebatas tentang pekerjaan, itu saja," sambung Nuansa. "Tapi itu bukan berarti aku akan berusaha untuk menyukaimu, perlakuanmu sangat buruk beberapa hari yang lalu, kau merendahkanku, dan tidak hanya puas dengan itu, kau juga mengirim kak Taufan untuk merendahkanku, laki-laki macam apa kau," ucap Nuansa. "Lalu apa bedanya Neptunus dengan hal-hal itu?" tanya Reynand. "Bedanya, Neptunus dan hal-hal itu tidak memiliki kesamaan sama sekali dan tidak akan pernah memiliki kesamaan apapun, camkan itu!" Reynand lalu terdiam sesaat. "Nuansa-" "Pergi! Pergi sekarang juga, Reynand!" teriak Nuansa. "Nuansa dengarkan aku dulu." "Tidak ada hal yang harus ku dengar dari orang sepertimu, kau sama sekali tidak bisa menghargai seorang wanita, kasihan sekali Ibumu." "Kau membicarakan tentang menghargai wanita tapi kau sendiri tidak bisa menjaga kehormatanmu, kau menyedihkan." "Hentikan dan pergi, sebelum kuhajar kau." "Entah apa yang membuatmu mau menjual dirimu seperti ini, Nuansa." Mendengar hal itu, Nuansa berniat untuk menampar Reynand, namun ia kalah cepat, Neptunus melakukannya lebih dulu, tentunya dengan sangat keras, hingga Reynand mundur beberapa langkah dan pipinya yang ditampar Neptunus memerah seperti darah. Nuansa kontan saja terkejut dengan aksi Neptunus, begitu juga dengan Vega yang berada di dalam mobil, ia jadi semakin penasaran dengan apa yang sedang terjadi, sebab jarak Neptunus, Nuansa, dan Reynand berada cukup jauh darinya, dan dirinya tidak bisa mendengar apapun yang dibicarakan oleh mereka bertiga. Vega lantas membuka kaca mobil Neptunus dan mengeluarkan kepalanya agar ia bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Untungnya, Nuansa menyadari bahwa Vega membuka kaca mobil dan melihat ke arah mereka, jadi Nuansa langsung memperingatkan Neptunus untuk tidak menyebut hal apapun tentang hubungan kontrak mereka. "Kau akan mendapat yang lebih dari itu jika berani mengatakan hal yang aneh-aneh lagi mengenai Nuansa, camkan itu," Neptunus mengancam Reynand dengan nada bicara yang pelan agar Vega tetap tidak bisa mendengarnya. "Polisi macam apa kau ini," lanjut Neptunus. "Neptunus, sudah, sudah, dia memang selalu seperti itu, wajarkan saja dia, ayo kita pergi, tidak enak kalau di dengar Vega nanti," ucap Nuansa pada Neptunus, Neptunus kemudian menoleh ke arah mobilnya dan melihat Vega yang sedang memerhatikan mereka, ia dan Nuansa pun lantas pergi menghampiri mobilnya dan meninggalkan Reynand yang terus memegangi pipinya yang pastinya terasa amat sakit, Reynand terus menatap Neptunus dan Nuansa meskipun mereka sudah menjauhinya, dan Neptunus merasa tidak nyaman akan hal itu, sesekali Neptunus berbalik badan, tetapi Nuansa memperingatinya untuk melupakan hal itu, hingga akhirnya mereka berada di dekat mobil Neptunus. "Apa yang terjadi?" tanya Vega begitu Neptunus dan Nuansa berada di dekatnya. "Seorang Polisi ingin menilang Neptunus, dia memaksa Neptunus untuk ikut dengannya dan tidak mau mendengarkan pembelaan Neptunus yang memang membawa SIM, begitu Neptunus menunjukkannya SIM, dia langsung terdiam dan Neptunus menamparnya karena geram," papar Nuansa. "Benarkah? Tapi sepertinya yang terjadi tidak seperti itu, dan lagi pula kenapa Polisi itu menilang kak Neptunus? Kita parkir di tempat yang tidak salah, dan bukankah dia bukan Polisi lalu lintas?" "Sudah, jangan banyak tanya kau, percaya atau tidak itu urusanmu, yang terpenting kau mendapat penjelasan tentang apa yang terjadi, maka tutup mulutmu itu," ketus Neptunus. "Santai saja bicaranya," sewot Vega, ia lantas memasukkan kepalanya kembali dan menutup jendela tersebut. Neptunus dan Nuansa kemudian melihat ke Reynand yang masih menatap mereka. "Abaikan saja, sebaiknya kau pulang sekarang," ucap Nuansa pada Neptunus. "Baiklah, nanti aku jemput kau ya, kita makan malam di restoran tempat pertama kali kita bertemu saja," ujar Neptunus. "Di situ? Baiklah." Neptunus kemudian tersenyum, dia lalu masuk ke dalam mobilnya. "Sampai jumpa nanti malam," kata Neptunus setelah membuka kaca mobilnya, Nuansa lantas hanya membalasnya dengan sebuah anggukan, dan mobil itu pun lalu pergi. Usai mobil Neptunus pergi, Nuansa kembali melihat Reynand yang masih menatapnya, pria itu menjadi agak mengerikan sekarang, tetapi Nuansa berusaha untuk tidak memedulikannya, Nuansa kemudian pergi ke rumahnya. Chapter 95 - Reynand & Emma Beberapa saat setelah Nuansa pergi ke rumahnya, Reynand berniat untuk kembali ke kantornya, tetapi tiba-tiba mobil yang diperhatikan Vega tadi berada di dekatnya. Ternyata, tanpa disadari Reynand, mobil tersebut sebenarnya berjalan dengan sangat pelan sejak tadi, dan saat ini mobil itu menghalangi jalan Reynand. Mobil itu tidak lagi mengikuti mobil Neptunus. Malas ribut, Reynand pun lantas memilih untuk tidak memedulikan mobil itu. Beberapa saat setelahnya, keluarlah sang pengemudi, yang ternyata adalah Emma. Artinya, sejak tadi Emma mengikuti mobil Neptunus hingga berhasil menemukan alamat rumah Nuansa dan bertemu dengan Reynand. "Siapa kau?" tanya Emma pada Reynand, tetapi Reynand tidak menanggapinya, wajar saja, bayangkan kalau tiba-tiba ada orang asing yang tidak dikenal bertanya seperti itu ke kita, sudah pasti kita akan berpikir orang itu hanya orang gila. "Tuan, aku berbicara padamu," sambung Emma. "Dengan pertanyaan bodohmu itu?" Reynand akhirnya memberikan respon, meskipun itu bukanlah respon yang diinginkan oleh Emma, tapi mau bagaimana lagi, itu memang respon yang paling wajar. "Maaf jika pertanyaanku membuatmu merasa kurang nyaman, tapi ... mungkin memang sebaiknya aku memperkenalkan diriku dulu agar tidak ada kebingungan ataupun kecanggungan di antara kita. Namaku Emma, aku temannya Neptunus," ujar Emma. "Reynand," balas Reynand. "Apa yang terjadi? Kenapa Neptunus menamparmu tadi?" tanya Emma. "Apa urusanmu dengan hal itu?" Reynand bertanya balik pada Emma. "Aku tahu aku tidak memiliki urusan apapun dalam permasalahan kalian, tapi sebagai seseorang yang berusaha untuk memisahkan Neptunus dari wanita manapun yang dekat padanya, tentu saja aku memiliki urusan dengan hal itu, terlebih lagi sepertinya kau dekat dengan Nuansa jika ku amati." "Apa yang kau inginkan sebenarnya?" tanya Reynand. "Bukankah sudah aku katakan tadi? Apa harus kuperjelas lagi? Aku hanya ingin Neptunus, dan aku akan memisahkannya dari wanita manapun yang di dekatinya, termasuk Nuansa. Dan sepertinya aku sedang berbicara dengan orang yang tepat bukankah begitu?" Reynand terdiam sesaat. "Ya." ''Ternyata dugaanku benar, dia menyukai Nuansa dan ingin memisahkan mereka juga, pengamatanku memang sangat baik,'' batin Emma. "Aku menginginkan hal yang sama denganmu, tapi bedanya yang kuinginkan adalah Nuansa," sambung Reynand. "Aku mengerti. Aku ingin menawarkanmu sebuah hubungan kerjasama," kata Emma. "Aku tahu kau akan mengatakannya." Emma kemudian tersenyum licik. "Sejak awal aku tidak menyukai Nuansa, karena satu-satunya yang pantas mendapatkan Neptunus adalah aku, tapi aku gagal memisahkan mereka bahkan dengan membuat fitnah bahwa Neptunus sebenarnya memacari perempuan lain juga, tapi aku tahu gadis itu hanya bertahan karena Neptunus kaya, aku bisa mencium dan merasakan aroma kemiskinannya meskipun aku tidak mengetahui bagaimana kehidupan dia," ucap Emma. "Dia memang bertahan untuk uang, dan sejak awal pun dia ada untuk si Neptunus itu hanya karena uang." Emma terkejut mendengar hal itu. "Apa maksudmu?" tanya Emma. "Apa maksudmu dengan mengatakan ''apa maksudmu''?" Reynand bertanya balik. "Hubungan mereka tidak benar, maksudku, hubungan mereka palsu, Nuansa dibayar untuk menjadi pacar Neptunus, mereka tidak benar-benar berpacaran, hubungan mereka adalah hubungan kontrak. Kau tidak mengetahuinya?" lanjut Reynand. "Aku baru saja mengetahuinya," ujar Emma. Reynand dan Emma lantas sama-sama terdiam. "Aku tahu kau memikirkan hal yang sama denganku," kata Reynand. "Ya, mereka telah menipu semua orang dengan hubungan palsu mereka itu, dan kita akan membongkar hal itu di hadapan semua orang, sehingga kita bisa mendapatkan apa yang kita mau, Neptunus untukku, dan kau ambil Nuansa," ujar Emma. "Tepat sekali, kau pintar," ucap Reynand sembari tersenyum bahagia. "Aku benar-benar tidak tahu dan tidak pernah menyangka bahwa ternyata hubungan mereka hanya hubungan kontrak. Kenapa Neptunus menyewa seorang perempuan untuk berpura-pura menjadi pacarnya?" tanya Emma. "Aku tidak tahu, tapi hubungan kontrak itu sekarang sudah lebih jauh, aku tahu itu, aku sangat yakin," kata Reynand. "Maksudmu?" "Neptunus sudah merebut Nuansa dariku, dan kita harus membongkar semuanya sebelum hubungan mereka semakin jauh, aku tidak mau Neptunus nanti benar-benar merebut Nuansa dariku, dan kau akan menolongku untuk hal itu." Emma lalu tersenyum. "Kita saling menolong, terima kasih karena telah menceritakan semuanya kepadaku, sekarang kita jadi tahu hal apa yang akan membuat kita menang, aku yakin rencana kita akan berhasil." Reynand kemudian terkekeh kecil. "Entah bermimpi apa aku sehingga bisa mendapatkan keberuntungan dan kebetulan seberharga ini, senang bisa mengenalmu." "Senang bisa mengenalmu juga." "Jadi kau mengikuti mereka tadi?" "Ya, sejak awal aku tahu kalau aku akan mendapatkan hal yang menarik jika aku mengikuti mereka, dan dugaanku benar." "Hahaha, syukurlah kau mengikuti mereka." "Baiklah, jadi kita sekarang akan bekerjasama, ya?" "Tentu saja." "Kita akan membagi tugas, kau cari bukti-bukti mengenai hubungan mereka yang sebenarnya palsu, dan kemudian aku akan membongkarnya di hadapan orang-orang. Kau paham, kan? Ini tentang Neptunus yang sudah membohongi orang-orang yang dikenalnya, dan aku hanya perlu memberikan bukti-bukti itu di hadapan mereka." "Itu urusan yang mudah, aku seorang Polisi, aku pasti bisa mendapatkan bukti mengenai hal itu di internet." "Ya, kemungkinan besar awalnya mereka kenal dan bertemu melalui situs ataupun aplikasi. Dan aku tidak menyangka kalau ternyata kau adalah seorang Polisi, karena hal itu pasti akan benar-benar memudahkan pekerjaan kita, keberuntungan benar-benar sedang berpihak pada kita." "Ya, ini akan sangat menarik." "Tentu saja." "Oh iya, berikan nomormu, agar komunikasi kita bisa terjalin dengan mudah," ucap Reynand. Emma pun lantas memberikan nomor ponselnya kepada pria itu. "Aku tidak sabar untuk bisa segera menyelesaikan permainan mereka, Reynand," ujar Emma. "Aku juga," kata Reynand. "Maka sebaiknya kau bergerak cepat." "Aku tahu." Emma dan Reynand lalu sama-sama tersenyum licik. Chapter 96 - Makan Malam Romantis? Malam harinya, Neptunus dan Nuansa akhirnya tiba di restoran romantis yang menjadi tempat pertemuan pertama mereka dulu. Dengan setelah pakaian masing-masing yang sangat ok, keduanya tampak sangat serasi. Mobil Neptunus kemudian diparkirkan oleh seorang petugas usai dirinya dan Nuansa keluar dari dalam mobil tersebut, kini mereka berada di depan pitnu restoran itu, ada petugas lainnya di sana. Nuansa masih sangat ingat saat pertama kali dirinya datang ke sini, saat itu si petugas bertanya kepadanya apakah tujuannya ke sini untuk makan, dan Nuansa mengatakan bahwa dia tidak berpikir bahwa restoran adalah tempat untuk berenang. Petugas itu sekarang masih berada di sini, dia masih bekerja di bidang yang sama, dan Nuansa masih sangat mengingatnya, jadi ia tersenyum kepadanya. Petugas itu sendiri awalnya sempat tidak mengingat Nuansa karena pakaiannya yang benar-benar berbeda dari pada yang sebelumnya, namun untunglah dia mengingatnya, jadi dia bisa membalas senyuman Nuansa dengan perasaan kagum. "Ini masih tetap bukan tempat untuk berenang, kan?" tanya Nuansa padanya. "Hahaha, masih, Nona," jawab petugas tersebut. "Hahaha, terima kasih karena sudah sangat ramah kepadaku," ujar Nuansa. "Itu sudah menjadi tugas saya, Nona." "Bagus, pertahankan." Neptunus dan Nuansa lantas masuk seperti pasangan sesungguhnya, Neptunus menggandeng Nuansa. "Kalian sangat akrab, apa kalian sudah saling kenal sebelumnya?" tanya Neptunus pada Nuansa saat mereka sedang berjalan menuju meja dan kursi mereka. "Kami tidak saling kenal, tapi pernah bertemu sebelumnya, saat aku pertama kali datang ke sini untuk bertemu denganmu," jawab Nuansa. "Lalu apa maksud perkataanmu padanya tadi?" "Ish, kenapa kau ingin tahu? Itu bukan hal yang penting, berhentilah bersikap kepo." "Aku hanya bertanya." "Diam, aku saat ini sedang merasa seperti seorang bangsawan dengan kehidupan yang sangat mewah." "Teruslah bermimpi." "Dan akan aku jadikan mimpi itu sebagai kenyataan." Neptunus lantas tertawa meremehkan. "Hei, lihat saja nanti," ucap Nuansa. Tidak terasa, mereka akhirnya sampai di meja dan kursi mereka. "Kau memesan meja yang sama dengan yang waktu itu?" tanya Nuansa. "Tentu saja, letaknya, juga kursi-kursinya juga sama persis," jawab Neptunus. "Astaga, kau ini, para pelayan pasti kerepotan." "Mereka dibayar untuk itu." "Yah, benar juga." "Bagaimana gaunmu?" "Lumayan," jawab Nuansa seraya duduk. Nuansa memang menggunakan gaun kali ini, namun bukan yang panjang sampai menyeret-nyeret ke lantai, hanya gaun yang panjangnya sampai mata kaki saja. "Kau tidak memesan makanan atau minuman?" tanya Nuansa. "Sudah, aku sudah memesannya saat aku memesan meja dan kursi ini tadi," jawab Neptunus. "Oooh." Neptunus kemudian menatap Nuansa sembari menopang dagunya di atas telapak tangannya yang bertopang pada sikunya, Neptunus juga tersenyum dan membuat Nuansa salah tingkah. "Ada apa?" tanya Nuansa. "Tidak ada apa-apa, aku hanya teringat masa lalu," ujar Neptunus. "Waktu kita bertemu pertama kali belum terlalu lama, bodoh! Kau belum bisa menyebutnya masa lalu." "Ahh, aku rindu makianmu." "Engh, maaf, aku tidak bermaksud untuk-" "Tidak apa-apa, lupakan saja, aku memang benar-benar rindur, dan aku bersyukur kau memakiku tadi, karena itu membawa suasana masa lalu bagiku. Ngomong-ngomong, satu detik yang lalu juga masa lalu, jadi jangan berdebat denganku tentang hal sekecil itu." "O-ok." "Tapi ... sungguh, berada di sini lagi membuatku teringat akan pertemuan pertama kita yang sangat berkesan," kata Neptunus. "Kau masih ingat, kan?" lanjutnya. "Bagaimana mana bisa aku melupakan malam itu? Kau tiba-tiba menanyakan ukuran BHku dan membuatku semakin emosi saat kau tiba-tiba menatap dadaku walaupun aku sudah menutupinya dengan tanganku," sewot Nuansa. "Hahahaha," Neptunus tertawa renyah. "Itu benar-benar berkesan, ya?" ucap Neptunus. "Berhenti membicarakan itu atau amu akan menjitakmu," ancam Nuansa. "Jitak saja, tidak apa-apa, karena malam itu kau juga menjitakku, kan? Kau ingat, kan? Kalau kau melakukannya lagi, malam ini pasti benar-benar akan terasa seperti malam itu, dan asal kau tahu saja, itu benar-benar malam yang tidak akan pernah aku lupakan." "Ish!" "Hahaha." "Engh ... ingat saat kau mengancam akan melaporkanku ke Polisi? Kau bilang kau sama sekali tidak bercanda karena kau memiliki seorang teman yang berprofesi sebagai seorang Polisi," ujar Neptunus. "Ya, dan itu Reynand," kata Nuansa. "Benarkah?" "Oh, astaga! Tentu saja! Kenapa aku tidak menyadarinya dari awal?!" sambung Neptunus. "Kau memang tidak pernah sadar," gumam Nuansa. "Apa?!" "Engh, tidak, tidak." "Mmm, ngomong-ngomong, agar malam ini berkesan, sebaiknya kita memberi nama pada acara makan malam kita ini," lanjut Nuansa. "Hm? Ide macam apa itu?" ucap Neptunus. "Lakukan saja, itu pasti akan berguna untuk membuat malam terakhir kita sebagai seorang pasangan pura-pura berkesan, karena besok pasti aku tidak akan bersamamu sampai malam, kan? Jadi ini benar-benar malam terakhir kita bersama sebagai seorang sepasang kekasih yang sebenarnya hanya berpura-pura." "Hmmmm, bagaimana dengan Makan Malam Salam Perpisahan?" usul Neptunus. "Kau berpantun atau bagaimana?" "Eh? Jadi mirip seperti pantun, ya? Hahaha, tidak apa-apalah, keren juga jadinya." "Tidak juga sebenarnya, tapi ... baiklah, Makan Malam Salam Perpisahan." Suasana lantas menjadi hening sesaat. "Jadi ... apa kau sudah memikirkan apa yang akan kau kerjakan setelah kontrak kita selesai? Kau akan bermitra dengan Ibuku?" tanya Neptunus. "Aku masih belum memikirkannya, aku harus melewati diskusi yang serius dengan kedua orangtuaku mengenai hal itu, sudah pasti," jawab Nuansa. "Ya, itu harus, pastikan keputusan yang kalian ambil adalah yang paling tepat dari semua yang tepat." "Hahaha, baiklah, akan kuingat itu." "Huft, setelah besok, aku benar-benar akan sibuk dengan kehidupanku lagi dan mulai merenggang dengan kehidupanmu, itu artinya aku juga akan mulai jarang bertemu dengan Gladys, dan ... astaga, apa aku masih bisa terus mendampingi dan memberikannya semangat dalam masa-masa sulitnya ini? Karena kontrak kita selesai, jadi otomatis aku akan jarang bertemu dengannya, kan? Dan itu artinya dia akan menghadapi semuanya sendirian, a-aku-" "Hei, hei, sudahlah, fokus saja pada makan malam ini dulu, pikirkan yang lain besok saja, ini malam yang istimewa, kan? Aku paham bagaimana kau sangat tidak ingin lepas dari Gladys saat dia sedang menghadapi masa-masa tersulitnya, tapi, aku mohon, saat ini pikirkan saja dulu tentang makan malam kita ini," Neptunus menyela Nuansa. "Maafkan aku," ujar Nuansa. "Tidak apa-apa," kata Neptunus. Makanan dan minuman mereka kemudian datang, setelah itu, mereka menghabisi semuanya tanpa mengobrol apa-apa lagi, sepertinya Nuansa agak merusak suasana makan malam yang harusnya menjadi acara yang memberikan kesan berlebih ini. Chapter 97 - Hancurnya Emma Neptunus akhirnya mengantar Nuansa pulang, mereka sekarang ini sedang berada di depan gang tempat rumah Nuansa berada, mobil Neptunus baru saja berhenti, jadi Nuansa masih berada di dalam mobil itu. "Kau tidak keluar?" tanya Neptunus, Nuansa memang hanya diam sejak mereka berhenti, tidak melakukan persiapan apapun untuk keluar. "Aku ... aku ingin mengatakan sesuatu padamu," ucap Nuansa. "Apa?" "Terima kasih." "Huh?" "Terima kasih untuk semua kebaikan yang pernah kau lakukan padaku, mungkin tidak hanya kebaikanmu, tapi semuanya, hidupku benar-benar berubah sejak aku mengenalmu, dan terus akan berubah kedepannya, dan itu semua karena kau, kaulah pengaruh terbesarnya." "Kau salah, kau sendirilah pengaruh terbesarnya." "Tidak, Neptunus, tanpa kau aku tidak akan memiliki kehidupan yang lebih baik." "Aku harap aku bisa mengatakan hal yang sama." "Kenapa tidak? Aku yakin kita sama-sama sudah membawa pengaruh yang baik antara satu sama lain, walaupun hanya dalam waktu yang sebentar." "Well, mungkin aku tetap akan sama saja, tapi ... kau benar, kita sama-sama sudah saling membawa pengaruh yang baik antara satu sama lain." "Apa maksudmu dengan tetap akan sama saja?" "Engh ... tidak ada, lupakan saja, aku akan mendoakan agar kehidupanmu terus berubah menjadi lebih baik." "Amin, terima kasih sekali lagi." "Ahahaha, kau tidak perlu berterima kasih sebanyak itu, ini bukan saatnya kita akan berpisah, masih ada besok." "Aku berterima kasih untuk makan malamnya." "Ooh, astaga, hahaha." "Ya ... aku juga akan berterima kasih kepadamu atas malam yang indah ini, mungkin aku akan bermimpi malam ini." "Mimpi apa?" "Mimpi basah." Nuansa terkekeh kecil. "Asem." "Yasudah, aku akan keluar, aku tidak mau berlama-lama lagi, bisa gila nanti aku," lanjut Nuansa. "Hahaha," Neptunus tertawa. "Tapi ... sungguh, ini adalah malam yang tidak akan aku lupakan, tidak peduli nanti aku akan bermimpi apa, yang jelas aku tidak akan pernah melupakan malam ini," sambung Neptunus. "Makan Malam Salam Perpisahan," ujar Nuansa sembari menutup pintu mobil Neptunus usai dirinya keluar. "Makan Malam Salam Perpisahan," kata Neptunus juga. Keduanya lantas saling tersenyum. "Baiklah, ini sudah jam sembilan, sudah cukup malam, aku rasa sebaiknya kau sudah berada di dalam rumahmu sekarang," ucap Neptunus. "Ya, hati-hati di jalan, ya," ujar Nuansa. "Kau perhatian sekali, terima kasih." Nuansa kemudian tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, Neptunus pun lantas pergi. *** Sementara itu, di rumah Emma, Emma tampak sedang gelisah, dia bersama Ihih, dan seorang pria yang merupakan tukang kebun di rumah itu sedang berkumpul di satu ruangan yang sama, yaitu ruang tamu. Emma dan Ihih sama-sama terlihat sedang sangat gelisah, sementara si tukang kebun yang merupakan pria paruh baya tampak biasa-biasa saja. Tiba-tiba telepon rumah berbunyi, Ihih lalu bergegas untuk menjawab panggilan tersebut, sementara Emma hanya bisa mematung dan menunggu Ihih selesai berbicara dengan si penelpon. Tak lama kemudian, saat Ihih belum selesai berbicara dengan si penelpon, Ihih menyuruh Emma untuk menyalakan TV, Emma masih belum mengerti apa maksud Ihih dengan menyuruhnya menyalakan TV, namun ia tetap menyalakannya, karena percakapan Ihih dengan sang penelpon tidak terlalu terdengar jelas, sebab letak telepon rumah berada cukup jauh dari ruang tamu, dan Ihih meninggalkan telepon tersebut tadi demi menyuruh Emma menyalakan TV, sementara ia kembali ke telepon rumah untuk menuntaskan pembicaraannya dengan orang yang menelpon ke nomor telepon rumah ini. Saat Emma baru menyalakan TVnya, Ihih kembali, ia menyuruh gadis itu untuk mencari saluran TV yang sedang menayangkan berita. Dan apa yang ingin ditunjukkan Ihih kepada Emma akhirnya diketahui oleh Emma. "Tidak ... tidak mungkin ... i-ini ... ini mustahil!" gumam Emma yang tidak percaya dengan berita yang sedang ditontonnya, itu adalah berita mengenai kecelakaan pesawat yang ditumpangi oleh kedua orangtuanya, dan diberitakan bahwa seluruh penumpang dan awak pesawat tewas dalam kejadian nahas tersebut. "Bibi, ini tidak benar, kan?! Aku tahu Ayah dan Ibu menaiki maskapai pesawat yang sama, tapi itu bukan pesawat yang mereka tumpangi, kan?!" tanya Emma pada Ihih. "Maafkan aku, Nak, yang menelpon tadi adalah pihak kepolisian, mereka menjelaskan semuanya dan menyuruhku untuk menyalakan TV, mereka mengonfirmasi bahwa kedua orangtuamu juga merupakan penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan itu, mereka mengatakan akan terus memberikan perkembangan terbaru kepada kita, yang terpenting kita harus pergi ke kantor Polisi terdekat sekarang juga agar bisa mengikuti segala perkembangannya, nanti kita akan di arahkan ke pihak yang mengurus semua ini," ujar Ihih. "Bibi, semua penumpangnya tewas! Untuk apa ada perkembangan baru lagi?! Orangtuaku tewas, Bibi! Mereka penumpang di dalam pesawat itu!" teriak Emma dengan histeris, ia menangis dengan tubuh bergetar hebat sekarang, ini benar-benar merupakan berita yang sangat mengejutkan. "Nak-" "Apa mereka bisa mengembalikan orangtuaku?! Untuk apa ada perkembangan bodoh itu?! Katakan padaku, Bibi! Katakan!" "Tenanglah, Nak." "Bagaimana aku bisa tenang, Bibi?! Orangtuaku tewas! Mereka tewas dalam kecelakaan itu! Mereka berdua! Dua-duanya! Dua-duanya, Bibi!'' Emma benar-benar hancur sekarang. Ihih yang juga syok pun tidak tahu harus melakukan apa untuk bisa membuat Emma tenang sedikit, semua ini pasti sangat menguras emosinya. Ihih paham bagaimana Emma sangat syok dan sedih, namun semua ini tidak boleh merenggut kesehatannya dari segi mental maupun fisik. Banyak yang harus Emma urus selain perasaan pribadinya yang sudah pasti tersayat-sayat saat ini. Emma mendadak harus meneruskan usaha kedua orangtuanya, kalau tidak ia bisa terancam jatuh miskin, dan masih banyak hal yang akan lebih menguras emosinya dari pada hal itu, yang pasti, kabar kematian orangtuanyalah yang saat ini yang paling menghancurkannya. Emma bahkan berteriak-teriak histeris sekarang saking syoknya, terlihat jelas bagaimana hancurnya dia. Sejak sore dia sudah gelisah karena orangtuanya tidak memberikan kabar apapun, karena seharusnya mereka sudah tiba pada sore hari, dan mereka juga tidak bisa dihubungi, namun inilah yang di dapatkannya beberapa jam setelah kegelisahan mulai melandanya, kehancuran. Emma benar-benar hancur, ia menangis dan berteriak sejadi-jadinya sampai kehilangan kesadarannya. Chapter 98 - Dukungan Arfan "Jadi ... bagaimana makan malammu dengan Neptunus?" tanya Durah pada Nuansa yang saat ini sedang sisiran, Nuansa memang selalu menyisir rambutnya saat akan tidur, itu sudah menjadi kebiasaannya selain mengobrol dengan kedua orangtuanya lebih dulu sebelum tidur. "Biasa saja bagiku, tapi entah kenapa baginya itu luar biasa sekali," jawab Nuansa. "Mungkin karena dia belum rela untuk mengakhiri kontrak kalian," Arfan menimpali. "Entahlah, rela ataupun tidaknya dia, kontrak kami memang harus di akhiri karena dia akan sangat sibuk, rugi saja dia terus-terusan menggajiku, kan?" kata Nuansa. "Memang iya, tapi ini kan menyangkut perasaan pribadi dia kepadamu." "Apa maksud Ayah?" Arfan dan Durah lalu saling melirik. "Ah ... entahlah," ucap Arfan seraya menyengir. Nuansa kemudian menoleh ke Ibunya, namun Ibunya juga malah ikut-ikutan menyengir. ''Ada apa dengan Ayah dan Ibu?'' batin Nuansa. "Ngomong-ngomong, Ayah, Ibu, aku belum menceritakan kepada Ayah dan Ibu kan tentang kejadian besar yang terjadi hari ini?" ujar Nuansa. "Kejadian besar?" kata Durah. "Ya ... tentang kehebohan di kampus Neptunus." "Huh?" Nuansa lantas menjelaskan tentang drama di kampus Neptunus, di mana Emma menyebarkan rekaman suara yang telah dimanipulasi, lalu Finn memutuskan hubungannya dengan Gladys, lalu Neptunus dan Gladys sama-sama memiliki nama yang jelek. Intinya, Nuansa benar-benar menceritakan semuanya, benar-benar semuanya. "Menurut Ayah dan Ibu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Nuansa. "Apa?" Durah malah bertanya balik. "Tentang mencuri rekaman itu dari Emma, apa menurut Ayah dan Ibu aku harus melakukannya?" "Itu adalah tindakan yang sangat beresiko dan berbahaya, Ayah akan setuju dengan pendapat Neptunus dan Gladys dalam permasalahan ini, dan sebaiknya kau fokus pada kehidupanmu sendiri saja dulu, tidak usah kau pikirkan mengenai hal itu, hidupmu juga memiliki banyak masalah," kata Arfan. "Aku tahu, Ayah, tapi Gladys itu temanku, dia yang paling dekat denganku, bisa kusebut dia sebagai sahabatku, aku tidak mau orang-orang membencinya gara-gara hal yang tidak benar, Gladys tidak melakukan apa-apa, dia benar-benar korban, dia tidak salah apapun, dan pasti akan menyakitkan berada di posisinya, aku tidak mau membiarkan hal ini menjadi berlarut-larut," ucap Nuansa. "Tadi kau mengatakan bahwa berpikir kalau Neptunus dan Gladys ada benarnya, makanya kau tidak melanjutkan perdebatanmu dengan mereka, jadi kenapa sekarang kau merasa ragu-ragu begitu?" tanya Durah. "Entahlah, Ibu, aku hanya ... entahlah," jawab Nuansa. "Sudahlah, sebaiknya kita tidur saja, jangan memikirkan dan berniat untuk melakukan hal yang tidak-tidak," kata Arfan. "Ya, kau pasti sangat lelah, kau butuh istirahat," ujar Durah pada Nuansa. Nuansa hanya diam, dan tak lama kemudian, mereka bertiga akhirnya masuk ke kamar dan tidur. Namun di kamarnya, Nuansa tidak bisa tidur. Sudah sekitar satu jam setengah dia berusaha untuk tidur, tetapi tetap tidak bisa. Gadis itu lantas melihat jam di ponselnya, ternyata sudah pukul 23:30. Nuansa kemudian keluar dari kamarnya dan melihat ke pintu kamar orangtuanya yang tertutup, dia lantas mendengar suara dengkuran dari dalam kamar itu, yang artinya kedua orangtuanya sedang tertidur pulas sekarang. Nuansa lalu kembali ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian, menjadi pakaian yang serba hitam. Gadis tersebut juga mengikat rambutnya dan memakai masker kain berwarna hitam, tak lupa Nuansa mengantongi ponselnya, dan dia pun lantas keluar dari dalam kamarnya dengan langkah yang penuh dengan kehati-hatian. Nuansa juga selalu melihat ke belakang setiap 3 detik sekali untuk memastikan bahwa orangtuanya tidak terbangun, tetapi justru hal itu membuatnya salah melangkah, karena terlalu berhati-hati, Nuansa secara tidak sengaja menabrak pintu, dia tidak sadar bahwa dirinya sudah berada di depan pintu karena terlalu sering melihat ke belakang. Hal itu tentu saja membuat suara kebisingan yang berhasil membuat suara dengkuran dari dalam rumah itu berhenti, di saat itu juga Nuansa menyadari bahwa salah satu dari orangtuanya terbangun, dan besar kemungkinan bahwa yang terbangun adalah Arfan. Dengan cepat, Nuansa keluar dan berlari dengan sangat kencang dengan bertelanjang kaki, tak lupa dia juga menutup pintu rumahnya sebelum berlari sekencang-kencangnya, hanya untuk berjaga-jaga jika seandainya orangtuanya sebenarnya tidak terbangun. Jalanan sudah sangat sepi dan sunyi di daerah rumah Nuansa, benar-benar sangat membantu Nuansa untuk bisa lari secepatnya, tetapi meskipun begitu, Nuansa tetap berhati-hati, karena bisa saja ada kendaraan yang tiba-tiba lewat, seperti truk misalnya, yang memang kebanyakan berkeliaran pada malam hari. Setelah berlari cukup jauh, Nuansa tentu saja merasa lelah, jadi dirinya memutuskan untuk berhenti sejenak untuk beristirahat. Gadis itu duduk, bahkan tiduran di jalan yang memang hanya dilintasi satu atau dua kendaraan, dilihatnya jam di ponselnya yang sudah menunjuk ke pukul 12 lewat. Sudah lebih dari 15 menit gadis tersebut berlari, dan dia bahkan belum setengah jalan menuju tujuannya. Setelah merasa cukup untuk beristirahat, Nuansa lantas berdiri dan kembali berlari sekencang-kencangnya, selama satu jam lebih, dia berlari dan berhenti sesekali, hingga akhirnya, Nuansa sampai di tempat tujuannya: perumahan tempat rumah Emma berada. Nuansa belum benar-benar berada disitu, dia masih berada sekitar 50 meter dari perumahan itu. Gadis tersebut kemudian menarik napas panjang, dia sudah berlari sejauh 7 km selama satu jam lebih, dan hal itu sukses membuat kedua kakinya terasa mau patah sekarang. Dia bukan pelari, bahkan berlari saja jarang, jadi tentu saja untuk menempuh jarak sejauh itu dalam waktu satu jam lebih akan membuat kedua kakinya terasa benar-benar pegal, bahkan Nuansa duduk lagi di jalan tatkala dirinya menarik napas panjang di 50 meter dari perumahan tempat rumah Emma berada. Setelah ini, dia masih harus menghadapi sekitar 3-4 Satpam di perumahan itu sesuai dengan informasi dari Thomas, jadi bagian tersulitnya baru akan dimulai sekarang. Nuansa lantas melihat jam di ponselnya lagi, dan ternyata ini sudah jam setengah dua lebih. Udara terasa dingin, tetapi untungnya pakaian Nuansa terbuat dari kain yang bawaannya akan tubuhnya terasa panas, jadi Nuansa tidak terlalu merasakan dinginnya udara dini hari ini. Gadis tersebut lalu berdiri, dia sudah cukup lama beristirahat, dan rumah Emma sudah dekat, jadi tentu saja dia akan melanjutkan semua ini, tapi tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang. "Nuansa!" Sontak saja Nuansa menoleh ke belakang usai mendengar panggilan itu. "Ayah?" ucap Nuansa saat ia melihat ke belakang, ternyata Arfan mengejarnya. "Nak, apa yang kau lakukan?" tanya Arfan. "Seharusnya aku yang bertanya pada Ayah, apa yang Ayah lakukan?" Nuansa malah bertanya balik. "Nuansa-" "Jika Ayah memintaku untuk kembali, maka maaf Ayah, aku sudah berlari sejauh ini, tujuanku sudah di depan mata, dan aku tidak akan mundur," Nuansa menyela Arfan yang terlihat benar-benar lelah. "Dengar ..." Arfan bahkan kesulitan berbicara karena ritme napasnya tidak beraturan. "Ayah, tolonglah, aku tidak mungkin menyetujui pendapat Neptunus dan Gladys begitu saja, mereka yang sedang dalam masalah, dan sudah pasti mereka tidak ingin membuatku berada di posisi yang sulit, tapi aku tidak merasa bahwa aku akan berada di dalam posisi yang sulit, maksudku ... mengertilah dengan pemikiranku, aku-" "Nuansa, cukup." "Ayah-" "Ayah akan membantumu." "Apa?!" "Kau sangat keras kepala dan benar-benar sangat niat untuk melakukan semua ini, entah bagaimana sebenarnya jalan pikiranmu, tapi ... ketahuilah bahwa Ayah dan Ibu sebenarnya tidak ingin kau melakukan ini, tapi kau ..." "Aku tidak akan mengecewakan siapapun." Arfan lalu terdiam sesaat. "Entah Ayah harus bangga padamu atau bagaimana, yang jelas hal ini akan sangat diingat oleh banyak orang, entah dalam pendapat yang buruk ataupun yang baik." "Aku tahu itu. Terima kasih karena mau membantuku, Ayah. Aku bahkan tidak menyangka kalau Ayah bakal mau menyusulku sampai sejauh ini." "Tidak ada satupun Ayah yang sanggup membiarkan putrinya sendirian melewati bahaya." Nuansa lantas tersenyum. "Beristirahatlah dulu, stabilkan ritme napas Ayah, fisik Ayah jauh lebih lemah dariku, Ayah harus mengambil waktu yang lebih banyak dariku untuk beristirahat," ucap Nuansa. Chapter 99 - Menyelinap Emma saat ini sedang tidur di dalam kamarnya, ia digotong tadi karena pingsan, dan baru sadar sekarang. Gadis itu kemudian melihat jam, ternyata ini sudah hampir pukul 2 pagi. Dia lantas membungkus dirinya dengan selimutnya sembari menangis pelan. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, sontak saja Emma terkejut dan melihat siapa yang masuk ke dalam kamarnya. "Paman?! Apa yang kau lakukan?!" tanya Emma kepada orang yang masuk ke dalam kamarnya yang ternyata adalah sang tukang kebun. "Sssssht, jangan berisik," ucap si tukang kebun yang lantas menutup pintu kamar Emma dan menguncinya, dia lalu berjalan mendekati Emma. "Paman keluar sekarang juga dari kamarku!" bentak Emma. "Sungguh? Dalam keadaan seperti ini kau pasti tidak hanya butuh dukungan, kan? Tapi juga belaian agar kau merasa lebih tenang, iya, kan?" "Paman, jangan gila!" Emma terlihat benar-benar ketakutan sekarang seraya memeluk selimutnya. "Oh, Emma, gadis yang malang," ujar si tukang kebun sambil mengelus wajah Emma. "Apa yang kau lakukan?!" tanya Emma, tubuhnya bergetar hebat sekarang. "Tenanglah, tidak usah gemetar seperti itu, aku tahu kau gugup, tapi santai saja," kata tukang kebun tersebut. Emma lantas menepis tangan tukang kebun di rumahnya itu. "Jangan macam-macam kau!" seru Emma. "Diam kau!" ucap si tukang kebun yang merasa geram, dia memegangi kedua sisi pipi Emma, lalu menarik selimutnya. "Kau milikku sekarang, sayang," sambungnya. Emma kemudian berteriak sejadi-jadinya, tetapi tampaknya hal itu tidak akan memberikan dampak apapun sebab si tukang kebun menutup mulutnya. *** Sementara itu, Nuansa dan Arfan memulai drama mereka di luar. Nuansa menyeret sang Ayah, dan Arfan tampak berpura-pura tertusuk di bagian perut, dia menutupi bagian tersebut dan berakting seolah-olah ia merasakan sakit yang teramat sangat dengan ekspresi wajahnya yang mendukung. Ketika mereka sampai pada pos Satpam, tentu saja Satpam yang ternyata hanya berjumlah 2 orang itu terkejut, mereka langsung keluar dari pos masing-masing dan menghampiri Nuansa yang bergaya seperti perampok, dan Arfan yang seolah-olah adalah korban penusukan. "Jangan mendekat dan biarkan aku masuk, atau dia akan mati!" ancam Nuansa pada 2 Satpam tersebut. Kedua Satpam itu lalu langsung mematung. "Di mana teman kalian yang lain?" tanya Nuansa. "Tidak ada, kami hanya berdua," jawab salah satu Satpam. "Aku tidak percaya!" "Kami yang mengisi shift malam, ada dua orang sebelum kami yang mengisi shift pagi dan siang, mereka sudah pulang, jadi hanya ada kami berdua," jawab yang satunya lagi. Nuansa kemudian memperhatikan kedua pos Satpam yang ada di sana, memang hanya ada dua pos Satpam, dan jawaban mereka bisa diterima dengan akal sehat. "Nona, tolong lepaskan dia," pinta salah seorang Satpam, di nametagnya tertulis bahwa namanya adalah Reynand, nama yang sangat familiar bagi Nuansa. "Tidak ... biarkan dia masuk, dia berjanji akan melepaskanku jika kalian membiarkannya masuk, jika kalian tidak membiarkannya masuk, keluargaku yang akan berada dalam bahaya, dan aku pasti akan dibunuh olehnya. Tolong ... biarkan dia masuk," kata Arfan, aktingnya benar-benar sangat baik, dia benar-benar terlihat seperti orang yang tertusuk dan pisaunya masih menancap. Nuansa kemudian melepaskan Ayahnya dan berlari ke dalam perumahan tersebut. Satpam yang bernama Juna berniat untuk mengejar Nuansa, tetapi Arfan berhasil menahannya hanya dengan berpura-pura kesakitan dengan mengeluarkan suara-suara khas orang yang sedang kesakitan. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Satpam Juna kepada Satpam Reynand. "Hubungi Polisi, aku akan memeriksa keadaan pria ini," ujar Satpam Reynand. Satpam Juna lalu mengangguk, kemudian masuk ke dalam posnya untuk menghubungi Polisi. Sementara Satpam Reynand memeriksa keadaan Arfan. "Tuan, boleh saya lihat luka Anda?" tanya Satpam Reynand pada Arfan. "Tidak ... tidak usah ... aku akan baik-baik saja," ujar Arfan. "Tapi kenapa?" "Pisaunya masih menancap, aku tidak ingin pisau ini dicabut, selama aku menahannya seperti ini, aku tidak mengalami pendarahan." "Tapi, setidaknya biarkan saya melihatnya." "Tidak usah, aku tidak mau aku darahku mengalir karena aku melepaskan tanganku dari luka dan pisau ini." "Tangan Anda tidak membawa pengaruh apapun, Tuan." "Tidak ... aku tidak mau." "Baiklah, tunggu sebentar, saya akan ambilkan air putih," Satpam Reynand lantas masuk ke dalam posnya untuk mengambil air putih. ''Nuansa ... cepatlah,'' batin Arfan. *** "Nona Emma! Nona Emma!" Ihih saat ini sedang menggedor-gedor pintu kamar Emma, sementara di dalam kamar tersebut, Emma sedang berusaha untuk membebaskan dirinya dari tukang kebun bejat ini. "Lepaskan aku!" teriak Emma sembari mendorong pria paruh baya itu sampai terjatuh. Dalam keadaan setengah telanjang, Emma lantas membuka pintu kamarnya dan langsung memeluk Ihih. "Bibi, tolong aku," pinta Emma seraya menangis. "Astaga, Nak. Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Ihih. "Entahlah," jawab Emma yang masih terlihat syok dan ketakutan. "Wan! Sadarlah! Apa yang kau lakukan pada anak ini?!" seru Ihih pada si tukang kebun yang sedang bangkit. "Menurutmu apa?" Wan bertanya balik. "Kau akan dipenjara untuk hal ini, Wan!" Wan kemudian berjalan mendekati Emma dan Ihih, Emma hanya bisa berlindung di belakang Ihih, dia benar-benar terlihat ketakutan, terlebih lagi si tukang kebun yang bernama Wan itu menatapnya dengan tajam sebelum turun dan pergi dari sana. "Bibi, ayo kejar dia! Dia pasti berusaha untuk kabur!" ujar Emma yang memang sedang melihat pergerakan Wan bersama Ihih dari lantai 2, tampak jelas memang Wan yang sedang berpakaian berjalan menuju pintu, dan kemudian keluar. "Biarkan dia," kata Ihih. "Huh?" "Ada Satpam di sana, dia pasti akan tertangkap." "Pakailah pakaianmu, Nak," lanjut Ihih. *** Nuansa saat ini sedang bersembunyi di dapur, dia menyadari bahwa situasi di rumah ini sedang tidak beres sejak dirinya mendengar suara gedoran pintu yang diciptakan oleh Ihih tadi, dan gadis itupun melihat dengan jelas bagaimana Wan pergi dari sana, dan tak lama kemudian Ihih menyusulnya. Nuansa lalu mengeluarkan kepalanya dari pintu untuk memastikan bahwa situasi aman. Namun, tanpa sengaja, Nuansa melihat Ihih berhenti, memang Ihih berada di luar, tetapi pintu depan terbuka sedikit, jadi Nuansa bisa melihat sedikit bagian tubuh Ihih. Nuansa memutuskan untuk tidak fokus kepadanya, waktu yang dia miliki untuk mendapatkan rekaman asli tersebut tidak banyak, belum lagi dia harus mengetahui di mana Emma menyimpan rekaman asli itu. Gadis tersebut pun kemudian naik ke lantai 2 dan melihat pintu kamar Emma yang tertutup. Nuansa lalu menghampiri pintu tersebut, dan pada saat itu juga dia menyadari bahwa Emma tidak tertidur di dalam, sebab langkah kaki Emma yang akan keluar dari kamarnya terdengar dengan jelas. Nuansa pun langsung panik karena tidak ada tempat persembunyian apapun di sini, lantai 2 hanya berisi beberapa kamar yang jarak antara satu dan yang lainnya cukup jauh, jadi Nuansa tidak memiliki cukup waktu untuk sampai ke kamar lainnya. Chapter 100 - Aksi Nuansa Satpam Reynand kembali pada Arfan dengan membawa segelas air putih, dia membantu Ayahnya Nuansa itu untuk meminum air putih tersebut. Sang Satpam lantas melirik ''luka'' Arfan yang dirasanya agak aneh. "Tuan, sepertinya pisaunya menancap dalam sekali, saya takut kalau dibiarkan menancap sedalam itu akan mengakitbatkan masalah lain," ucap Satpam Reynand pada Arfan. "Tidak, ini tidak apa-apa, justru hanya akan menimbulkan masalah jika dicabut," ujar Arfan. "Tapi bolehkah saya melihatnya dulu? Pisaunya tampaknya tertancap semuanya ke luka Anda, jika ukurannya kecil tak masalah, tapi jika cukup besar saya takut akan sangat berbahaya." "Polisi akan datang sekitar setengah jam lagi," Satpam Juna menyela Satpam Reynand yang sedang berbicara dengan Arfan. "Tangkap perempuan itu, setengah jam itu cukup lama, kita tidak bisa membiarkannya berkeliaran dengan bebas di sini," kata Satpam Reynand. "Baiklah." "Tidak, jangan," Arfan berusaha menahan Satpam Juna untuk tidak mengejar Nuansa, dan secara tidak sengaja Satpam Reynand melihat ''luka'' yang ditutup oleh Arfan karena pergerakan Arfan sendiri yang berusaha membuat Satpam Juna tidak menyusul Nuansa. Satpam Reynand menyadari bahwa Arfan sama sekali tidak terluka, dan kontan saja dia terkejut melihat hal itu. "Tuan, luka Anda ..." ujar Satpam Reynand pada Arfan, Arfan pun langsung menyadari bahwa dia sudah ketahuan. Dengan cepat, Arfan memukul Satpam Reynand hingga tersungkur ke tanah, dia kemudian memecahkan gelasnya yang sudah kosong. Melihat hal itu, Satpam Juna tentu saja ingin bergerak membantu Satpam Reynand yang sudah ditahan oleh Arfan. "Diam di tempatmu atau akan aku potong telinga dia," Arfan mengancam Satpam Juna dengan pecahan gelas yang cukup besar sebagai senjatanya. "Sialan kau," umpat Satpam Reynand pada Arfan. "Jangan dengarkan dia! Pergi kejar perempuan itu!" sambung Satpam Reynand. Satpam Juna pun merasa bingung harus melakukan apa. "Pergi! Pria tua ini tidak akan berani melakukan apapun! Percayalah!" ucap Satpam Reynand sekali lagi. Arfan bukannya diam begitu saja, dia menempelkan pecahan gelas yang sedang dipegangnya ke telinga Satpam Reynand, tetapi mengejutkan, Satpam Juna memilih untuk melakukan apa yang dikatakan oleh Satpam Reynand. "Hei!" teriak Arfan. "Diam kau!" Satpam Reynand meneriaki Arfan. "Sial!" gerutu Arfan. "Dugaanku benar, kau tidak berani melakukan apapun padaku," ujar Satpam Reynand. "Kau hanya bisa mengancam," lanjutnya. Sebisa mungkin, Arfan tidak kehilangan kendali dan menjadi emosi, dia tidak mau melukai siapapun, ini hanya ancaman, tetapi jika emosinya terpancing, maka bisa saja dia melakukan hal nekat tersebut. *** Sementara itu, di lantai 2 rumah Emma, gagang pintu kamar Emma mulai ditekan dari dalam, Nuansa kemudian memutuskan untuk berdiri bersandar di dinding saja karena ia tidak tahu lagi harus bersembunyi di mana. Keputusan Nuansa ternyata sangat tepat, sebab Emma benar-benar tidak melihatnya saat keluar dari dalam kamarnya, karena Emma langsung menghadap ke kanan dan pergi ke arah kanan, sementara Nuansa bersandar pada dinding sebelah kiri dari pintu kamar Emma. Setelah Emma turun, Nuansa yang tadinya benar-benar seperti orang yang terkena serangan jantung pun merasa lega, dia lantas masuk ke dalam kamar Emma dan menyalakan lampu kamar tersebut, tentu saja kemudian dia langsung membongkar isi kamar itu. "Jadi dia menyimpan rekaman itu di mana?" gumam Nuansa. "Masa bodohlah, aku akan ambil semuanya yang aku curigai sebagai tempat dia menyembunyikan rekaman asli itu," sambungnya. Nuansa lantas mengambil ponsel, laptop, flashdisk, hardisk, dan semua kartu memori Emma, dan dia menaruh semua itu ke dalam tas Emma. Nuansa berhasil mengumpulkan semua itu hanya dalam waktu 100 detik saja, dia bergerak sangat cepat untuk menggeledah isi kamar Emma dan mendapatkan semua itu. Setelahnya, Nuansa memastikan bahwa tidak ada lagi flashdisk atau apapun itu yang belum dia ambil, dan dia lalu memutuskan untuk keluar dari dalam kamar itu dalam keadaan kamar yang sangat berantakan. Ketika membuka pintu kamar Emma, Nuansa terkejut setengah mati sebab tiba-tiba Emma berada di depannya sambil mengarahkan sebuah pisau tajam ke arah wajahnya. Ternyata dugaan Nuansa salah, Emma menyadari keberadaannya saat dia keluar dari dalam kamar tadi. Itu artinya, Emma hanya berpura-pura tidak melihat Nuansa. "Siapa kau?" tanya Emma pada Nuansa yang memang tidak bisa dikenali dengan tampilannya tersebut. Nuansa lantas memukul tangan Emma hingga membuat pisau yang dipegang Emma terjatuh, saat itu juga Nuansa berusaha untuk langsung lari, tetapi tentu saja tidak semudah itu, Emma menahan tubuhnya dan menjatuhkannya ke lantai. Namun, Nuansa tidak lantas menyerah begitu saja. Saat terjatuh, Nuansa langsung menarik Emma sehingga dia terjatuh juga, dan Nuansa pun akhirnya memiliki kesempatan untuk lari. "Hei! Kembali kau!" teriak Emma yang gagal menahan Nuansa, dia lalu mengambil pisaunya dan mengejar Nuansa yang berlari sekencang-kencangnya. Saat sampai di pintu depan, Nuansa berpapasan dengan Ihih yang baru saja akan masuk. Ihih hanya bisa mematung saat melihat Nuansa, dan kesempatan itu pun digunakan Nuansa untuk melaju terus. "Bibi! Kejar dia!" seru Emma pada Ihih, tetapi tentu saja sudah terlambat, Nuansa sudah lolos. Begitu sudah berada di luar, Nuansa melihat Satpam Juna yang sedang berbicara dengan Wan, tampaknya Satpam Juna sedang bertanya-tanya kenapa Wan lari, dan langsung saja Nuansa menambah kecepatan berlarinya, sebab ini adalah kesempatan emas baginya untuk bisa lolos dari Satpam Juna, dan benar saja, dia lolos. "Hei!" teriak Satpam Juna pada Nuansa, di detik itu juga Wan langsung berlari juga karena Satpam Juna lengah. "Sialan!" umpat Satpam Juna. *** Begitu berhasil sampai di pos Satpam, Nuansa langsung masuk ke dalam salah satu pos untuk mencari sebuah kunci motor, dan dia langsung mendapatkannya pada saat dia baru saja melihat ke dalam. Gadis itu lantas menyalakan salah satu motor Satpam. "Ayah! Ayo!" Nuansa mengajak Arfan untuk pergi. "Apa yang kau lakukan?! Kau tidak pernah belajar membawa motor!" seru Arfan. "Tidak ada waktu lagi! Ayo!" Arfan lantas memilih untuk tidak berdebat dengan sang putri, karena Nuansa benar, tidak ada waktu lagi. Arfan pun kemudian naik ke atas motor dan dibonceng oleh Nuansa. Satpam Reynand lalu bangkit dan berusaha mengejar mereka. ''Kuharap ini sama seperti dengan membawa mobil,'' batin Nuansa yang kemudian menjalankan motor tersebut secara perlahan, tapi makin lama makin kencang, dan Satpam Reynand pun gagal mengejar Nuansa dan Arfan. Namun tetap saja, karena baru pertama kali membawa motor, Nuansa masih sangat buruk, dia tidak bisa menyeimbangkan setang dan membawa motornya terlalu kencang. "Pelan-pelan! Pelan-pelan!" seru Arfan yang panik. "Ini sudah bagus untuk orang yang tidak pernah membawa motor, Ayah!" teriak Nuansa. "Menurutmu kita berhasil lolos?!" "Tentu saja!" "Kalau begitu biarkan Ayah yang membawa motornya! Karena setidaknya Ayah pernah membawa motor!" "Tidak apa-apa! Biar aku saja!" "Tapi ini sangat mengerikan!" "Siapa yang peduli akan hal itu pada saat di jalanan tidak orang?!" "Kau ini!" Chapter 101 - Peluru Terakhir Belum jauh Nuansa dan Arfan pergi dari perumahan tempat Emma tinggal, tiba-tiba ada beberapa orang dengan beberapa motor yang mengikuti mereka dari belakang. "Siapa itu, Ayah?" tanya Nuansa. "Itu bukan mereka," jawab Arfan. "Apa aku perlu menambah kecepatan berkendaraku? Soalnya aku sydah menurunkan kecepatannya." "Tidak, tidak perlu. Tadi salah satu Satpam sempat menghubungi Polisi, tapi orang-orang yang di belakang kita ini tidak terlihat seperti Polisi." "Apa mereka mengejar kita?" "Entahlah, tapi mereka terus melihat kita." "Mereka terlihat berbahaya?" "Sepertinya." "Oh, tidak!" lanjut Arfan. "Ada apa, Ayah?" tanya Nuansa. "Salah satu dari mereka mengarahkan pistol ke arah kita!" jawab Arfan. "Apa?! Berarti mereka Polisi?!" "Bukan! Lagi pula Polisi tidak akan langsung menembak orang begitu saja!" "Lalu siapa mereka ini?!" Dor! Tembakan dari pistol yang dipegang oleh salah satu dari orang-orang yang mengejar Nuansa dan Arfan lepas ke arah ban belakang motor yang dibawa Nuansa. Hal itu pun membuat Nuansa kehilangan keseimbangannya secara total dan membuatnya terjatuh, begitu juga dengan Arfan dan motor tersebut. Saat terjatuh, Nuansa memeluk barang-barang Emma dengan erat, dan untungnya baik dia dan sang Ayah tidak mengalami luka berat, hanya beberapa luka lecet. "Ayah tidak apa-apa?" tanya Nuansa pada Arfan sembari menghampirinya. "Ya, kau bagaimana?" Arfan bertanya balik. "Hanya ada beberapa luka lecet, tapi ini tidak apa-apa," jawab Nuansa seraya membantu Arfan berdiri. Tanpa mereka sadari, orang-orang ini sekarang mengelilingi mereka. Jumlah motor ada 5, dan jumlah orang ada 10. "Siapa mereka, Ayah?" tanya Nuansa pada Arfan. "Ayah tidak tahu, tapi melihat dari aksi mereka, sepertinya mereka adalah pembegal," jawab Arfan. "Apa yang mereka mau?" "Mungkin barang-barang yang kau ambil dari Emma." "Jadi Emma yang mengirim mereka?" "Entahlah, tapi sepertinya orang-orang ini tahu apa yang ada di dalam tas yang kau pegang itu." "Siapa kalian?! Apa mau kalian?!" tanya Nuansa pada orang-orang yang menggunakan masker tersebut, sama sepertinya. Orang-orang ini tidak menjawab pertanyaan Nuansa, dan mereka tetap mengelilingi Ayah dan Anak itu. Orang yang menembak ban motor yang dikendarai Nuansa tadi lalu mengarahkan pistol ke Nuansa. "Lari, lari!" ucap Arfan, ia dan Nuansa lantas langsung berlari menerobos orang-orang ini. Keduanya kemudian dihujani peluru-peluru dari pistol-pistol orang-orang itu, ternyata tidak hanya satu orang yang memiliki pistol, semua yang dibonceng memegang pistol. "Ayah! Bagaimana ini?!" teriak Nuansa. "Berlarilah dengan pola zig zag!" seru Arfan. "Apa-apaan mereka ini?!" "Entahlah!" Arfan lantas melirik tas Emma yang dipegang oleh Nuansa. "Berikan tas itu ke Ayah!" pinta Arfan. "Apa?!" tanya Nuansa. "Berikan saja!" Nuansa kemudian menuruti perintah sang Ayah. Setelah tas tersebut berada di tangannya, Arfan lalu memeluknya. "Apa yang akan Ayah lakukan?" tanya Nuansa. "Kau teruslah berlari, Ayah akan mengalihkan perhatian mereka," jawab Arfan. "Apa?! Tidak!" "Mereka menginginkan ini, Nak." "Kalau begitu lempar saja itu ke arah mereka!" "Benar, tapi hal itu tidak menjamin kalau mereka tetap akan mengejar kita atau tidak, setidaknya kau harus aman." "Tidak, Ayah!" "Sudah cukup kau melawan perintah orangtuamu! Turuti apa yang Ayah katakan! Mengerti?!" Nuansa kemudian terdiam. "Baiklah," ucap Nuansa. "Ayah menyayangimu," ujar Arfan, dia lantas berbalik ke belakang, sementara Nuansa tetap berlari ke depan. Meskipun berbalik, Arfan tentu saja tetap berusaha menghindari peluru-peluru dari sekelompok orang ini. Mengejutkan, ternyata orang-orang ini tidak mengincar barang-barang Emma, tetapi Nuansa. Mereka sama sekali tidak memedulikan Arfan, bahkan sekarang Arfan lah yang berada di belakang mereka. "Mereka tidak mengincar barang-barang ini sama sekali?!" kata Arfan yang langsung panik begitu menyadari bahwa Nuansa lah yang menjadi target orang-orang ini, dia pun langsung berlari mengejar kelompok tersebut yang sudah berhasil menyamai posisi mereka dengan Nuansa. Wajar saja, sebab Nuansa hanya mengandalkan kekuatan kakinya, sementara mereka mengandalkan kekuatan mesin motor mereka. Tidak kehabisan akal, Nuansa yang siap diserang oleh peluru dari berbagai arah pun berhenti dan berlari menghampiri Arfan, ia berhasil mengecoh orang-orang itu, terbukti beberapa dari mereka sudah kehabisan peluru. Trik dari Arfan untuk berlari dengan pola zig zag benar-benar berguna, dan kepintaran Nuansa menghadapi situasi yang mendesak saat dikelilingi oleh orang-orang itu tadi benar-benar sempurna. Arfan dan Nuansa pun kini kembali bersama. "Kau tidak apa-apa?!" tanya Arfan pada Nuansa. "Ya," jawab Nuansa. "Mereka mengincarmu, apa yang terjadi?!" "Aku tidak tahu, Ayah." "Kau pernah bertemu dengan mereka sebelumnya?! Kau memiliki urusan dengan orang-orang ini?!" "Apa aku terlihat seperti itu?! Tentu saja aku tidak mengetahui siapa mereka! Aku tidak pernah berurusan dengan orang-orang seperti ini! Aku anak baik-baik!" Arfan dan Nuansa lalu menyadari bahwa masih ada satu pistol yang belum kehabisan peluru, dan pistol itu kini tengah mengarah ke Nuansa. "Sial! Lari, lari!" teriak Arfan, dia dan Nuansa kemudian lanjut berlari setelah sempat berhenti tadi. Terlihat beberapa orang mengintip dari dalam rumah mereka, ya, memang ini adalah sebuah jalan di mana terdapat banyak rumah di pinggir-pinggirnya. Keberisikan yang diciptakan oleh Nuansa, Arfan, beserta orang-orang asing ini membuat banyak orang terbangun dari tidur mereka dan mengintip keluar untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Sialnya, Arfan terjatuh saat baru saja akan melanjutkan larinya, fisiknya benar-benar tidak kuat lagi untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak berat. "Ayah!" seru Nuansa yang sudah maju duluan tadi. "Larilah! Mereka mengincarmu!" teriak Arfan. Namun sudah terlambat, orang-orang yang sepertinya geng motor ini kini mengelilingi Nuansa. Salah satu dari mereka yang masih memiliki satu peluru tersisa lantas turun dari motor dan mendekati Nuansa. "Tolong, jangan," pinta Nuansa yang nyawanya berada di ujung jurang. "Aku bukan siapa-siapa, aku bukan anggota geng motor atau apapun, ini hanya masker, jangan kira aku musuh kalian atau bagaimana," sambung Nuansa, dia kemudian membuka maskernya. "Ini buktinya, tolong, aku bukan siapa-siapa, kalian pasti salah target," ujar Nuansa yang masih memohon, ia bahkan sampai tiarap untuk membuat permohonannya dikabulkan. "Kau membuka maskermu, kau membuat kami semakin yakin bahwa memang kaulah target kami," ucap orang yang siap menembak Nuansa itu. "Apa?" lirih Nuansa. "Namamu Nuansa, kan?" tanyanya. "Bagaimana-" "Selamat tinggal, Nuansa." Seketika itu juga Nuansa memejamkan kedua matanya dan melindungi kepalanya menggunakan tangannya. Dor! Peluru terakhir ditembakkan. Chapter 102 - Pesan Arfan Pria yang menembak Nuansa terkejut saat peluru terakhirnya dia lepaskan, karena tepat pada saat dia melepaskan peluru tersebut, Arfan datang dan langsung menimpa Nuansa, sehingga yang tertembak bukan Nuansa, melainkan Arfan, tepat pada bagian Jantungnya. Nuansa tentu saja menyadari bahwa seseorang telah melindunginya, dan dia bisa langsung tahu bahwa itu adalah Ayahnya, karena rasa pelukan Arfan tidak pernah berubah, ini tetap sebuah pelukan yang dulu selalu mengantar Nuansa ke alam mimpi. Seluruu anggota geng motor ini pun hanya bisa terdiam karena target mereka benar-benar lolos, padahal mereka sudah menyerangnya dengan serangan yang brutal tadi, dan saat dia sudah tersudutkan pun dia masih bisa selamat. Usaha mereka sia-sia. Beberapa detik kemudian, tubuh Arfan yang melindungi Nuansa terjatuh ke tanah, tepatnya ke sebelah Nuansa. Nuansa sendiri langsung gemetaran begitu mendengar suara tubuh Ayahnya yang menyentuh tanah, dan tanpa sadar air matanya langsung mengalir, padahal dia belum melihat keadaan sang Ayah. Pada saat yang sama, dari arah rumah Emma terlihat beberapa orang datang, salah satunya adalah mobil Polisi. Para anggota geng motor pun langsung kabur begitu melihat ada Polisi datang, mereka meninggalkan Nuansa dan Arfan di tengah jalan, menjadi tontonan orang-orang yang berada di dalam rumah. Nuansa secara perlahan mengangkat kepalanya dan menoleh ke Ayahnya yang sudah terbujur kaku. Air matanya mengalir semakin deras saat dirinya melihat keadaan Arfan, tetapi dia sama sekali tidak mengeluarkan suara tangisan. "Ayah ..." lirih Nuansa. "K-kau baik-baik saja, kan?" tanya Arfan dengan suara yang hampir hilang. "Tidak, aku tidak baik-baik saja jika Ayah tidak baik-baik saja," jawab Nuansa seraya mengangkat kepala Ayahnya dan menopangnya di pahanya. "Polisi datang, Ayah akan baik-baik saja, percayalah padaku," ujar Nuansa. Gadis itu berusaha untuk tegar, tapi tentu saja ia tidak terlihat kuat sama sekali dengan air mata yang mengalir segitu derasnya. Arfan kemudian tersenyum pada Nuansa. "Lain kali ... jangan melawan apa yang orangtuamu katakan, karena itu semua demi kebaikanmu sendiri," kata Arfan dengan kesadaran yang hampir hilang. "Iya, iya, aku berjanji, aku berjanji akan menjadi anak yang penurut, aku tidak melawan perkataan Ayah dan Ibu lagi. Aku minta maaf, Ayah, aku sungguh menyesal, benar-benar menyesal, dan Ayah akan melihat bagaimana aku akan berubah, Ayah akan senang dengan perubahanku, aku akan menjadi anak yang menuruti perkataan Ayah dan Ibu, dan Ayah juga akan ada untuk aku turuti perkataannya, iya, kan?" ucap Nuansa. "Ayah tidak yakin, tapi ... janjimu itu tidak boleh kau langgar ya, Nak." "Pasti, aku tidak akan melanggarnya, Ayah. Sekarang beritahu aku, besok pagi Ayah mau aku buatkan apa? Kopi? Teh? Singkong rebus? Singkong goreng? Katakan saja apa yang Ayah mau, aku akan menuruti permintaan Ayah, ketika Ayah terbangun besok pagi, semua permintaan Ayah sudah akan tersedia, tapi tentu aku tidak akan menuruti Ayah jika yang Ayah minta adalah rokok, sudah lama Ayah berhenti merokok, jadi jangan kotori paru-paru Ayah dengan benda itu." "Kau berjanji akan menuruti apapun yang Ayah katakan?" "Apapun yang Ayah katakan dan yang Ayah minta, karena aku akan menjadi anak baik. Katakan saja, Ayah." "Tetaplah menjadi orang baik apapun yang terjadi, jangan pernah berbuat jahat apapun yang terjadi. Jadilah gadis yang mampu menjaga kehormatanmu dan kehormatan orangtuamu, jangan mencoba hal-hal yang dari dulu Ayah dan Ibu larang keras padamu, jangan pernah melawan Ibumu, sayangi dia apapun yang terjadi, karena dia adalah orang yang melahirkanmu. Lalu ... menikahlah dengan pria yang baik, tidak perlu yang kaya, yang penting dia bisa memperlakukanmu dan Ibumu dengan baik, tapi intinya dia juga harus baik dan sayang pada semua anggota keluarganya, karena kau baik, jadi kau pantas mendapatkan pria yang seperti itu. Kau akan memiliki masa depan yang cerah, apapun yang terjadi, jangan menjadi orang yang tinggi hati, dan Ayah tahu kau akan menjadi Ibu yang hebat bagi cucu-cucu Ayah nanti." "Ya, aku mendengar semua itu, aku akan berjanji akan memenuhi semua itu. Sekarang, Ayah ... mari kita bernostalgia dulu. Apa Ayah ingat saat aku tidak percaya dengan khasiat lumpur di kebun Ayah? Sekarang aku-" "Nuansa ..." "Engh, ya?" "Jangan pernah melupakan Ayah." Mendengar hal itu, Nuansa merasa hancur sekali, dan dari situ dia benar-benar menyadari bahwa ini adalah detik-detik terakhir kehidupan sang Ayah. Gadis tersebut lantas memeluk Arfan dengan air mata yang mengalir begitu deras, tetapi dia masih menahan suara tangisannya. "Mana bisa aku melupakan pria sekeren, setampan, sehebat seperti Ayah. Ayah adalah pria terbaik di dunia, tidak ada yang akan melupakan Ayah kecuali orang itu amnesia," ucap Nuansa yang menangis dalam pelukannya kepada Arfan. Nuansa memilih tetap dalam posisi seperti ini saja karena dia tidak sanggup jika harus melihat wajah Arfan di detik-detik terakhir hidupnya. "Hahahaha, sepertinya kau juga akan pandai menggoda suamimu nanti," kata Arfan. Namun tidak ada balasan lagi dari Nuansa karena yang dilakukannya hanya menangis sembari memeluk erat-erat sang Ayah. Disaat yang sama, Emma, Satpam Juna, beserta para Polisi tiba di sana. "Nuansa ..." Arfan memanggil putrinya dengan suara yang hampir tidak terdengar lagi, dan matanya sudah mulai tertutup. "Ya?" sahut Nuansa dengan suara yang bergetar. "Katakan kau menyayangi Ayah," pinta Arfan. "A-aku ... aku menyayangi Ayah, sampai kapanpun." Arfan tersenyum mendengar hal itu, kedua matanya akhirnya tertutup sempurna, tetapi dia masih bisa tersenyum sedikit. "Ayah juga," bisik Arfan, setelah itu, dia menghembuskan napas terakhirnya. Arfan meninggal. Saat menyadari hal itu, Nuansa akhirnya mengeluarkan suara tangisannya, dia menangis sejadi-jadinya. "Nuansa ...?" gumam Emma yang tidak percaya bahwa yang telah merampok rumahnya adalah Nuansa. Emma merasa marah sekali, tapi dia tidak mengeluarkan amarahnya karena situasi yang sedang terjadi. Emma langsung berbalik menjadi merasa bersedih melihat Nuansa dan Arfan, terlebih lagi Nuansa menangis dengan penuh kesedihan. Emma paham betul bagaimana perasaan Nuansa saat ini, karena dia sendiri masih belum bisa sedikit move on dari kenyataan bahwa orangtuanya tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat, terlebih lagi hal itu belum lama terjadi. Tak lama kemudian, perhatian Emma teralihkan ke tasnya, dia lantas menghampiri tasnya yang masih berisi barang-barangnya. Usai memeriksa barang-barang di dalam tasnya, Emma menoleh ke arah Nuansa dan melihat wajah Arfan yang memang mengarah ke dirinya, dia menatap wajah Arfan dengan perasaan iba. Chapter 103 - Nuansa & Emma Nuansa dan Emma saat ini sedang berada di rumah sakit, mereka sedang berada di ruang tunggu. Nuansa terlihat sangat terpukul, namun tangisannya sudah mulai mereda, jauh lebih pelan dari pada yang sebelum-sebelumnya. Emma yang memilih untuk berdiri tidak berhenti menatap Nuansa, tetapi Nuansa tampaknya tidak menyadari bahwa Emma terus-terusan menatapnya sejak tadi. Beberapa saat kemudian, seorang Dokter keluar dari dalam ruangan tempat Arfan juga berada. Nuansa pun lantas langsung berdiri dan siap mendengarkan hasil mengenai sang Ayah dari Dokter ini. Mereka berbicara cukup jauh dari Emma, sebab memang Emma berdiri jauh dari tempat Nuansa duduk, ditambah dengan Dokter tersebut yang berbicara dengan sangat pelan, membuat Emma tidak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Dokter itu kepada Nuansa. Tak lama kemudian, Dokter tersebut menepuk-nepuk pundak Nuansa dan pergi meninggalkannya, sementara Nuansa lantas langsung terduduk dengan pandangan mata yang kosong. Dari sini, Emma sudah tahu bagaimana hasil dari tindakan yang di ambil untuk Arfan, terlebih lagi Nuansa mulai menangis sembari menutupi wajahnya. Nuansa kemudian menaruh wajahnya di atas lututnya dan berusaha untuk tidak menangis terlalu keras. Emma sendiri hanya bisa terdiam sambil terus menatap Nuansa, tetapi karena lama kelamaan tangisan Nuansa semakin keras, Emma jadi tidak tega, diapun lalu datang mendekati Nuansa dan duduk di sampingnya. "A-apa yang terjadi?" tanya Emma pada Nuansa, meskipun ia sudah mengetahui bagaimana hasilnya berdasarkan reaksi Nuansa, namun dia tetap memutuskan untuk menanyakannya. "Dia pergi, Ayahku sudah pergi," jawab Nuansa dengan suara bergetar, dia sebenarnya tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan Emma, namun dia tetap menjawabnya. Nuansa terlihat sangat hancur, terlebih lagi pada saat dia menjawab pertanyaan Emma. Suasana menjadi hening setelah itu, hanya terdengar suara tangisan Nuansa. Emma merasa bingung harus melakukan apa agar Nuansa bisa sedikit tenang, tapi dia yakin bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu untuk menenangkan gadis itu. "Bisakah kau berhenti menangis?" tanya Emma dengan agak kasar. Mendengar hal itu, Nuansa lantas mengangkat kepalanya dan menatap Emma. "Di mana otakmu?!" Nuansa bertanya balik, Emma pun lantas terdiam. Nuansa lalu pindah tempat duduk, dia menjauh dari Emma. "Aku rasa ... aku tidak pandai untuk menjadi teman yang baik," ujar Emma tiba-tiba, tetapi Nuansa tidak merespon, Nuansa memalingkan wajahnya dari Emma dengan wajah yang sangat sembab. "Aku pikir aku bisa membuatmu bisa merasa lebih baik, tapi kenyataannya tidak. Karena ... ketahuilah bahwa aku juga baru mengalami perasaan yang sama dengan yang kau rasakan saat ini," sambung Emma. Usai Emma mengatakan hal tersebut, Nuansa lantas meliriknya. "Apa maksudmu?" tanya Nuansa. "Semalam aku mendapatkan kabar bahwa orangtuaku tewas, pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan, dan aku sangat hancur karena hal itu," jelas Emma. "Ya Tuhan ... aku turut berduka." "Aku juga turut berduka untukmu," kata Emma seraya berdiri dan menghampiri Nuansa, ia lantas duduk di sebelah Nuansa dan memeluknya. Tentu saja Nuansa terkejut melihat apa yang dilakukan oleh Emma, namun dia membiarkannya. "Kenapa kau memelukku?" tanya Nuansa usai Emma melepaskan pelukannya. "Aku merampok rumahmu, tapi kenapa kau melakukan ini semua? Kenapa kau mau menolong Ayahku lalu memelukku?" sambung Nuansa. "Aku rasa itu karena aku tidak ingin orang lain merasakan kepahitan yang aku rasakan. Tapi ... aku minta maaf karena aku terlambat menolong Ayahmu," ucap Emma. Mendengar hal itu, hati Nuansa tersentuh, dan tanpa disadari ya, air matanya kembali menetes, namun kali ini untuk Emma, gadis itu pun kemudian memeluk Emma. "Maafkan aku karena sudah melakukan hal yang sangat jahat padamu, aku benar-benar menyesal," kata Nuansa. "Tidak, kau sama sekali tidak melakukan kejahatan, kau justru melakukan kebaikan," ujar Emma. "Semua ini terjadi karena aku melakukan hal yang buruk padamu, kalau saja aku tidak merampok barang-barangmu, Ayahku pasti masih ada sekarang." "Kau tidak boleh mengatakan hal itu, dan jangan salahkan semua ini atas kematian Ayahmu. Ingat, Nuansa, kau berusaha untuk membela orang-orang yang tidak bersalah, kematian Ayahmu bukan salahmu dan tidak ada hubungannya dengan kau yang merampokku demi mengungkap kebenaran," ujar Emma. "Dengar, aku akui bahwa aku memang telah memanipulasi rekaman itu, dan aku masih menyimpan yang asli, tapi kau tidak berhasil mendapatkannya tadi karena aku menyembunyikannya di kamar orangtuaku, tapi ... kita tidak akan membahas hal itu. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa ... jangan salahkan kebaikanmu," lanjut Emma. "Kau tidak mengerti, ya? Merampok adalah hal yang salah, Emma, aku rasa inilah karma bagiku, dan aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada Ibuku nanti, dia pasti akan sangat hancur, dan sekarang dia pasti sedang sangat mencemaskanku dan Ayah," ucap Nuansa. "Untuk beberapa hal, Nuansa, melakukan hal yang buruk untuk hal yang baik aku rasa tidak ada salahnya, lagi pula kau tidak akan merugikan siapapun sebenarnya selain aku yang jahat." "Huh?" "Kau mengajariku bagaimana cara menjadi seorang teman yang baik, dan aku berharap aku bisa melakukannya padamu juga. Maksudku ... keadaan kita sama sekarang, meskipun kau masih memiliki Ibumu, tapi ... kita sama-sama baru saja kehilangan Ayah kita, dan yang ingin kukatakan padamu adalah, aku ingin kita saling menguatkan. Aku tidak mau kau menyalahkan dirimu atau hal lainnya atas kematian Ayahmu, kelompok geng motor itulah yang salah, bukan yang lain, ingat itu." "Tapi-" "Ayahmu pasti akan sangat bangga padamu, percayalah padaku." "Tapi Ayahku tidak akan ...." "Aku tahu, tapi apapun yang terjadi, hal itu terjadi pasti memiliki alasannya sendiri." "Huh?" "Jalan pikiranku mulai berubah saat aku menerima kenyataan bahwa aku telah ditinggalkan oleh orangtuaku selama-lamanya, dan tak lama kemudian aku melihat dukamu. Semua yang terjadi kurang dari dua belas jam ini sudah mengubahku, aku harap aku bisa menjadi orang yang lebih baik. Dan tentang Ayahmu? Itu pasti memiliki alasannya juga kenapa terjadi, percayalah." "Tapi yang terpenting sekarang adalah jangan jatuh. Aku sudah jatuh tadi, apa lagi aku dilecehkan oleh tukang kebunku sendiri, aku semakin jatuh, tapi begitu melihatmu mendapatkan duka juga, aku yakin kita bisa sama-sama bangkit jika kita saling menguatkan satu sama lain," sambung Emma. "Emma, kau ..." "Aku ingin menjadi temanmu, dan belajar menjadi seorang teman yang baik darimu." Chapter 104 - Perubahan Emma Siang harinya di kampus tempat Neptunus berkuliah, kehebohan kembali terjadi. Kali ini, rekaman suara percakapan Emma dan Gladys tersebar dan membuat semua orang kembali heboh. Emma sendiri belum terlihat sejak tadi, padahal biasanya pada jam segini dia sudah dilihat oleh semua orang, bahkan Anne sendiri tidak tahu di mana Emma berada. Emma sendiri ternyata berada di Hanyang, dia masuk ke dalam restoran tersebut dan mendatangi Gladys. Gladys tentu saja terkejut melihat kehadiran Emma yang tidak di duganya. "Gladys, aku ingin bicara padamu," ucap Emma. "Maaf, tapi aku sedang bekerja," ujar Gladys. "Dengar, aku ingin minta maaf atas apa yang telah aku lakukan padamu." "Pergilah, aku tidak ingin kau memanipulasi apapun lagi." "Tidak, aku bersungguh-sungguh, aku sudah berubah, percayalah." "Tidak ada yang bisa kupercaya padamu setelah semua yang kau lakukan padaku." "Aku tahu itu sangat buruk, tapi ... aku tahu kau mau memberikan kesempatan kedua padaku, iya, kan?" "Bicara itu mudah, pelaksanaannya yang sulit," pungkas Gladys, dia lantas pergi ke dapur. Emma kemudian terdiam. "Baiklah, aku tidak akan memaksa, tapi aku ke sini karena aku punya tujuan lagi juga," kata Emma yang terus mengikuti langkah Gladys. "Ayah Nuansa meninggal," sambungnya. Gladys sontak saja terkejut mendengar hal itu, langkahnya langsung berhenti dan diapun langsung menoleh ke Emma. "Kau membuat berita palsu lagi sekarang?" tanya Gladys. "Tidak, ini benar," ucap Emma. "Apa bukti yang kau miliki?" "Tidak ada." "Humph." "Tapi datanglah ke makamnya sore ini, Nuansa dan Ibunya butuh dukungan darimu juga." "Akan kuberi alamat makamnya kepadamu nanti, dan semua bergantung kepadamu kau mau datang atau tidak," lanjut Emma. "Tidak usah, aku bisa menanyakannya langsung pada Nuansa," ujar Gladys. "Itu akan mengganggunya." "Bisakah kau diam dan urus saja urusanmu sendiri? Biarkan aku bekerja!" Emma kembali terdiam. "Baiklah, aku pergi," ujarnya beberapa saat kemudian, dan dia akhirnya benar-benar pergi. Usai Emma pergi, Gladys tampak bingung. ''Apa aku terlalu kasar?'' batin Gladys. ''Bagaimana jika semua yang dia katakan itu benar?'' *** Emma kemudian kembali ke kampusnya dan langsung pergi ke area parkir untuk menghampiri mobilnya, dan disaat itu juga Anne datang menghampirinya. "Emma!" panggil Anne. Emma lantas menoleh ke arah Anne. "Apa yang terjadi?" tanya Anne. "Apa yang tersebar itu rekaman asli yang utuh?" lanjut Anne. Emma lalu menjawabnya hanya dengan sebuah anggukan. "Siapa yang menyebarkannya?" tanya Anne. "Bukankah sudah jelas siapa yang mengirim itu semua pada kalian?" Emma bertanya balik. "Aku," sambung Emma. "Apa yang terjadi? Apa kau sadar apa yang kau lakukan ini bisa menghancurkan dirimu sendiri? Aku memang tidak suka kalau kau ternyata benar-benar telah memanipulasi semuanya, dan sekarang semuanya sudah terjawab, kau memang memanipulasi semuanya, tapi aku lebih tidak suka jika kau sendiri membongkar semua ini, maksudku ... ini semua benar-benar akan membuat kekacauan." "Akan ada dua pihak yang tercipta, ada yang percaya, dan ada yang ragu karena aku sendiri yang menyebarkan rekaman asli itu, tapi apapun, yang terpenting semua orang yakin bahwa aku telah bersalah, meskipun beberapa dari mereka mungkin ragu." "Apa yang terjadi padamu sebenarnya?" "Sulit untuk menjelaskannya, tapi intinya aku ingin menjadi orang yang lebih baik," kata Emma, dia lalu masuk ke dalam mobilnya. "Mau ke mana kau? Kelas kita belum dimulai." "Aku sudah keluar," ujar Emma. "Maksudmu?" "Aku tidak berkuliah lagi." "Kau pindah kampus?" "Tidak, aku benar-benar tidak akan berkuliah lagi." "Huh?" "Aku tidak akan menjelaskan semuanya padamu sekarang, karena kau akan memahami semuanya nanti. Sudah ya, aku pergi dulu," ucap Emma sembari menutup pintu mobilnya. Anne hanya bisa terdiam saat Emma pergi dari sana. Dia merasa bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Emma datang untuk menyebarkan rekaman yang asli dan memutuskan kuliahnya, dan hal ini benar-benar sulit untuk dicerna Anne di pikirannya. *** Usai dari kampusnya, Emma ternyata pergi ke kantor Polisi tempat Reynand bekerja. Begitu sampai di sana, kebetulan diapun disambut oleh Reynand saat dia baru saja memarkirkan mobilnya. "Ada apa? Kenapa kau datang ke sini? Aku belum memberikan kabar apapun, kan?" tanya Reynand pada Emma saat Emma baru saja keluar dari dalam mobilnya. "Ya, aku datang untuk memintamu berhenti mencari jejak digital hubungan Nuansa dan Neptunus," ucap Emma. "Kenapa?" "Tidak apa-apa, hentikan saja." "Kau memiliki rencana lain?" "Tidak, aku hanya ingin berhenti." "Secara tiba-tiba? Kau yakin tidak ada apa-apa?" "Ya." "Aku tidak yakin." "Itu terserahmu, tapi aku meminta kau untuk berhenti, karena aku juga sudah berhenti." "Bagaimana jika aku tidak berhenti?" "Itu terserahmu juga sebenarnya, karena kau hanya melakukan hal yang bodoh." "Hubungan Nuansa dan Neptunus sudah diketahui orang-orang?" "Tidak." "Lalu ada apa?" "Kau akan mengetahuinya sendiri nanti. Aku tidak mau berlama-lama di sini, aku pergi dulu." "Kau kau ke mana?" "Itu terserahku," pungkas Emma, dia kemudian masuk ke dalam mobilnya dan pergi dari sana. "Aneh sekali, belum juga dua puluh empat jam dia membuat kesepakatan bersamaku, dan tiba-tiba dia mengatakan ini semua. Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi?" gumam Reynand usai Emma pergi. *** Pada sore hari, sekitar pukul 5 lewat, Emma datang ke pemakaman tempat Arfan dimakamkan, di sana dia melihat Nuansa dan Durah sedang berdoa di samping makam Arfan. Durah terlihat masih sangat terpukul dan tidak percaya akan apa yang telah terjadi, namun baik dia dan Nuansa sama-sama tampak bisa mengikhlaskan kepergian Arfan. Emma menghampiri Ibu dan Anak itu dengan memberikan senyuman yang mengisyaratkan bahwa dia memberikan dukungan penuh kepada mereka. *** Tak lama setelah itu, Durah kini sedang berada di dalam mobil Emma, sementara Nuansa dan Emma sedang mengobrol dengan Nuansa. "Neptunus benar-benar tidak bisa dihubungi?" tanya Emma pada Nuansa. "Tidak, sejauh ini yang menelponku hanya Rea, dia menghubungiku untuk menanyakan alamat rumahku, tapi aku mengatakan kalau ternyata aku tidak bisa menerima kedatangannya hari ini. Sama sekali tidak ada telepon balik dari Neptunus," jawab Nuansa. "Bagaimana dengan di kampusnya?" sambungnya. "Tidak ada, dia juga tidak ada di sana tadi, aku bahkan sampai bertanya kepada pihak kampus apakah dia mengundurkan diri atau tidak di kampus itu, sepertiku." "Kau mengundurkan diri?" "Ya." "Kenapa?" "Tidak alasan bagiku untuk melanjutkan semuanya, meskipun aku sudah berada di akhir semester, tapi ... aku rasa sebaiknya aku berhenti saja, menata ulang kehidupanku dan mengurus hal lainnya." Nuansa lalu terdiam. "Kalau boleh tahu, kontrak kalian sebenarnya berapa lama?" tanya Emma. "Kontrak?" Nuansa bertanya balik. "Reynand menceritakan padaku bahwa hubungan kalian sebenarnya hanya sekedar hubungan kontrak. Awalnya aku dan Reynand berniat untuk membongkar rahasia hubungan kalian di hadapan orang-orang, tapi aku membatalkan semuanya." "Seharusnya ini adalah hari terakhir, tapi aku tidak tahu kenapa dia justru tidak ada kabar. Aku juga sempat bertanya pada Rea apa dia menjemput atau mengantar Vega atau tidak, tapi dia bilang tidak." "Mau datang ke rumahnya?" "Aku rasa tidak usah, lagi pula kontrak kami sudah terhitung selesai, lebih baik kita memikirkan tentang tukang kebunmu itu, kau membawa kasus ini ke pihak Kepolisian?" "Pikirkan saja dulu kasus pembunuhan Ayahmu dan tentang orang-orang itu." "Tapi tukang kebunmu kabur entah ke mana, orang kurang ajar seperti itu harus kita urus terlebih dahulu." "Kasus Ayahmu mengenai nyawa, Nuansa, pikirkan kasus Ayahmu dulu." "Well, aku berniat untuk tidak melapor ke Polisi." "Kenapa?" "Aku akan menyelesaikan semuanya sendirian, tapi aku tidak ingin melakukannya sekarang, karena aku masih butuh waktu untuk melupakan sejenak tentang Ayahku." Emma lantas terdiam. "Mendengar itu, aku juga jadi berniat untuk mencari tukang kebunku sendirian," ucap Emma. "Ayo kita lakukan!" ajak Nuansa. "Huh?" "Kita akan menyelesaikannya tanpa bantuan Polisi, kan? Aku akan membantumu." "Tapi, bagaimana dengan Ibumu? Aku paham kalau kau mau membantuku karena kau ingin pikiranmu tidak terfokuskan pada Ayahmu, tapi pikirkan tentang Ibumu juga." "Hmm, Ibuku hanya butuh teman sekarang, dan aku rasa bibi Ihih adalah orang yang tepat." "Ah, benar juga, kenapa aku tidak memikirkannya?!" Nuansa lantas terkekeh kecil. "Terima kasih untuk segalanya, Emma. Kau membiayai biaya rumah sakit Ayahku, biaya pemakamannya, lalu membongkar kebohonganmu sendiri, aku tidak tahu harus kubalas dengan apa semua itu. Kau juga memutuskan untuk tidak memenjarakanku setelah aku merampokmu," ujar Nuansa. "Tidak usah dipikirkan, aku justru terlalu banyak melakukan kesalahan sebelumnya," kata Emma. "Nuansa!" tiba-tiba seseorang memanggil Nuansa, Nuansa dan Emma lantas langsung menoleh ke arah orang itu. Chapter 105 - Dimana Kau, Neptunus? "Gladys?" sahut Nuansa. Mata Gladys kemudian melirik Emma. "Jadi semuanya benar?" tanya Gladys. Nuansa dan Emma lantas saling melirik, sementara Gladys datang menghampiri Nuansa, lalu memeluknya. "Emma menceritakan semuanya padaku, aku turut berduka cita atas meninggalnya Ayahmu," ucap Gladys. "Terima kasih," ujar Nuansa. "Sama-sama." Gladys lantas melirik Emma. "Maaf karena aku tidak memercayaimu tadi," kata Gladys. "Tapi pada akhirnya kau memercayaiku, buktinya kau datang ke sini," ucap Emma. "Entahlah, aku juga tidak mengerti kenapa akhirnya aku memutuskan untuk datang ke alamat yang kau berikan." "Bagaimana semua ini bisa terjadi?" tanya Gladys pada Nuansa. "Engh, mungkin ada baiknya kau juga mengucapkan turut berduka cita kepada Emma," ujar Nuansa. "Memangnya apa yang terjadi padanya?" Gladys bertanya balik. "Orangtuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat." "Ya Tuhan." "Emma, aku minta maaf," lanjut Gladys. "Kenapa kau meminta maaf?" Emma bertanya balik. "Karena tidak mengucapkan rasa dukaku lebih awal." "Kau baru saja mengetahuinya, kan?" "Ahahaha," Nuansa terkekeh. Beberapa saat kemudian, Gladys menyadari ada keanehan di antara Nuansa dan Emma. "Kenapa kalian terlihat seperti berteman dekat?" tanya Gladys. Emma dan Nuansa lantas saling melirik. "Kupikir Emma sudah menjelaskan cukup banyak hal padamu," ujar Nuansa. "Jadi itu semua benar? Kau benar-benar berubah?" tanya Gladys pada Emma, Emma lalu hanya menjawabnya dengan cara mengangguk. "Ada apa sebenarnya? Kenapa keadaannya bisa menjadi seperti ini hanya dalam waktu satu hari?" "Sebaiknya kita mengobrol di dalam mobil saja, kita pergi ke rumah Nuansa, dan sekalian aku akan mengantarmu pualang nanti, Gladys. Kau datang ke sini dengan menggunakan ojek, kan?" tanya Emma pada Gladys. "Ya," jawab Gladys. "Yasudah, ayo masuk ke dalam mobil," ajak Nuansa. Mereka bertiga pun kemudian menyusul Durah yang sudah lebih dulu berada di dalam mobil. Durah terlihat murung, tampak jelas bagaimana dia benar-benar masih sangat terpukul dengan kematian suaminya. "Ibu ..." Nuansa memanggil Durah. "Ya?" sahut Durah dengan suara bindeng. "Ini Gladys," ucap Nuansa yang memperkenalkan Gladys kepada Ibunya. Durah lantas tersenyum kepada Gladys. "Salam kenal," ujar Durah pada Gladys. "Salam kenal juga, Bibi," balas Gladys. Nuansa duduk di tengah bersama Ibunya, sementara Emma dan Gladys duduk di depan. Saat mobil mulai jalan, Gladys langsung bertanya apa yang terjadi sebenarnya, namun sebelum menjelaskan semuanya, Nuansa meminta Gladys untuk tidak merasa bersalah atas hal apapun, dan Gladys tentu saja bingung dengan maksud Nuansa itu, tetapi dia memilih untuk meng-iyakan perkataan Nuansa demi bisa mengetahui semuanya. Nuansa pun lantas menceritakan semuanya kepada Gladys, mulai dari bagaimana dia memutuskan untuk keluar dari rumahnya malam-malam untuk mencuri barang-barang Emma, sampai bagaimana Emma mau membantu Nuansa untuk membawa Arfan ke rumah sakit, lalu membiayai biaya rumah sakitnya, mengurus makamnya meskipun Nuansa mengatakan bahwa dia memiliki uang sendiri dan cukup untuk mengurusnya, namun Emma memaksa Nuansa untuk menerima pemberiannya, kemudian bagaimana Emma berbicara kepada Nuansa dan mengatakan bahwa dirinya tidak akan melaporkan Nuansa ke Polisi, dan akan membongkar kebohongannya sendiri di hadapan semua orang. Nuansa menceritakan semua itu kepada Gladys. "Nuansa ..." Gladys tidak bisa berkata-kata usai mendengar cerita Nuansa, suaranya mulai bergetar, pertanda dia sedang menahan tangisannya. "Kau sudah berjanji untuk tidak merasa bersalah, Gladys, jadi jika kau ingin menyalahkan dirimu sekarang, maka sebaiknya kau diam saja. Kau tidak pernah menyetujuiku untuk mencuri rekaman aslinya dari Emma, kau sangat benar saat kau mengatakan bahwa sebaiknya semuanya dibiarkan mengalir begitu saja, akunya saja yang keras kepala. Tapi ... apapun yang telah terjadi, aku tidak ingin menyesalinya, itu hanya akan menyakiti hatiku, karena sebaiknya aku menerima apa yang telah terjadi. Emma mengatakan kepadaku bahwa setiap hal yang terjadi pasti memiliki alasannya sendiri kenapa terjadi, dan sekarang aku hanya ingin tahu kenapa semua ini terjadi," ucap Nuansa. "Tapi aku ... aku ingin meminta maaf," ujar Gladys dengan tangisan yang mulai pecah, dan tiba-tiba Durah mengusap pundaknya. "Tidak apa-apa, ini semua bukan salahmu, kau benar-benar tidak bersalah. Sudah, tidak usah menangis, ya," kata Durah. "Bibi ..." "Kau gadis yang baik, aku senang Nuansa berteman dengan gadis sepertimu." "Terima kasih, Bibi." "Sama-sama, Nak." "Apa tadi Finn ada mendatangimu, Gladys?" tanya Nuansa. "Tidak," jawab Gladys. "Jadi tidak memberikan dampak apapun padanya, ya?" Gladys hanya terdiam. "Belum tahu, lihat saja kedepannya," ucap Emma. "Bagaimana dengan Neptunus? Kau bertemu dengannya hari ini? Atau berkomunikasi dengannya?" tanya Emma pada Gladys. "Tidak, memangnya ada apa dengan dia?" Gladys bertanya balik. "Dia tidak ada kabar sejak semalam, dia tidak menjawab panggilan-panggilanku," jawab Nuansa. "Benarkah?" "Ya." "Mungkin dia sedang sibuk, mengingat dia sedang dalam masa persiapan untuk tampil di acara yang diadakan oleh kampusnya, kan?" "Kuharap begitu." ''Dimana kau, Neptunus?'' batin Nuansa. *** Sementara itu di rumah Neptunus sendiri, Vega bersama Rea dan Rosy sedang berada di kamar Vega. Mereka membicarakan beberapa hal, perbincangan para gadis. Vega lalu mengajak Rea dan Rosy turun untuk mengambil beberapa cemilan, dan mereka bertiga pun kemudian turun. Pada saat ketiganya baru sampai di lantai 1, mereka secara tidak sengaja bertemu dengan Bulan yang baru saja pulang. "Ibu?" sambut Vega. "Hei," balas Bulan seraya tersenyum. "Kakakmu sudah pulang?" tanya Bulan sembari menutup pintu rumahnya. "Belum," jawab Vega. "Huh? Yang benar saja?" "Sepertinya begitu, soalnya aku bersama Rea dan Rosy dari tadi hanya berada di dalam kamarku." Bulan lantas memutar kedua bola matanya usai mendengar hal itu. Beberapa detik kemudian, Haha bersama Hehe lewat di hadapan mereka. "Haha!" Bulan memanggil Haha. "Ya, Nyonya?" sahut Haha yang berhenti melangkah usai dia dipanggil, begitu juga dengan Hehe. "Apa Neptunus sudah pulang?" tanya Bulan. "Belum, Nyonya." "Kau yakin?" "Dari tadi saya mondar-mandir di sini, dan saya tidak melihatnya sama sekali pulang." "Oooh, begitu." "Tadi saya bertanya pada Hoho, katanya dia belum melihat Neptunus pulang, padahal Hoho seharian ini berada di luar terus," Hehe menimpali. "Hmm, begitu, ya." "Kenapa tidak hubungi nona Nuansa saja, Nyonya?" tanya Haha. "Tadinya aku ingin melakukan itu, tapi tidak jadi karena aku berpikir kalau Neptunus pasti sudah berada di sini ketika aku pulang, tapi ternyata tidak," ujar Bulan. "Jadi Ibu akan menghubungi kak Nuansa?" tanya Vega. "Ya," jawab Bulan. "Baiklah, kami ke dapur dulu." Chapter 106 - Neptunus Bersamamu? Nuansa saat ini sedang membawakan teh untuk Emma dan Gladys, sementara Durah tidur di kamarnya, dia masih butuh waktu untuk bisa benar-benar menerima semuanya, dan salah satu caranya adalah dengan banyak-banyak beristirahat. Tiba-tiba, ponsel Nuansa berbunyi, dan kebetulan dia baru saja meletakkan nampan yang dibawanya ke bawah, jadi dia bisa langsung melihat ponselnya. "Bibi Bulan menelpon," ucap Nuansa pada Emma dan Gladys. Mendengar hal itu, Emma dan Gladys lantas langsung saling melirik, Nuansa sendiri pun langsung menjawab panggilan tersebut. "Halo, Bibi?" ujar Nuansa. "Halo, Nak," balas Bulan. "Ada apa, ya, Bibi?" tanya Nuansa. "Nuansa, aku ingin bertanya padamu." "Ya, apa itu?" "Apa Neptunus bersamamu sekarang?" "Neptunus?" "Ya." "Tidak, Bibi, memangnya ada apa?" "Dia tidak pulang semalam, apa dia menginap di rumahmu? Dia tidak bisa dihubungi dan tidak memberikan kabar apapun." "Bibi serius?" "Untuk apa aku bercanda?" "Maksudku ... dia semalam langsung pulang usai mengantarku pulang." "Benarkah?" "Ya." "Tapi dia tidak pulang." "Aku juga berusaha menghubunginya sejak tadi pagi, tapi dia tidak menjawab panggilanku." "Ada apa memangnya?" "Ayahku wafat, Bibi." "Ya Tuhan ... aku turut berduka cita ya. Kau dan Ibumu harus kuat ya, Nak." "Iya, Bibi." "Kenapa bisa mendadak seperti ini?" "Ceritanya panjang sekali, Bibi." "Kenapa? Ayahmu terkena serangan jantung?" "Bukan, lebih dari itu. Aku akan menceritakan semuanya pada Bibi di lain waktu, sebaiknya kita fokus pada Neptunus saja dulu, aku akan fokus mencarinya juga dengan menanyakan ke beberapa temannya." "Oh, ok, baiklah. Tetap kuat ya, sayang." "Iya, Bibi, terima kasih." "Sama-sama." Tak lama setelah itu, Nuansa dan Bulan mengakhiri percakapan mereka, dan Gladys langsung bertanya pada Nuansa setelah panggilan itu berakhir. "Neptunus tidak pulang semalam?" "Tidak," jawab Nuansa. "Padahal setelah mengantarku pulang sehabis kami makan malam, dia langsung pulang ke rumahnya," sambung Nuansa. "Semalam dia ada mengatakan sesuatu padamu sebelum dia pergi?" "Tidak ada, hanya beberapa hal, seperti ... dia mengatakan kalau semalam adalah malam yang tidak akan dilupakannya, karena itu adalah acara makan malam kami yang kegunaannya sebagai salam perpisahan kami, dan ... ya, dia hanya membicarakan tentang hal itu, paling sama beberapa hal seperti aku berterima kasih padanya, dia juga berterima kasih padaku, lalu beberapa hal yang tidak penting," jelas Nuansa. "Apa itu?" tanya Gladys. "Dia bilang ..." "Grrrh, mungkin dia akan bermimpi basah setelah itu," lanjut Nuansa. "Apa?!" "Lupakan saja, itu benar-benar tidak penting." "Hubungi saja Finn, siapa tahu Neptunus sedang bersamanya," kata Emma, ia dan Nuansa lalu melirik Emma. "Apa?" tanya Emma. "Kau saja yang berbicara dengan Finn," pinta Nuansa. "Aku? Setelah dia memutuskan hubungan kami dan melepaskan cincin pertunangan kami dari jari manisku di hadapan banyak orang? Di pinggir jalan? Dan tadi dia sama sekali tidak mendatangiku setelah Emma menyebarkan rekaman aslinya? Yang benar saja kalian," ucap Gladys. "Kalau begitu siapa yang akan berbicara dengannya?" ujar Emma. "Kau saja." "Aku?" "Ya, kau saja, aku sudah sempat sedikit ribut dengannya, sementara dengan kau tidak," Nuansa mendukung usulan Gladys. "Setelah aku menyebarkan rekaman yang asli, aku tidak berpikir kalau dia mau berbicara denganku," kata Emma. "Dia pasti mau, hal itu bisa kita ukur dari dia yang sama sekali tidak menemuiku tadi untuk membicarakan ulang tentang semua itu, dia masih mempercayai rekaman yang telah kau potong itu," ujar Gladys pada Emma. "Kau yakin?" tanya Emma. "Aku mengenalnya dengan baik, percayalah padaku." Emma lantas tampak mempertimbangkan keputusannya. "Nuansa, kau sajalah," suruh Emma. "Kenapa aku?" tanya Nuansa. "Kau tidak benar-benar ribut dengannya, kan? Kaulah orang yang paling tepat untuk berbicara dengannya, kau tidak memiliki kemungkinan apapun seperti aku dan Gladys." "Tapi, bagaimana kalau dia tidak mau berbicara denganku setelah aku sempat mengata-ngatainya?" "Dia tidak akan merasa tersinggung dengan semudah itu," ucap Gladys. "Tunggu, kau juga sepakat dengan Emma?" tanya Nuansa pada Gladys. "Engh ... kita tidak punya pilihan lain, cepatlah." "Huft, yasudahlah, yang cantik mengalah." Nuansa kemudian mencari nomor ponsel Finn di ponselnya, namun dia lupa kalau dia tidak memiliki nomor ponsel Finn. "Aku tidak memiliki nomornya, kau saja yang menghubunginya, ya?" ucap Nuansa pada Gladys. Sesaat kemudian, Gladys langsung mendiktekan nomor ponsel Finn kepada Nuansa, Nuansa pun tampak kesal karena hal itu. "Jika kau masih tetap ingin cantik, maka lakukan, karena yang cantik mengalah," ujar Gladys, ia dan Emma lantas terkekeh kecil, sementara Nuansa hanya bisa menyengir penuh keterpaksaan. Setelah mendapatkan nomor ponsel Finn, Nuansa pun segera menghubunginya, dan tidak butuh waktu lama baginya untuk mendapat jawaban dari mantan tunangan Gladys itu. "Halo?" sapa Finn. "Ya, halo," balas Nuansa. "Ini siapa?" Nuansa kemudian menarik napas panjang. "FinniniakuNuansaakumohonkaujanganmemutuspanggilaninikarenaakuinginmenanyakankeberadaanNeptunuspadamubukantentangGladys," ujar Nuansa dengan sangat cepat dan tanpa jeda agar Finn tidak langsung memutuskan panggilan itu saat dia menjawab siapa dirinya. "Apa maksudmu?" tanya Finn. "Apa Neptunus ada bersamamu?" Nuansa bertanya balik. "Tidak." "Jangan bohong." "Aku tidak bohong, Nuansa. Sudah, puas? Kalau kau tidak memiliki kepentingan lagi akan aku akhiri panggilan ini." "Kau marah padaku?" "Maaf karena waktu itu aku membentak-bentak dan memaki-makimu, aku ... aku sebenarnya bermaksud seperti itu, eh, maksudku tidak bermaksud seperti itu, itu ... itu hanya refleks saja." "Tidak, aku tidak marah padamu dan tidak sedang memikirkan hal itu." "Lalu?" "Sudahlah ya, Neptunus tidak ada bersamaku, terakhir kami bertemu tadi siang saat di kampus, dan dia datang dengan menggunakan setelan yang formal dan sangat rapi." "Huh?" "Ada apa denganmu? Apa kalian ribut? Kenapa kau bertanya seperti ini?" "Aku hanya ingin bertanya padamu, sekalian ingin meminta maaf. Apa itu salah?" "Tidak." "Yasudah." "Nuansa, dengar-" "Kau sedang badmood, ya? Pasti ini gara-gara aku, kan?" "Tidak, dengarkan aku dulu-" "Apa jangan-jangan kau sedang memikirkan Gladys?" Kedua mata Gladys langsung terbelalak saat Nuansa mengatakan hal itu, sementara Finn langsung mengakhiri panggilan itu. "Apa?! Yang benar saja?!" oceh Nuansa setelah Finn memutuskan panggilannya. Chapter 107 - Jangan Sentuh Aku "Jadi ... bagaimana?" tanya Emma pada Nuansa. "Neptunus tadi datang ke kampus," jawab Nuansa. "Apa?" "Kelihatannya dia datang ke sana benar-benar hanya untuk masuk ke jam belajarnya dan jam latihannya." "Maksudmu setelah itu dia tidak pulang?" "Tidak pulang dan tidak menetap di kampus itu." "Jadi ke mana dia?" "Entahlah, tapi jika dia sampai tidak pulang lagi, aku tahu paman Eugene bisa mengurus semuanya, tenang saja, bahkan aku berniat untuk meminta bantuannya untuk mencari tukang kebunmu, Emma." "Dan mencari geng motor yang telah membunuh Ayahmu?" "Ya, kurasa ... tapi aku tetap belum siap untuk memulai mencari tahu semua hal tentang geng motor itu, aku butuh waktu untuk bisa memberikan mereka ruang di pikiranku." "Aku minta maaf-" "Tidak apa-apa, kau hanya memberikan saran kepadaku untuk meminta bantuan paman Eugene, dan idemu sangat benar, tapi kita akan fokus dalam menangkap tukang kebunmu itu dulu." "Kalian akan mencari tukang kebun Emma besok?" tanya Gladys. "Dia sudah melakukan tindakan yang tidak terpuji kepadaku, aku tidak ingin membuat semua ini berlarut-larut, jadi, ya, aku rasa sebaiknya kita memulainya besok," ujar Emma. "Tapi kau harus mengurus banyak hal selain itu, kan?" "Ya, tentu saja, pengunduran diriku dari kampus masih dalam proses, lalu aku harus mengurus bisnis orangtuaku, dan mendapatkan perkembangan terbaru mengenai kecelakaan yang mereka alami sementara jasad mereka sudah hancur." "Aku akan selalu memberikan semangat untukmu," ucap Nuansa pada Emma. "Terima kasih." "Baiklah, aku akan menghubungi bibi Bulan untuk memberikan kabar mengenai Neptunus yang ternyata masuk ke kampusnya tadi," kata Nuansa. *** Tak lama kemudian, Emma dan Gladys pergi dari rumah Nuansa. Rumah kecil tersebut terasa sangat sepi tanpa kehadiran Arfan, dan kesunyian ini mulai membuat Nuansa teringat akan masa kecilnya yang sering berlarian di dalam rumah yang ibarat kata seukuran kotak korek api ini. Nuansa kemudian duduk sambil menyandar. ''Neptunus, sungguh, aku sebenarnya membutuhkan dukunganmu, walaupun kau dan aku tidak memiliki hubungan apapun, tapi ... tapi entah kenapa rasanya tidak mendapatkan dukungan darimu disaat-saat seperti ini membuatku tidak bisa lepas dari perasaan terpukul atas kepergian Ayahku. Dimana kau, Neptunus? Kembalilah, datangilah aku, kontrak kita memang sudah selesai, tapi ... aku memohon padamu, datanglah, aku membutuhkan dukungan darimu, Nep,'' batin Nuansa. Kesunyian seperti ini membuat Nuansa kembalu teringat kepada semua hal mengenai Ayahnya yang berujung membuatnya semakin jatuh. Inilah alasan kenapa Nuansa tidak ingin mencari geng motor itu dulu, karena dia benar-benar belum siap untuk memberikan ruang sepenuhnya mengenai geng motor itu dan Ayahnya di dalam pikirannya, karena kalau tidak, Nuansa akan menjadi seperti ini, dia berubah menjadi sangat lemah dan terus menangis dalam kesedihannya. Nuansa benar-benar membutuhkan banyak dukungan sebenarnya, dan di antara banyaknya dukungan yang dia butuhkan, dukungan dari Neptunuslah yang mungkin yang paling dibutuhkannya, tapi entah di mana pria itu berada saat ini, dia tidak ada untuk menemani Nuansa saat Nuansa sedang berada di dalam masa-masa terpuruknya. *** Keesokan harinya, Nuansa yang tengah bersiap-siap unntuk pergi kini sedang menyisir rambutnya. Durah masih tidur, jadi Nuansa mengurus semuanya, dia paham Durah masih belum baik-baik saja, oleh karena itu sebaiknya Durah banyak-banyak istirahat, namun meskipun Nuansa sadar bahwa Durah mengetahui apa saja yang dilakukannya tadi, Nuansa juga paham bahwa Durah hanya tidak ingin beranjak dari tempat tidurnya bersama Arfan, selain karena dia memang hanya ingin tidur-tiduran saja dulu saat ini. Setelah selesai bersiap-siap dan hanya tinggal menunggu jemputan Emma, Nuansa pergi ke kamar Durah yang sekarang benar-benar hanya menjadi milik Durah seorang. Gadis tersebut memeluk Ibunya itu dari belakang dan membisikkannya ucapan pamitnya, dan Durah hanya menjawabnya dengan anggukan. "Ibu yakin benar-benar tidak mau kemana-mana? Ke rumah Emma misalnya? Ibu akan memiliki teman mengobrol di sana," ucap Nuansa. "Tidak, Ibu di sini saja," ujar Durah. "Baiklah, aku tidak akan memaksa, itu semua terserah Ibu, yang terpenting jaga diri Ibu baik-baik, ya." "Ya." "Aku akan keluar sekarang, jangan lupa kunci pintunya dari dalam, orang bisa saja masuk nanti." "Ya." Nuansa lantas kembali berpamitan kepada sang Ibu sebelum pergi. Gadis itu menunggu Emma di depan gang tempat rumahnya berada, dan itu adalah tempat biasanya Neptunus menurunkannya jika pria itu mengantarnya pulang. "Sudah menghubungi paman Eugene?" tanya Emma pada Nuansa seraya membuka kaca mobilnya agar dia bisa bertatap muka dengan Nuansa. "Sudah, katanya dia mau membantu, dan tempat pertemuan kita dengannya adalah di rumah Neptunus," jawab Nuansa. "Baiklah, aku berharap Neptunus sudah pulang, entah apa yang terjadi padanya, kan?" "Ya, tapi mari kita tidak memikirkan tentangnya." "Kenapa?" "Entahlah, aku hanya tidak ingin memikirkannya dulu." Emma lalu terdiam sesaat. "Baiklah, masuklah," suruh Emma, Nuansa pun kemudian masuk ke dalam mobil Emma dan mereka pergi ke rumah Neptunus. *** Sementara itu, di lain tempat, tepatnya di restoran Hanyang, Gladys sedang bekerja seperti biasanya, tetapi tiba-tiba dia kedatangan pelanggan yang tidak terduga: Finn. Seketika itu juga Gladys mematung. Ya, tepat pada saat Finn baru saja masuk, Gladys melihatnya dan dia langsung membeku. Finn sendiri pun bisa langsung melihat Gladys saat dia masuk, sebab Gladys sedang membersih-bersihkan meja-meja pelanggan. "Gladys," kata Finn. "Aku ingin bicara denganmu," sambungnya. "Maaf, tapi aku sedang bekerja, katakan saja apa menu yang ingin kau pesan, aku di sini tidak untuk mengobrol dengan pelanggan," ucap Gladys. "Gladys, tolong." "Duduk saja dan pilih menu yang ingin kau pesan," kata Gladys sambil melanjutkan kegiatannya, Finn pun lantas meraih tangan Gladys, namun Gladys menepisnya. "Tolong, dengarkan aku dulu," ucap Finn. "Ya? Kau ingin pesan apa?" tanya Gladys. "Aku tidak memesan apapun, aku ingin berbicara denganmu mengenai masalah kita," ujar Finn. "Tampaknya seseorang butuh telinga yang lebih, entah sudah berapa kali aku mengatakan kalau aku sedang bekerja," kata Gladys. "Dengar, aku ... aku ingin meminta maaf padamu atas apa yang telah aku lakukan." Kali ini, Gladys tidak merespon Finn sama sekali. "Jika kau berkenan ... izinkan aku kembali memasangkan cincin pertunangan kita di jari manismu," lanjut Finn yang memang sedang memegang cincin yang waktu itu dilepaskannya dari jari manis Gladys. Karena Gladys sama sekali tidak meresponnya, Finn pun kemudian menarik tangan gadis itu, namun dengan cepat Gladys kembali menepisnya. "Jangan sentuh aku!" tegas Gladys, dia kemudian pergi ke dapur dan meninggalkan Finn. Chapter 108 - Bertemu Eugene "Gladys ... tolong biarkan aku berbicara dan menjelaskan semuanya," pinta Finn yang terus mengikuti Gladys. Mendengar hal itu, Gladys kemudian merebut cincin yang pernah melingkar di jarinya itu dari Finn, dia lantas mencampakkan cincin itu dan membuat Finn terbungkam dengan aksinya tersebut. Gladys pun lalu pergi ke toilet agar Finn tidak mengikutinya lagi, dan benar saja, Finn tidak mengikuti Gladys lagi saat Gladys pergi ke toilet. *** Sementara itu, Emma dan Nuansa akhirnya sampai di rumah Neptunus. Usai Emma memarkirkan mobilnya di garasi, dia dan Nuansa pun lantas keluar dari dalam mobil tersebut. Mereka kemudian masuk ke dalam, namun tentu saja sebelum keduanya benar-benar masuk, salah satu dari mereka mengetuk pintu terlebih dahulu. Sesaat kemudian, pintu terbuka, dan ternyata Haha yang membukakan pintu untuk mereka. "Nona Nuansa?" ucap Haha. "Bibi," sahut Nuansa, dia lalu memeluk wanita paruh bayar tersebut. "Apa kabar, Bibi?" tanya Nuansa usai dirinya melepaskan pelukannya dari Haha. "Aku baik, bagaimana denganmu?" "Aku juga baik, Bibi. Well, walaupun sebenarnya tidak benar-benar baik." "Maksudnya?" "Aku ... engh, aku belum siap untuk menceritakannya terlalu sering." "Tidak apa-apa, itu terserahmu mau menjawab atau tidak." "Terima kasih, Bibi." Haha kemudian melirik Emma. "Halo, Bibi," Emma menyapa Haha. "H-hai," Haha menyapanya balik. "Bibi, paman Eugene ada di dalam, kan?" tanya Nuansa. "Iya, beliau ada di dalam," jawab Haha. "Bibi Bulan?" "Sudah pergi dari tadi, kemungkinan Nyonya Bulan akan kembalu sebentar lagi." "Neptunus?" "Neptunus ... kami semua mengkhawatirkannya." "Dia belum pulang juga?" Haha menjawab pertanyaan Nuansa itu dengan cara menggeleng. "Apa yang terjadi, Nak? Apa kalian berantam sampai dia tidak kunjung pulang? Di mana dia?" tanya Haha pada Nuansa. "Kami baik-baik saja, Bibi, tidak ada yang terjadi di antara kami, dia benar-benar pulang usai mengantarku malam itu, kami tidak ribut atau apapun, makanya aku juga bingung dia ini sebenarnya berada di mana, sebab ternyata kemarin dia datang ke kampus," kata Nuansa. "Aku berharap dia baik-baik saja." "Tentu saja, kita semua berharap seperti itu." "Ya. Mari, silakan masuk, maaf malah jadi mengajakmu mengobrol." "Ah, tidak apa-apa, Bibi." Nuansa dan Emma pun lalu masuk, dan Haha sedikit bingung dengan kehadiran Emma yang datang bersama Nuansa. ''Ada apa ini? Kenapa Nona Emma dan Nona Nuansa bersama? Dan kenapa Nona Emma berada di sini?'' batin Haha sambil menutup pintu. *** Nuansa dan Emma pergi ke ruang tamu, tempat Eugene saat ini berada, di sana Eugene terlihat sedang bermain ponsel, tampak seperti tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Nuansa kemudian menyapa pria tersebut, dan Eugene membalas sapaan itu dengan antusias. "Tunggu sebentar, ya," ucap Eugene yang masih fokus ke ponselnya. "Meskipun Bulan masih yang menjadi paling sering keluar untuk mengurus bisnis kami, tapi akulah yang paling banyak berurusan dengan ponsel, dan ini jauh lebih merepotkan sebenarnya karena ini menyita waktuku kapan saja, maaf jika aku mengabaikan kalian sebentar," lanjut Eugene. "Tidak apa-apa, Paman. Aku bisa memahaminya," ujar Nuansa. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, kau teman Neptunus, ya?" tanya Eugene pada Emma. "Iya, salam kenal, Paman," kata Emma. "Ya, namamu Emma, kan?" "Iya." "Baiklah." "Jadi, ada apa, Nuansa?" sambung Eugene. "Pertama-tama mungkin aku akan menanyakan tentang Neptunus dulu," ujar Nuansa. "Neptunus?" ucap Eugene. "Ya, dia sudah hampir dua hari tidak pulang, kan?" "Ya, betul." "Menurut Paman apa yang terjadi padanya? Kenapa Paman dan bibi Bulan tidak melapor ke Polisi?" "Dia tidak hilang, kan? Buktinya dia masih datang ke kampusnya kemarin, jadi untuk apa melapor ke Polisi?" "Tapi dia tidak pulang, tidak ada kabar, dan sebagainya, apa dia baik-baik saja dengan semua hal itu?" "Dia pasti akan kembali, tenang saja, dan ketika dia kembali, dia pasti akan memberikan alasannya kepada kita." "Jadi menurut Paman ini bukan hal yang besar?" "Tidak, karena dia sudah dewasa, dia tahu apa yang dia lakukan, dan menurutku dia hanya ingin tinggal sendiri dulu untuk beberapa saat, sebab kalau dia diculik atau sebagainya seharusnya dia tidak datang ke kampusnya kemarin." "Tapi bagaimana kalau misalnya dia benar-benar diculik, lalu penculiknya membiarkan dia berkuliah kemarin agar dia tidak terlihat seperti sedang diculik?" "Untuk menjawab itu, aku harus mengumpulkan informasi yang lebih lagi, tapi untuk saat ini, mari kita berpendapat sepertiku saja, dia hanya ingin tinggal sendirian dulu untuk sementara waktu." "Kalau memang begitu, apa alasannya? Apa dia pernah seperti ini juga sebelumnya?" "Setahuku tidak, tapi hal-hal yang dirasakan, dialami, atau dipikirkan tiba-tiba dan berdampak besar kepada pemikiran kita pastilah akan membuat kita mengambil tindakan yang tidak disangka juga, jadi ... kurasa pendapatku masuk akal." "Kuharap dia seperti itu, tapi kalau memang iya, hal apa yang mrmbuatnya tiba-tiba ingin sendiri dulu setelah dia mengantarku pulang? Apa yang terjadi padanya memangnya?" "Ada banyak sekali kemungkinan untuk hal itu, Nuansa, siapa yang tahu apa yang terjadi padanya sebelum acara makan malam kalian, kan? Tindakan yang dia lakukan tidak bisa kita perkirakan secara pasti kapan penyebabnya terjadi, karena bisa kapan saja, bisa saja sebelum acara makan malam itu, bisa siangnya, sorenya, paginya, atau bahkan jauh-jauh hari, siapa yang tahu, kan?" "Benar juga, tapi ..." "Sudahlah, Neptunus tidak usah dipikirkan, aku tahu kau khawatir, tapi ... dia pasti baik-baik saja." "Kau menjaminnya?" "Aku yang akan turun tangan langsung untuk mencarinya jika hal ini berlarut hingga terlalu lama." "Baiklah." "Ok, sekarang ada apa? Apa yang ingin kau bicarakan padaku?" tanya Eugene, namun belum sempat Nuansa menjawab pertanyaan itu, Haha masuk dengan membawakan beberapa gelas kosong, satu ceret penuh yang entah apa isinya, juga beberapa makanan ringan, dan tak berselang lama setelah Haha masuk ke ruang tamu, Bulan bersama Vega, Rea, Rosy, dan Alvaro datang, mereka berempat masuk ke ruang tamu dan tidak menyangka dengan kehadiran Nuansa dan Emma, sebab Vega dan Bulan memang hanya berniat untuk mengantar teman-teman Vega itu ke ruang tamu. "Kak Nuansa?!" ujar Vega begitu dia melihat Nuansa. "Hei," Nuansa menyapa Vega. Vega kemudian memeluk Nuansa erat-erat. "Eh, ada apa? Kenapa kau memelukku dengan sangat erat?" tanya Nuansa. "Stay strong, Kak," ucap Vega. "Huh?" "Aku turut berduka cita," ujar Vega sembari melepaskan pelukannya. "Tunggu, ada apa ini?" tanya Eugene. "Huh? Kukira Ibu sudah menceritakannya duluan padamu, Paman," kata Vega. "Menceritakan apa?" "Ok, ok, tenang dulu semuanya, duduklah dulu bagi yang belum duduk. Vega, ingat, teman-temanmu ada di sini untuk mengerjakan tugas kelompok bersamamu, dan kalian sebaiknya tidak berada di sini, di kamarmu saja," ucap Bulan. "Tapi Ibu-" "Tidak ada tapi-tapi." Seketika itu juga Vega merasa lemas, dia kemudian memeluk Nuansa lagi, namun hanya sebentar. Nuansa pun tersenyum karena Vega. Sesaat kemudian, perhatian Nuansa teralihkan pada Rea. "Tunggu," kata Nuansa pada Vega dan teman-temannya. "Aku ingin berbicara dengan Rea, hanya berdua," lanjut Nuansa, dia lalu berdiri dan menghampiri Rea. Gadis itu kemudian mengajak Rea untuk keluar dari dalam ruangan tersebut. Chapter 109 - Masalah Hati "Kau? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Bulan pada Emma saat Nuansa dan Rea keluar dari sana. "Kau datang bersama Nuansa?" sambungnya. "Iya, Bibi." "Apa yang terjadi sebenarnya?" "Engh, aku merasa tidak enak untuk membicarakannya di depan banyak orang, Bibi." Bulan lalu menoleh ke arah Vega, Rosy, dan Alvaro. "Kalian bertiga kenapa masih di sini? Pergilah ke kamar Vega," ucap Bulan pada mereka bertiga. "Tapi Rea-" "Rea bisa menyusul kalian nanti, sana," ujar Bulan yang menyela Vega tadi. Vega pun kemudian hanya bisa pasrah, ia dan Rosy juga Alvaro lantas pergi ke kamarnya. *** Sementara itu, Nuansa dan Rea ternyata pergi ke dapur, kebetulan di sana sedang tidak ada orang, jadi mereka benar-benar hanya berdua. "Ada apa, Kak?" tanya Rea pada Nuansa. "Kau kecewa ya padaku? Maaf ya, bukan maksudku tidak menerima kedatanganmu di rumahku, tapi ..." "Tapi apa?" "Vega tidak menceritakannya padamu?" "Menceritakan apa?" "Ayahku baru saja meninggal, jadi ..." "Huh? Serius?" "Aku harap tidak, tapi ... begitulah." Rea pun kemudian menyampaikan rasa belasungkawanya kepada Nuansa, dia juga meminta Nuansa untuk tabah dalam menerima kepergian Arfan. Nuansa tentu saja berterima kasih kepada Rea atas dukungannya itu. "Maafkan aku, mungkin kau belum bisa datang ke rumahku dalam waktu dekat," ujar Nuansa. "Tidak apa-apa, Kak, aku mengerti bagaimana situasinya padamu. Yang terpenting kau dan Ibumu tetap kuat ya," kata Rea. "Terima kasih sekali lagi, Rea." "Sama-sama, Kak." Nuansa dan Rea kemudian membahas beberapa hal lainnya yang tidak begitu penting, hingga akhirnya Haha yang tadi mengantarkan minuman dan makanan ringan ke ruang tamu kembali ke dapur. "Eh, apa aku mengganggu?" tanya Haha. "Tidak, Bibi, kami juga sudah selesai bicaranya," jawab Nuansa. "Oh, syukurlah." "Yasudah, Kak, Bibi, aku ke kamar Vega dulu ya," ujar Rea. "Ok," sahut Nuansa, Rea pun lalu pergi dari sana. "Bibi, aku kembali ke ruang tamu, ya?" kata Nuansa pada Haha usai Vega pergi. "Baiklah," ucap Haha, dan Nuansa pun lalu kembali ke ruang tamu saat Emma baru saja akan menceritakan semuanya pada Bulan. "Nuansa kembali, mungkin sekalian dia saja yang menceritakannya, Bibi," ujar Emma, Bulan kemudian hanya mengangguk. "Baiklah, bisa kita mulai sekarang, ya?" kata Nuansa yang baru saja duduk. "Jadi ... pada awalnya ada sedikit masalah yang Emma buat kepada Gladys, teman dekatnya Neptunus," ucap Nuansa yang mulai menceritakan semuanya dari awal sampai bagaimana dia mencuri di rumah Emma, lalu sang Ayah dibunuh, padahal targetnya yang sebenarnya adalah dia, lalu Emma dileecehkan oleh tukang kebunnya sendiri beberapa saat sebelum dia mencuri barang-barangnya, tukang kebunnya lari. "Aku tidak berniat untuk menyelesaikan kasus Ayahku dalam waktu dekat ini, karena aku masih belum terlalu bisa mengendalikan emosiku ketika sudah memikirkannya terlalu dalam, dan menuntaskan kasusnya pasti memaksaku untuk memikirkan tentang dirinya dengan sangat keras, aku ... aku belum siap, jadi aku memutuskan untuk membantu Emma dulu mencari tukang kebunnya, tapi aku tidak tahu harus bagaimana karena Emma tidak mau melapor ke Polisi, jadi kami meminta bantuanmu, Paman," pungkas Nuansa. "Begitu ya," ujar Eugene. "Jadi kematian orangtuamu telah mengubahmu?" tanya Bulan pada Emma. "Sebenarnya tidak juga, Bibi, karena aku benar-benar berubah saat aku melihat dengan jelas bagaimana Nuansa merasakan duka yang sama dengan yang sedang aku rasakan, dan aku jadi tidak tega untuk menyakitinya, dan aku juga butuh seseorang yang mendukungku secara penuh untuk bisa bangkit, dan aku rasa Nuansa adalah orang yang tepat walaupun tidak terpikirkan olehku sebelumnya, selebihnya mungkin hanya langkah kecil untuk membuka lembaran baru di kehidupanku yang akan menjadi lebih baik," jelas Emma. "Baguslah, aku senang jika kau benar-benar berubah, asalkan benar-benar saja." Emma terkekeh. "Benar-benar kok, Bibi," kata Emma. "Kalau boleh jujur, aku sebenarnya lebih tertarik untuk mencari tahu tentang geng motor yang berniat untuk membunuhmu, Nuansa. Siapa mereka dan kenapa mereka berniat untuk membunuhmu? Dan bagaimana bisa mereka mengetahui segala hal tentangmu sementara kau saja tidak pernah berurusan dengan hal-hal kriminal, tapi mengingat kaunya yang belum siap, maka baiklah, kita akan menangani kasus Emma dulu," ujar Eugene. "Pertama-tama aku ingin tahu, kau tahu ke arah mana dia perginya, Emma? Atau setidaknya perkiraan di mana dia sekarang," sambung Eugene. "Tidak, tapi aku tahu ke arah mana dia kabur, berlawanan arah dari arah Nuansa dan Ayahnya kabut," ujar Emma. "Apa tidak ada CCTV di arah dia kabur? Jika ada itu akan meringankan pekerjaan kita." "Aku tidak yakin ada, sebab setahuku di daerah itu CCTV hanya ada di perumahan tempatku tinggal." "Begitu ya." "Apa kau punya nomor identitasnya atau semacamnya?" "Kita bisa menggeledah barang-barangnya kalau mau, sebab dia waktu itu pergi tanpa barang-barangnya, dan seingatku saat dia melamar bekerja sebagai tukang kebun di rumahku dulu, Ibu dan Ayahku meminta foto copy KTPnya, dan semoga saja benda itu masih ada jika seandainya ternyata paman Wan membawa KTPnya." "Baiklah, ayo kita pergi ke rumahmu dan menggeledah semuanya," ajak Eugene. "Aku tidak ikut," ujar Nuansa. "Kenapa?" tanya Emma. "Aku akan pergi mencari Neptunus." "Apa?!" "Nuansa, Eugene menjelaskan padaku bahwa Neptunus mungkin saja memang hanya ingin tinggal sendirian dulu, dan ketika dia kembali nanti, dia pasti akan menjelaskan alasannya kepada kita, jadi kurasa kau tidak perlu mencarinya," ucap Bulan. "Tidak, Bibi, aku harus bicara dengannya," kata Nuansa. "Untuk apa?" "Entahlah, tapi entah kenapa perasaanku mengatakan bahwa aku harus bicara dengannya." "Eugene, lakukan sesuatu," ujar Bulan, dia meminta bantuan Eugene untuk membantunya menahan Nuansa. "Jika Neptunus benar-benar hanya ingin tinggal sendiri dulu, itu artinya dia sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun, jadi ... aku harap kau paham," ucap Eugene. "Mau sampai kapan dia seperti ini? Sampai Paman dan Bibi menikah? Bagaimana kalau dia tidak datang di acara pernikahan kalian yang sudah dekat?" kata Nuansa. "Tidak, dia pasti sudah pulang pada hari pernikahan kami nanti," ujar Bulan. "Lalu bagaimana jika alasan dia pergi seperti ini adalah karena sebenarnya dia tidak mau menghadiri acara pernikahan Bibi dan Paman?" Bulan kemudian terdiam. "Nuansa, sudahlah, lagi pula kau akan pergi dengan apa? Ada mobil di sini tapi kau belum bisa membawa mobil, kan? Ingat saat kau pertama kali membawanya? Kau berputar-putar tidak jelas," kata Eugene. "Aku bisa walaupun usiaku belum legal untuk mengendarai mobil," ucap Vega yang tiba-tiba ada di sana bersama ketiga temannya. "Vega, kalian harus belajar, kalian sedang mendapatkan tugas kelompok, jangan yang aneh-aneh kau," ujar Bulan. "Kami bisa melakukannya nanti, kami memiliki banyak waktu." "Tidak, kalian harus mengerjakannya sekarang, kau tidak boleh melanggar perintah Ibu." "Tapi Ibu-" "Kembali ke kamarmu." Vega lalu terdiam. "Oh, atau kau bisa menghubungi Itzan dan meminta bantuannya, Kak. Dia pasti mau mengantarmu kemana-mana," kata Vega beberapa saat kemudian. "Tidak, aku tidak akan merepotkan orang lain, aku akan pergi sendiri," tegas Nuansa. "Aku akan menggunakan taksi online," sambungnya. "Ingat saat terakhir kali kau keras kepala Nuansa? Apa yang terjadi gara-gara hal itu?" Emma akhirnya buka suara. Nuansa pun langsung terdiam setelah itu. "Aku tahu, akibatnya sangat fatal, tapi kali ini berbeda, ini beda masalah, ini masalah hati," kata Nuansa. Mendengar hal itu, Emma hanya bisa diam. ''Dia jatuh cinta pada Neptunus?'' batin Emma. Chapter 110 - Pistol Eugene Di halaman depan rumah Neptunus, Emma bersama Eugene baru saja pergi menggunakan mobil Emma, sementara Nuansa masih menunggu taksi online yang di ordernya datang, dan dia ditemani oleh Bulan di depan gerbang. "Kau mau mencarinya ke mana rupanya?" tanya Bulan pada Nuansa. "Aku akan pergi ke kampusnya, jika kemarin dia datang, maka seharusnya hari ini dia juga datang, dan jam kuliah dia akan dimulau tidak lagi, Bibi, jadi seharusnya ketika aku sampai di sana, dia juga sudah ada di sana," jawab Nuansa. "Baiklah." Tak lama kemudian, taksi yang dipesan Nuansa akhirnya datang. "Bibi, aku pergi ya," Nuansa pun berpamitan pada Bulan. "Hati-hati ya," ujar Bulan seraya memeluk Nuansa. Nuansa lantas hanya mengangguk, dan lalu masuk ke dalam taksi tersebut. "Dia benar-benar melakukan segala cara agar bisa lupa dengan hal-hal yang berkaitan dengan Ayahnya. Kasihan sekali kau, Nuansa. Tapi kau mencari Neptunus, orang yang pasti sangat paham perasaanmu saat ini, jadi mungkin ada baiknya kau ngotot ingin mencarinya, kau pasti butuh orang yang benar-benar memahami perasaanmu saat ini, terlebih lagi Ayah kalian meninggal dengan cara yang mirip," gumam Bulah usai Nuansa pergi bersama taksi yang dipesannya. *** Emma dan Eugene akhirnya sampai di rumah Emma, rumah itu tampak sangat sepi, wajar saja karena saat ini hanya ada Ihih di dalam rumah sebesar itu. "Ayo masuk, Paman," ajak Emma, dia kemudian masuk, diikuti oleh Eugene. "Jam segini biasanya memang tidak ada orang?" tanya Eugene. "Ada, bibi Ihih di sini kok, mau aku panggilkan?" kata Emma. "Tidak usah." "Yasudah." Keduanya akhirnya sampai di kamar yang sebelumnya menjadi kamar Wan. "Ini kamar tukang kebunku, Paman," ucap Emma begitu mereka sampai di kamar tersebut. Mereka berdua pun lalu masuk ke dalam kamar yang masih terdapat banyak barang itu. "Aku akan mencari barang-barangnya yang bisa memberikan petunjuk di sini, kau periksalah kamar atau barang-barang orangtuamu, siapa tahu mereka memang masih menyimpan foto copy KTP si Wan ini," ujar Eugene. "Baiklah, aku tinggal ya, Paman." "Ya, hati-hati ya." "Hati-hati?" "Hanya mengingatkan saja." "Huh?" "Lupakan saja." "O-ok," Emma pun kemudian pergi dari kamar Wan dan pergi ke kamar orangtuanya. Eugene lantas mulai memeriksa kamar ini, seperti membongkar lemari dan memeriksa ranjang beserta kolongnya. Baru 2 menit memeriksa kamar Wan, tiba-tiba ada seseorang dari belakang Eugene yang membawa sebuah kayu sebagai senjatanya. Kebetulan posisi Eugene memang pas sekali sedang membelakangi pintu, jadi orang ini bisa masuk seenaknya saja. Tidak, itu bukan Emma, melainkan Ihih. Eugene bisa langsung menyadarinya, dan begitu ia akan berbalik badan, Ihih mengancamnya. "Jangan bergerak, atau akan kupukul kau menggunakan kayu ini," ancam Ihih yang terlihat begitu waspada. "Hei, tenanglah, aku bukan maling," ujar Eugene. "Jangan coba-coba kau bergerak." "Dengarkan aku, aku datang ke sini bersama Emma, aku bukan orang asing, aku calon Ayah sambungnya Neptunus, kau pasti kenal dengan Neptunus, kan?" kata Eugene sembari berbalik badan. "Aku bilang jangan bergerak!" teriak Ihih. "Ok, ok, tenang, aku bukan orang yang berbahaya," ucap Eugene yang cukup merasa ngeri melihat Ihih yang terlihat siap memukulnya kapan saja menggunakan kayu tersebut. Tiba-tiba ada suara dari luar. "Ada apa, bibi Ihih?" orang yang memiliki suara itu bertanya pada Ihih, dan itu bukanlah bukan suara Emma, seseorang telah masuk ke dalam rumah. Tubuh Ihih sendiri memang tidak benar-benar masuk ke dalam, jadi orang yang berada di luar masih bisa melihatnya. ''Tetangga mereka?'' batin Eugene. Sesaat kemudian baru terdengar suara Emma yang dibarengi dengan suafa langkah kaki yang bergerak cepat menuruni tangga. "Bibi, ada apa?" tanya Emma pada Ihih seraya menghampirinya. "Bibi, ini paman Eugene, dia bukan orang asing, turunkan kayu Bibi," ucap Emma usai dirinya menoleh ke dalam kamar itu dan melihat bahwa Ihih sebenarnya sedang mengarahkan sebatang kayu yang cukup besar kepada Eugene. "Engh, maaf ya, tidak apa-apa kok," ujar Emma beberapa detik kemudian kepada tetangganya yang masuk ke dalam rumahnya. "Kau yakin?" tanya tetangganya tersebut. "Iya, aku membawa orang yang tidak dikenal oleh bibi Ihih, dan dia mengira orang ini adalah maling, padahal bukan. Maaf karena sudah mengganggu ya." "Oh, yasudah, tidak apa-apa." Tetangga Emma itu kemudian pergi, dan Ihih akhirnya menurunkan kayunya. "Ini paman Eugene, calon Ayah tirinya Neptunus, Bibi. Aku pernah menceritakannya pada Bibi, kan?" kata Emma pada Ihih. "Ya, maaf ya Nona, saya begini karena tidak pernah melihat wajah Tuan Eugene," ucap Ihih. "Minta maaflah pada paman Eugene, Bibi." "Saya minta maaf, Tuan." "Ya, tidak apa-apa," ujar Eugene. "Bisa bawa keluar kayu itu, Emma?" lanjut Eugene. "Huh? Kenapa?" tanya Emma. "Bawa saja." Emma kemudian mengambil kayu itu, namun tiba-tiba Eugene mengarahkan sebuah pistol ke arah Ihih. Ihih tentu saja terkejut dengan aksi Eugene tersebut, begitu juga dengan Emma yang baru saja akan keluar. "Paman?! Apa yang kau lakukan?!" tanya Emma dengan panik. "Jauhkan kayu itu dari kita," suruh Eugene. "Tidak, apa kau sudah gila?! Apa yang kau lakukan?!" kata Emma. "Tanyakan kepada Ihih kenapa aku mengarahkan pistol ke arahnya." "Apa?!" "Lakukan saja perintahku, Emma!" "Akan kulakukan jika kau menurunkan pistolmu juga," ucap Emma. Situasi pun mendadak menjadi memanas di antara mereka. *** Sementara itu, Nuansa akhirnya sampai di kampus Neptunus. Setelah membayar ongkos, Nuansa pun masuk ke dalam kampus tersebut dengan menarik napas panjang. ''Kuharap aku menemukanmu di sini, Nep,'' batin Nuansa. Gadis itu lantas berjalan masuk ke sana. Baru saja Nuansa berjalan masuk ke salam kampus itu, secara tidak sengaja dia melihat Finn sedang berjalan dengan seorang pria. Finn dan pria itu membelakangi Nuansa, tetapi Nuansa bisa melihat wajah Finn, dan sayangnya tidak bisa melihat wajah pria tersebut. Dari belakang, pria itu terlihat mirip dengan Neptunus, dan hal itu pun membuat Nuansa langsung bergegas untuk menghampiri Finn dan pria itu. ''Itu kau, kan, Neptunus?'' batin Nuansa. Chapter 111 - Detektif Eugene "Sayangnya aku tidak akan menurunkan pistolku sampai dia mengatakan semua tentang Wan, dia satu-satunya yang tahu ke mana Wan pergi," ujar Eugene pada Emma. "Apa maksudmu?" tanya Emma. "Bukan begitu, Ihih?" Eugene bertanya pada Ihih, namun Ihih hanya diam. "Bibi, katakan itu tidak benar," kata Emma, tetapi Ihih tetap diam. "Kalian pasti sama-sama membutuhkan penjelasan dariku mengenai alasanku memberikan tuduhan ini pada Ihih, kan? Maka baiklah, aku akan menjelaskannya," ucap Eugene. "Emma, sebelum kita berangkat tadi, Nuansa mengatakan sesuatu padaku," sambung Eugene. *FLASHBACK* Pada saat Eugene masih berada di ruang tamu seorang diri, Nuansa mendatanginya, saat itu Bulan sedang pergi ke kamar mandi untuk kencing, sementara Emma sedang mengeluarkan mobilnya, Eugene sendiri sebenarnya baru akan menyusul Emma, tetapi Nuansa yang baru keluar bersama Emma datang dan meminta waktu padanya. "Paman, boleh aku minta waktumu sebentar?" tanya Nuansa pada Eugene yang baru saja berdiri. "Ya, silakan," ujar Eugene. "Ketika kalian sampai di rumah Emma nanti, tolong awasi bibi Ihih." "Siapa itu?" "Pembantu di rumah Emma." "Ada apa dengannya?" "Dia terlihat tidak mencurigakan sama sekali, dan awalnya pun aku tidak berpikir hal buruk sama sekali tentangnya, tapi ... di malam aku menyusup ke dalam rumah Emma, dia terlihat seperti membiarkan Wan pergi." "Maksudmu?" "Dia agak aneh saat itu, seperti ..." "Dia memihak Wan?" "Ya, kira-kira bisa dikatakan seperti itu." "Kenapa kau berkata seperti itu?" "Karena ... malam itu, saat aku baru saja berhasil masuk ke dalam rumah Emma, sedang terjadi keributan di dalam rumah itu, bibi Ihih menggedor pintu kamar Emma yang saat itu sedang dilecehkan oleh Wan, dari luar aku tidak mendengar keributan apapun, makanya aku tenang-tenang saja pada saat masuk, tapi begitu aku sampai di dalam, aku baru menyadari bahwa aku harus bersembunyi dulu, karena itu aku pergi ke dapur, tapi aku tetap mengintip ke luar. Aku melihat Wan yang berpakaian sambil berjalan menuju pintu, sudah pasti dia mau lari, dan dari belakang, bibi Ihih mengejarnya, tapi dia seperti tidak niat untuk mengejar Wan, dia ... dia hanya berjalan santai, dia juga terlihat biasa saja, seolah dia hanya ingin menyusul Wan, bukan mengejarnya lalu menangkapnya, walaupun pasti akan mustahil dia bisa menangkapnya, tapi ... tetap saja bibi Ihih terkesan seperti membiarkannya pergi begitu saja, dan ketika aku keluar dari dapur aku melihat bibi Ihih mematung di luar, dia seperti hanya menonton, atau ... mungkin dia mengobrol dengan Wan, entahlah, aku tidak tahu, karena pada saat itu aku fokus kepada tujuanku," papar Nuansa. "Dan ... ada tambahan. Sewaktu Emma berhasil membebaskan diri dari Wan, dan dia berlindung di belakang bibi Ihih, bibi Ihih sama sekali tidak melakukan apapun selain bertanya kepada Wan tentang apa yang dia lakukan, Emma yang menceritakan hal itu padaku, tapi aku tidak menceritakan tentang kecurigaanku ke bibi Ihih pada Emma, tentu saja dia tidak akan percaya, makanya aku memendam pendapatku ini sendiri. Maksudku ... bibi Ihih sebenarnya telah membebebaskan Wan, dia dengan sengaja melewatkan kesempatan untuk menangkap Wan. Pertama, ketika Emma berhasil keluar dari dalam kamarnya, seharusnya bibi Ihih dengan tanggap langsung menutup pintu kamar Emma dan menguncinya dari luar agar Wan tidak bisa berbuat apapun dan dia bisa menghubungi Polisi, kedua, yang aku lihat dari dapur, dia terlihat sama sekali tidak mengejar dan tidak berniat untuk menahan Wan, dia bahkan benar-benar tidak menghubungi Polisi. Polisi yang datang mengejarku dan Ayahku adalah Polisi yang dipanggil oleh Satpam-satpam perumahan itu, dan bibi Ihih sama sekali tidak tahu kalau akan ada Polisi yang datang," lanjut Nuansa. "Begitu ya," kata Eugene. "Ya, aku hanya meminta kau untuk waspada. Ini hanya dugaanku, tapi tidak ada salahnya menjadi berhati-hati, kan?" "Ya, kau benar. Baiklah, terima kasih atas informasimu." *FLASHBACK ENDS* "Pernyataan Nuansa memang masih bisa diragukan karena katakan saja itu mungkin hanya perasaan dia, tapi begitu melihat bagaimana Ihih begitu waspada, aku langsung tahu bahwa apa yang dikatakan Nuansa itu benar, bahwa Ihih memihak Wan. Tapi, biarkan aku lebih jauh," ujar Eugene. "Emma, kau bilang kau pernah menceritakan tentangku padanya, kan? Maka seharusnya dia tahu kalau kau pasti akan meminta bantuanku untuk melacak keberadaan Wan, terlebih sekarang kau berteman dekat dengan Nuansa. Tidak peduli jika dia tahu aku sudah kembali ke Indonesia atau tidak, yang terpenting dia pasti memiliki dugaan bahwa kau akan meminta bantuanku, jadi meskipun dia tidak tahu bagaimana rupaku, setidaknya ketika kau membawa orang asing masuk ke rumahmu dan memeriksa kamar Wan, dia seharusnya langsung paham bahwa aku adalah Eugene, atau setidaknya orang suruhan diriku yang kuutus untuk membantumu jika aku masih berada di Inggris. Apapun itu, ketika aku mengatakan bahwa aku bukan maling dan menjelaskan bahwa aku adalah calon Ayah sambung Neptunus, dia sebenarnya percaya karena dia pasti sudah menduga bahwa aku atau setidaknya utusanku akan datang untuk membantumu. Tapi dia memilih untuk tidak mendengarkanku, dia percaya padaku, tapi baginya lebih bagus aku pingsan karena kayunya itu agar penyelidikanku tentang Wan tidak dilanjutkan, karena dia takut aku akan mengetahui semuanya. Untuk hal ini, aku yakin semuanya seratus persen benar, wanita ini tidak bodoh, tapi rasa waspadanya yang terlalu berlebihan itu telah membuatku menyadari semuanya, karena pada umumnya, wanita sepertinya akan memilih untuk mundur jika melihat orang mencurigakan masuk ke dalam rumah, tapi dia malah berniat untuk menghajarku dengan kayu itu, karena dia tahu aku tidak akan melawan, karena dia tahu aku bukan orang jahat, dan tidak akan melakukan apapun, tapi baginya, yang terpenting dia bisa membuatku terluka agar kita tidak melanjutkan semua ini," sambung Eugene, dan sekarang Emma terlihat bingung. "Aku tahu itu masih belum cukup, masih ada beberapa penjelasan lain, Emma," kata Eugene. "Pertama, keberisikan yang diciptakan di lantai satu akan terdengar sampai ke rumah orang lain, kecuali mungkin yang berada di sana yang dihalangi oleh pembatas kaca itu, itu pasti tempat untuk hura-hura, tapi kita tidak akan membicarakan tentang itu. Rumahmu ini unik, Emma, dan Ihih tahu itu dengan baik, lantai satu, jika membuat keberisikan apapun akan otomatis terdengar sampai ke rumah orang, sementara lantai dua tidak. Itu bisa dibuktikan dengan Nuansa yang tidak mendengar keberisikan apapun sebelum menyelinap, padahal sebelum dia masuk, Ihih pasti sudah menggedor-gedor pintu kamarmu, dan menurutmu Ihih cukup lama menggedor-gedor pintu kamarmu, kan? Tapi menurut Nuansa tidak, itu artinya ketika Nuansa masuk, Ihih hampir selesai menggedor karena kau berhasil membebaskan diri dari Wan, tapi Nuansa baru mendengar keberisikan ketika dia masuk. Lalu, tentang lantai satu, Wan sebenarnya berpotensi berada di dalam penjara sekarang jika malam itu Ihih berteriak sekencang-kencangnya pada saat dia sudah berada di lantai satu dengan langkah santainya itu agar semua tetangga kalian terbangun, tapi kenyataannya dia benar-benar tidak melakukan apa-apa, dia membiarkan Wan pergi. Itu bisa dibuktikan dari tetanggamu yang tiba-tiba masuk tadi karena mendengar suara teriakan Ihih, jadi bisa dibayangkan bagaimana semua orang akan terbangun malam itu dan menahan Wan jika seandainya Ihih berteriak minta tolong, tapi Nuansa benar, dia sama sekali tidak melakukan apa-apa," sambung Eugene. "Dan ini belum semuanya, aku masih memiliki penjelasan lagi." Chapter 112 - Neptunus, Akhirnya Nuansa akhirnya berhasil menyusul Finn dan pria yang jalan bersamanya, gadis itu kemudian menepuk pundak Finn dari belakang, dan seketika Finn juga pria tersebut langsung berhenti dan menoleh ke arahnya. "Nuansa?" ucap Finn, namun perhatian Nuansa langsung tertuju pada pria yang bersama Finn. "Kau ...?" ujar Nuansa pada pria itu. "Ada apa?" tanya pria itu. "Engh, tidak apa-apa, maaf mengganggu, aku salah orang, aku kira kau adalah Neptunus," kata Nuansa yang tampak kecewa. "Kau mencari Neptunus?" tanya Finn pada Nuansa. "Ya, kau melihatnya?" Nuansa bertanya balik. "Tidak, biasanya jam segini dia sudah ada di sini, tapi aku tidak tahu di mana dia sekarang." "Begitu, ya." "Nuansa, boleh aku bicara empat mata padamu sebentar?" tanya Finn. "Apa?" sahut Nuansa. "Kami ke sana dulu ya," ucap Finn pada pria yang ternyata bukan Neptunus itu. "Ok," kata pria tersebut, Finn pun lalu membawa Nuansa ke tempat yang agak sepi agar mereka benar-benar hanya berbicara empat mata. "Aku ingin bicara tentang Gladys," ujar Finn usai dirinya dan Nuansa berada di tempat yang sepi. Mendengar hal itu, Nuansa pun lantas melipat kedua tangannya. "Ada apa?" tanya Nuansa. "Aku ... aku ingin mengajaknya balikan, sebelumnya aku sudah meminta maaf padanya, tapi dia sama sekali tidak menggubrisku," keluh Finn. "Benarkah?" "Ya." "Apa katanya?" "Dia beralasan kalau dia sedang bekerja, padahal biasanya dia mau meluangkan waktunya untuk berbicara denganku." "Kau mengatakan apa padanya?" "Aku hanya meminta maaf, lalu ... lalu aku berniat untuk memasangkan cincin pertunangan kami padanya, tapi dia malah melempar cincin itu." Usai Finn mengatakan hal itu, Nuansa malah ketawa terbahak-bahak. "Hei, ada apa?" tanya Finn. "Well, itulah yang pantas kau dapatkan setelah apa yang kau lakukan padanya. Kau pikir setelah kau memutuskannya seenaknya, kau bisa balikan dengannya seenaknya juga, Finn? Makanya lain kali jadi orang jangan tolol." "Nuansa, tolonglah ... aku menyesal, aku ingin balikan dengannya. Ya, aku tahu aku salah, aku tahu kalau aku terlanjur idiot, tolol, gila, bodoh, dan semacamnya, tapi kesempatan kedua tetap ada, kan? Apapun akan kulakukan untuknya agar aku bisa mendapatkan hatinya lagi. Aku menyesal, Nuansa. Jika Emma saja memiliki kesempatan kedua, kenapa aku tidak?" Nuansa lantas mengangkat kedua bahunya. "Tolonglah," pinta Finn sekali lagi. "Pernahkah kau membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Gladys saat kau melepaskan cincin pertunangan kalian begitu saja di hadapan banyak orang? Dan kau sama sekali tidak ingin mendengar penjelasannya, tapi sekarang kau ingin dia mendengar penjelasanmu, apakah itu sedikit konyol?" ucap Nuansa. "Aku tahu, dan aku juga tahu bahwa sudah terlambat untuk menyadarinya, tapi kau pasti bisa mengubah keadaannya menjadi seperti semula, kan? Bantu aku, Nuansa." "Itu urusan pribadimu dengan Gladys, aku tidak memiliki hak apapun dalam permasalahan kalian, lagi pula aku juga telah berusaha meyakinkanmu bahwa semua itu palsu, tapi kau sama sekali tidak percaya. Sekarang aku jadi ragu padamu, kau ini sebenarnya benar-benar cinta atau tidak pada Gladys? Kenapa kau bisa semudah itu memutuskannya? Dan kenapa kau sama sekali tidak memiliki rasa kepercayaan padanya?" "Itu karena aku orangnya mudah untuk dihasut, dan aku berjanji akan berubah, percayalah." "Kau benar-benar menyesal?" "Ya." Nuansa kemudian terdiam sesaat. "Entahlah, aku sama sekali tidak bisa membantu, kau memang keterlaluan, aku tidak tahu apa ada cara agar kalian bisa balikan atau tidak. Maaf, bukannya tidak mau, tapi aku hanya tidak bisa, karena aku tidak tahu harus dengan cara apa," ujar Nuansa. "Aku tahu kesalahanku sangat fatal, tapi apa benar-benar tidak ada cara untuk bisa membuatnya mau mendengar penjelasanku? Setidaknya hanya mendengarkan penjelasanku dan mau mendengarkan permintaan maafku selengkap-lengkapnya, tidak apa-apa jika dia tidak mau bersamaku lagi, asalkan ... asalkan dia mau mendengarkan dua hal itu," kata Finn dengan lemas. Nuansa lantas mengamati wajah Finn dengan baik, dia memang bukan orang yang ahli membaca pikiran orang lain melalui raut wajahnya, tetapi setidaknya Nuansa bisa tahu apakah Finn tulus atau tidak mengucapkan kata-katanya dengan cara mengamati bahasa tubuhnya. "Kau tahu, Finn? Aku sangat suka melihat kalian bersama, aku akan sangat senang jika kalian balikan, tapi ... aku benar-benar tidak bisa membantumu, aku tidak memiliki cara apapun, maaf," ucap Nuansa. Mendengar hal itu, Finn pun hanya bisa terdiam. "Kalau begitu ... baiklah, terima kasih," ujar Finn beberapa saat kemudian, dia lalu melangkah meninggalkan Nuansa. "Tapi Gladys bukanlah kau," kata Nuansa pada Finn yang tadinya sudah berjalan meninggalkannya. Finn kemudian berhenti dan berbalik badan. "Apa maksudmu?" tanya Finn pada Nuansa. "Dia bukan seorang yang pendendam, dan dia tidak sepertimu, jadi dia seharusnya mau mendengarkanmu karena dia tahu bagaimana rasa sakitnya ketika penjelasan kita tidak mau di dengar oleh orang lain. Tidak, dia bukan tipe yang seperti itu, dia pasti mau mendengarkanmu." "Kau tidak paham, ya? Dia bahkan melemparkan cincinnya." "Heuh," Nuansa membuang napas kesal dan lelah secara bersamaan, dia juga menepuk jidatnya. "Ayolah, kapan kau berhenti menjadi orang bodoh?" ucap Nuansa. "Jelas-jelas dia mengatakan kalau dia sedang bekerja, dan tiba-tiba kau masuk dan ingin bicara dengannya, apa-apaan kau ini!" sambung Nuansa. "Tapi biasanya dia mau berbicara denganku sekalipun dia sedang bekerja," ujar Finn. "Ok, katakanlah begitu, tapi situasi sekarang beda dengan yang saat itu, sekarang kalian sedang tidak baik-baik saja, jadi wajar saja jika dia bersifat jutek padamu." "Jadi menurutmu aku harus bagaimana?" "Temui dia setelah jam kerjanya berakhir, lalu bicaralah padanya, katakan apa yang ingin kau katakan." "Bagaimana kalau dia tidak mau mendengarkanku?" "Kau sebaiknya tidak mengatakan hal itu sekalipun kau beralasan kalau hal itu hanya untuk persiapan jika seandainya yang terjadi justru seperti itu, karena apa yang kau ucapkan adalah doa, Finn." "Oh, iya, astaga, aku tarik ucapanku." "Pikirkan tentang usahamu saja dulu, masalah hasil urusan belakangan." "Baiklah, terima kasih atas masukanmu." "Kuharap itu membantu, karena ... aku benar-benar tidak bisa berbuat apapun pada situasi di antara kalian sekarang." "Kau sudah melakukan hal yang sangat besar, bagaimana bisa kau mengatakan hal itu?" "Itu hanya masukan, hal kecil." "Ah, kau ini, merendah untuk meroket." "Kurang ajar." Keduanya lalu tertawa. "Baiklah, aku pergi ke kelasku dulu, ya. Terima kasih banya atas masukanmu, aku akan mencobanya sore ini juga," ujar Finn. "Semoga beruntung," balas Nuansa. Finn pun kemudian pergi. "Sekarang, di mana kau sebenarnya, Neptunus? Jam kuliahmu sudah dimulai, dan batang hidungmu yang belang itu tidak terlihat juga," gumam Nuansa. "Tidak, tidak, dia pria baik-baik. Ugh, dia pasti akan sangat marah jika tahu kalau aku secara tidak sengaja mengatakan hal itu tadi," sambung Nuansa. "Tapi kalau diperhatikan, batang hidung dia memang agak belang, sih. Ada yang hitam, dan ada yang putih." "Tunggu dulu, kenapa aku malah jadi mengobrol dengan diriku sendiri dan membahas batang hidung, Neptunus?" Tiba-tiba ponsel Nuansa berdering, Nuansa pun segera mengambil ponsnya dari dalam tasnya. Ternyata Bulan menelpon. "Halo, Bibi?" ucap Nuansa usai dirinya menjawab panggilan itu. "Nuansa, Neptunus baru saja pulang, cepat kemari! Dia langsung naik ke lantai dua dan aku baru keluar dari ruang tamu untuk mengerjakan beberapa hal tentang bisnisku tadi. Aku ingin mengejarnya tapi aku harus pergi, cepatlah kemari," ujar Bulan dengan tegas dam cepat. "Ne-Neptunus? Yang benar, Bibi?" tanya Nuansa. "Aku tidak memiliki waktu yang banyak, Nuansa, cepatlah." "B-baik, Bibi!" Mereka pun kemudian memutuskan sambungan telepon itu dan Nuansa langsung memesan taksi online. ''Neptunus, akhirnya,'' batin Nuansa. Chapter 113 - Neptunus Ada Di Sana "Ihih benar-benar membiarkan Wan pergi, sebab meskipun dia beralasan kalau di luar ada Satpam yang menahan Wan, tapi baik dia dan Wan sama sekali tidak tahu kalau Satpam ternyata akan mendatangi rumah ini, sebab Nuansa tidak meninggalkan jejak apapun yang bisa membuat Wan dan Ihih sadar bahwa ada orang yang menyusup masuk ke dalam rumah ini dan salah seorang Satpam sedang mengejarnya. Aku bisa menjamin ketelitian Nuansa untuk tidak membuat satupun orang di dalam rumah ini mengetahui keberadaannya, sebab dia bahkan memperhatikan gerak-gerik Ihih yang sangat halus. Gadis itu teliti, Wan dan Ihih tidak tahu bahwa akan ada Satpam yang datang, mereka sama-sama berpikir bahwa Wan akan aman, rencana mereka adalah Wan melewati pos Satpam begitu saja, karena mereka berpikir, walaupun Wan ketahuan, dia masih memiliki kesempatan untuk tidak tertangkap, karena hal yang terpenting adalah dia sudah keluar dari perumahan ini. Bukankah begitu, Ihih?" ucap Eugene. Ihih hanya bisa diam. "Bibi, apa itu benar?" tanya Emma pada Ihih, dia terlihat tidak percaya. "Sekarang katakan ke mana perginya Wan? Kau tidak mengejar Nuansa dan Ayahnya malam itu, kau fokus pada Wan, kau pasti membuatnya bisa lepas dari Satpam-satpam itu, iya, kan? Kau pasti tahu ke mana dia pergi," kata Eugene pada Ihih. "Bibi, kenapa kau diam?" tanya Emma. "Kau tahu Emma, kau sebenarnya pantas mendapatkan semua ini," ucap Ihih. "Apa?" lirih Emma. "Kau tidak pernah memperlakukanku dan Wan dengan baik, meskipun aku sama sekali tidak tahu bahwa dia sampai memiliki niat untuk memperkosamu. Tapi, ya, aku tidak akan marah jika dia benar-benar melakukannya padamu, kau pantas mendapatkan semuanya." "Bibi, kau ..." "Kau iblis, Emma, kau tidak memiliki sisi kemanusiaan sama sekali." "Emma, turunkan kayu itu," suruh Eugene. "Semuanya sudah selesai," sambungnya. "Hanya karena kau seorang Detektif, bukan berarti semua permasalahan akan selesai di tanganmu, Eugene," ujar Ihih. "Huh?" Eugene terkejut mendengar hal tersebut, dan tiba-tiba Ihih memukul tangan Eugene dengan kuat sampai membuatnya menjatuhkan pistolnya. "Sial!" keluh Eugene. Ihih langsung berniat untuk mengambil pistol tersebut, namun tentu saja Eugene menahannya. "Kau tidak bisa kemana-mana lagi, perempuan tua," ucap Eugene. Mengejutkan, Ihih memukul kemaluan Eugene dengan menggunakan sikunya dan membuat Eugene sangat kesakitan, hal itu membuat Eugene melepaskan Ihih dan Ihih pun berhasil merebut pistol Eugene. "Katakan hal itu sekali lagi," kata Ihih sembari menodongkan pistol Eugene ke arah Eugene sendiri. "Bibi, hentikan!" pinta Emma. "Haruskah aku mendengarkan orang yang sudah memperlakukanku dengan sangat buruk? Aku akui kalau kedua oeangtuamu sangat baik, Emma, tapi aku tahu tidak kenapa kau memperlakukanku dan Wan dengan begitu buruknya, kau sama sekali tidak menghargai kami sebagai orang yang lebih tua, dan kau benar-benar berlaku semena-mena pada kami. Entah apa yang salah padamu," ucap Ihih pada Emma. "Lalu, maaf. Aku minta maaf jika Bibi merasa aku memiliki banyak salah pada Bibi, juga pada siapapun itu, aku akui kalau aku adalah orang yang buruk, tapi ... izinkan aku mendapatkan maaf dari Bibi." "Kau bahkan masih tidak menyadari bahwa kau benar-benar salah, kau mengatakan kau minta maaf jika aku merasa kau memiliki salah, itu artinya kau sama sekali tidak merasa bahwa apa yang telah kau lakukan padaku dan, segala perlakuanmu itu, kau tidak menyadarinya bahwa semua itu salah, kau tidak menyesalinya, kau benar-benar tidak berubah." "Tidak, Bibi, percayalah, aku sudah berubah. Well, akhirnya aku sadar memang aku ini orang yang buruk, mungkin semua ini karena kesalahan orangtuaku dalam mendidikku, mereka ... mereka terlalu memanjakanku, dan ... dan tanpa sengaja membuatku menjadi seperti ini, mungkin mereka-" "Apa lagi, Emma? Kau benar-benar tidak menyadari bahwa kau salah, pertama kau benar-benar tidak merasa bersalah, dan kedua kau menyalahkan orangtuamu, manusia macam apa kau ini? Orang sepertimu seharusnya tidak memiliki tempat di dunia ini." Suasana kemudian menjadi hening, dan perlahan Ihih berbalik badan jadi menghadap ke Emma, dia sekarang mengarahkan pistol yang sedang dipegangnya ke arah Emma. "Jadi aku akan mengakhirinya sekarang juga," ucap Ihih. Melihat hal itu, Eugene tentu saja tidak bisa tinggal diam, dia berusaha melakukan sesuatu, namun saat dia baru saja bergerak, Ihih kembali menghadap kepadanya dan langsung menembak kaki kanannya. "Aaargh!" teriak Eugene yang langsung terjatuh. Emma pun berteriak histeris melihat hal itu. Uniknya, setelah Ihih menembak kaki Eugene, pistol tersebut langsung mental keluar, terlepas dari tangannya. "Bibi! Apa yang kau lakukan?!" jerit Emma. "Emma! Ambil pistolnya!" seru Eugene, tetapi Ihih langsung berlari menghampiri pistol itu dan mendapatkannya duluan, namun dia dan Emma sudah sama-sama berada di luar sekarang, dengan Emma yang masih memegang kayu tadi. Ihih menodongkan pistol tersebut ke Emma lagi. "Tidak apa-apa, tidak usah takut, dia masih belum bisa menggunakan pistol, dia tidak bisa mengendalikan gaya dorong pistol itu, jadi ketika dia menembak, pistol itu akan terlepas dari tangannya," ujar Eugene dengan kakinya yang terus mengeluarkan darah. "Kau sanggup mengatakan itu setelah sebuah peluru bersarang di kakimu? Baiklah, aku akui bahwa tadi aku terkejut dengan gaya dorongnya karena aku belum pernah menembak sebelumnya, tapi bukankah itu sudah bagus? Aku mengenai kakimu, dan sekarang aku akan mengenai jantung Emma, dan aku pastikan kalau aku tidak akan membiarkan pistol ini terlempar lagi," kata Ihih. Ihih lantas melepaskan peluru ke Emma, namun Emma berhasil menghindar, dan pistol itu kembali terlempar. Ihih benar-benar belum bisa mengendalikan daya dorongnya, dan tampaknya nasib baik benar-benar sedang berpihak kepada Emma dan Eugene, sebab pistol itu terlempar ke dekat Emma, jadi tentu saja Emma langsung memgambilnya dan mengarahkannya ke Ihih. Melihat hal itu, Ihih tentu saja merasa ketakutan, dia langsung mengangkat kedua tangannya. "Tidak, Nona, aku mohon, jangan tembak aku," pinta Ihih. "Kau sanggup mengatakan itu saat kau benar-benar memiliki nafsu untuk membunuhku?" tanya Emma. "Nona Emma, tolong, aku lebih memilih untuk hidup di penjara dari pada langsung mati dengan cara seperti ini. Tolong, kasihani aku." Emma kemudian terdiam, dia memikirkan keputusannya. *** Sementara itu, Nuansa akhirnya sampai di rumah Neptunus, mungkin lebih tepatnya dia akhirnya kembali ke rumah ini. Usai membayar ongkosnya kepada sang sopir taksi, Nuansa langsung masuk melewati gerbang dan langsung melihat mobil Neptunus yang tidak diparkirkan di garasi, melainkan di dekat pintu depan. "Dia masih di sini!" gumam Nuansa, segera saja dia berlari menuju pintu depan dan kemudian masuk ke dalam. Begitu berada di dalam, Nuansa berpapasan dengan Hoho yang sepertinya ingin keluar. "Paman, apa Neptunus di sini?" tanya Nuansa. "Iya, dia ada di atas bersama Nyonya Bulan," jawab Hoho. "Baiklah, terima kasih, Paman." Nuansa pun lantas langsung naik ke lantai 2 dan melihat Vega, Alvaro, Rea, dan Rosy berkumpul di depan pintu kamar Neptunus, sepertinya Bulan berada di dalam kamar itu bersama dengan Neptunus. Nuansa pun menghampiri mereka dan melihat ke dalam kamar Neptunus. Benar saja, Neptunus ada di sana. Chapter 114 - Nuansa Adalah Orang Asing "Setidaknya jelaskan ada apa sebenarnya!" seru Bulan, dia terlihat memegang sebuah surat di tangannya. Nuansa pun kemudian masuk ke dalam kamar itu. "Bibi, ada apa ini?" tanya Nuansa pada Bulan, Neptunus yang tadinya sedang mengemas pakaiannya tiba-tiba berhenti melakukan kegiatannya usai dirinya mendengar suara Nuansa. "Entahlah, dia kembali, kemudian aku menanyakan banyak hal padanya, tapi dia sama sekali tidak menjawabku, lalu tiba-tiba dia menyuruhku untuk menandatangani surat ini, dan kau tahu surat apa ini? Ini adalah surat pengunduran dirinya dari kampus, dia juga tiba-tiba langsung mengemas pakaiannya. Dia sungguh keterlaluan karena sama sekali tidak memedulikanku, bahkan aku sampai menjewernya tadi, tapi dia tetap diam," ucap Bulan. "Neptunus, apa-apaan ini?" tanya Nuansa, dan beberapa saat kemudian Neptunus melanjutkan kegiatannya. "Apa yang terjadi setelah kau mengantarku pulang malam itu? Hal itu yang telah membuatmu mendadak menjadi seperti ini, kan? Ada apa? Apa yang terjadi? Bicaralah padaku, setidaknya hanya padaku jika kau tidak ingin membicarakannya dengan bibi Bulan," ujar Nuansa, tetapi Neptunus tetap tidak memedulikannya. "Grh, bisa stress aku kalau begini. Aku akan pergi, masih banyak urusanku yang harus kutaruh perhatian lebih dari pada anak durhaka seperti ini," kata Bulan, dia lantas mencampakkan surat pengunduran diri Neptunus tersebut, sebab untuk mengundurkan diri dari kampus memang dibutuhkan tanda tangan orangtua, dan kasus Emma lain lagi karena kedua orangtuanya sama-sama sudah meninggal. "Nep, apa yang terjadi?" tanya Nuansa sekali lagi, ia lalu mendekati Neptunus yang masih memakai pakaian yang sama dengan yang dipakainya pada acara makan malam salam perpisahannya dengan Nuansa. Tapi Neptunus tetap diam. "Woi! Kau punya mulut atau tidak?!" teriak Alvaro dengan sangat jantan, hingga membuat Vega, Rea, dan Rosy terkejut dengan suaranya yang terdengar seperti lelaki sungguhan tadi. "Kau belum mandi?" tanya Nuansa pada Neptunus. "Kenapa pakaianmu tetap sama dengan pakaian yang kau pakai di acara makan malam kita?" sambung gadis itu, namun Neptunus benar-benar tidak memberikan respon apapun. Nuansa pun lantas pergi ke pintu kamarnya dan menutup pintu tersebut. "Kak Nuansa! Apa-apaan ini?!" protes Vega, tetapi Nuansa sama sekali tidak menggubrisnya. "Sekarang hanya tinggal kita berdua, jadi bersikaplah secara terbuka," ujar Nuansa pada Neptunus usai dirinya menutup pintu kamar tadi. "Jelaskan apa yang terjadi," lanjut Nuansa seraya duduk di atas ranjang Neptunus. "Nep, ada apa? Kenapa kau hanya diam dari tadi? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Nuansa sekali lagi karena dirinya tak tahan dengan sikap Neptunus yang benar-benar diam. Nuansa akhirnya menyerah untuk bertanya pada pria itu, terlebih lagi Neptunus sudah selesai memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam kopernya. Neptunus lantas bersiap untuk keluar dari dalam kamar itu, tetapi Nuansa kembali buka suara. "Ketika aku kehilangan Ayahku, kupikir kaulah satu-satunya orang yang akan bisa menguatkanku, karena akhirnya aku merasakan hal yang sama dengan apa yang pernah kau rasakan ketika kau masih kecil dulu. Tapi ... kenapa kau menghilang disaat aku sangat membutuhkanmu lebih dari kapanpun? Aku tahu kalau semuanya sudah berakhir di antara kita, tapi ... aku membutuhkanmu, Neptunus, kau pernah berada di posisiku, jadi ... aku butuh dukungan darimu," ujar Nuansa. Neptunus kemudian mematung. "Terlebih lagi Ayah kita meninggal dengan cara yang mirip, jadi, kupikir aku akan menghabiskan waktu yang lebih banyak denganmu, tapi ... meskipun kau tidak ada di masa-masa aku berada di titik terendahku, aku bersyukur Emma ada. Aku berhasil bertahan karena aku dan dia sama-sama saling menguatkan, tapi tetap saja pasti rasanya akan berbeda dengan jika kau yang menguatkanku. Tapi ... aku tidak paham denganmu, benar-benar tidak paham," kata Nuansa. "Aku peduli padamu," ucap Neptunus. "Lalu semua ini apa?" tanya Nuansa. "Kau tidak akan mengerti." "Jelaskan saja, aku pasti akan mengerti." "Maaf, Nuansa. Inilah yang harus aku lakukan," pungkas Neptunus, dia kemudian keluar dari dalam kamarnya. Begitu Neptunus keluar, Vega dan teman-temannya terkejut karena mereka menguping tadi. Selama beberapa detik, Nuansa tidak melakukan apa-apa, tapi setelah itu dia bangkit dan mengejar Neptunus. "Ada apa, kak Nuansa? Apa yang kau maksud dengan semuanya sudah selesai di antara kalian?" tanya Vega pada Nuansa. "Tidak ada apa-apa," jawab Nuansa. "Ayolah, aku bukan anak kecil yang mudah untuk ditipu." "Tugas kalian sudah selesai?" "Belum." "Lanjutkan sana, nanti tidak selesai-selesai loh." Vega lalu hanya bisa terdiam, Nuansa pun akhirnya bisa pergi mengejar Neptunus. *** Sementara itu, di luar, Neptunus memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobilnya, di sana juga terlihat mobil Bulan yang sudah berada di dekat gerbang. Mobil Bulan berhenti di sana, tampaknya Bulan masih belum mau meninggalkan rumah ini disaat semuanya masih serba menggantung begini. Bulan pun kemudian keluar dari dalam mobilnya dan berjalan perlahan menghampiri Neptunus, disaat itu juga Nuansa berhasil menyusul Neptunus yang baru saja membuka pintu mobilnya. "Tunggu!" Nuansa menahan Neptunus yang ingin masuk ke dalam mobil tersebut. "Kemanapun kau akan pergi, tolong bawa aku," pinta Nuansa. "Aku sedang membutuhkankanmu, Neptunus, benar-benar sedang sangat membutuhknmu lebih dari siapapun dan apapun. Mengertilah," sambungnya. "Kau sama sekali tidak membutuhkanku, kau akan jauh lebih baik jika kau jauh dariku," ujar Neptunus. "Kenapa kau berkata seperti itu?" tanya Nuansa. "Karena memang begitu kenyataannya," jawab Neptunus, dia kemudian bersiap untuk masuk ke dalam mobilnya. "Tidak, tunggu dulu!" ucap Nuansa, tetapi Neptunus tidak memedulikannya lagi. "Neptunus!" panggil Bulan, Neptunus lalu menoleh ke arah Ibunya tersebut. Terlihat Bulan mulai menangis, namun dia berusaha untuk tidak menangis kencang. "Bertanya kepadamu tentang ada apa sebenarnya hanya akan sia-sia, hati Ibu hanya akan terluka karena kau sama sekali tidak peduli pada Ibu. Ibu benar-benar sedih karena saat ini kau tidak seperti Neptunus yang Ibu kenal. Kemana perginya putra kesayangan Ibu? Kenapa tiba-tiba dia menjadi seperti ini? Bersikap kurang ajar, tidak pulang, dan tiba-tiba ingin pergi. Rasanya sakit sekali mendapatkan semua ini darimu, Nak. Ibu akui kalau Ibu sangat marah saat ini, tapi tidak ada gunanya dengan membentak-bentakmu lagi, kau sudah dewasa, dan kau sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, seharusnya kau tidak buruh ocehan Ibu lagi untuk menjadi benar. Tapi ... kali ini, kali ini Ibu hanya ingin agar kau memikirkan Ibu, adikmu, teman-temanmu, dan kekasihmu. Ke mana kau akan pergi? Kau tidak akan meninggalkan kami semua, kan?" tanya Bulan. "Aku sudah mengatakannya pada Ibu, kan? Aku akan pergi ke luar kota dan meninggalkan semuanya, aku sudah cukup membuat semuanya menjadi jelas, tapi Ibu merasa kalau aku hanya diam," kata Neptunus. "Kau pikir semua ini sudah jelas? Kau sudah membuat semuanya menjadi jelas?" "Ya." Bulan kemudian terdiam. "Ibu tidak tahu harus berkata apa lagi, tapi ... setidaknya pikirkan Nuansa, dia sedang sangat membutuhknmu, Nak. Dia kekasihmu dan dia sedang terpuruk karena kematian Ayahnya, dia merasakan rasanya ada di posisimu dulu. Kau yang paling mengerti perasaannya, dan bagaimana bisa kau akan mengabaikan kekasihmu begitu saja? Kalian saling mencintai, jadi kenapa kau bisa dengan mudahnya melakukan semua ini?" kata Bulan. Neptunus terdiam sesaat. "Dia bukan kekasihku, kami tidak memiliki hubungan apapun. Hubungan kami hanya sebatas orang yang menggaji orang lain untuk menjadi pacarnya. Nuansa adalah orang asing, dia hanya pacar sewaanku, dan sekarang kontrak kami sudah selesai. Kuharap itu sudah memperjelas semuanya," ucap Neptunus. Chapter 115 - Rasa Kecewa Semua orang terdiam setelah Neptunus mengatakan hal itu, bahkan juga Vega dan teman-temannya yang menyusul Nuansa. Mereka semua mendengar hal tersebut dengan rasa tak percaya. Neptunus sendiri kemudian langsung masuk ke dalam mobilnya dan pergi dari sana meninggalkan semua orang dalam diam. Bulan lalu menoleh ke arah Nuansa. "Nuansa, apa-apaan itu?" tanya Bulan. "Apa yang dikatakannya benar?" sambungnya. Nuansa hanya bisa diam. "Jawab aku," pinta Bulan. "Y-ya, Bibi," jawab Nuansa. "Huh?" Bulan terlihat sangat tidak percaya. "Jadi ... selama ini kalian membohongi kami?" ujar Bulan, Nuansa hanya bisa diam. "Tidak, tidak, ini ..." sambungnya. "Sebaiknya aku pergi sekarang," kata Bulan, dia lantas kembali ke mobilnya dan pergi dari saja. "Kak," Vega memanggil Nuansa usai Ibunya pergi, dia menyamakan posisinya dengan Nuansa agar mereka bisa berbicara lebih mudah. "Kau sebenarnya bukan siapa-siapa?" tanya Vega. "Aku minta maaf, tapi ... Neptunus memang membayarku untuk menjadi pacarnya, aku hanya pacar pura-puranya, hubungan kami sebenarnya palsu," ucap Nuansa. "Kenapa? Padahal aku dan Ibu sudah sangat senang dengan kehadiranmu, tapi ternyata semua itu tidak benar? Itu semua hanya sandiwara? Bahkan sebenarnya aku tidak tahu bagaimana tanggapanmu mengenai kami? Jadi selama ini kau bukanlah kau yang sebenarnya karena kak Neptunus yang menginginkanmu menjadi seperti itu di hadapan kami? Semuanya benar-benar hanya pura-pura?" "Tidak, Vega, bukan seperti itu." "Aku sangat kecewa, sungguh. Kupikir suatu saat kau akan menjadi kakak ipar yang sangat kompak denganku, karena sejak awal kita bertemu aku sudah merasa aku ini cocok denganmu, segala hal tentangmu ... entahlah, aku hanya merasa kecewa dalam banyak hal." "Kau tidak bisa menyalahkannya seperti itu," ujar Rosy pada Vega. "Lalu mau bagaimana? Dia sudah tega membantu kak Neptunus membuat harapan besar padaku dan Ibuku, kami sangat suka melihat mereka bersama, dan kami sama-sama memiliki harapan yang besar tentang mereka, tapi ternyata semua itu palsu," kata Vega. "Itu bukan masalah, kan?" "Tentu saja itu masalah, kau tidak tahu ya bagaimana rasanya dibohongi oleh orang yang kau sayangi?" "Tidak, Vega, kau mempermasalahkan tentang sikap kak Nuansa padamu dan keluargamu yang sebenarnya. Kau takut jika apa yang selama ini ditunjukkan oleh kak Nuansa mengenai sikapnya pada kalian adalah palsu juga, kau takut kalau dia tidak benar-benar seperti bagaimana yang kau ketahui dan kenal selama ini, kan? Dan aku yakin bibi Bulan juga merasa seperti itu, dan kalian merasa sangat kecewa jika ternyata kak Nuansa tidak seperti yang selama ini kalian kenal, karena jika iya, kalian pasti berpikir masih ada harapan bagi kalian untuk mewujudkan harapan-harapan kalian mengenai kak Neptunus dan kak Nuansa. Ini hanya masalah kau dan Ibumu yang sudah terlanjur jatuh hati pada kak Nuansa dengan segala sifat dan sikapnya, kalian sudah merasa sangat cocok dengannya, dan jika dia ternyata tidak seperti itu, kalian akan merasa sangat kecewa karena dialah yang sempurna untuk kak Neptunus dan menjadi bagian dari keluarga kalian. Iya, kan? Dan kau berpikir bahwa kak Neptunus mengerti dengan hal itu, jadi dia menyuruh kak Nuansa bersikap seperti itu," Rosy buka suara. "Kalaupun kak Nuansa sebenarnya tidak seperti yang kita kenal selama ini, itu tetap bukan masalah. Dia dibayar oleh kak Neptunus, dia sama sekali tidak berniat untuk membohongimu dan Ibumu, Vega, jadi salahkan kakakmu sekalipun kau akan mengatakan bahwa kak Nuansa tetaplah berperan untuk membantunya walaupun dia dibayar," kata Rosy. "Entahlah, keluargaku sedang berantakan, mungkin aku berlebihan, tapi mungkin tidak, tapi pikiranku sedang kacau. Aku masuk dulu," ucap Vega, dia lantas masuk dan meninggalkan Nuansa, Rea, Rosy, dan Alvaro di luar. "Tidak apa-apa, kak Nuansa, kami akan ada di sisimu," ujar Alvaro sembari memeluk Nuansa, diikuti oleh Rea dan Rosy yang juga memeluk Nuansa. "Terima kasih, kalian sangat baik," kata Nuansa. Tiba-tiba saja ponsel Nuansa berdering. "Seseorang menelponku, aku harus menjawabnya," ucap Nuansa. Rea dan yang lainnya pun lalu melepaskan pelukan mereka dari Nuansa. "Halo?" ujar Nuansa usai dirinya menjawab panggilan itu. "Nuansa, cepatlah kemari," pinta si penelpon. "Emma?" "Aku sedang berada di rumah sakit sekarang, cepatlah kemari." "Apa yang terjadi memangnya?" "Paman Eugene ditembak." "Oleh siapa?" "Bibi Ihih." "Astaga, jadi dia benar-benar membantu Wan?!" "Ya, dan sekarang Reynand sedang membawanya ke kantor Polisi." "Reynand?" "Aku meminta bantuan Reynand." "Oh." "Aku akan mengirimkan alamat rumah sakitnya kepadamu ya." "Baiklah, aku akan segera kesana setelah kau mengirimkan alamatnya." "Ok." Mereka lantas memutuskan sambungan teleponnya. "Aku harus pergi," ujar Nuansa pada Rosy, Rea, dan Alvaro. "Hati-hati di jalan ya," kata Rosy. Nuansa hanya membalasnya dengan senyuman. *** Sore hari akhirnya tiba. Di restoran Hanyang, seperti biasa, Gladys sedang menunggu ojek online yang dipesannya datang. Dia sendirian di sana, dan memang selalu menjadi yang terakhir. Gladys pun menghibur dirinya dengan bermain ponsel, hanya sekedar melihat-lihat linimasa media sosialnya, dan tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya. Terakhir kali hal seperti ini terjadi menyebabkan kekacauan pada keesokan harinya. Ya, Gladys masih ingat betul bagaimana Emma tiba-tiba mendatanginya lalu membuat kekacauan yang membuat situasi sekarang menjadi cukup rumit. Namun, saat ini yang datang bukanlah Emma, melainkan orang yang pernah memasangkan cincin pertunangan di jari manis Gladys, juga orang yang melepaskan cincin itu begitu saja. Ya, dia adalah Finneas Shanley, dengan Finn sebagai nama panggilannya. Melihat yang datang ternyata Finn, Gladys pun langsung merasa kurang nyaman, dia hanya malas untuk meladeni Finn lagi. "Aku tahu aku akan sangat mengganggumu, tapi, aku benar-benar ingin bicara denganmu saat ini dengan serius, aku tahu kau memiliki waktu untuk bicara denganku, kan?" ucap Finn pada Gladys, tetapi Gladys diam menyuekinya, Gladys hanya fokus pada ponselnya. "Pertama, Gladys, aku ingin meminta maaf, aku memohon maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang telah aku lakukan padamu, aku sadar itu akan sangat sulit untuk dimaafkan, atau bahkan tidak bisa dimaafkan sama sekali, tapi aku tetap akan mengatakannya, aku meminta maaf yang sebesar-besarnya," ujar Finn. "Kau sudah mengatakannya tadi siang," kata Gladys. "Aku tahu, tapi aku tidak keberatan untuk mengatakannya lagi." "Maksudmu kau tidak merasa keberatan untuk terus melakukan kesalahan dan terus-terusan meminta maaf padaku?" "Tidak, tidak, bukan seperti itu." "Humph, sudahlah, aku sudah malas berurusan denganmu." "Tapi kau tetap akan mendengarkanku, kau tidak akan melakukan apa-apa selain menunggu ojekmu datang, kan? Jadi tolong dengarkan aku." Gladys kemudian mengeluarkan earphone dari dalam tasnya dan menyumbar telinganya dengan benda itu, dia juga memutar musik sekeras-kerasnya agar dia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Finn. Meskipun begitu, Finn tidak lantas menyerah begitu saja. "Kedua, Gladys, aku ingin kau tahu kalau aku benar-benar menyesal dan mengakui bahwa aku ini manusia idiot, tolol, dan tidak memiliki akal yang cukup sehat. Aku sangat bodoh dengan langsung mempercayai rekaman itu begitu saja dari pada mempercayaimu, maksudku, aku bahkan tidak mau mendengarkan penjelasanmu, dan itu ... itu benar-benar sangat buruk, aku tahu. Aku bukanlah seorang pria sejati, bahkan mungkin bukan manusia sejati yang membangun sebuah hubungan yang di dasari atas rasa saling percaya, aku seperti tidak menghitung rasa kepercayaan, dan aku akui kalau hal itu membuatku menjadi orang yang tolol. Tapi ... tapi semua ini telah mengubahku, aku berjanji akan menjadi orang yang lebih baik ke depannya, segala kesalahku ini akan kujadikan pelajaran, percayalah. Aku ... aku akan memperbaiki semua kesalahanku, dan aku tidak akan memaksamu untuk memakai cincin pertunangan kita lagi, karena ... karena aku tahu kau tidak akan pernah mau cincin itu terpasang di jari manismu lagi, tapi ... tapi setidaknya aku sudah mengatakan semua ini, aku-" Tiba-tiba Gladys beranjak dari tempatnya berdiri, ternyata ojeknya sudah datang, dan Gladys pun menghampirinya, dia meninggalkan Finn yang sebenarnya belum selesai bicara, dan pergi tanpa melihat wajahnya lagi. Finn pun hanya bisa terdiam. Chapter 116 - Reynand & Nuansa Di rumah sakit, Nuansa sedang sendirian berada di ruang tunggu, dia menunggu operasi Eugene selesai. Sudah sekitar 2 jam Nuansa menunggu, namun belum ada hasil juga dari dalam, hingga akhirnya seorang Dokter bersama seorang Suster keluar dari dalam ruangan tempat Eugene menjalani operasinya. Chapter 117 - Sifat Unik Nuansa "Bagaimana keadaanmu, Paman?" tanya Nuansa pada Eugene. Chapter 118 - Masukan "Baiklah, aku akan mengikuti apa yang kau katakan. Jadi, aku harus memulai dari mana?" tanya Nuansa pada Eugene. Chapter 119 - Bertemu Thomas Nuansa saat ini sedang berada di depan pagar sebuah taman yang berada cukup jauh dari rumahnya. Taman ini terletak dekat dengan jalan raya, jadi orang yang berlalu lalang di jalan tempat taman ini berada masih ramai meskipun ini sudah jam 1 malam kurang. Chapter 120 - Kesimpulan "Jadi aku ingin meminta bantuanmu karena aku tahu kau pasti mau, dan kau memang orang yang tepat," ucap Nuansa yang baru saja selesai menceritakan semuanya pada Thomas, tentu saja dia tidak menceritakan bagian kecurigaannya pada pria ini. Chapter 121 - Dugaan Thomas "Stephanie, Zhenya, Finn, dan beberapa orang yang berteman cukup dekat dengan Neptunus, atau mungkin pernah dekat, sama-sama pernah menangkap basah Neptunus bertingkah aneh, tapi semuanya berakhir sama sepertimu, mereka semua pada akhirnya selalu melupakannya, semuanya kembali normal setelah hal-hal aneh yang ditunjukkan Neptunus itu. Dan sekarang kau juga mengatakan Neptunus pernah beberapa kali bertingkah aneh, dan kau tahu? Ceritamu sangat mirip dengan cerita mereka, dan mereka semua juga sama-sama seperti melupakan tentang hal itu sepertimu, jadi aku bisa menyimpulkan bahwa ada sesuatu pada Neptunus, dan cukup mengejutkan karena paman Eugene tidak menyadarinya, atau kemungkinan dia hanya berpura-pura tidak menyadarinya," kata Thomas. Chapter 122 - Percaya Diri "Ok, aku akan jujur padamu," ujar Nuansa. "Tunggu, tunggu, tunggu. Kau tidak berpikir yang tidak-tidak mengenai diriku? Maksudku, kenapa kau bisa dengan mudah mengatakan hal itu?" tanya Thomas. "Karena aku merasa kalau paman Eugene terlalu mengatur-ngaturku." "Huh?" "Aku tahu ini tentang nyawaku sendiri, tapi, dia seperti sangat melarangku untuk mengikuti keputusanku sendiri. Begini, awalnya aku sangat memikirkan Neptunus, aku sangat ingin mengejarnya, intinya, pikiranku hanya tentang Neptunus, tapi entah kenapa paman Eugene menanggapi segala hal mengenai Neptunus dengan begitu santai disaat semua orang tidak bisa tenang, dan dia menyuruhku untuk fokus saja pada geng motor ini. Aku tahu sarannya memang benar, aku juga harus memikirkan nyawaku yang sedang terancam, tapi ... sebagai seorang manusia, pastinya kita akan lebih mementingkan orang yang kita cintai dan sayangi dulu, kan?" Thomas terdiam sesaat mendengar itu. "Kau mencintai Neptunus?" tanya Thomas beberapa detik kemudian. "Eh? Apa yang aku katakan tadi?!" kata Nuansa. "Tidak, tidak, bukan begitu maksudnya, aku ... intinya sebenarnya aku tidak suka lebih mementingkan diriku walaupun taruhannya adalah nyawaku sendiri. Tapi, entahlah, aku tidak mengerti kenapa paman Eugene bisa begitu tenangnya menyikapi permasalahan mengenai Neptunus, dan aku hanya kurang suka saja sebenarnya karena aku akhirnya terpaksa untuk memikirkan tentang geng motor ini dan bukan Neptunus," sambung Nuansa. "Sikap tenangnya tentang Neptunus memang patut dicurigai, tapi tentang sarannya padamu sebenarnya tidak ada salahnya," ucap Thomas. "Aku tahu, meskipun pada akhirnya aku mengikuti apa yang dia katakan, tapi jujur hati kecilku berkata kalau ... aku harus lebih memprioritaskan Neptunus, aku tidak tahu kenapa. Memang saran paman Eugene benar, dan aku tidak bisa menyangkalnya, karena, ya, nyawaku memang yang terpenting, tapi, entahlah, aku tidak paham, hatiku ... hatiku berkata seperti itu dan membuatku masih terus memikirkan Neptunus dan masih menomor duakan nyawaku sendiri. Dan dengan pembicaraan kita ini, kurasa aku sekarang sudah mendapatkan titik terangnya alasan kenapa paman Eugene menyuruhku untuk lebih mementingkan nyawaku, karena dia tidak mau aku jadi tahu segala hal tentang Neptunus yang sebenarnya. Tapi ... entahlah, ini semua kan hanya pemikiranmu yang ditambah dengan informasi dariku juga dari yang lainnya." "Hmmm, jelaskan tentang kecurigaanmu tentangku." "Itu semua bermula karena yang mengetahui rencana perampokan yang kulakukan hanya kau, Gladys, dan Neptunus, selain orangtuaku tentunya. Aku lalu berpikir kalau mungkin saja kau ada hubungannya dengan geng motor itu, karena tidak mungkin Gladys, kan? Dia sahabat baikku, dan Neptunus ... aku sama sekali tidak berpikir kalau dia memiliki kaitan dengan geng motor itu, jadi aku hanya berpikir bahwa kemungkinan kaulah dalangnya, dan paman Eugene sendiri tidak menyangkal pemikiranku. Tapi setelah kupikir-pikir tadi, kau tidak memiliki motif sama sekali, jadi untuk apa kau bergabung dengan orang-orang seperti itu dan ikut-ikutan berniat untuk membunuhku? Jadi aku memutuskan untuk menceritakan semuanya dengan jujur padamu sekarang. Kau tidak seperti Neptunus yang memiliki motif, jadi ..." "Tapi kau tidak tahu banyak tentangku, kan? Jadi kenapa kau bisa dengan sangat berani langsung terang-terangan seperti itu padaku?" "Benar, untuk ukuran orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai dirimu, sebenarnya keputusanku cukup berbahaya, tapi ... hatiku ... aku rasa aku sudah mendapatkan jawaban dari alasan kenapa hatiku terus berkata kalau aku harus mencari Neptunus, walaupun kita belum memiliki bukti, tapi entah kenapa akhirnya aku bisa merasa lega. Semua ini masuk akal, alasan kenapa ada bagian di dalam diriku yang terus berkata bahwa aku harus mencari Neptunus adalah karena dengan menemukannya, semuanya akan selesai, meskipun aku masih berharap kalau semua dugaan ini tidak benar." "Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanya Thomas. "Paman Eugene tidak bisa kupercaya lagi, tapi itu bukan berarti aku akan memercayaimu sepenuhnya, lagi pula jika aku tidak menceritakan tentang kecurigaanku padamu, cepat atau lambat pasti kau bisa menyadarinya karena pengamatanmu cukup teliti," ujar Nuansa. "Neptunus tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan dengan tidak jelas, paman Eugene bersikap terlalu santai, semuanya sudah cukup. Ya, untuk ukuran orang seperti paman Eugene, tidak mungkin kalau dia akan memiliki pemikiran sesederhana itu. Dugaanku sekarang adalah dia sengaja untuk mengalihkan perhatianku dari Neptunus, meskipun Neptunus kemungkinan ada hubungannya dengan geng motor itu, tapi pasti paman Eugene sudah memastikan kalau aku tidak akan mengetahui kebenaran tentang Neptunus dengan menelusuri hal-hal tentang geng motor itu jika ternyata memang benar kalau Neptunus ada kaitannya dengan mereka. Keputusanku kali ini benar-benar sudah bulat, aku akan memulai pencarian terhadap Neptunus dan segera mendapatkan jawaban atas segalanya," lanjut Nuansa. "Aku akan membantumu," kata Thomas. Nuansa lalu menatap Thomas dengan seksama. "Kau tahu? Entah kenapa aku memiliki banyak sekali pendapat tentangmu, kau bisa saja ternyata bekerja sama dengan Neptunus, atau kau bisa saja memang bagian dari geng motor itu, entahlah, aku tidak mengerti. Tapi yang lebih aku herankan, aku tidak mengerti kenapa aku tetap percaya padamu. Ada apa sebenarnya denganku atau denganmu?" ucap Nuansa. "Well, aku juga tidak tahu. Dan aku tidak mau berkata apapun mengenai pendapat-pendapatmu itu, karena untuk sekarang, sekalipun aku jujur, kejujuranku itu tidak akan ada gunanya, mau bagaimanapun itu. Iya, kan?" ujar Thomas. "Ya, benar sekali. Ini cukup menyedihkan karena pada akhirnya tidak ada satupun yang bisa aku percaya, mungkin hanya Ibuku, tapi ... dia tidak bisa melakukan apa-apa sejak kematian Ayahku, jadi aku hanya bisa mempercayai diriku sendiri dan harus memastikan kalau aku tidak akan jatuh dalam situasi apapun. Aku benar-benar berdiri sendiri sekarang." Thomas terkekeh kecil. "Kau akan bertahan dam mendapatkan semua jawabannya." "Aku harap begitu." Mereka berdua kemudian sama-sama terdiam. "Aku rasa aku tahu harus memulai pencarian Neptunus dari mana," ucap Nuansa yang memecah keheningan. "Lampu merah lima menit itu. Aku beruntung karena memiliki beberapa teman Polisi, karena mereka pasti bisa memudahkanku dalam hal ini," sambung Nuansa. "Apa rencanamu?" tanya Thomas. "Jalan besar itu pasti memiliki CCTV lalu lintas, jadi aku akan memeriksa rekaman CCTV pada saat aku dan Neptunus melewati jalan itu. Tapi aku rasa ini tidak akan mudah juga karena teman-temanku bukan Polisi lalu lintas, dan jabatan mereka tidak tinggi, tapi mari tetap optimis saja." "Itu persis dengan apa yang aku pikirkan. Pemikiran dan kemampuan pengamatanmu mulai berkembang, jangan tersinggung, tapi, dari semua yang kau katakan tadi sangat menunjukkan bahwa kau kurang pandai dalam mengamati situasi dan berpikir dengan luas, tapi langkah pertama yang kau putuskan akan kau ambil menunjukkan kau mulai berkembang, dan kau akan berkembang dengan pesat, tapi tidak akan kubiarkan kau mengalahkanku, tapi, kau pasti bisa melewati semua ini, percayalah, karena sebenarnya kau memiliki bakat dalam hal intelijen, kau anak yang berbakat." "Aku percaya," ujar Nuansa dengan mantap dan dengan sebuah senyuman yang penuh dengan kepercayaan diri dan perasaan yakin. Chapter 123 - Perasaan "Kita sampai. Hei, bangunlah," sebuah suara membangunkan Nuansa dari tidur manisnya. Nuansa pun kemudian membuka kedua matanya dan menyadari bahwa dia memang sudah berada di tempat tujuannya bersama Neptunus, dan saat ini mereka masih berada di dalam mobil. "Kau tidur dengan sangat nyenyak, ya?" sambung Neptunus. "Iya, entah kenapa aku lelah sekali rasanya," ujar Nuansa. "Bagaimana dengan sekarang?" "Sudah lebih mendingan." "Aku harap datang ke taman ini bisa membuatmu merasa lebih baik." "Kau sangat perhatian padaku." Neptunus lantas terkekeh kecil. "Kenapa tidak?" kata Neptunus sembari menggenggam tangan Nuansa dengan penuh kelembutan. Mereka berdua lalu sama-sama saling tersenyum dan bertatapan. "Engh, mungkin kita sebaiknya tidak terus-terusan berada di sini," ucap Nuansa beberapa saat kemudian. "Oh, iya. Ayo keluar," ajak Neptunus, mereka berdua lantas keluar dari dalam mobil tersebut dan mulai berjalan masuk ke taman bunga yang mirip seperti Camellia Hill ini. Ya, inilah tujuan mereka. Keduanya berjalan masuk ke dalam taman yang memberikan suasana romantis ini dengan berpegangan tangan, seolah mereka adalah pasangan yang tidak akan bisa dipisahkan oleh apapun, kecuali maut. Nuansa sendiri tampak sangat cantik dengan dandanannya yang jauh lebih baik dari yang biasanya. Rambutnya dibuat bergelombang dan dia memakai make up yang sederhana, namun cukup untuk membuatnya sangat cantik. "Jadi, kita hanya jalan-jalan saja di sini?" tanya Nuansa. "Jalan-jalan, foto-foto," ujar Neptunus. "Tempat ini kan indah, pasti bisa membuat pikiranmu menjadi lebih jernih dan rasa lelahmu hilang, percayalah," sambung Neptunus. "Baiklah, aku percaya," kata Nuansa. "Apa lagi ada aku di sini, pasti kau akan merasa jauh lebih baik." "Hahaha, kau ini." "Hei, kau mau mencoba berfoto di situ? Aku yang akan memfotomu." Neptunus menawari Nuansa untuk difoto. "Boleh," sahut Nuansa, dia pun lantas berdiri di titik yang ditunjukkan Neptunus dan mulai mengatur gayanya. Setelah beberapa kali jepretan, Nuansa pun merasa sudah cukup dan ingin melihat hasilnya. Hasilnya sendiri tidak ada yang buruk, itu berkat Neptunus yang cukup bagus dalam hal memotret, dan tentunua juga Nuansa yang cocok untuk dijadikan model foto. Keduanya kemudian lanjut berjalan sembari membicarakan tentang beberapa hal. Mereka terlihat sangat bahagia. Tidak ada keributan di antara mereka seperti yang biasanya terjadi. *** Sekitar setelah beberapa puluh menit, Nuansa mulai merasa lelah, jadi dia dan Neptunus pun memutuskan untuk duduk di sebuah kursi taman, keduanya memilih area yang sepi, dan benar-benar hanya ada mereka berdua di area tempat kursi tersebut berada. "Sini, aku ingin melihat foto-fotoku." Nuansa meminta kamera yang dipegang Neptunus, dan Neptunus langsung memberikannya pada gadis itu. Nuansa senyum-senyum sendiri melihat foto-fotonya, dan tentunya melihat beberapa foto-foto Neptunus dan foto mereka bersama. "Hasilnya bagus-bagus semua ya," ucap Nuansa. "Begitulah," ujar Neptunus. "Engh, hei, boleh aku bicara padamu?" lanjut Neptunus beberapa detik kemudian. "Ya, ada apa?" tanya Nuansa seraya berhenti memandangi foto-foto yang ada di dalam kamera itu demi mendengarkan Neptunus, dia menatap pria tersebut. Neptunus sendiri terlihat gugup saat Nuansa menatapnya, tapi hal itu tampaknya tidak akan membuatnya mundur. Neptunus lantas mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya, dan ternyata itu adalah sebuah kotak cincin. Sambil membuka dan mengarahkan kotak cincin itu kepada Nuansa, Neptunus berlutut dan melamar gadis itu. Baru saja Neptunus akan mengucapkan kata-kata romantisnya, tiba-tiba Nuansa menginterupsinya. "Kau tidak perlu mempertanyakannya, aku sangat siap untuk menjadi pendamping hidupmu selamanya," ucap Nuansa dengan suara bergetar karena dia juga deg-degan. "Benarkah?" tanya Neptunus. "Ya." Mendengar jawaban yakin Nuansa, Neptunus pun lantas tersenyum dan langsung memasangkan cincin yang ada di dalam kotak cincin itu ke jari manis Nuansa. Cincin itu terlihat sangat cocok melingkar di jari manis Nuansa. Nuansa bahkan sampai meneteskan air matanya karena terharu. "Anu ... kita kan sekarang ... maksudku ... selain cincin ini, aku ingin melakukan hal lain yang menunjukkan bagaimana aku menyayangimu. Namanya ... namanya ..." Neptunus terlihat ragu-ragu dan malu-malu disaat bersamaan, wajahnya bahkan sampai memerah hanya karena deg-degan untuk meminta sesuatu. Nuansa yang mengerti apa yang dimaksud Neptunus pun lantas langsung mencium pria itu tepat di bagian bibirnya. Awalnya Neptunus sedikit terkejut, namun kemudian dia membalas ciuman tersebut. Mereka kemudian menempelkan dahi mereka sembari memejamkan kedua mata mereka masing-masing. "Terima kasih karena sudah mau menerimaku," bisik Neptunus. "Aku mencintaimu," sambungnya. "Aku yang lebih mencintaimu," balas Nuansa dengan air mata yang masih menetes. Beberapa saat kemudian, Nuansa membuka matanya, dan saat itulah ia sadar bahwa semua itu hanya mimpi. Begitu bangun, Nuansa langsung duduk dengan air mata yang masih mengalir, persis seperti di mimpinya. Gadis itu lantas menghapus air matanya dan bersandar ke dinding. ''Ada apa denganku?'' batin Nuansa. "Aku benar-benar mencintainya?" gumam Nuansa. ''Tapi kenapa? Aku sudah memutuskan untuk menghargai perasaannya pada Tiana, dan aku sudah memutuskan untuk mengharagi Tiana, tapi kenapa semua ini masih terjadi? Kenapa masih ada bagian di dalam diriku yang masih memiliki perasaab itu?'' pikirnya. "Apa mimpi itu adalah bentuk penyesalan karena aku tidak pernah terbuka padanya mengenai perasaanku padanya yang sebenarnya?" "Tidak, itu gila." Nuansa lantas terdiam. ''Aku sudah menghapus perasaan itu, tapi ... kenapa? Kenapa perasaan itu mendadak muncul lagi? Apa akhirnya setidaknya aku harus jujur pada diriku sendiri bahwa aku mencintainya?'' batin Nuansa. "Tidak, hal itu hanya akan membuatku semakin kebablasan. Maafkan aku, Tiana, aku benar-benar tidak pandai menghargai orang yang sudah meninggal," gumam Nuansa. "Aku harus melawan perasaan itu dan memastikan kalau aku tidak akan pernah lagi memiliki perasaan suka pada Neptunus," sambungnya. Gadis itu kemudian mengambil ponselnya dan melihat jam, ternyata ini masih pukul empat pagi, yang artinya dia baru tidur sekitar dua jam lebih setelah mengobrol dengan Thomas tadi. Nuansa memutuskan untuk kembali tidur, namun tiba-tiba ada orang dari luar yang mengetuk pintu rumahnya dan membuatnya tidak jadi tertidur. ''Neptunus!'' pikir Nuansa. Entah kenapa dia kembali memikirkan Neptunus dan tidak menyadari bahwa baru saja dia menanamkan niat di dalam dirinya untuk menghapus perasaan sukanya pada Neptunus, dan sekarang dia malah memikirkan pria itu lagi seolah niatnya itu tidak pernah dia niatkan, dan dia membiarkan perasaan itu tidak jadi terhapus. Nuansa bahkan langsung bangkit dan keluar dari dalam kamarnya untuk membukakan pintu rumahnya disaat dia juga baru saja membuka kedua matanya. Begitu membuka pintu rumah, Nuansa merasa terkejut melihat siapa yang datang, ekspresi wajah gadis tersebut juga langsung berubah, dan dirinya pun hanya bisa mematung sekarang. Chapter 124 - Orang Yang Datang Adalah ... "Engh," ucap Nuansa begitu dia melihat siapa yang datang, dia hanya bisa terdiam. "Siapa yang mengetuk pintu, Nuansa?" tanya Durah dari dalam kamarnya. Bukannya menjawab pertanyaan sang Ibu, Nuansa malah mematung di dekat pintu. "Nuansa?!" tanya Durah sekali lagi. "Anu, Ibu," jawab Nuansa. "Adik Neptunus dan teman-temannya," sambungnya. "Silakan masuk," Nuansa mempersilakan Vega, Itzan, Rosy, Rea, Alan, Noah, dan Alvaro masuk ke dalam rumahnya, dia terlibat kecewa karena dirinya mengira bahwa yang datang adalah Neptunus, dan ternyata bukan. Vega tampak ragu ketika Nuansa mempersilakannya dan teman-temannya untuk masuk. Karena Vega belum masuk, Itzan dan yang lainnya pun juga belum masuk, mereka ingin Vega duluan yang masuk. "Hei, ada apa? Ayo masuk," ujar Nuansa. "Engh ... pertama, aku ingin meminta maaf padamu, Kak. Kemarin aku terlalu berlebihan dalam mengambil sikap, padahal sebenarnya kau tidak salah sama sekali, mungkin itu efek dari kekacauan yang terjadi di keluargaku, makanya aku jadi stress sendiri dan malah marah padamu, padahal-" "Tidak apa-apa, aku paham kalau kau dan Ibumu merasa kecewa, aku mewajarkannya, dan aku bersyukur kau juga bisa mewajarkan posisiku," ucap Nuansa yang menyela Vega. "Kau memaafkanku?" tanya Vega. "Tidak ada yang salah, baik aku, kau, maupun Ibumu, bahkan juga Neptunus, mungkin salah karena kami telah membohongi kalian, tapi ... entahlah, kurasa sebaiknya kita melupakan semua itu, karena kau juga mengambil langkah seperti ini, kau bahkan sampai meminta maaf padaku, jadi lebih baik kita fokus membuka lembaran baru saja." Vega tersenyum mendengar jawaban Nuansa barusan, dia pun lantas langsung memeluk Nuansa. Nuansa membalas pelukan itu dengan hangat, karena walaupun dirinya sempat mengharapkan bahwa yang datang adalah Neptunus, adiknya pun tidak apalah. *** Sekitar satu jam kemudian, Nuansa yang sudah mandi dan berpakaian rapi membuatkan teh untuk ketujuh remaja yang sedang menunggu di ruang tamu rumahnya itu. Walaupun sebenarnya ruangan kecil tersebut kurang layak rasanya untuk disebut sebagai ruang tamu karena letaknya yang tidak memiliki pembatas dengan dapur, tapi tidak apalah. Dari dapur, selain membawakan teh, Nuansa juga membawa setoples keripik singkong balado sebagai cemilan untuk mereka. "Maaf ya, hanya ada keripik ini dan teh, stok singkongku sudah habis, dan aku memang tidak memiliki stok makanan ringan selain keripik seperti ini," kata Nuansa pada mereka bertujuh. "Tidak apa-apa, ini sudah lebih dari cukup," ucap Rea. "Dan maaf juga karena Ibuku tidak keluar dari kamarnya. Dia tidak bermaksud apa-apa, Ibuku juga bukan orang yang sombong, dia hanya-" "Tidak apa-apa, kak Nuansa. Kami memahami keadaan di rumahmu ini, dan kau tidak perlu meminta maaf begitu," Vega menginterupsi Nuansa. "Terima kasih," ujar Nuansa. "Jadi, apa maksud kedatangan kalian ke sini?" sambung Nuansa, mereka memang belum membicarakan hal itu tadi karena Nuansa sibuk pada kegiatannya sendiri. Vega lantas menarik napas panjang, lalu menghembuskannya, dia dan Itzan kemudian saling melirik, Itzan tampak memberikan dukungan besar padanya. "Tunggu, tunggu, aku baru ingat, bukankah kau sudah memiliki pacar di sekolah lamamu?" tanya Nuansa pada Vega. "Lupakan tentangnya," kata Vega. "Hubungan kalian ketahuan oleh bibi Bulan? Oh! Itu sebabnya kau pindah sekolah, ya?!" "Tidak! Bukan seperti itu." "Vega diselingkuhi," ucap Alvaro yang sebenarnya sedang asyik memakan keripik Nuansa. "Benarkah?!" ujar Nuansa yang terlihat tidak percaya. "Aku menyesal menceritakan semuanya padamu," kata Vega pada Alvaro dengan nada bicara yang menunjukkan kekesalannya. "Ya ... tapi bukan itu alasanku pindah sekolah, apa yang dikatakan oleh kak Neptunus waktu itu adalah alasan yang sebenarnya, aku bersumpah," sambung Vega yang kini berbicara pada Nuansa. "Hmmm, baiklah, aku percaya. Tapi aku tidak menyangka kalau kau bisa move on secepat itu dan langsung memiliki gebetan baru secepat itu." Nuansa menggoda Vega dan Itzan. "Ti-tidak, kami hanya teman," ujar Itzan. "Teman tapi mesra?" "Uh, aku suka lagunya, itu lagu favorit Ibuku dan dia memutarnya sebanyak sepuluh kali setiap hari sejak aku masih kecil sampai sekarang, kira-kira sudah sepuluh tahun lebih, sampai-sampai aku juga ikut menyukainya," kata Alan. "Ibumu orang yang setia pasti," Nuansa menyahuti Alan. "Yah, walaupun kadang-kadang muak juga sebenarnya." "Tentu saja muak jika diputarnya sebanyak sepuluh kali setiap hari selama sepuluh tahun," gumam Nuansa dengan ekspresi wajah yang menunjukkan bahwa dia kesulitan membayangkan bagaimana rasanya jika dia tinggal satu rumah bersama Ibunya Alan. "Kembalilah ke topik awal, kenapa malah jadi membicarakan tentang Ibunya Alan?" ucap Noah. "Oh, iya. Astaga, maaf ya, Vega," ujar Alan. "Tidak apa-apa," kata Vega. "Jadi, ada apa?" tanya Nuansa pada Vega. "Hei! Kenapa kau habiskan semuanya?!" sewot Rea pada Alvaro yang menghabiskan satu toples keripik singkong tersebut seorang diri. Sontak saja perhatian semuanya kembali terpecah dan tidak terpusat pada Vega dan Nuansa lagi. "Eh?! Habis?!" kata Alvaro yang tidak menyangka bahwa dia sudah menghabiskan setoples keripik singkong seorang diri dalam waktu kilat. "Jangan kura-kura dalam perahu kau! Kenapa kau tidak memikirkan kami sama sekali?! Tega sekali kau! Aku juga ingin memakannya! Iiiih!" "Hei, sudah, sudah, aku masih punya stoknya, sebentar aku ambilkan," ujar Nuansa yang kemudian pergi ke dapur. "Syukurlah," gumam Alvaro. "Ish!" Rea menggeram. Sesaat kemudian, Nuansa kembali dengan membawa satu plastik besar yang berisik keripik singkong. Kalau ditimbang, kemungkinan besar beratnya bisa menyentuh angka 5 kilogram. Tentu saja Vega dan yang lainnya terkejut melihatnya. "Nah, ini stokku yang tersisa, habiskan saja kalau kalian sanggup," kata Nuansa yang sudah pasrah apabila keripiknya habis. "Ok, Vega, lanjutkan," sambung Nuansa. "Jadi ... maksud kedatanganku kemari sebenarnya ingin menceritakan padamu tentang perasaanku mengenai kepergian kak Neptunus. Mungkin justru aku berakhir dengan meminta bantuanmu, tapi aku akan menceritakan semuanya padamu," ucap Vega. Mengetahui bahwa topik pembicaraannya adalah Neptunus, Nuansa pun mendadak menjadi serius. "Sebelumnya aku minta maaf karena sudah mengganggumu sepagi ini, maaf juga karena aku telat meminta maafnya. Aku sengaja datang sepagi ini karena aku takut terlambat masuk sekolah, dan aku datang bersama mereka karena awalnya aku tidak berani datang sendirian, aku takut kalau kau marah padaku, tapi ternyata tidak," papar Vega. "Dan, kita akan ke topik utamanya," lanjutnya. "Jadi, aku merasa semuanya tidak baik-baik saja setelah kak Neptunus pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas, dan dia juga tidak memberikan alasan mengenai menghilangnya dia sebelum dia tiba-tiba pulang, kan? Ok, singkat cerita, semalam aku menyampaikan kegelisahanku itu pada Ibuku, tapi dia memintaku untuk tidak memikirkan hal itu, Ibuku mengatakan kalau kak Neptunus pasti akan pulang dan menjelaskan semuanya, Ibu juga menambahkan bahwa kak Neptunus pasti sedang ingin sendirian dulu saat ini, jadi sebaiknya kita tidak mengganggunya meskipun kita membutuhkan jawaban atas semua ini. Begitu Ibu mengatakan semua itu, aku langsung tahu bahwa itu adalah kata-kata orang lain yang telah mempengaruhi pemikiran Ibuku, karena seharusnya disaat semuanya sudah menjadi seperti ini, semua orang, apa lagi Ibuku, kompak merasa ada hal yang tidak beres yang sedang terjadi, terutama pada kak Neptunus, dan dugaanku benar, setelah aku bertanya padanya tentang pendapat paman Eugene yang sedang dirawat di rumah sakit, ngomong-ngomong aku belum sempat menjenguk paman Eugene, Ibu mengatakan bahwa itu adalah yang dikatakan paman Eugene padanya, lebih lanjut, Ibu juga mengatakan bahwa sebelumnya dia juga berpendapat sepertiku, tapi menurutnya pemikiran paman Eugene adalah yang paling benar, tapi tidak bagiku. Keadaannya sekarang begini, dan aku tetap yakin bahwa ada yang salah, dan aku menganggap bahwa tidak mungkin paman Eugene memiliki pemikiran seperti itu, dia seharusnya berpikir untuk mengambil tindakan serius dalam permasalahan ini, bukan tetap mengatakan kalau kak Neptunus akan kembali dan menjelaskan semuanya. Ada yang salah, dan aku tidak tahu di mana. Dan aku berpikir kalau kau bisa membantuku dalam hal ini," jelas Vega panjang lebar. "Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi kau benar-benar ada dalam pendirianmu sendiri, kan? Maksudku, kau tidak datang ke sini dengan menjadi orang suruhan paman Eugene untuk mengetahui bagaimana pendirianku sebenarnya, kan?" tanya Nuansa. Vega langsung terdiam begitu mendengar pertanyaan Nuansa itu. Chapter 125 - Bantuan "Kenapa kau bertanya seperti itu?" Vega bertanya balik pada Nuansa. "Jawab saja pertanyaanku," ucap Nuansa. "Tidak, apa yang aku ceritakan benar-benar pendirianku, aku tidak berbohong padamu," Vega akhirnya menjawab pertanyaan Nuansa. "Aku harap kau memang jujur, karena cukup mengejutkan bagiku kau berada dalam pendirian seperti itu," ujar Nuansa. "Kenapa? Aku adiknya kak Neptunus, wajar kan jika aku mengkhawatirkannya dan merasa kalau setelah semua yang terjadi keadaan tidak baik-baik saja? Aku juga yakin semua orang pasti berpikir sama sepertiku, dan aku hanya tidak mengerti kenapa paman Eugene justru bersikap santai saja. Aku yakin kau juga berpikir hal yang sama kan, Kak?" Nuansa terdiam begitu mendengar pertanyaan Vega barusan. "Ya," jawab Nuansa beberapa saat kemudian. "Kau pasti sudah berbicara dengan paman Eugene mengenai masalah ini, kan? Apa dia meyakinkanmu seperti dia meyakinkan Ibuku?" tanya Vega. "Ya, tapi aku memutuskan untuk tetap pada pendirianku." "Maksudmu?" "Kalau aku ceritakan, ini pasti akan memakan waktu yang cukup lama-" "Tidak apa-apa, pasti sempat, ini masih jam lima lewat sedikit," Rosy menyela Nuansa. "Baiklah, akan kuceritakan semuanya," kata Nuansa, dia kemudian menceritakan semuanya kepada mereka, terutama Vega, mengenai pendiriannya sekarang. *** "Aku tidak yakin bahwa apa yang diceritakan oleh kak Zhenya ke kak Thomas itu adalah sebuah keanehan. Semua yang dikatakan oleh kak Thomas memang benar, tapi ... aku tidak merasa bahwa itu adalah sebuah kejanggalan ataupun keanehan, jadi aku dan kak Zhenya sama-sama sudah melupakannya, dan aku tidak menyangka kalau ternyata hal itu sekarang mempengaruhi keputusan dan pendirianmu, karena sampai sekarang pun aku masih tidak merasa bahwa itu adalah sebuah keanehan," ucap Vega usai Nuansa menghabiskan waktu selama setengah jam untuk bercerita sampai membuat ketujuh remaja yang sedang bertamu ke rumahnya itu benar-benar mengerti. "Kau yakin sekarang pun kau tidak merasa bahwa itu adalah keanehan? Setelah semua yang aku katakan tadi?" ujar Nuansa pada Vega. Vega kemudian terdiam. "Tentu saja itu keanehan, pemikiran kak Thomas memang benar," kata Itzan. "Ya, aku juga merasakan hal yang sama," tambah Noah. "Hmmm. Tapi apa yang membuatmu begitu memikirkan kak Neptunus? Sampai-sampai kau memilih untuk lebih mementingkan permasalahan ini dari pada permasalahanmu sendiri?" tanya Vega pada Nuansa. "Aku tidak tahu, hati kecilku berkata kalau aku harus lebih mementingkan permasalahan ini dari pada permasalahanku sendiri, sudah sejak awal begitu, makanya aku sempat merasa kurang nyaman ketika aku memutuskan untuk mengikuti perkataan paman Eugene, tapi begitu mendengar apa yang dikatakan oleh Thomas, aku memutuskan untuk bergerak tidak dengan mendengarkan siapapun, termasuk hati kecilku, aku bisa berpikir, dan aku bisa mempertimbangkan semuanya, dan inilah keputusanku. Setelah ini aku akan mendatangi kantor temanku itu," jawab Nuansa. "Kenapa hati kecilmu berkata seperti itu?" tanya Rea. "Ya, pasti ada sebabnya," Rosy menambahkan. "Mungkin itu karena kak Nuansa sejak awal terlalu memikirkan kak Neptunus yang tidak ada kabarnya," ucap Alan. "Itu masuk akal juga," kata Alvaro pada Alan. "Entahlah, aku juga tidak mengerti kenapa. Mungkin yang kau katakan benar, Alan," ujar Nuansa. "Dan kenapa kau malah terlalu memikirkannya sejak awal disaat kematian Ayahmu baru saja terjadi? Bukankah itu aneh?" Noah menambahkan. Sontak saja semua pasang mata langsung melirik Noah. "Apa? Aku hanya menambahkan, seperti kalian," lanjut Noah. "Ya, mungkin kau ada benarnya, Noah. Ini bukan tentang kak Nuansa yang sejak awal terlalu memikirkan kak Neptunus, ini tentang perasaannya kepada dia," kata Itzan. "Tunggu, apa?!" Vega terlihat terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Itzan barusan. "Itu berarti kak Nuansa memiliki perasaan suka pada kak Neptunus, dan ketika orang sangat mencintai seseorang, biasanya dia akan terlalu memikirkan orang tersebut. Aku rasa itulah penyebab utamanya, rasa suka kak Nuansa pada kak Neptunus akhirnya membuat hati kecilnya berkata seperti itu dan membuat kak Nuansa justru lebih memikirkan hal yang tidak ada jelas di depan matanya," sambung Itzan. Dari Alan, semua pasang mata kemudian beralih ke Nuansa. "Tunggu, tunggu, apa-apaan kalian ini! Belajar dulu yang benar! Malah sibuk mengurus soal cinta!" sewot Nuansa. "Kami bukan memikirkan soal cinta, well, walaupun sebenarnya kami juga sudah jatuh cinta, tapi, sebenarnya ini adalah tentangmu, Kak. Saranku jangan terlalu memikirkan kak Neptunus walaupun kau begitu mencintainya. Sejauh ini keputusanmu untuk mencarinya lebih dulu sudah tepat, tapi kedepannya, jika kau masih terlalu memikirkannya, aku khawatir kau akan melakukan hal-hal yang cukup beresiko demi membuatnya kembali, apa lagi kau sedang mengalami kesedihan, kan? Kepergian dia juga pasti membuatmu sangat sedih karena sebagai seseorang yang mencintainya, kau pasti sangat membutuhkannya sekarang, tapi dia malah pergi," ucap Itzan. "Hei, enak saja kau main tuduh-tuduh aku menyukainya!" "Tidak apa-apa, kak Nuansa. Akui saja, kau malah akan menyiksa dirimu sendiri kalau kau tidak mengakui perasaanmu. Aku memang lebih muda darimu, tapi sepertinya aku sedikit lebih paham mengenai masalah cinta," kata Vega pada Nuansa. "Well ..." Nuansa terdiam. "Aku tidak mengerti kenapa aku bisa memiliki perasaan itu padanya, aku hanya ... aku berusaha menghargai perasaannya pada Tiana, tapi ... entahlah, aku juga tidak mengerti kenapa aku tidak bisa menghapus rasa sukaku padanya," papar Nuansa. "Apa hubungannya dengan kak Tiana? Kisah kak Tiana sudah usai, kak Neptunus membutuhkan perempuan baik-baik lagi untuk menjadi pendampingnya, dan kaulah orangnya. Kata-kataku ini bukan untuk menghilangkan rasa kecewaku padamu yang pernah ada itu, karena sejujurnya memang aku tidak merasa kecewa lagi padamu, tapi ... kau memang orang yang tepat baginya, aku tahu itu," ujar Vega. "Kau tidak mengerti, Vega, semuanya tidak semudah yang kau pikir." "Kalau begitu jelaskan apa yang menurutmu tidak kumengerti." Nuansa terdiam sesaat. "Engh, sebaiknya kita tidak membicarakan hal itu, kembali ke topik awal saja. Jadi, apa yang akan kau lakukan?" tanya Nuansa pada Vega. "Sudah tentu aku tidak akan membicarakan tentang hal ini pada paman Eugene, dan aku sendiri memang belum membesuknya. Aku rasa aku tidak akan membesuknya dalam waktu dekat, karena kalau aku bertemu dengannya, kami pasti akan membicarakan tentang permasalahan ini juga, dan aku tidak mau dia mempengaruhi pemikiranku seperti Ibu, dan aku akan membantumu, aku akan melakukan hal yang sama denganmu," jawab Vega. "Lalu bagaimana dengan bibi Bulan? Kau tidak akan mengatakan apa-apa padanya tentang pendapatmu lagi?" "Tidak, itu adalah hal yang sia-sia, lagi pula Ibu sekarang jauh lebih sibuk karena Ibu kembali mengurus semuanya sendirian lagi gara-gara paman Eugene tidak bisa berbuat apa-apa untuk sementara waktu. Lebih baik sekarang ini aku bergerak berdasarkan pendapat dan keputusanku sendiri, sama sepertimu." "Tapi kita bergerak berdasarkan pemikiran Thomas yang antara aku percaya dan tidak." "Jangan khawatir, aku ada di sampingmu, kita tidak akan membiarkan hal jahat mengalahkanmu." Nuansa tersenyum mendengar hal itu. "Terima kasih." "Sama-sama." "Jadi ... kami bagaimana? Hanya sebagai pernak-pernik?" tanya Alvaro. "Terserah kalian," jawab Vega. "Mencari jejak orang yang sengaja hilang? Kenapa tidak? Aku akan ikut membantu!" ucap Itzan. "Ya, kapan lagi berkesempatan untuk bekerja sama dengan Polisi dan membantu teman seperti layaknya agen-agen profesional? Aku akan ikut membantu," ujar Rosy. "Aku tidak memiliki keraguan untuk berkata bahwa aku akan ikut membantu," kata Alan. "Ya, aku juga." Rea tidak mau ketinggalan. "Aku juga." Begitu juga dengan Noah. Alvaro terdiam. "Baiklah ... aku juga akan membantu," ucapnya beberapa detik kemudian. Vega dan Nuansa lantas tersenyum. "Aku akan menyusun rencana bersama Thomas nanti, setelah itu kita akan menyusun rencana kita sendiri untuk berjaga-jaga," ujar Nuansa pada mereka bertujuh. Mereka semua lalu mengangguk. Chapter 126 - Mendatangi Reynand Siang harinya, Nuansa bersama Thomas mendatangi kantor Polisi tempat Reynand bekerja, namun yang pertama kali menyambut mereka justru Taufan, sebab kebetulan ketika mereka berdua akan masuk, Taufan justru sebaliknya. Nuansa lantas melemparkan sebuah senyuman kepada Taufan, dan pria itu pun merasa bingung, sampai-sampai dia menahan Nuansa. "Tunggu," ucap Taufan. "Apa?" sahut Nuansa. "Kau tidak marah padaku?" tanya Taufan. "Marah?" Nuansa bertanya balik. "Engh ... aku ingih minta maaf padamu tentang yang waktu itu, aku sadar aku sangat mengganggumu, tapi ..." "Tidak apa-apa, lupakan saja, Reynand dan aku sudah menyelesaikan semuanya, jadi kau tidak perlu meminta maaf lagi, permintaan maaf Reynand sudah mewakili permintaan maafmu juga, Kak." "Tapi ... aku tetap merasa tidak enak, makanya aku tidak pernah berani bertemu lagi denganmu meskipun Reynand sudag mengatakan padaku kalau permasalahan kalian sudah selesai dan kalian sudah berdamai. Dan sekarang kita secara tidak sengaja berjumpa di sini, aku ... aku rasa aku masih tidak siap. Aku benar-benar merasa bersalah, Nuansa. Maafkan aku." "Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Kenapa kau ingin dia mengulanginya?" tanya Thomas pada Taufan. "Siapa kau?" Taufan malah bertanya balik pada Thomas. "Sudah, sudah, lupakan saja. Intinya, lupakan saja, semuanya sudah baik-baik saja dan kembalilah seperti semula," ujar Nuansa. "Tapi-" "Kalau kau masih akan berkata kalau kau tetap merasa bersalah aku tidak akan membantu gadis ini." Thomas menyela Taufan. "Tunggu, apa?!" kata Nuansa. "Gertakan." "Kau tidak serius mengatakannya, kan?" tanya Nuansa. "Apa aku terlihat serius mengatakannya?" Thomas malah bertanya balik pada Nuansa. Dan Nuansa malah mengernyitkan dahinya sambil menatap Thomas. Thomas pun kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Nuansa. "Tidak," jawab Nuansa akhirnya. "Bagus, karena memang tidak," ucap Thomas yang lalu kembali ke posisi normal. "Ngomong-ngomong, kami mau masuk dulu ya, pak tua," sambung Thomas, dia mengatakan itu pada Taufan dan kemudian langsung menarik tangan Nuansa untuk mengajaknya masuk. "Hei! Aku masih muda!" sewot Taufan. "Dia agak berisik, ya," bisik Thomas pada Nuansa. "Sama sepertimu," sindir Nuansa. "Apa?!" "Engh, tidak, tidak." "Hmmm." "Reynand!" Nuansa berteriak memanggil Reynand yang terlihat sedang mengobrol dengan beberapa Polisi lain di kejauhan. "Nuansa." Yang menyahuti Nuansa malah Polisi lain yang merupakan seorang Polwan yang juga mengenal Nuansa cukup dekat. "Eh, kau? Apa kabarmu?" tanya Nuansa pada Polwan tersebut. "Aku baik, kau sendiri bagaimana? Lama tidak berjumpa, ya? Padahal rumahmu dekat," balas Polwan itu. Sadar bahwa percakapan mereka berpotensi menjadi pembicaraan yang panjang khas para wanita, Thomas pun lantas hanya bisa memasang ekspresi wajah datar sembari menggigit-gigit kukunya. Thomas berusaha untuk tidak mendengar rumpian Nuansa dan Polwan tersebut, karena yang mereka bahas justru seseorang yang tidak Thomas kenal yang kata si Polwan sekarang sudah menikah tapi bukan dengan pacarnya, melainkan dengan pria pilihan orangtuanya. "Iyakah? Suaminya egois sekali, dasar tidak tahu diri. Orangtuanya juga kok bisa begitu, ya? Dan dianya juga kenapa mau sekali dijodohkan secara paksa begitu?" kata Nuansa yang mulai emosi. "Aku tidak tahu, katanya dia mau menerima keputusan orangtuanya karena saat itu dia sedang berantam dengan pacarnya itu, dan karena sedang sangat kesal pada pacarnya, makanya dia menerima perjodohan itu," ujar si Polwan. "Ish, bodoh sekali dia, kan jadi menyesal sekarang. Gak bisa lah kalau gitu menyalahkan orangtuanya, yang salah dia sendiri." "Nah, makanya itu, tapi dari cerita dia seolah-olah dialah korbannya, padahal menurut kita enggak, kan?" "Iya. Tapi suaminya pun keterlaluan, masa memperlakukan istri dengan cara seperti itu. Tapi dia pun bodoh, bukannya diketahui secara mendalam dulu karakternya." "Macam kau tahu karakter Neptunus secara mendalam saja." Thomas menyindir Nuansa. "Hei! Ini tidak ada hubungannya dengan hal itu!" sewot Nuansa. "Ngomong-ngomong, itu pacarmu, Nuansa?" tanya Polwan tersebut pada Nuansa, dia mempertanyakan mengenai Thomas. "Eh, enak saja kalau bicara," kata Nuansa. "Kan aku hanya bertanya." "Memangnya Reynand tidak menceritakan apa-apa tentangku padamu?" "Tidak, aku sudah jarang berada di sini sejak pindah kantor." "Kau pindah kantor?" "Iya, kata Reynand kau tidak pernah datang ke sini lagi sejak aku pindah kantor." "Jadi hari terakhir aku berjuala di sini adalah hari terakhirmu berada di sini?" "Iya. Kenapa kau tidak pernah berjualan di sini lagi? Aku setiap hari tetap datang ke sini, tapi hanya setengah jam, ini aku baru tiba, dan aku tidak menyangka akan bertemu denganmu." "Kau benar-benar tidak tahu banyak hal mengenaiku lagi, ya?" "Iya, ceritakan saja semuanya, aku masih punya setengah jam di sini." "Kau datang ke sini untuk urusan apa memangnya?" "Oh, iya, astaga, sebentar ya, aku memang masih punya urusan. Sebentar, tunggu di sini sebentar saja." Polwan itu lantas pergi, dan Reynand datang persis setelah Polwan tadi pergi. "Ada apa, Nuansa?" tanya Reynand pada Nuansa. "Maaf agak lama, aku tadi ada urusan sebentar," sambungnya. "Engh ... bagaimana perkembangan kasus Emma? Aku belum menelponnya lagi," ucap Nuansa. "Astaga, yang benar saja. Kita lama-lama menunggu pria ini menyelesaikan urusannya tadi dan hal yang pertama kau tanyakan pada dia adalah tentang kasus Emma? Bukannya kasusmu sendiri?" protes Thomas pada Nuansa. "Kasusmu? Kau ingin kami mencari geng motor itu?" tanya Reynand pada Nuansa. "Bukan, hal lain. Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari Neptunus," kata Nuansa. "Hoho, pastikan kau tidak terbakar mendengarnya," ujar Thomas pada Reynand. ''Untung saja ini bukan rumah Neptunus,'' batin Nuansa. Reynand seketika melirik Thomas. "Maafkan aku, aku menceritakan terlalu banyak hal mengenai kita padanya, abaikan saja dia," kata Nuansa pada Reynand. "Hei!" sewot Thomas. "Baiklah, kau ingin bantuan apa?" tanya Reynand. "Aku hanya ingin kau bisa membuatku melihat rekaman CCTV di sebuah jalan," ucap Nuansa. "Huh?" Nuansa lantas menjelaskan alasannya pada Reynand. "Hmmm, bisa saja, tapi rekaman CCTV di daerah itu tidak ada di sini," jelas Reynand. Thomas tiba-tiba mengeluarkan dompetnya dari dalam sakunya. "Alah, banyak alasan. Sebut saja nominalnya," kata Thomas sembari menghitung uang-uangnya yang semuanya berwarna merah. "Maaf, tapi aku bukan Polisi sogokan seperti itu, jadi simpan uangmu baik-baik," ujar Reynand. "Ah, yang benar? Tidak usah malu-malu kambing." Reynand kemudian hanya memutar kedua bola matanya. "Akan aku usahakan, tapi aku tidak bisa janji kapan aku bisa membawamu untuk bisa melihat rekamannya, tapi ini bukan hal yang sulit, kok. Sepertinya besok juga aku bisa membawamu melihatnya," kata Reynand pada Nuansa. "Hmmm, bukankah untuk hal-hal rekaman CCTV itu urusan Polisi lalu lintas?" tanya Nuansa. "Tidak juga." "Oh, syukurlah." "Kalau pakai uang detik ini juga bisa, kan?" tanya Thomas pada Reynand. Nuansa kemudian menyenggol Thomas dengan menggunakan sikunya yang runcing. "Aw!" teriak Thomas. "Kau ini apa-apaan!" lanjutnya. "Berisik," ujar Nuansa. "Nuansa!" panggil Polwan tadi. "Maaf ya aku harus segera kembali ke kantorku, lain kali kita habiskan waktu yang lebih untuk mengobrol, ya," sambungnya. Wanita itu terlihat sudah terburu-buru. "Oh, ok, hati-hati di jalan, ya," ucap Nuansa. "Baiklah. Dadah." Polwan tersebut lalu pergi. "Padahal dia baru saja sampai," ujar Reynand. "Kami juga ingin berpamitan, ya, maaf jika sudah mengganggumu," kata Nuansa. "Eh? Cepat sekali?" ucap Reynand. "Aku harus pergi ke kampusku untuk berkuliah," kata Thomas. "Aku tidak bertanya padamu." "Ahahaha, iya, aku ingin bermalas-malasan dulu di rumah," ujar Nuansa. "Baiklah, terserahmu saja." "Aku tunggu kabar baik darimu." "Ok." Nuansa dan Thomas lalu pergi dari sana. "Kau benar-benar berguna," bisik Thomas pada Nuansa. Nuansa kemudian hanya memutar kedua bola matanya. Chapter 127 - Memikirkannya ''Kita baru akan membuat persiapan setelah Reynand membawaku ke kantor Polisi tempat dimana rekaman CCTV di lampu merah itu berada, jadi kalian tidak perlu datang ke rumahku lagi hari ini untuk berdiskusi'' Begitulah isi pesan yang dikirim Nuansa ke grup chatnya bersama Vega, Itzan, Rea, Rosy, Alan, Noah, dan Alvaro. Dia kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasurnya yang sudah sangat tipis hingga Nuansa merasa dia sedang rebahan di lantai langsung tanpa ada kasur sebagai alasnya. ''Kasur ini sudah sangat tipis, aku tidak menyangka kalau kasur pun bisa menipis,'' batin Nuansa. ''Sepertinya aku harus membeli yang baru. Untuk Ibu juga,'' pikirnya, dia lalu membuka laci tempat dirinya menyimpan gajinya dari Neptunus. Uang-uang itu masih sangat utuh, karena Nuansa dan orangtuanya memang belum pernah memakainya, mereka selama ini memakai uang orangtua Nuansa untuk bertahan hidup, dan sekarang Nuansa berpikir bahwa mungkin sudah saatnya dia mulai memakai uang-uangnya ini, dia bahkan tidak sadar bahwa dirinya belum pernah memakai uang-uang ini sama sekali. "Bagaimana bisa aku belum pernah menggunakan uang-uang ini?" gumam Nuansa. Gadis tersebut terdiam saat menatap uang-uang itu. Itu semua hanya uang, namun entah kenapa uang sekalipun bisa membuatnya teringat kepada Neptunus. Nuansa langsung teringat saat Neptunus memberikannya gaji pertamanya, gaji keduanya, gaji ketiganya, dan seterusnya ''Sial, kenapa aku malah jadi kepikiran tentang dia?'' batin Nuansa. Tak lama kemudian, dia meraih ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Neptunus. Meskipun pada awalnya merasa ragu, Nuansa tetap menghubungi pria tersebut, tetapi nomornya ternyata sudah tidak aktif lagi. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Nuansa tahu bahwa Neptunus telah mengganti nomor teleponnya, tadi pagi dia dan Thomas sudah mencoba untuk menghubungi Neptunus, dari situlah mereka tahu bahwa Neptunus sudah mengganti nomor teleponnya, dan Reynand sendiri tadi sudah menyuruh mereka untuk mencoba menghubungi Neptunus, karena siapa tahu sinyalnya bisa terlacak, tapi Nuansa sudah menjelaskan bahwa nomornya sudah tidak aktif lagi. Walaupun begitu, Nuansa masih tidak percaya bahwa Neptunus benar-benar sudah mengganti nomor teleponnya, yang artinya pria itu telah memutuskan segala komunikasi dengan orang-orang yang dia kenal, makanya kali ini Nuansa mencobanya lagi meskipun tadi pagi dia sudah mencobanya. Dan tentu saja hasilnya sama seperti yang tadi pagi. Selain itu, Neptunus juga tidak memiliki akun media sosial apapun selain akun email, akun di pesan berbagi pesan, dan akun di situs tempat dia mencari jasa pacar sewaan, jadi memang satu-satunya langkah pertama untuk melacaknya adalah dengan mengetahui apa yang dia lihat di lampu merah itu. "Neptunus ... sedang apa kau sekarang?" gumam Nuansa, gadis itu lantas teringat akan saat dirinya tak sengaja masuk ke dalam kamar ini saat Neptunus sedang berpakaian, ketika itu jantungnya benar-benar terasa seperti akan copot, namun untunglah tidak. Bayangan akan hari itu yang terekam di otak Nuansa membuatnya seolah melihat kejadian itu terulang, tapi dia tahu bahwa semua itu tidaklah nyata. ''Seandainya kontak kita tidak berakhir secepat ini, apa semuanya akan menjadi seperti ini, Neptunus?'' batin Nuansa. "Tidak, dia sengaja mengakhiri kontrak kami secepat ini karena dia memang ingin pergi," ucapnya. "Sepertinya memang begitu, karena dia juga tiba-tiba mengajakku untuk makan malam bersama di restoran tempat kami pertama kali bertemu," sambungnya. Nuansa terdiam sesaat. "Kenapa aku jadi berbicara dengan diriku sendiri?" ujarnya kemudian. "Argh." Ia lantas memeluk gulingnya dan memejamkan kedua matanya, Nuansa pun perlahan mulai tertidur. *** Pada malam harinya, di sebuah tempat gelap yang sangat asing, terdengar sebuah langkah kaki yang berjalan cukup pelan. Hingga kemudian, orang tersebut berhenti melangkah untuk membuka pintu yang ada di depannya. Pintu besar itu dibuka dengan cara digeser, dan setelah menggeser pintu tersebut, orang itu pun keluar dari sana. Ternyata, di luar ada 2 orang pria berbadan besar yang menjaga pintu itu dari ujung ke ujung, dan ketika orang ini keluar, salah satu dari mereka bertanya, "Hei, mau ke mana kau?" Orang yang baru saja keluar itu, dia sudah melangkah cukup jauh menjauhi pintu meskipun dirinya baru saja keluar. Dia lantas berhenti melangkah. "Urusanku sudah selesai," ucap orang tersebut, dia ternyata seorang pria juga. "Lalu ke mana kau akan pergi sekarang?", tanya penjaga pintu yang satu lagi. "Apa itu penting bagimu?" orang ini balik bertanya. Mendengar pertanyaannya, kedua penjaga pintu itu pun lalu saling menoleh ke arah satu sama lain. "No," penjaga yang ditanyai balik tadi menjawab. Setelah penjaga itu menjawab, orang tersebut pun kemudian melanjutkan langkahnya yang menuju ke sebuah mobil. Sesampainya di dekat mobil itu, dia lantas masuk ke dalamnya dan pergi dari sana. "Dia tidak seperti biasanya," kata penjaga yang pertama kali bertanya pada orang itu tadi usai orang tersebut pergi. "Aku rasa itu wajar saja," sahut temannya. "Mungkin, tapi tidak biasanya dia bersikap kurang sopan pada kita." "Kurasa tidak ada yang pernah bersikap sopan pada kita." "Aku merasa dialah yang satu-satunya cukup sopan." "Ah, itu tidak penting, kembali fokus saja pada tugas kita." "Sebaiknya begitu jika kita memang masih hidup." "Ups, kelihatannya ada yang kehilangan semangat hidupnya." "Lihat saja kalau sampai keinginanku berhasil terwujudkan." "Baiklah, baiklah. Sekarang diamlah, aku sudah muak mendengar suaramu." *** Seperginya dari tempat tersebut, pria yang dianggap cukup sopan oleh salah satu dari penjaga pintu tadi kemudian pergi ke sebuah makam. Dia bahkan mengelus nisan dari makam tersebut dengan sangat lembut. Tak lama setelah itu, dia pergi dari makam tersebut menuju suatu tempat. Sekitar beberapa puluh menit kemudian, dia sampai di sebuah rumah sakit, dan ternyata inilah tempat yang ditujunya. Dia lantas masuk ke dalam rumah sakit ini dan terlihat sangat akrab dengan beberapa petugas dan perawat di sana. Pria itu lantas masuk ke dalam sebuah kamar di rumah sakit itu yang tentunya ada seorang pasien di dalam kamar tersebut. Ya, hanya ada satu pasien di dalam kamar itu, karena sepertinya ini adalah kamar khusus. Dia kemudian duduk di samping ranjang pasien itu sambil tersenyum. "Sepertinya ada kemajuan darimu," ujar pria tersebut sambil mengelus-elus tangan pasien ini. *** "Ngaarrrkkhhhhhh. Ngooooorrkkhhh." Keesokan harinya, pada pukul 10 pagi, Nuansa masih tertidur pulas di dalam kamarnya. Dia terlihat sangat nyenyak meskipun sudah tidur selama hampir 20 jam, bahkan dia mendengkur dengan sangat kuat. Hingga akhirnya, ponselnya yang tertimpa oleh badannya berdering dan bergetar, membuatnya terbangun dan terpaksa menjawab panggilan itu. Ya, seseorang menghubunginya dan akhirnya membuat ia terbangun. "Halo?" ucap Nuansa setelah dia menjawab panggilan tersebut. Suara parau khas orang baru bangun tidurnya membuat sang penelpon malah bertanya apakah dia baru bangun tidur. "Kau baru bangun tidur?" tanya si penelpon yang ternyata adalah Reynand. "Iya, ada apa?" Nuansa bertanya balik. "Aku punya kabar baik, tapi ... sebaiknya kau datang ke sini saja langsung. Bersihkan dirimu dulu, dan pastikan juga kau sudah benar-benar bangun." "Aku sudah bangun, jadi katakan saja sekarang." "Tidak, lebih baik kau mandi dulu, ini sudah jam sepuluh, loh." "Huh?! Jam sepuluh?!" teriak Nuansa. Gadis itu lantas langsung keluar dari dalam kamarnya dan meninggalkan ponselnya begitu saja dalam keadaan masih dalam panggilan bersama Reynand. Ketika keluar dari dalam kamarnya, Nuansa melihat Durah yang sedang memasak untuk makan siang mereka, padahal Nuansa saja belum sarapan. "Ibu kenapa tidak membangunkanku?! Aku tidur dari kemarin siang!" seru Nuansa sembari berlari menuju kamar mandi. Karena letak kamar mandi mereka di luar, tentu saja Durah tidak menyahuti putrinya itu, karena kalau tidak orang-orang bisa berpikir kalau mereka sedang ribut, jadi Durah pun hanya bisa menggelengkan kepalanya. Chapter 128 - Mengobrol "Ibu sudah membangunkanmu sebanyak tiga kali, tapi kau tidak bangun juga, kau tidur dengan sangat nyenyak, jadi ibu memutuskan untuk tidak membangunkanmu lagi," ucap Durah pada Nuansa yang kini sedang sarapan. "Tiga kali?" tanya Nuansa dengan perasaan tidak percaya. "Ya, semalam dua kali, dan tadi pagi satu kali. Sepertinya kau sangat lelah, ya?" "Entahlah, aku tidak merasa begitu, Ibu." "Berarti kau sedang banyak pikiran." "Mungkin." "Ibu sepertinya sudah melewatkan banyak hal. Apa saja yang terjadi? Selama ini kau mengurus kasus Ayahmu, kan?" "Engh ... tidak, tidak juga." "Ibu pikir selama ini kau sudah meminta bantuan Reynand untuk menuntaskan permasalahan ini, lalu apa saja yang kau lakukan sebenarnya?" "Ada sangat banyak hal rumit yang terjadi secara bersamaan, Ibu. Intinya semuanya baik-baik saja, kasus Ayah juga akan segera kutuntaskan, serahkan saja semuanya padaku, Ibu tidak perlu memikirkannya, lebih baik Ibu santai-santai saja, kepergian Ayah pasti masih membuat Ibu sangat terluka, dan aku tidak mau beban Ibu malah semakin berat dengan memikirkan semua yang terjadi beberapa hari belakangan ini." "Ibu setuju denganmu, tapi meskipun begitu, Ibu tidak bisa memercayaimu atas semuanya setelah apa yang terjadi, Ibu tidak ingin kau melakukan kecerobohan atau kesalahan yang fatal lagi." "Aku mengerti, Ibu, dan aku bukannya tidak belajar apapun dari segala yang telah aku lalui. Aku tahu sulit untuk memercayaiku, tapi ... tapi aku hanya bisa berjanji kalau aku akan menyelesaikan semua permasalahan ini dengan baik, dan Ibu tidak perlu hanya perlu menungguku untuk menyelesaikan semuanya dengan perasaan tenang." "Ibu tidak bisa tenang kalau Ibu saja tidak tahu apa yang sebenarnya yang sedang kau urus, setidaknya ceritakan sedikit saja, ini demi kebaikan kita, dan kebaikan semuanya." "Aku tahu, tapi aku akan memilih untuk membuat Ibu tetap tidak tahu segala yang telah terjadi agar Ibu tidak terlalu memikirkannya. Mengertilah, Ibu, hal itu aku lakukan karena aku menyayangi Ibu." "Tapi-" "Aku tahu aku keras kepala, bahkan sampai sekarang pun aku masih keras kepala, tapi kali ini tidak akan sama. Aku punya banyak teman yang membantuku, termasuk Reynand, jadi Ibu tidak perlu khawatir." Durah lantas terdiam. "Huft, aku tidak tahu kenapa sifatmu bisa seperti ini, Ibu dan Ayahmu tidak seperti dirimu," ujar Durah. Meskipun masih berpegang teguh pada pendapatnya, Durah memutuskan untuk mengalah dari putrinya karena dia tidak ingin sakit kepala karena berdebat dengan putrinya sendiri. "Maafkan aku," kata Nuansa. Gadis itu lalu menyelesaikan sarapannya dan setelah itu langsung mencuci piringnya. "Aku harus pergi ke kantor Reynand. Ibu baik-baik di sini, ya," ujar Nuansa usai dirinya bersiap-siap. Durah lantas hanya menjawabnya dengan beberapa kali anggukan. Nuansa pun kemudian pergi ke kantor Reynand dengan berjalan kaki, dia juga sudah mengabari Thomas tadi dan menyuruhnya untuk langsung mendatangi kantor Reynand, jadi mereka akan bertemu di sana. Saat sedang berjalan menuju kantor Polisi tempat Reynand bekerja, Nuansa menerima panggilan dari seseorang, dan ternyata itu adalah Gladys. Nuansa pun menjawab panggilan tersebut. "Halo?" sapa Nuansa. "Halo," balas Gladys. "Kau apa kabar?" sambung Gladys. "Aku baik, bagaimana denganmu? Lama tidak mengobrol rasanya, ya? Padahal baru kemarin kita tidak mengobrol," ucap Nuansa. "Aku juga baik. Iya, aku tahu kau pasti sedang memiliki banyak urusan, jadi aku memutuskan untuk tidak menghubungimu dulu kemarin, maaf ya." "Tidak apa-apa, justru aku yang kelewatan karena sama sekali tidak memulai komunikasi denganmu." "Jangan salahkan dirimu, kita sama-sama mengerti keadaannya, lagi pula baru satu hari kita tidak berkomunikasi, kan?" "Ahaha, ya, tapi, terima kasih atas pengertiannya." "Sama-sama." "Emmm, bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya Nuansa. "Baik-baik saja, tapi kau tahu? Finn mendatangiku setiap hari saat aku sedang menunggu ojek yang kupesan, dan sepertinya dia juga akan datang lagi sore ini. Huft, mau tidak mau, aku tetap harus menyahuti apa yang dia katakan, karena kasihan juga dia aku abaikan begitu." "Uuuuh, ternyata kau masih menyimpan perasaan padanya, ya?" "Bukan begitu! Hanya saja, dia sudah meminta maaf sebanyak dua kali dan memang terlihat sangat menyesal dan merasa bodoh dengan apa yang dia lakukan padaku waktu itu." "Lalu? Kau memaafkannya?" "Secara pribadi, sebenarnya iya, karena Emma saja aku maafkan, kan? Tapi aku tidak mengatakan padanya kalau aku memaafkannya, aku tetap bersikap seolah aku tidak memaafkannya." "Kenapa tidak kau katakan saja padanya kalau kau sudah memaafkannya?" "Aku ingin mengatakannya, tapi aku tidak ingin membuat dia semudah itu mendapatkan maaf dariku." "Hm?" "Rasa kepercayaannya padaku masih sangat tipis, sementara hubungan itu seharusnya dibangun atas rasa saling percaya juga, kan? Aku ingin mengatakan padanya kalau dia harus mengintrospeksi dirinya tentang hal itu dan harus selalu mencari tahu fakta sebelum mengambil keputusan atau pendapat." "Ya katakan saja, tidak ada salahnya, kan?" "Memang, tapi aku harus memastikan bahwa apa yang aku katakan benar-benar akan dia lakukan, kalau tidak ya sama saja bohong." "Dia pasti akan melakukannya." "Kenapa kau bisa seyakin itu?" "Karena salah satu alasan terbesar manusia bisa berubah itu karena orang yang dicintainya, baik itu berubah menjadi jauh lebih baik ataupun jauh lebih buruk, dan dalam permasalahan kalian, dia pasti akan berubah menjadi seperti yang bagaimana yang kau katakan tadi karena kau adalah orang yang dicintainya." "Tapi ... apa dia benar-benar mencintaiku kalau dia saja tidak bisa percaya padaku?" "Dia berkata kalau dia mencintaimu, kan? Kalau kau mencintainya juga, kau pasti percaya dengan apa yang dia katakan, karena memang kau bisa merasakan perasaan saling cinta di antara kalian jika kau dan dia benar-benar saling mencintai." Gladys kemudian terdiam, tapi sesaat setelahnya, dia menarik napas panjang. "Baiklah, terima kasih, pembicaraanku denganmu benar-benar sangat membantuku, kau sudah seperti pakar cinta saja," ujar Gladys. "Hahahaha, aku rasa diajarkan tentang cinta oleh Vega membuatku bisa mengerti mengenai cinta," ucap Nuansa. "Kau diajarkan Vega?" "Ya, kemarin dia dan teman-temannya mampir ke rumahku setelah sebelumnya Vega sempat merasa kecewa setelah tahu bahwa hubunganku dengan Neptunus ternyata hanya hubungan palsu." "Tunggu, apa?!" "Ya, semuanya sudah terkuak di hadapan Vega dan bibi Bulan." "Bagaimana bisa?!" "Ugh, ceritanya panjang sekali, sangat banyak yang terjadi dua hari belakangan ini, tapi mungkin aku tidak bisa menceritakannya padamu sekarang, aku masih harus mengurus beberapa hal." "Oh, ok, baiklah, aku juga harus kembali bekerja." "Semangat!" "Terima kasih." "Sama-sama." Mereka berdua pun kemudian memutuskan sambungan telepon itu, dan kebetulan juga Nuansa sudah sampai di kantor Polisi tempat Reynand bekerja. Saat baru saja sampai dan belum sempat masuk, alias saat masih berada di trotoar, sebuah mobil melintas di depan Nuansa. Mobil itu sendiri berasal dari dalam kantor Polisi ini, dan sudah bisa ditebak mobil siapa itu. "N! Kenapa kau lama sekali?!" tanya Thomas dari dalam mobilnya tersebut, tentunya dengan kaca mobil yang terbuka, jadi Nuansa bisa melihat bahwa di dalam mobil itu juga sudah ada Reynand yang duduk di belakang. "Maaf, aku jalan pelan tadi," kata Nuansa yang kemudian membuka pintu belakang. "Hei! Hei! Apa yang kau lakukan?! Duduk di depan! Jangan buat aku seperti sopir kalian." "Aku tidak memperlakukanmu seperti seorang sopir." "Dengan kalian berdua yang duduk di belakang, aku akan terlihat seperti sopir kalian." "Tidak." "Tentu saja iya." "Nuansa, turuti saja apa yang dia katakan," ujar Reynand pada Nuansa. "Huft, baiklah." Nuansa lalu menutup pintu belakang yang dibukanya tadi dan lantas duduk di depan, di samping Thomas. "Jangan lupa pakai sabuk pengaman," ucap Thomas pada Nuansa. Nuansa pun kemudian memakai sabuk pengamannya. "Jadi kita akan pergi melihat rekaman CCTVnya?" tanya Nuansa pada Reynand. "Ya," jawab Reynand. "Ok." Mereka bertiga pun lantas pergi dari sana. Chapter 129 - Rekaman CCTV di Lampu Merah 5 Menit Nuansa, Reynand, dan Thomas akhirnya sampai di sebuah kantor, namun bukan kantor Polisi, melainkan kantor Dinas Perhubungan. "Loh? Untuk apa kita ke sini? Bukankah seharusnya kita ke kantor Polisi?" tanya Nuansa. "Hal-hal lalu lintas bukan hanya menjadi urusan Polisi lalu lintas, tapi juga tugas Dinas Perhubungan," ujar Reynand. "Jadi tentang CCTV-CCTV di lampu merah - lampu merah itu bukan tugas Polisi lalu lintas?" "Kan aku sudah bilang kemarin, tidak juga." "Hmmm." "Sudah, ikuti saja semuanya, kau tidak akan mengerti. Yang terpenting kita bisa melihat rekaman CCTVnya," ucap Thomas pada Nuansa. "Ah, iya juga. Ayo kita masuk," kata Nuansa. Mereka bertiga lantas masuk ke dalam kantor tersebut dengan Reynand yang membimbing mereka. *** Selang beberapa belas menit kemudian, Nuansa, Reynand, juga Thomas berada di sebuah ruangan bersama seorang petugas yang akan memutar rekaman CCTV yang diinginkan Nuansa. Setelah di atur, rekamannya akhirnya berada pada waktu Neptunus dan Nuansa melewati jalan itu, dan disitu, bisa terlihat mobil Neptunus yang baru saja berhenti. "Itu mobilnya, kan?" tanya Reynand pada Nuansa. "Ya," jawab Nuansa. Mereka berempat kemudian menunggu hingga lampu merah itu berubah menjadi lampu hijau, karena pada saat itulah Neptunus melihat sesuatu, namun tentu saja mereka harus menunggu sampai lima menit, dan Nuansa sendiri tidak mau langsung mempercepat rekamannya sampai ke lima menit kemudian, dia ingin memperhatikan semuanya pada lima menit tersebut. Lima menit kemudian, lampu merahnya berubah menjadi lampu hijau, semua kendaraan otomatis kembali berjalan setelah berhenti tadi, dan mobil Neptunus memang belum jalan saat lampu merahnya berubah. "Pak, bisa tolong di pause rekamannya?" pinta Nuansa pada petugas yang menemani mereka. Petugas tersebut lantas menuruti permintaan Nuansa. Sementara itu, Nuansa mencoba mengingat ke arah mana waktu itu melihat dan kemudian terdiam. "Kau lupa ke arah mana dia melihat?" tanya Thomas pada Nuansa. "Ya, dan sebaiknya kau jangan berisik, karena kalau tidak aku tidak akan bisa mengingatnya," ancam Nuansa. Dari CCTV memang Nuansa dan Neptunus tidak bisa terlihat karena semua jendela mobil Neptunus tertutup. "Wah, gawat kalau kau lupa," gumam Thomas. "Diam!" bentak Nuansa. Thomas kemudian terdiam, mematung. Nuansa lantas mencoba untuk fokus dan mengingat ke arah mana Neptunus melihat waktu itu, dan beberapa belas detik kemudian, dia berhasil mengingatnya. "Searah dengan jam sembilan," ujar Nuansa yang lalu melihat ke sebelah kiri dari mobil Neptunus. "Itu dia! Neptunus melihat ke arah mereka!" sambung Nuansa sambil menunjuk 2 motor yang masing-masing dinaiki oleh 2 orang yang menggunakan helm. Kedua motor tersebut berhenti dengan posisi bersebelahan. "Kau yakin?" tanya Reynand. "Orang-orang ini melihat ke arah mobil Neptunus juga, dan mereka kelihatan berniat untuk jalan, tapi sebelum jalan mereka melihat ke arah mobil Neptunus," kata Thomas. "Bagaimana kalau mereka ternyata tidak melihat ke arah mobil Neptunus?" "Mereka melihat ke arah mobil Neptunus. Lihat ke mana arah tatapan mereka, tidak ada kendaraan lain yang sejajar dengan mobil Neptunus, dan anehnya mereka berempat sama-sama melihat ke mobil Neptunus. Dari sini kita bisa menyimpulkan kalau orang-orang ini saling berkaitan, dan setelah mereka melihat Neptunus, Neptunus melihat mereka juga, jadi ..." "Jadi artinya Neptunus ada kaitannya dengan mereka," Thomas menyambung ucapan Nuansa. "Ya," ujar Nuansa. "Hmm, tapi siapa orang-orang ini?" tanya Reynand. Nuansa hanya terdiam. "Kalau kita runutkan semua ceritanya, satu-satunya kemungkinan yang ada adalah, mereka ini anggota geng motor yang menyerang Nuansa dan Ayahnya, dan Neptunus pasti ada kaitannya dengan geng motor itu, sehingga dia terdiam saat melihat mereka ini, tapi alasan kenapa Neptunus terdiam, kita belum bisa mengetahui kemungkinannya." Karena Nuansa terdiam, Thomas lah yang berbicara. "Tapi semuanya masih hanya sekedar kemungkinan, kita belum bisa memastikan kebenarannya," ucap Nuansa. "Tapi kemungkinan-kemungkinan ini sudah terasa seperti kebenaran. Bukan bermaksud menakutimu, tapi, begitulah adanya." Suasana di sana kemudian menjadi hening. "Pak, tolong bisa diputar ulang dari lima menit sebelumnya?" pinta Reynand beberapa saat kemudian pada petugas yang menemani mereka. Petugas tersebut lantas melalukan permintaan Reynand, dan Reynand, Nuansa, juga Thomas lalu menonton ulang rekaman itu, kali ini mereka memperhatikannya dengan sangat teliti. Setelah diputar ulanglah semuanya baru menjadi jelas. Ternyata, sesaat setelah mobil Neptunus berhenti, dua motor itu langsung muncul dari belakang mobil Neptunus, namun kemudian kedua motor tersebut menjauh dari mobil Neptunus, tetapi masih dalam barisan horizontal yang sama. Sejak awal juga keempat orang itu melihat ke arah mobil Neptunus, dan bisa dipastikan bahwa mereka memang mengikuti mobil Neptunus dan sangat menjaganya, tetapi Neptunus baru menyadarinya belakangan, tepatnya sesaat setelah lampu merahnya berganti menjadi lampu hijau. "Catat plat nomor mereka," suruh Reynand pada Nuansa. Nuansa pun lantas langsung mencatatnya di ponselnya. "Kita akan melacak mereka melalui plat nomor mereka?" tanya Nuansa. "Kenapa kau mempertanyakannya?" Thomas bertanya pada Nuansa. "Aku tidak bertanya padamu, jadi tidak usah merasa keberatan," protes Nuansa. "Ya," Reynand menjawab pertanyaan Nuansa. "Baiklah, jadi urusan kita di sini sudah selesai?" tanya Nuansa pada Reynand. "Ya, selanjutnya aku akan mengabari kalian jika aku sudah mendapatkan data mengenai para pengendara motor ini," ucap Reynand. "Ok." "Mereka benar-benar memperhatikan, melihat, dan mengikuti kalian waktu itu," kata Reynand sembari kembali melihat ke rekaman tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya waktu itu?" ujar Nuansa. "Mana kami tahu," ucap Thomas. Nuansa lantas hanya mendengus. "Kita akan mendapatkan jawabannya segera," kata Reynand. Suasana kemudian kembali menjadi hening, hingga akhirnya Reynand tiba-tiba menepuk pundak Nuansa. "Uh?" Nuansa terlihat sedikit kaget setelah Reynand menepuk pundaknya tadi. "Aku tahu kau khawatir dan gelisah, tapi percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Sejauh ini kau sudah berpikir dengan sangat positif, jadi jangan coba-coba kau berpikir negatif," ucap Reynand. "Hei, kau ini apa-apaan, hal-hal terburuk sekalipun tetap harus dipertimbangkan!" Thomas melawan pendapat Reynand. "Kalau itu akan mengganggu pikiran Nuansa maka hal itu sama sekali tidak dibutuhkan, karena semuanya akan menjadi berantakan jika pikiran Nuansa tidak stabil." Thomas lantas terdiam setelah mendengar apa yang dikatakan Reynand tersebut. "Terima kasih atas dukungan dan semangat yang kau berikan padaku. Bantuanmu juga benar-benar sangat berharga. Sekali lagi, terima kasih banyak," ujar Nuansa pada Reynand. "Semua ini belum selesai, berterima kasih padaku nanti saja. Untuk sekarang, berterima kasihlah pada orang-orang di kantor ini, terutama pada Bapak ini," Reynand menyahuti Nuansa. "Pak, terima kasih banyak, ya, maaf jika kami banyak menyita waktu Bapak dan sangat mengganggu," ucap Nuansa pada petugas yang menemani mereka. "Ah, tidak apa-apa," sahut petugas itu. Nuansa, Reynand, dan Thomas pun pergi dari sana sekitar 5 menit kemudian setelah berpamitan kepada petugas yang menemani mereka dan berterima kasih kepada beberapa orang yang ada di kantor tersebut. Chapter 130 - Pembentukkan Kelompok Keesokan harinya, pada pukul 9 pagi, Nuansa sedang memijat-mijat kaki Durah yang katanya terasa pegal. Sudah lama Nuansa tidak memijat Ibunya seperti ini, padahal tangannya adalah obat penghilang pegal paling ampuh di keluarganya, makanya sejak tadi Durah tidak mau menyudahi pijatan putrinya tersebut, padahal sudah sekitar setengah jam lebih Nuansa memijat Ibunya. Nuansa sendiri sama sekali tidak mau mengeluh lelah meskipun dia memang sudah mulai lelah. Ini adalah hal sederhana yang bisa membuat Ibunya senang, namun sangat jarang dia lakukan, dan dia tidak akan pernah mau berhenti sebelumnya disuruh, karena yang dia pikirkan sekarang adalah bagaimana jika Durah juga meninggalkannya di dunia ini seperti Arfan, dia jadi tidak memiliki waktu apapun lagi bersamanya, dan dia pasti akan sangat merindukan momen-momen seperti ini. Nuansa sudah sangat paham rasanya melalui kepergian Arfan, dan dia tidak mau terbayang akan banyak hal mengenai Ibunya nanti setelah Durah juga pergi meninggalkannya, gadis itu hanya ingin tidak menyesali hal apapun setelah dirinya benar-benar ditinggalkan oleh kedua orangtuanya kelak. "Kau lelah?" Durah akhirnya bertanya. "Tidak, Ibu. Santai saja," jawab Nuansa. "Serius?" "Iya." "Yasudah, lanjutkan." Sesaat kemudian, ponsel Nuansa berdering. Ada sebuah panggilan masuk dari Reynand. "Sebentar ya, Ibu," ucap Nuansa yang kemudian menjawab panggilan itu. "Halo?" sambung Nuansa setelah dirinya menjawab panggilan tersebut. "Bisa kau datang ke sini sekarang?" tanya Reynand. "Kau sudah mendapatkan data-data tentang orang-orang bermotor itu?" Nuansa bertanya balik. "Sudah," jawab Reynand. "Cepat sekali. Keren, kau memang hebat." "Tidak perlu lama-lama, aku bukan kungkang." "Hahaha, baiklah, aku akan segera ke sana. Terima kasih ya sebelumnya." "Sama-sama." Mereka pun lantas memutuskan sambungan telepon itu. "Ibu, aku pergi dulu, ya, aku mau ke kantor Reynand," ujar Nuansa setelah dia memutuskan sambungan teleponnya dengan Reynand tadi. "Oh, iya, hati-hati di jalan, ya," sahut Durah, padahal Nuansa baru akan bersiap-siap. *** Setelah menghabiskan waktu sekitar 10 menit untuk bersiap-siap, Nuansa pun akhirnya betul-betul siap. Tidak lupa, sebelum berangkat dan berpamitan lagi pada Durah, Nuansa juga menyuruh Thomas untuk datang ke kantor tempat Reynand bekerja, tak lupa juga ia untuk menyuruh Vega, Itzan, Noah, Rea, Rosy, Alan, dan Alvaro untuk datang ke sana. Kebetulan ini adalah hari Minggu, jadi ketujuh remaja tersebut juga Thomas pasti tidak akan memiliki halangan apapun. *** "Edi Nuryanto dan Rima Kamboja," kata Reynand pada Nuansa, Thomas, Vega dkk. Reynand memberitahu nama pemilik dua motor tersebut. "Mereka suami istri?" tanya Thomas. "Entahlah, tapi sepertinya tidak, soalnya Rima tinggal di Garut, dan Edi tinggal di Pamulang. Ini, lihat saja alamatnya," ucap Reynand. "Mereka tinggal cukup berjauhan, ya," kata Rosy. "Untungnya kita tinggal di Jakarta, jadi kita masih bisa menjangkau mereka meskipun sebenarnya untuk sampai di rumah mereka tetap membutuhkan waktu hitungan jam juga," ucap Vega. "Kau yakin salah satu dari mereka adalah perempuan? Karena yang mengendarai motor itu dua-duanya memiliki fisik laki-laki, begitu juga dengan yang di bonceng," ujar Nuansa pada Reynand, dia merasa ragu. "Siapa tahu si Rima ini pegulat." Thomas berspekulasi. "Entahlah, tapi ini hanya agak aneh saja, selain itu jarak rumah mereka juga saling berjauhan, dan malah bukan di Jakarta." "Kita tidak bisa membuat kemungkinan apapun sekarang, cukup datangi rumah mereka saja walaupun sebenarnya ini agak jauh juga." "Ya." "Kalau begitu kita seharusnya dibagi dalam dua kelompok untuk menghemat waktu, kan?" tanya Itzan. "Tentu saja," sahut Thomas. "Kalau begitu aku satu kelompok dengan Vega." "Aku satu kelompok dengan Rosy." "Aku satu kelompok dengan Rea." Itzan, Noah, dan Alan tiba-tiba main memilih rekan satu kelompok sendiri. "Tidak apa-apa, kelompok kita tidak perlu ramai-ramai," ucap Alvaro pada Nuansa dan Thomas. "Memangnya siapa yang mau satu kelompok denganmu?" tanya Thomas. "Kalian akan melakukan persiapan, kan? Aku hanya ingin mengatakan kalau aku tidak bisa membantu lebih jauh lagi karena sekarang pencariannya sampai ke luar kota, aku-" "Tidak apa-apa, kami mengerti, dan sejauh ini pun kau sudah membantu sangat banyak. Terima kasih atas bantuanmu," Nuansa menginterupsi Reynand. "Sama-sama," kata Reynand. "Dan tentang kalian, apa kalian semua sudah meminta izin pada orangtua kalian dan mengatakan kalau mungkin kalian akan pulang malam?" tanya Nuansa pada Vega dan teman-temannya. "Well, kami semua sama-sama mengatakan pada orangtua kami bahwa kami keluar untuk mengerjakan tugas kelompok di sebuah kafe dan sudah mengatakan kalau kami memang akan pulang malam, karena setelah mengerjakan tugas kelompok, kami mengatakan kalau kami akan jalan-jalan, dan aku mengatakan kalau inilah teman-teman kelompokku, begitu juga dengan mereka," jawab Vega. "Jadi itu sebabnya kalian membawa tas masing-masing?" tanya Thomas. "Yups," jawab Vega. "Baiklah, berarti semuanya aman, ya?" Nuansa memastikan. "Aman seratus persen, asalkan kita tidak pulang terlalu malam," ujar Rea. "Aku mengerti." "Dasar anak-anak nakal," ucap Thomas. "Nakal untuk kebaikan apa salahnya?" balas Alan. "Aku tidak bilang salah, kan?" "Mmm, tidak." "Yasudah." "Baiklah, kita akan membagi kita dalam dua kelompok," kata Nuansa. "Aku, Thomas, Vega, Rea pergi ke rumah Edi di Pamulang. Itzan, Alan, Noah, Rosy, kalian pergi ke Garut, ke rumah Rima," sambung Nuansa. "Bagaimana denganku?" tanya Alvaro. "Kau ..." Nuansa berpikir. "Harus ada yang memastikan kalau Ibuku aman, karena bisa saja orang-orang yang mengincarku itu tahu bahwa kita akan pergi ke luar Jakarta, dan bisa-bisa mereka malah mengincar Ibuku. Jadi, kau Alvaro, kau akan pergi ke rumahku untuk menjaga Ibuku," lanjut Nuansa. "Baiklah, itu cukup mudah, apa lagi di temani keripik singkong," ucap Alvaro. "Keripik singkongku sudah habis." "Tapi, kau yakin Alvaro adalah orang yang tepat untuk menjaga bibi Durah? Maksudku, lihat dia, apa dia terlihat seperti orang yang pandai melindungi?" tanya Vega pada Nuansa. "Hei!" sewot Alvaro. "Ibuku bukan cuma butuh orang yang bisa melindunginya, dia butuh orang yang cocok dengannya, dan aku tahu Alvaro akan sangat cocok dengannya. Karena kalau orang yang menjaga Ibuku cocok dengan Ibuku, maka Ibuku akan bahagia-bahagia saja," Nuansa menjawab pertanyaan Vega. "Tapi, kau sudah yakin dengan formasi kelompok ini? Maksudku, sepertinya ini masih belum tepat," kata Rea pada Nuansa. "Hmmm. Kau benar," ucap Nuansa. Mendengar hal itu, Rea pun terlihat senang karena dia berpikir bahwa dirinya akan disatukan dengan Alan. "Vega, kau bertukar tempat dengan Itzan," suruh Nuansa. "Apa?! Aku pikir malah kak Nuansa akan menukar Itzan dengan Rea," protes Vega. "Setidaknya harus ada satu orang yang cukup pintar dalam hal intelijen di dalam satu kelompok, dan kelompok mereka harus ada kau agar mereka bisa sempurna." "Kenapa kau tidak tukar kak Thomas denganku saja?" tanya Itzan. "Thomas dan aku harus dalam satu kelompok, aku harus mengawasinya, walaupun jadinya satu kelompok akan menjadi lebih sempurna karena aku dan Thomas ada di dalamnya, tapi kita tidak punya pilihan lain. Percayalah keputusanku sudah yang paling tepat, di kelompokku harus ada satu laki-laki selain Thomas, hanya untuk berjaga-jaga, dan di kelompok yang satu lagi harus ada setidaknya satu yang cukup pandai dalam hal intelijen, dan Vega yang sudah lama belajar pada paman Eugene adalah orang yang tepat," kata Nuansa. "Kau benar-benar tidak mempercayaiku, ya?" tanya Thomas pada Nuansa. "Aku tidak punya pilihan lain, mengertilah," ujar Nuansa. "Baiklah, baiklah, aku tidak akan protes." "Karena kelompokku sudah sangat kuat dengan adanya Itzan, maka aku hanya butuh satu orang yang lemah agar kelompok yang satu lagi tidak lemah, jadi aku pilih Rea masuk ke dalam kelompokku," Nuansa menyambung penjelasannya. "Di kelompokku jadinya akan ada dua perempuan, bagaimana bisa kau bilang itu cukup kuat?" tanya Noah. "Kemampuan Vega akan berguna, dan daya tarik Rosy yang paling akan berguna apabila ternyata Neptunus bisa langsung kita temukan, dan dalam kelompok kalian, Rosy yang akan berguna, sementara dalam kelompokku ... aku benci mengatakannya, tapi kurasa akulah daya tariknya bagi Neptunus. Selebihnya, karena kau dan Alan adalah laki-laki, sudah tentu kalian kuat," jawab Nuansa. "Hmm, baiklah, aku mengerti," kata Noah. "Dan sebaiknya kita berangkat sekarang juga," lanjut Nuansa. "Ya," sahut yang lainnya. Chapter 131 - Pencarian Dimulai Nuansa, Thomas, Itzan, dan Rea saat ini sedang dalam perjalanan menuju Pamulang dengan menggunakan mobil Thomas, dan juga dikendarai oleh Thomas. Sudah sekitar 30 menit mereka dalam perjalanan, dan semuanya, kecuali Thomas, sedang bermain ponsel mereka sekarang, namun sesaat kemudian Nuansa yang tidak memiliki hal yang menarik tidak menarik di ponselnya berhenti memainkannya dan memilih untuk melihat-lihat jalan. Thomas memerhatikan Nuansa melalui kaca spion tengah, tapi Nuansa tidak menyadarinya. Nuansa lantas kembali memainkan ponselnya dan membuka galeri, dia melihat-lihat foto-fotonya bersama Neptunus pada saat mereka berada di Korea, dan tanpa sengaja Rea melihat ponsel Nuansa dan langsung berhenti bermain ponselnya. "Kau sangat merindukannya, ya?" tanya Rea pada Nuansa. "Hm? Entahlah," jawab Nuansa. "Aku punya cukup banyak kenangan dengannya meskipun kami belum lama kenal. Dia memberikan kesan yang sangat dalam padaku, dan rasanya aku masih tidak percaya semuanya menjadi seperti ini, maksudku ... dulu semuanya terasa sangat normal, aku menjalani hari-hariku sebagai pacar sewaannya, kami pernah jalan-jalan ke Korea berdua, walaupun sebenarnya tujuan kami tidak untuk jalan-jalan, lalu dia juga juga cukup sering datang ke rumahku, dan kadang juga membantu Ayahku di kebun, seperti ... entahlah, aku kadang merasa kalau masa lalu itu hanya mimpi, dan kadang justru aku merasa masa kinilah yang hanya mimpi, tapi kemudian aku menyadari, kalau semua ini nyata," sambung Nuansa. "Kau hanya tidak pernah siap untuk hal-hal yang seperti ini." "Ya, aku selalu berpikir kalau hidupku akan datar-datar saja, bahkan setelah aku bertemu dengan Neptunus, tapi yang terjadi ternyata begini." "Siapapun pasti akan merasa kalau berada di posisimu itu berat, tapi kami ada di sini untuk menyemangatimu." Nuansa tersenyum. "Terima kasih." "Perasaanmu sepertinya sangat dalam pada kak Neptunus, ya?" kini giliran Itzan yang berbicara. Nuansa hanya terdiam mendengar hal itu. "Apa kau pernah jujur pada kak Neptunus mengenai perasaan sukamu padanya, Kak?" tanya Rea pada Nuansa. "Pada diriku sendiri saja aku berusaha berbohong mengenai perasaan itu, bagaimana lagi pada orangnya langsung?" ucap Nuansa. "Kenapa kau tidak pernah jujur pada siapapun mengenai hal itu sebelumnya? Aku rasa itulah yang membuatmu sangat memikirkannya sekarang, kau pasti menyesal karena tidak pernah secara terbuka menyatakan perasaanmu padanya." "Aku tidak mau membahas tentang hal itu." "B-baiklah." Suasana di dalam mobil itu lalu menjadi hening. "Ngomong-ngomong, apa kau sudah tahu kalau paman Eugene sudah tidak dirawat di rumah sakit lagi?" tanya Itzan pada Nuansa sekitar 3 menit kemudian. "Maksudmu, dia sudah pulang? Sudah sembuh?" Nuansa bertanya balik. "Belum sembuh sepenuhnya, dia belum bisa jalan dengan normal lagi, tapi dia sudah dipulangkan." "Ke rumahnya?" "Tentu saja, ke rumah siapa lagi?" "Begitu, ya." "Kenapa kau tiba-tiba terlihat khawatir begitu?" "Jika dia pulang ke rumahnya, artinya Vega tidak bisa mengawasinya, dan aku khawatir dia bisa mengetahui apa saja yang aku lakukan sebenarnya setelah aku membesuknya waktu itu." "Memangnya kenapa kalau dia tahu?" "Kalau bisa jangan sampai, karena aku takut dia marah." "Menurutku tidak ada salahnya sebenarnya, kau punya alasan yang bagus dan kuat." "Aku tahu, tapi ... sebaiknya tidak saja." "Berbahaya kalau ternyata semua dugaan Nuansa dan aku tentang dia ternyata benar, dia pasti akan semakin menghalangi apa yang kita lakukan jika dia mengetahui semuanya," kata Thomas. "Aku rasa malah lebih bagus dia mengetahuinya, karena dengan itu kita bisa menebak posisinya sebenarnya dari gerak-geriknya, tindakan, keputusan, dan bahasa tubuh," ucap Itzan dengan keoptimisan di tingkat 1000%. "Sayangnya semuanya pasti tidak akan semudah seperti apa yang kau katakan itu. Kau perlu mengenal paman Eugene lebih jauh lagi untuk bisa paham pendirianku, meskipun sebenarnya aku belum terlalu mengenalnya sekali, tapi ... setidaknya aku sudah lebih mengenalnya dari pada kau, kan?" "Hmm." Itzan lantas tidak membalas apapun lagi. "Tidak apa-apa, toh dia baru pulang dari rumah sakit, mana mungkin dia memiliki waktu untuk menyelidikimu, Kak. Maksudku, setidaknya dia pasti tidak akan memiliki masa untuk meluangkan waktu untuk saat ini, dia masih harus fokus pada penyembuhan lukanya, jadi mana sempat dia menyelidikimu, tenang saja," Rea berusaha menenangkan Nuansa. "He''em, mana sempat," ujar Thomas yang tampaknya memeragakan sebuah adegan iklan, dan untungnya Nuansa memahami apa maksud Thomas sebenarnya. "Ish! Kau ini!" gerutu Nuansa sembari memukul Thomas. "Hahaha," Thomas hanya tertawa setelah Nuansa merasa kesal padanya. "Hahaha," Itzan malah ikut-ikutan tertawa. "Terkadang kita juga harus berguyon agar bisa mengurangi ketegangan pada pikiran kita," lanjut Itzan. "Aku tahu, tapi itu tidak lucu untuk saat-saat seperti ini!" sewot Nuansa. "Baiklah, baiklah, maafkan aku," kata Thomas. Nuansa kemudian hanya mendengus. *** Selang beberapa puluh menit kemudian, mereka berempat akhirnya sampai di alamat rumah Edi Nuryanto. Ternyata letak rumahnya berada di sebuah desa yang cukup jauh dari pusat kota, mereka bahkan harus melewati sekitar 2 desa lain sebelum bisa sampai di desa tempat Edi Nuryanto ini tinggal. "Dilihat dari daerah tempat dia tinggal, rasanya tidak mungkin orang yang tinggal di daerah kampung seperti ini adalah anggota geng motor, ya," ucap Rea saat dia melihat daerah yang benar-benar sangat berbeda dari Jakarta yang metropolitan. "Orang yang tinggal di kampung bukan berarti orang kampung sungguhan, kan?" ujar Itzan. "Benar juga, sih." Mereka berempat kemudian masih harus masuk ke sebuah jalan lagi yang mana di jalan inilah rumah Edi Nuryanto berada, dan untungnya jalan ini bisa dimasuki oleh mobil, walaupun sebenarnya jalan ini cukup kecil dan lebih cocok disebut sebagai gang, ditambah lagi jalannya berbatu. Di dalam jalan ini tidak terdapat begitu banyak rumah, hanya terdapat 5 rumah yang letaknya cukup berjauhan dari satu ke yang lainnya, karena jalan ini sendiri merupakan jalan buntu yang tidak panjang. Thomas lantas memberhentikan mobilnya di ujung jalan tersebut, kemudian mereka berempat turun dari dalam mobil itu. "Yang mana rumahnya?" tanya Nuansa. "Sepertinya yang itu," ujar Itzan sembari menunjuk rumah yang paling dekat dengan mereka, alias yang paling ujung. "Ya, yang itu," kata Thomas yang baru saja selesai memeriksa ulang alamat yang diberikan oleh Reynand. Mereka berempat pun lalu mendatangi rumah yang terlihat sepi itu. Beruntungnya, rumah tersebut tidak memiliki pagar, hanya rumah yang sepertinya sudah tua, dengan halaman cukup luas yang hanya berisi rumput-rumput pendek. Nuansa lantas mengetuk pintu rumah itu, sementara Rea dan Itzan duduk di dua kursi yang ada di teras rumah itu. "Permisi," ucap Nuansa sambil mengetuk. Nuansa awalnya mengetuk sebanyak dua kali, lalu berhenti, namun karena tidak kunjung mendapatkan respon dari dalam, gadis tersebut pun kembali mengetuk pintu itu, tetapi dirinya tetap tidak mendapat respon dari dalam. "Menurutmu apa ada orang di dalam?" tanya Nuansa pada Thomas. "Ada sepasang sandal di sini, menurutku ada orang di dalam, tapi aku ragu juga sebenarnya, sandal tidak bisa dijadikan patokan seseorang berada di rumah, kan? Aku akan bertanya kepada orang di rumah itu," ucap Thomas. "Baiklah." Baru saja Thomas akan pergi ke rumah lain, tiba-tiba pintu rumah ini terbuka secara perlahan dan mengejutkan Nuansa yang berada di depannya. Chapter 132 - Rasa Takut Thomas tidak jadi pergi begitu dia mengetahui bahwa pintu rumah ini terbuka, dia mengetahuinya dari suara pintu tersebut, dan pria itu pun lantas berbalik badan. Sementara Nuansa, yang berdiri di depan pintu dari jarak 30 cm, mengernyitkan dahinya begitu dia melihat siapa yang keluar. Reaksi yang sama juga ditunjukkan oleh Rea dan Itzan yang kemudian saling melirik, sedangkan Thomas langsung menyamakan posisinya dengan Nuansa lagi. "Siapa kalian?!" tanya pemilik rumah itu yang ternyata seorang pria tua berusia 50-an akhir. "Neptunus Bimasakti, apa dia ada di dalam?" tanya Nuansa pada pria tua ini secara to the point, walaupun dirinya sempat terkejut karena dia sama sekali tidak mengira bahwa yang akan keluar adalah seorang pria yang mulai memasuki masa usia lanjutnya. "Aku tidak tahu siapa yang kau bicarakan. Sekarang, lebih baik kalian pergi dan jangan ganggu aku!" "Tunggu, Pak!" Thomas menahan pria tersebut agar tidak langsung menutup pintu rumahnya. "Sebelumnya maaf jika kami mengganggu, dan maaf juga jika teman saya ini langsung bertanya pada Bapak begitu saja dan mungkin membuat Bapak bingung, atau terkesan kurang sopan, tapi, kami datang hanya untuk menanyakan hal itu," sambung Thomas. "Kau tuli? Aku bilang aku tidak tahu siapa yang kalian bicarakan!" ucap pria tua itu. "Jangan bohong kau! Kau pasti salah satu anggota geng motor itu, kan? Mengaku saja!" kata Nuansa. "Nuansa, kau harus tenang," ujar Thomas pada Nuansa yang mendadak berapi-api. "Ya, dan sebaiknya kau belajar tentang sopan santun. Aku tidak tahu siapa kalian, dan tiba-tiba kalian datang dengan tidak adanya sopan santun di dalam diri kalian. Dasar anak-anak muda rusak," sewot pria tua tersebut seraya masuk dan menutup pintu rumahnya, tetapi Thomas yang sebenarnya ingin menegur Nuansa, langsung mendorong pintu rumah itu sampai si pria tua hampir terjatuh. Thomas pun kini berada di dalam. Dia tidak punya pilihan lain, karena kalau tidak pria tersebut pasti akan mengunci pintu rumahnya. "Hei! Kua ini apa-apaan?! Mau aku berteriak minta tolong?! Orang-orang di kampung ini akan menghajar kalian sekalinya aku berteriak seperti itu! Keluar dari rumahku!" bentak pria tua itu pada Thomas. "Maafkan saya, Pak. Begini-" "Keluar!" pria itu tampak tidak peduli dengan maksud kedatangan Nuansa, Thomas, Itzan, dan Rea sama sekali. "Kami melihatmu mengintai mobil pria bernama Neptunus Bimasakti di sebuah jalan besar di Jakarta! Ini buktinya!" Nuansa yang tidak mau bertele-tele pun kemudian menunjukkan foto yang dia dapatkan dari rekaman CCTV di lampu merah 5 menit itu. "Itu bukan aku!" bantah pria tersebut. "Lalu jelaskan tentang itu," ucap Itzan sambil menunjuk ke sebuah motor yang ada di dalam rumah ini, motor itu berada cukup jauh dari mereka. Tampaknya pria tua ini sengaja memasukkan motornya ke bagian rumahnya yang cukup dalam agar siapapun tidak menyadarinya, namun untunglah Itzan melihatnya karena ukuran rumah ini yang tidak terlalu besar. Dan motor itu sendiri memang terlihat sama dengan motor yang ada di dalam foto yang diberikan Nuansa sebagai barang bukti. "Itu motorku, apa salahnya?!" tanya pria tua tersebut pada Itzan. "Sekarang kalian keluarlah! Kalian sangat tidak sopan main masuk ke rumah orang begini! Aku tidak tahu siapa kalian dan aku tidak tahu siapa itu Neptunus Bimasakti! Jadi keluarlah! Kalian orang asing! Kalian tidak berhak masuk ke dalam rumahku!" lanjutnya. Itzan lantas masuk lebih dalam ke rumah ini untuk menghampiri motor tersebut. "Hei!" seru si pria tua sembari mengejar Itzan, namun itzan sudah sampai lebih dulu di dekat motor itu dan melihat plat nomornya yang ternyata sama dengan barang bukti Nuansa. "Plat nomornya sama!" teriak Itzan. Pria tua pemilik rumah ini lantas hanya bisa terdiam sambil mematung. "Rea, periksa rumah ini," suruh Nuansa. "Ok," sahut Rea yang kemudian mulai memeriksa kamar, dapur, kamar mandi, dan tempat-tempat lainnya yang ada di dalam rumah ini, sementara Nuansa dan Thomas menghampiri si pria tua. "Kau sangat jelas berbohong pada kami, jadi sebaiknya kau mengatakan semuanya jika kau masih ingin bernapas," Nuansa mengancam pria tua tersebut. "Kau tidak akan berani berbuat apapun padaku," balas pria itu. "Aku tidak akan segan untuk melakukan hal yang diluar batas jika kau berusaha menutupi segalanya." "Hei, tenanglah, kau ini apa-apaan, kenapa tiba-tiba kau sangat emosi?" tanya Thomas pada Nuansa. "Bagaimana aku bisa tenang jika aku sedang berhadapan dengan pria yang berniat jahat pada Neptunus ini?!" Nuansa bertanya balik pada Thomas. "Kita bahkan belum tahu apakah dia benar-benar mengintai Neptunus atau tidak, kita harus bertanya baik-baik padanya, dan jika kau tidak bisa bersikap baik-baik saat ini, maka duduk saja, biarkan aku yang bicara padanya, lagi pula aku paham bagaimana perasaanmu sekarang, tapi aku tidak menduga kalau kau sampai akan mengancam seperti ini. Sebenarnya ada apa denganmu? Aku tahu kalau kau sangat menyesal karena tidak pernah terbuka pada Neptunus mengenai perasaanmu padanya, tapi ... apa harus sampai sebegitunya?" Nuansa lantas terdiam setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Thomas barusan. "Huft, baiklah, aku duduk saja," ucap Nuansa sesaat kemudian. Gadis itu lalu duduk di depan pintu. "Maaf atas hal itu tadi, dia benar-benar sedang tidak bisa mengontrol emosinya," ujar Thomas pada pria tua pemilik rumah ini dengan perasaan tidak enak hati. ''Dia benar, ada yang salah pada diriku, tapi apa? Bahkan dia yang biasanya bertingkah dan bersikap konyol saja bisa sebijak itu, tapi kenapa aku malah diluar kendali?'' batin Nuansa. ''Tidak, ini bukan tentang perasaan sukaku pada Neptunus, ini tentang ketakutanku. Apa itu artinya aku takut jika semua kemungkinan terburuknya sebenarnya adalah hal yang terjadi?'' pikir Nuansa. "Jadi ... Bapak terlihat ketakutan dan panik saat kami datang, dan itu sudah sangat menjelaskan bahwa Bapak ini menyembunyikan sesuatu yang besar, dan baik aku maupun gadis itu bisa menyadarinya, oleh karena itu dia ingin Bapak jujur untuk memberikan penjelasan kepada kami, hanya saja cara dia salah. Tapi, sebaiknya Bapak menjelaskan semuanya secara jujur, Pak," sambung Thomas. "Aku tidak tahu apa-apa, apa itu saja belum cukup jelas?!" kata pria tua ini. "Kami tidak menemukan apa-apa," kata Rea yang kembali bersama Itzan. "Hanya ada motor itu sebagai benda yang mencurigakan," tambah Itzan. "Itu saja sudah cukup," ucap Thomas. "Sekarang, Pak, tolong jelaskan mengenai motor Bapak yang ada di lampu merah ini, motor ini mengintai mobil yang ini, dan ini sudah jelas motor milik Bapak," ujar Thomas pada pria tua pemilik rumah ini. "Aku tidak tahu apa-apa, tolong mengertilah, bagaimana rasanya jika kau tidak mengetahui apapun tapi seseorang memaksamu untuk menjelaskan hal yang bahkan tidak kau ketahui?" kata pria tua tersebut. "Aku-" "Sekarang, aku mohon pergilah dari sini, ini permintaan terakhir, kalau kalian tidak pergi juga, aku akan berteriak, kalian sudah sangat keterlaluan sampai menggeledah rumahku." Pria tua ini menginterupsi Thomas. Thomas hanya bisa terdiam setelah sang pemilik rumah berkata seperti itu, ia sudah putus asa dan berniat untuk pergi. "Baiklah, terima kasih atas waktu yang Bapak berikan. Ayo kita pergi," Thomas mengajak Itzan dan Rea untuk pergi dari sini, namun tiba-tiba Nuansa bangkit dan menghampiri pria tua pemilik rumah ini. "Aku ingin minta maaf atas perlakuanku tadi, Pak, aku akui kalau itu sangat kasar, dan aku sendiri belum pernah seperti itu sebelumnya, dan barusan aku menyadari bahwa ada yang salah denganku, dan, ya, memang ada yang salah denganku. Ada sebuah rasa takut besar yang mengendalikanku saat ini dan membuatku menjadi tidak bisa menahan emosiku, tapi untunglah aku sudah bisa mengendalikannya sekarang, walaupun harus aku akui kalau rasa takut yang sangat besar ini masih menempel padaku. Dan sebagai seseorang yang sedang merasa ketakutan, aku bisa merasakan ketakutan yang sedang Bapak rasakan sekarang. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Bapak begitu takut untuk berbicara pada kami? Aku minta maaf jika sebagai seseorang yang asing bagi Bapak, pertanyaan-pertanyaanku bisa dibilang tidak pantas, tapi ... ini cara satu-satunya agar aku bisa menghilangkan rasa takutku. Aku memiliki dugaan terburuk bahwa orang yang kusukai ternyata bagian dari geng motor yang sudah membunuh Ayahku, dan aku sangat takut jika hal itu sampai benar, karena aku sangat tidak mau merasa kecewa, tapi di satu sisi aku juga ingin tahu apa jawabannya, dan melalui Bapak, jawabannya pasti akan aku temukan satu persatu, jadi ... aku sangat memohon bantuan dari Bapak, dan tidak perlu takut untuk menceritakan hal yang membuat Bapak takut itu, kami ada di sini bersama Bapak." Nuansa berbicara panjang lebar pada pria tua tersebut, dan pria itu hanya bisa diam setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Nuansa. ''Bagaimana suasana hatinya bisa berubah dengan begitu cepat? Kalau aku jadi dia mungkin yang aku lakukan sekarang adalah mencakar-cakar kakek-kakek sialan ini. Tapi ... lupakanlah, Nuansa bukan aku,'' batin Thomas. "Huft ..." Si pria tua mendadak menghela napasnya. "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi," ujarnya. Tampak raut wajah kecewa ditunjukkan oleh Nuansa beberapa detik kemudian. "Satu-satunya hal yang kuketahui adalah dua pria asing yang kejam meminjam paksa motorku, dan mereka memintaku untuk tidak menceritakan hal itu pada siapapun, karena kalau tidak nyawaku yang menjadi taruhannya," lanjut pria tua tersebut. Chapter 133 - Neptunus, Kah? Nuansa mengerutkan dahinya begitu mendengar apa yang dikatakan oleh pria tua tersebut. "Itu pasti mereka, tidak salah lagi," ucap Thomas. "Lalu apa yang terjadi? Mereka mengembalikan motornya?" tanya Nuansa pada pria tua bernama Edi Nuryanto ini. "Ya," jawab Pak Edi. "Bapak tidak bertanya ke mana mereka membawa motor itu?" "Aku tidak berani macam-macam, mereka sangat menyeramkan, apa lagi salah satu dari mereka membawa pistol." "Berapa lama mereka membawa motor itu?" "Sekitar beberapa jam." "Mereka mengembalikannya ke rumah ini?" "Tidak, pada saat mereka meminjamnya, mereka menyuruhku untuk datang ke sebuah jalan raya beberapa jam setelah pertemuan kami itu, dan ketika aku datang ke jalan raya itu, ternyata mereka hanya ingin mengembalikan motorku." "Bapak tidak berteriak minta tolong?" tanya Rea. "Salah satu dari mereka mengarahkan pistolnya ke arahku, tapi tidak ada yang melihat pistol itu karena dia menyembunyikan sebagian besarnya di dalam jasnya," jawab Pak Edi. "Di mana pertama kali kalian bertemu sehingga mereka bisa meminjam paksa motormu?" giliran Thomas yang bertanya. "Di sebuah jalanan yang sepi, awalnya aku kira mereka akan membegalku, ternyata hanya ingin meminjam motorku." "Tidak ada orang saat mereka meminjam paksa motormu?" Itzan juga bertanya. "Tidak." Suasana kemudian menjadi hening. "Aku sudah memberitahu semuanya pada kalian, sekarang aku tidak tahu apakah aku akan baik-baik saja atau tidak, tapi aku memohon sekali lagi pada kalian untuk pergi dari sini," kata Pak Edi. "Baiklah, kami akan pergi. Terima kasih banyak atas bantuannya, maaf jika kami sangat mengganggu dan merepotkan," ucap Nuansa yang kini merasa tidak enak hati, sangat. Nuansa dan yang lainnya lantas berpamitan pada pria tua yang kini terlihat sangat ketakutan itu. Keempatnya lalu kembali ke mobil Thomas. "Kau sudah bisa menentukan apa kira-kira motif orang-orang itu meminjam motor pak tua ini?" tanya Nuansa pada Thomas. "Kenapa kau bertanya padaku?" Thomas malah bertanya balik. "Kenapa tidak?" "Kau tidak boleh bergantung padaku, aku tidak memiliki waktu yang banyak untuk membantumu dalam hal ini, sebenarnya aku sudah harus fokus mengurus skripsi, tapi akulah yang sepertinya paling santai, anak-anak yang akan mengadakan pertunjukan saja sudah serius mengurus skripsi sementara mereka juga harus sibuk mempersiapkan pertunjukan mereka. Maksudku, bagaimana jika aku tidak ada nanti? Apa kau akan bertanya padaku juga sementara aku akan pusing memikirkan skripsi? Kau harus mencari tahu sendiri apa kira-kira motif mereka." Nuansa lalu terdiam. "Kurasa ... mereka ingin menyamarkan identitas mereka dengan memakai motor asal," ujar Nuansa. Thomas kemudian terkekeh kecil. "Kenapa? Apa menurutmu aku salah?" tanya Nuansa. "Tidak, hanya saja dugaanku tentang kau ternyata salah. Kau ternyata cukup pintar, kau harus berterima kasih padaku," jawab Thomas seraya menjalankan mobilnya. "Huft, aku kira aku salah." "Yah, walaupun kau tidak sebagus mantan anak-anak buahku, tapi tidak apalah, kau tidak buruk juga, kau cukup punya kualitas." "Well, kau juga ternyata tidak seburuk yang kukira, kau keren juga." "Kukira kau sudah menyadarinya sejak awal kita bertemu." "Bisakah kalian berhenti mengobrol dan bersikap seolah aku dan Rea tidak ada di sini?! Aku ingin tahu penjelasan lebih lengkap mengenai perkiraan motif orang-orang itu dengan meminjam paksa motor pak tua tadi," protes Itzan. "Ah, hahaha, maafkan aku," kata Nuansa. "Ya ... menurutku orang-orang itu berusaha untuk menyamarkan jejak mereka. Sepertinya mereka sudah menduga kalau akan ada yang melacak keberadaan mereka, jadi mereka bepergian menggunakan motor yang bukan milik mereka agar kita kesulitan menemukan mereka," sambung Nuansa. "Kalau begitu, seharusnya mereka sering bepergian dengan motor-motor sembarang?" tanya Rea. "Kemungkinan besar seperti itu, mengingat dalam dugaan kita, mereka adalah orang-orang yang lekat dengan hal-hal berbau kriminal, jadi hal itu sangat masuk akal mereka lakukan untuk tidak mudah ditemukan." "Tapi ... bukankah itu artinya kemungkinan besar Rima Kamboja yang di datangi oleh Vega dan yang lainnya juga hanya orang yang tidak ada hubungannya dalam kasus ini seperti pak Edi itu?" ujar Itzan. "Aku memikirkan hal yang sama," kata Thomas. "Haruskah kita memberitahu hal ini pada mereka?" tanya Rea. "Itu hanya kemungkinan besar, meskipun kecil, tapi masih ada kemungkinan juga kan kalau si Rima itu ada kaitannya dengan kasus ini? Jadi aku rasa biarkan saja mereka melanjutkan tugas mereka," jawab Nuansa. "Aku setuju denganmu." Thomas memperkuat jawaban Nuansa. "Baiklah, itu artinya kita hanya perlu menunggu hasil dari Vega dan yang lainnya, kan?" ucap Itzan. Tiba-tiba, mobil Thomas berhenti berjalan, karena memang Thomas memberhentikannya, padahal mereka sudah cukup jauh berjalan. "Ya, tapi sebelum itu, sepertinya ada dua kutu yang ingin mencari masalah," kata Thomas yang kemudian keluar dari dalam mobilnya untuk menghampiri dua orang pria yang tiba-tiba saja menghalangi jalan Thomas dan yang lainnya menggunakan motor mereka masing-masing. Kedua pria tersebut berada di atas motor mereka yang masih menyala, tampaknya mereka belum lama berada di sini dan menghalangi jalan perkampungan yang cukup sempit ini. "Hei, mau apa kalian? Minggir," Thomas menegur kedua pria dengan jaket hitam, helm hitam, celana hitam, motor gede, dan sepatu hitam itu. Pria-pria tersebut lantas mematikan mesin motor mereka masing-masing dan membuka helm mereka. "Tunggu dulu, aku seperti mengenali mereka," ujar Nuansa dari dalam mobil. "Siapa mereka?" tanya Itzan. Tanpa menjawab pertanyaan Itzan, Nuansa langsung keluar menyusul Thomas. "Kau bajingan yang membunuh ayahku, kan?!" Nuansa berseru kepada salah satu dari pria itu. Seruan Nuansa cukup untuk membuat orang-orang di kampung itu jadi ketakutan dan langsung masuk ke dalam rumah masing-masing. "Kau terlihat merindukanku, iya, kan?" seloroh pria itu. "Kurang ajar kau, bangsat!" umpat Nuansa yang merasa sangat geram pada pria tersebut, gadis itu bahkan berusaha untuk menghampirinya, namun untunglah Thomas menahannya. "Hei, aku juga punya nama, sama sepertimu. Perkenalkan, namaku Arrayan, kau sebaiknya memanggilku dengan nama itu." "Aku tidak peduli! Sini kau! Akan kujebloskan kau ke penjara!" pekik Nuansa yang lagi-lagi berusaha menghampiri Arrayan yang berada sekitar 10 meter darinya, tetapi Thomas kembali menahannya. "Kau ini apa-apaan?!" bentak Nuansa pada Thomas, gadis itu tidak mau ditahan. "Kau harus tenang, kau tidak boleh emosi seperti ini," kata Thomas pada Nuansa. "Tapi!- ugh, baiklah," Nuansa langsung berubah sesaat kemudian, dia sadar bahwa dirinya tidak bisa sembarangan bertindak. "Gadis kecil itu berkata kalau dia akan menjebloskanku ke penjara," ucap Arrayan pada temannya, mereka berdua lantas tertawa, mengejek Nuansa. "Kau yakin dia adalah orang yang menembak ayahmu?" tanya Thomas pada Nuansa. "Ya, aku melihat wajahnya saat itu, karena sebenarnya dia berniat untuk menembakku," jawab Nuansa yang sudah tenang sepenuhnya. "Mau apa kalian ke sini?!" Thomas bertanya pada Arrayan dan temannya. "Menurutmu?" temannya Arrayan bertanya balik pada Thomas. "Menemui ajal kalian," geram Nuansa. Martin dan temannya lagi-lagi tertawa gara-gara perkataan Nuansa. "Kami tahu kalau kalian akan datang ke sini, tapi kami tidak menduga kalau Nuansa juga ada di sini, jadi ... sepertinya kita akan mengobrol sebentar dulu, baru aku akan menjawab pertanyaanmu," jelas Arrayan pada Thomas. "Tunggu dulu, itu artinya sebenarnya kalian yang mengikutiku di lampu merah waktu itu dengan menggunakan motor Pak Edi?!" tanya Nuansa. Arrayan lantas turun dari motornya dan berniat untuk menjawab pertanyaan Nuansa sambil berdiri, namun belum sempat ia membuka mulutnya, tiba-tiba seseorang menghubunginya melalui sambungan telepon. Arrayan lalu melihat nama si penelpon. "Seseorang yang spesial menelponku, aku tidak ingin menjawabnya, tapi ... kurasa tidak ada salahnya untuk menjawab panggilannya, terlebih lagi kau ada di sini," ujar Arrayan pada Nuansa. ''Ne-Neptunus, kah?'' pikir Nuansa. Chapter 134 - Saran Penelpon Arrayan kemudian menjawab panggilan tersebut di hadapan Nuansa dan Thomas. Disaat yang bersamaan, Itzan dan Rea keluar dari dalam mobil Thomas karena penasaran dengan apa yang terjadi di luar. "Kau benar-benar mengganggu," ucap Arrayan kepada orang yang menelponnya. "Pergilah dari sana, jangan ganggu mereka ataupun pria tua itu, katakan hal itu juga pada teman-temanmu yang pergi ke rumah wanita bernama Rima Kamboja itu untuk mengejar yang lain," perintah si penelpon pada Arrayan. "Setahuku kau tidak punya hak untuk mengatur-ngatur kami, kau hanya orang yang tidak dihitung," ledek Arrayan. "Aku tidak main-main, kalau kau dan teman-temanmu itu berani mengganggu mereka semua, kupastikan kalau kalian akan menjadi santapan peliharaan dia, karena setahuku dia lebih tertarik dengan uang dari pada bawahan-bawahannya," ancam si penelpon. "Cih!" Arrayan hanya bisa mendecih. "Mendatangi mereka bukan perintah dari dia, kan? Kalian hanya ingin memastikan kalau tidak ada informasi yang bocor meski hanya sekedar cerita mengenai bagaimana kalian bisa mendapatkan motor-motor itu, karena kalau tidak, nyawa kalian yang menjadi taruhannya. Tapi ketahuilah bahwa uang lebih berharga baginya dari pada informasi yang bocor maupun nyawa kalian. Kalian sedang berada di posisi yang tidak menguntungkan, tapi biarkan aku memberikan saran yang bagus untuk kalian. Informasi yang bocor itu bukan informasi yang penting, itu hanya cerita tentang bagaimana kalian mendapatkan motor-motor itu, jadi meskipun hal itu diketahui oleh mereka, sebenarnya itu tidak akan menimbulkan efek yang berbahaya, kecuali mungkin bagi kalian. Tapi, aku yakin kalau dia tidak akan menghabisi kalian hanya karena mereka tahu bagaimana cara kalian mendapatkan motor-motor itu, mungkin kalian hanya akan dikeluarkan, atau yang paling parah, kemungkinan kalian hanya akan disiksa selama beberapa hari, dan setelah itu kalian akan diganti dengan anggota baru dan tidak mendapatkan perlindungan apapun lagi, karena kalian sudah dikeluarkan. Tapi jika kau dan teman-temanmu itu sampai berani maju bahkan satu langkah saja, kupastikan kalau kalian akan menjadi santapan bagi hewan peliharaan dia dengan cara menyogoknya, dan sepertinya dia sama sekali tidak akan keberatan dengan permintaanku walaupun informasi yang bocor bukanlah informasi yang penting, terlebih lagi aku memberikannya uang untuk hal itu. Jadi, pergilah dari sana, dan katakan hal yang sama pada teman-temanmu jika setidaknya kalian tidak ingin dicabik-cabik oleh hewan peliharaan dia. Disiksa, dikeluarkan, dan tidak mendapat perlindungan lagi cukup lebih baik dari pada menjadi santapan hewan itu, kan? Setidaknya kalian masih memiliki nyawa," tawar si penelpon dengan penjelasan yang panjang lebar. "Kurang ajar kau!" berang Arrayan. "Pikirkan lagi, jika kalian mundur, tidak akan ada yang untung dan tidak akan ada yang rugi, bahkan juga mereka yang mencari informasi ke Edi dan Rima yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita, mungkin hanya kalian yang mengalami sedikit kerugian, tapi jika kalian tidak mengikuti saranku, akan ada yang untung besar dan ada yang rugi besar. Dia akan untung besar karena uang-uang dariku, kalian akan rugi besar karena berakhir menyedihkan, dan gadis itu juga akan mengalami keuntungan besar karena orang yang membunuh Ayahnya mati dengan cara yang sadis, dia pasti akan sangat puas dengan hal itu." Arrayan lantas hanya bisa terdiam dengan perasaan kesal, takut, sekaligus marah, ia sama sekali tidak menduga kalau posisinya akan tidak seberuntung ini. "Apa yang dibicarakannya dengan orang yang menelponnya?" Thomas merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya dibicarakan oleh Arrayan dan si penelpon. Nuansa yang dari tadi hanya terdiam kemudian meneguk ludahnya, dirinya masih berpikir apakah orang yang menelpon Arrayan itu adalah Neptunus atau bukan, mengingat satu-satunya yang bisa mendengar suara si penelpon saat ini hanya Arrayan, rasa penasaran Nuansa pun jadi semakin bergejolak. "Bagaimana?" tanya si penelpon pada Arrayan. "Dasar kutu busuk sialan-" "Kau tidak perlu mengumpatku seperti itu, aku tahu seberapa buruknya diriku, jadi kau tidak perlu mengatakannya lagi." Si penelpon menyela Arrayan yang mengumpatnya. "Neptunus! Apa itu kau?!" pekik Nuansa yang memutuskan untuk bertanya langsung seperti itu dari pada rasa penasarannya tidak pernah terjawab. "Ah," Arrayan mendesah berat. "Lihat siapa yang ingin tahu," sambungnya, dia berbicara pada orang yang menelponnya. "Aku beri kau tiga detik untuk memutuskan, kalau kau tidak memberikan jawabanmu setelah tiga detik, aku akan langsung mempersiapkan uang-uangku untuk menyogoknya," ancam sang penelpon pada Arrayan. "Dasar tidak sabaran," keluh Arrayan. "Satu," si penelpon mulai menghitung. "Pembunuh ini bilang kalau kau adalah orang yang spesial! Apa itu kau, Neptunus?! Tolong jawab aku!" seru Nuansa. "Aku tahu kau mendengarku! Telepon kalian masih tersambung, kan? Ini aku, Nuansa!" "Dua." "Jika kau Neptunus, maka ... maka aku ingin bicara padamu, tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi! Dan ... tolong ... jangan katakan bahwa itu adalah kau, karena ... tidak mungkin kau berteman dengan orang yang sudah membunuh ayahku." "Tiga." ''Sial, pada akhirnya aku selalu ragu pada pemikiranku sendiri,'' Nuansa menggerutu di dalam hatinya. "Baiklah, aku terima saran darimu, kami akan mundur," kata Arrayan pada si penelpon. "Apa?!" ujar Thomas yang semakin bingung dengan situasinya. "Baguslah," pungkas si penelpon. "Apa kau tidak ingin menyapa gadis ini? Dia sudah berteriak-teriak hingga membuat orang-orang di kampung ini ketakutan, setidaknya hargai usaha dia," ucap Arrayan pada orang yang menelponnya, namun dia tidak mendapatkan jawaban apapun. Arrayan bahkan sampai memeriksa apakah panggilan itu masih tersambung atau tidak, dan ternyata masih, penelponnya hanya tidak berkutik lagi. "Halo?" Arrayan kembali memastikan. "Kau masih di sana, kan?" lanjutnya. "Nep!" teriak Nuansa sekali lagi, dan satu detik kemudian, sambungan telepon itu mati. "Panggilannya sudah berakhir!" sergah Arrayan. "Kau sangat berisik dan mengganggu," sambung Arrayan yang lantas kembali ke motornya. "Ke mana kau akan pergi?!" tanya Thomas padanya. "Apa urusanmu bertanya seperti itu?" Arrayan bertanya balik. "Untuk ukuran orang yang sepertinya punya banyak jejak kriminal, kau terlihat terlalu santai dan bebas bergerak. Sebenarnya kau ini siapa?" Thomas kembali bertanya. "Kenapa kau repot-repot ingin memikirkannya?" "Karena kenapa tidak?" "Hahaha, kau tidak tahu apa-apa tentangku, dan sebaiknya jangan berusaha untuk mencari tahu." "Dan kau, Nuansa. Kau tadi bertanya apakah orang yang membuntutimu dan Neptunus di lampu merah menggunakan motor si Edi itu kami atau bukan, kan? Aku bukan salah satunya, tapi dia. Aku harap kau tidak memanggilnya sebagai penguntit, karena namanya adalah Marcell," papar Arrayan seraya menunjuk temannya yang ternyata bernama Marcell itu. "Itu saja. Kuharap kita bisa bertemu di lain waktu," imbuhnya. "Kita akan pergi?" tanya Marcell pada Arrayan. "Ya," jawab Arrayan. "Aku akan menjelaskannya nanti," sambungnya. "Baiklah." Mereka berdua pun lalu pergi. "Hei, tikus! Tunggu! Kau takut padaku?!" teriak Nuansa yang berniat untuk mengejar Arrayan dan Marcell, namun lagi-lagi Thomas menahannya. "Kau ini apa-apaan?! Biarkan aku mengejar mereka! Orang-orang di kampung ini pasti akan membantu kita kalau terjadi sesuatu!" Nuansa berusaha melepaskan diri dari Thomas. "Memangnya apa yang akan kau lakukan?" tanya Thomas pada Nuansa. "Tentu saja memenjarakan mereka! Terlebih lagi si kecoa Arrayan itu!" geram Nuansa. "Tenanglah!" "Aku sudah tenang dari tadi, Thomas! Sekarang bukan waktunya untuk tenang lagi! Minggir kau!" "Nuansa! Mereka terlihat tidak takut dengan hukum! Ada sesuatu yang tidak beres!" "Itu hanya gertakan dari mereka saja agar kita tidak memenjarakan mereka! Kau ini kenapa tiba-tiba jadi bodoh?!" "Dengarkan aku, dengarkan aku." "Tidak!" "Dengar aku!" "Lepaskan! Itzan! Rea! Bantu aku!" pinta Nuansa. "Nuansa, yang menelpon si Arrayan itu tadi adalah Neptunus, dengarkan aku dulu!" seru Thomas. "Apa?" lirih Nuansa. "Ada cukup banyak hal yang janggal, dan aku akan menjelaskannya satu persatu dalam perjalanan. Yang terpenting sekarang kita pergi dulu dari sini, kita cukup membuat keributan di kampung ini." Nuansa akhirnya terdiam, ia terlihat pasrah. Mereka berempat pun kemudian kembali ke dalam mobil Thomas dan pergi dari sana. Chapter 135 - Penjelasan Dari Semuanya (1) Thomas dan yang lainnya sudah lumayan jauh dari kampung tadi, wajar saja karena ini sudah memasuki 20 menit perjalanan mereka, dan sejak tadi suasana di dalam mobil itu sangat hening, tidak ada satupun yang berbicara. Thomas memang sengaja menunggu hingga Nuansa menjadi sangat tenang, karena kalau tidak pembicaraan mereka tidak akan sampai ke otak Nuansa. "Kuharap kau sudah bisa di ajak untuk berbicara dengan tenang sekarang," ucap Thomas pada Nuansa. "Karena aku bukan pengasuhmu yang harus menenangkanmu setiap kali kau merasa emosi. Kau tahu? Itu benar-benar menyebalkan karena aku tidak pernah ingin untuk menjadi seorang pengasuh," sambung Thomas. "Huft, baiklah, kurasa aku sudah bisa di ajak berbicara baik-baik," ujar Nuansa. "''Kurasa''?! Aku butuh jawaban yang pasti! Ingat, aku bukan pengasuhmu, jadi pastikan kalau kau tidak akan merengek-rengek tidak jelas seperti bayi yang tidak memiliki akal." "Ok, ok! Aku sudah tenang." "Yakin?" "Iya." Thomas lantas terdiam sesaat untuk mempertimbangkan keputusannya. "Baiklah, aku akan menceritakan kejanggalan-kejanggalannya padamu. Tapi, sebelum itu aku akan bertanya padamu," kata Thomas. "Apa?" sahut Nuansa. "Kau tidak menemukan kejanggalan apapun pada mereka?" "Tidak, yang kupikirkan hanya Neptunus, bahkan aku tidak mengerti sebenarnya Arrayan membicarakan apa dengan orang yang menelponnya itu." "Aku tidak tahu harus memulai dari mana, tapi ... Arrayan mengakui bahwa mereka adalah orang yang mengikutimu dan Neptunus saat itu, dan bilang bahwa dia bukan salah satu orang yang mengikuti kalian pada saat itu, tapi Marcell, pria yang bersamanya tadi itu adalah salah satu orang yang mengikuti kalian. Aku tidak tahu apa maksud dia yang sebenarnya dengan menjawabmu seperti itu, karena jawabannya itu terkesan seperti dia menjawabmu dengan sangat jujur, bahkan menurutku itu adalah jawaban yang sangat jujur, karena kau tidak menyebut nama Neptunus dalam pertanyaanmu, dan dia menjawabmu dengan menyebut nama Neptunus, hal itu mengindikasi bahwa jawabannya sebenarnya adalah jawaban yang jujur." "Aku tidak mengerti, bisa kau jelaskan lebih rinci?" pinta Rea. "Coba kalian ingat-ingat apa pertanyaan Nuansa pada Arrayan, pertanyaan tentang apakah dia orang yang mengikuti Nuansa dan Neptunus di lampu merah itu," suruh Thomas. "Ya itu pertanyaannya," ucap Itzan. "Bukan, itu hanya inti dan maksud Nuansa yang sebenarnya, tapi pertanyaan yang dilontarkan Nuansa tidak seperti itu. Kalau memang itu pertanyaan yang dilontarkan Nuansa untuk apa aku bertanya dan memastikannya lagi pada kalian, aku tidak sebodoh itu," bantah Thomas. "Eh, hehehe." "Kalau tidak salah, aku berkata ''Tunggu dulu, itu artinya sebenarnya kalian yang mengikutiku di lampu merah waktu itu dengan menggunakan motor Pak Edi?!''," jelas Nuansa. "Benar, kan? Kau tidak menyebut nama Neptunus di dalam pertanyaanmu, dan ingat bagaimana Arrayan menjawabmu?" Thomas bertanya lagi. "Dan kau, Nuansa. Kau tadi bertanya apakah orang yang membuntutimu dan Neptunus di lampu merah menggunakan motor si Edi itu kami atau bukan, kan? Aku bukan salah satunya, tapi dia. Aku harap kau tidak memanggilnya sebagai penguntit, karena namanya adalah Marcell," jawah Nuansa yang memberikan jawaban Arrayan tadi secara utuh. "Begitu katanya," lanjut Nuansa. Sesaat kemudian, suasana menjadi hening. "Oh! Aku mengerti!" seru Nuansa yang memecah keheningan. "Secara tidak langsung si kutu busuk itu sudah menjelaskan kebenarannya!" sambung Nuansa. "Syukurlah kau mengerti, karena aku benar-benar kurang pandai dalam menjelaskan hal-hal serinci ini," ucap Thomas. "Jadi Marcell, pria yang bersama kutu busuk tadi itu adalah salah satu orang yang menguntitku dan Neptunus di lampu merah itu, dan sepertinya si kutu busuk tidak terlibat dalam peminjaman motor pak Edi, dia juga tidak imut menguntitku dan Neptunus, dan entah kenapa Marcell datang bersamanya untuk mengejar kita. Intinya, Marcell atau ketiga orang lainnya pasti sudah menceritakan pada si kutu busuk tentang penguntutitan itu, atau sederhananya, kutu busuk tahu tentang hal itu meskipun dia tidak terlibat dalam aksi penguntitan itu. Jawaban yang dia berikan padaku adalah jawaban yang sebenar-benarnya yang dia berikan dengan maksud untuk membuat kita berpikir apakah jawabannya benar atau bohong, dia berniat untuk membuat kita pusing, tapi dia membuat kesalahan. Aku tidak menyebut nama Neptunus dalam pertanyaanku, tapi dia menyebut nama Neptunus dalam jawabannya, yang artinya jawaban dia itu benar," terang Nuansa. "Aku ... masih tidak paham," keluh Itzan. "Sederhananya begini, pertanyaanku tidak mengandung kebenaran seratus persen karena aku tidak menyebut nama Neptunus, dan jawaban si kutu busuk benar seratus persen. Dalam kasus ini, seharusnya jawaban dia bisa tidak seratus persen mengandung kebenaran karena aku tidak menyebut nama Neptunus, dan dia malah menyebut nama Neptunus, yang artinya dia mengetahui segalanya, dan dia juga mengatakan semua kebenarannya, tidak perlu ada yang diragukan dari jawaban dia," sambung Nuansa. "Oooh, begitu!" kata Itzan. "Aku masih tidak paham, malah semakin bingung," ujar Rea. "Si kutu busuk sengaja menjawab pertanyaanku dengan kebenaran, agar kita justru meragukan jawabannya karena terkesan seperti dia memberikan jawaban yang jujur, dan kita pasti akan berpikir tidak mungkin dia memberikan jawaban yang jujur pada kita, karena itu akan merugikan pihak dia, dan pada akhirnya kita tidak mempertimbangkan jawabannya itu lagi dan kita akan semakin jauh dari jawaban yang sebenarnya, kita tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang pasti dan benar, itu tujuan dia menjawab kita dengan kebenaran, tapi dia tidak menyadari bahwa dia menyebut nama Neptunus, sementara aku tidak, dan hal itu menjelaskan bahwa dia tidak berbohong dalam jawabannya, yang artinya rencana dia gagal dan hasilnya kita justru mengetahui kebenarannya, bahwa jawaban dia seratus persen mengandung kebenaran," papar Nuansa. "Engh ..." Rea tampak masih bingung. "Lain cerita jika kak Nuansa menyebut nama kak Neptunus, kita pasti akan meragukan jawaban Arrayan, tapi dalam pertanyaannya, kak Nuansa tidak menyebut nama kak Neptunus, dan hal itu secara tidak langsung membuat kita mendapatkan keberuntungan besar," giliran Itzan yang menjelaskan kepada Rea. Rea lalu terdiam, namun dari raut wajahnya, tampak jelas dia masih bingung. "Begini saja, aku akan merunutkan ceritanya, aku akan menyusunnya mulai dari jawaban Arrayan sendiri. Arrayan mengatakan bahwa Marcell adalah salah satu dari empat orang yang membuntuti Nuansa dan Neptunus waktu itu, dan si Arrayan ini tidak ikut membuntuti Neptunus dan Nuansa, tapi dia tahu soal pembuntutan itu, dia tahu siapa yang dibuntuti, Neptunus dan Nuansa. Lalu datanglah Nuansa yang mempertanyakan hal itu, tapi Nuansa tidak menyebut nama Neptunus dalam pertanyaannya, tapi meski begitu, apa yang dimaksudkan Nuansa sebenarnya bukan hal yang lain. Nah, si Arrayan ini berniat mengecoh kita dengan memberikan jawaban yang jujur dan benar, tapi dia kurang teliti, dia menyebut nama Neptunus yang tidak disebut oleh Nuansa di dalam pertanyaannya. Persoalannya adalah, untuk apa dia menyebut nama Neptunus kalau jawabannya hanya jawaban ngawur? Karena Nuansa tidak menyebut nama Neptunus kan di dalam pertanyaannya? Berarti jawaban dia adalah jawaban yang benar, dan itu masuk akal, sebab pastilah dia tahu tentang penguntitan itu walaupun dia tidak ikut menguntit waktu itu," papar Thomas pada Rea. "Oooooh, begitu! Astaga, maafkan aku karena aku terlalu lemot," ujar Rea yang akhirnya paham, dan terlihat betul dia sudah memahaminya dengan baik. "Dan persoalan selanjutnya adalah, Arrayan adalah anggota geng motor yang membunuh ayahnya Nuansa, dan sepertinya Marcell ini juga, dan dalam pemikiranku, Neptunus juga bagian dari mereka. Alasan pertamaku berpikir seperti itu adalah, satu, tidak mungkin mereka menguntit sembarang orang, terlebih lagi Arrayan menyebut nama Neptunus dalam jawabannya, yang artinya memang mereka ini tahu dan kenal dengan Neptunus. Dugaanku, mereka sedang memiliki masalah dengan Neptunus, sehingga mereka menguntitnya, dan Neptunus saat itu juga terlihat ketakutan dan terkejut, kan? Kemudian mereka mengincar Nuansa sebagai ancaman untuk Neptunus, tapi mereka malah salah sasaran, yang tertembak justru ayahnya Nuansa, dan karena Neptunus tidak ingin ada korban lebih banyak lagi, dia memutuskan untuk pergi dan memilih untuk menghabiskan hari-harinya bersama mereka saja dan memperbaiki hubungannya dengan mereka. Semua ini bisa dibuktikan dengan Nuansa yang tidak mendapatkan teror apa-apa dari mereka, karena kalau mereka benar-benar ingin membunuh Nuansa, seharusnya mereka terus mengincarnya. Dan aku rasa paman Eugene mengetahui semua ini, itulah alasan kenapa dia berusaha membuat semua orang tidak memikirkan kepergian Neptunus dan malah menyuruh Nuansa untuk datang ke tempat pertama kali Nuansa bertemu dengan geng motor itu, dia berusaha menutupi kejadian yang sebenarnya, dan dia tahu kalau setelah kepergian Neptunus, sebenarnya geng motor itu tidak akan mengincar Nuansa lagi, dan dia menyuruh Nuansa untuk mengikuti saran darinya hanya sekedar untuk membuat kita semua semakin jauh dari kenyataan yang sedang terjadi. Bisa dibayangkan apa jadinya jika Nuansa malam itu pergi bersamaku ke tempat pertama kali Nuansa dan ayahnya melihat dan bertemu dengan geng motor itu, kami pasti hanya akan mengerak di sana sambil digigiti nyamuk malaria sampai akhirnya kami pulang karena geng motor itu tidak muncul, karena memang mereka tidak mengincar Nuansa lagi setelah Neptunus datang pada mereka," jelas Thomas panjang lebar. "Lalu bagaimana dengan Neptunus? Apa dia ..." "Aku benci untuk mengatakannya, tapi ... kemungkinan besar Neptunus memang seorang kriminal." Thomas menyela Nuansa. "Ta-tapi ... kita belum bisa memastikannya sampai kita bertemu dengan dia dan memaksanya untuk mengatakan hal yang sebenar-benarnya, kan?" "Aku minta maaf, Nuansa, tapi kurasa semua yang kita ketahui saat ini adalah semuanya, dalam kata lain, semua yang kita ketahui adalah hal yang sebenar-benarnya." Chapter 136 - Penjelasan Dari Semuanya (2) "Kau pikir apa alasan dia terlihat membingungkan dengan kepribadiannya yang berbeda-beda itu? Dia hanya ingin menutupi kepribadian dia yang sebenarnya dengan berpura-pura menjadi orang lain. Kenapa dia harus menutupi kepribadian dia yang sebenarnya? Entahlah, yang pasti itu pasti ada hubungannya dengan geng motor itu," papar Thomas. "Maksudmu, Neptunus yang kita kenal selama ini bukanlah Neptunus yang sebenarnya?" tanya Nuansa. "Ya. Dan masuk akal juga kenapa dia tidak pernah mau menerima hubungan Ibunya dengan Paman Eugene kalau alasan yang sebenarnya adalah dia takut kebenaran tentang dia terbongkar. Kita semua bisa memperkirakan bagaimana Paman Eugene itu, pastilah dia akan menyelidiki dan berusaha untuk tahu segala situasi di keluarganya. Ini saja saat dia belum menjadi bagian dari keluarga Neptunus, dia sudah mengetahui segalanya, dan tentu saja Neptunus sudah memperkirakan hal itu akan terjadi, atau setidaknya dia memiliki rasa takut karena berpikir kalau hal itu bisa saja terjadi, masalahnya hanya bagaimana bisa Paman Eugene selama ini mengetahui segala situasinya tapi tidak satu orangpun yang curiga dengannya, bahkan dia bisa mengelabui kita untuk semakin jauh dari kebenarannya, dan jujur saja, dia jauh lebih hebat dari yang aku kira, dia mengendalikan situasi di keluarga Neptunus, dan dia juga bisa mengetahui hal ini lebih cepat dari pada kita." Nuansa lantas hanya bisa diam. "Kenapa kau diam?" Thomas bertanya pada Nuansa. "Engh ... tidak apa-apa. Setelah ini, apa kita akan meminta bantuan Reynand dan pihak kepolisian lainnya?" Nuansa bertanya balik pada Thomas. "Kau tidak melihat bagaimana mereka terlihat tidak takut pada hukum sama sekali?" "Huh?" "Tolong pikirkan tentang hal-hal penting lainnya, kau pikir yang penting hanya Neptunus saja?" "Ah, hahaha, maaf, maaf." "Kau tidak bisa mengatakan hal itu padanya, karena baginya yang terpenting memang kak Neptunus," ujar Itzan pada Thomas, mereka berdua kebetulan duduk berdua di depan, jadi sebenarnya Thomas lebih mudah untuk berbicara dengan Itzan. "Tidak, tidak. Maafkan aku, Thomas, lanjutkan ucapanmu," ucap Nuansa. "Heuh, kau tidak perlu meminta maaf setiap saat juga. Kau tahu? Kucing-kucing ibuku saja tidak pernah meminta maaf padaku sama sekali karena tidak pernah bosan memburu ikan-ikan kesayanganku. Aku sangat membenci kucing-kucing itu, ingin kubakar saja rasanya mereka. Ikan arwanaku dimakan, ikan koiku juga dimakan, dan ibuku malah menyalahiku, bukan kucing-kucing sialannya itu," keluh Thomas. Itzan tentu saja langsung menatapnya dengan tatapan aneh, dan tampaknya Thomas menyadari bahwa Itzan menganggapnya aneh. "Ugh, Ibuku selalu berusaha untuk membuat kucing-kucingnya bisa berbicara, dia selalu berbicara dengan mereka, dia juga selalu mengajari mereka nama-nama benda, terkadang juga memperkenalkan alfabet pada mereka, intinya, ibuku selalu mengajari mereka cara berbicara. Tapi kenapa?! Kenapa mereka tidak bisa meminta maaf padaku?!" sewot Thomas. "Karena ... mereka tidak tahu apa itu maaf .... iya ... kan?" kata Itzan dengan ragu. "Argh, entahlah!" Itzan lalu menoleh ke belakang, ke Nuansa, lirikannya pada Nuansa dibalas oleh Nuansa. "Jadi ... kenapa kau menganggap serius tentang sikap mereka yang seolah-olah tidak kenal takut pada hukum? Maksudku ... bisa saja itu hanya tak tik agar kita tidak melaporkan mereka ke Polisi karena kita menduga kalau mereka kebal hukum, kan?" tanya Nuansa pada Thomas. "Tidak, menurutku mereka memang kebal hukum, dan ini sangat menyebalkan, ck," decak Thomas. "Kenapa?" "Karena ini mengingatkanku pada situasi di rumahku! Kucing-kucing ibuku sangat kebal hukum! Well ... mungkin karena ibuku lah yang menegakkan hukum di rumahku. Heuh, benar-benar menyebalkan." "Dan ... kenapa kau berpendapat seperti itu?" "Mereka terlihat tidak takut dengan hukum sama sekali, mereka menertawai ancamanmu, kan? Artinya mereka benar-benar tidak takut dengan hukum-" "Sepertinya aku sudah tahu dan paham tentang hal itu," Nuansa menginterupsi Thomas. "Aku tahu! Dengarkan dulu!" bentak Thomas. "O-ok, baiklah." "Dengar, kau bilang si Arrayan itu menembak ayahmu tanpa ada rasa ragu sama sekali, kan? Geng motor itu juga menghujanimu dan ayahmu dengan peluru secara bar-bar, iya, kan?" "Ya." "Itu saja sudah menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tidak takut dengan hukum karena mereka tidak akan mendapat hukuman apapun jika mereka dituntut." "Maksudmu?" "Permainan orang dalam." "Apa?!" "Ya, itu satu-satunya alasan yang logis." "Contohnya seperti apa?" tanya Rea pada Thomas. "Polisi, Hakim, atau Sipir, mereka pasti mendapat perlindungan dari salah satunya. Kemungkinan terbesarnya mereka mendapat perlindungan dari Polisi, karena apapun tindak kriminal yang mereka lakukan, mereka tidak akan mempertanggung jawabkannya karena pihak kepolisian berada di pihak mereka, kalau mereka mendapat perlindungan dari Hakim, permainannya pasti mereka akan selalu divonis tidak bersalah, dan kalau Sipir, tentu saja mereka akan dibantu untuk melarikan diri jika mereka terpenjara. Aku sangat yakin mereka mendapat perlindungan dari salah satunya, karena Hakim, Polisi, dan Sipir akan sangat membantu mereka yang seharusnya akrab dengan dunia kriminal. Menurut dugaanku, mereka seharusnya sudah berurusan dengan hukum berkali-kali, tapi mereka selalu berhasil lolos, karena ada kerjasama dengan orang dalam," jelas Thomas. "Kau mencurigai Reynand?" tanya Nuansa. "Reynand? Tidak kupikirkan sama sekali. Menurutku ini adalah permainan tingkat tinggi, antara Hakim Ketua, Kepala Sipir, dan Polisi yang berjabatan sangat tinggi, karena Polisi bawahan pasti tidak akan bisa membawa pengaruh yang besar pada mereka. Tapi, entahlah, ini hanya dugaanku saja, soalnya mereka terlihat tidak takut pada hukum sama sekali, dan merekapun terlihat santai saja setelah apa yang mereka lakukan pada ayahmu, kan?" "Tapi kalau dugaanmu benar, kenapa Polisi, atau Hakim, atau Sipir mau bekerjasama dengan mereka?" "Aku juga tidak tahu, aku belum bisa memperkirakan sampai sejauh itu." "Jangan salah sangka, tapi ... adiknya bibi Bulan adalah seorang Hakim Ketua," celetuk Itzan. Mendengar hal itu, tentu saja Thomas, Nuansa, dan Rea terkejut. "Vega memberitahunya padaku. Hubungan bibi Bulan dengan adiknya itu tidak bagus, mereka sudah bertahun-tahun tidak bertemu dan berbicara, menurut Vega, kemungkinan masing-masing dari mereka bahkan sudah memutuskan tali persaudaraan mereka, meskipun tentu saja tidak bisa tidak diakui bahwa mereka sebenarnya satu darah. Itu juga yang menjadi alasan kenapa banyak yang tidak tahu bahwa bibi Bulan memiliki saudara, karena dia memang tidak pernah menceritakannya, dia seperti tidak pernah memiliki saudara. Vega juga mengatakan kalau bibi Bulan meminta dia dan kak Neptunus untuk tidak menceritakan tentang adiknya itu pada siapapun, tapi Vega menceritakan banyak hal tentang keluarganya padaku, karena menurutnya aku merupakan tempat yang nyaman untuk berbagi isi hati," terang Itzan. "Jadi bibi Bulan memiliki konflik besar dengan adiknya?" ujar Nuansa. "Sepertinya begitu, aku tidak berusaha mencaritahunya lebih dalam pada Vega, itu adalah hal yang sensitif, bukan? Walaupun sebenarnya tidak salah jika aku bertanya lebih dalam padanya karena dia sendiri yang sudah membuka topiknya." "Apa bibi Bulan memiliki adik atau kakak lain?" tanya Nuansa. "Vega bilang tidak, jadi tidak ada penengah di antara bibi Bulan dan adiknya itu," jawab Itzan. Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Hingga akhirnya Thomas memecahkan keheningan itu dengan bertanya pada Nuansa. "Jadi bagaimana menurutmu?" "Entahlah, situasinya semakin rumit sekarang, mungkin karena dari awal aku terlalu memikirkan Neptunus," jawab Nuansa. "Tapi aku akan melanjutkan semua ini. Aku harus bertemu dengan paman Eugene dan berbicara padanya," sambung Nuansa. "Sendirian?" tanya Rea. "Ya, Thomas akan fokus pada kuliahnya, dan kurasa lebih baik aku bergerak sendiri saja," kata Nuansa. "Tapi kau tetap harus berhati-hati, kita tidak tahu apa sebenarnya maksud paman Eugene jika semua dugaan kita terbukti benar, dan jangan biarkan dia mengendalikan situasinya lagi," pesan Thomas. "Aku tahu." ''Gadis ini ... dia sepertinya sangat mencintai Neptunus, dia bahkan mau melangkah sejauh ini untuk dia. Aku jadi penasaran tentang bagaimana perasaan Neptunus pada Nuansa,'' batin Thomas. Chapter 137 - Langkah Nuansa Nuansa lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah hari ini setelah kemarin bepergian ke luar kota untuk mendatangi rumah Edi Nuryanto. Dari pagi gadis itu hanya keluar rumah untuk membeli bahan-bahan masakan, selebihnya dirinya menghabiskan waktunya bersama Durah di dalam rumah mereka. Nuansa sadar, meskipun apa yang dilakukannya beberapa hari belakangan ini adalah hal yang sangat penting, namun menghabiskan waktu bersama sang ibu juga merupakan hal yang sangat penting. Ibunya adalah satu-satunya yang dia punya saat ini, jadi dirinya tidak boleh untuk tidak meluangkan waktu bersama ibunya sekalipun ia selalu sibuk di luar. Seharusnya Nuansa akan bertemu Eugene besok dan tidak akan pergi kemana-mana hari ini, namun dia berubah pikiran dan sepertinya tidak akan menemui Eugene dalam waktu dekat. Entah apa yang dipikirkannya, tapi yang terpenting, hari ini adalah harinya bersama Durah saja. *** Pada malam harinya, Nuansa dan Durah tidur sedikit lebih awal, namun ternyata Nuansa tidak benar-benar tidur. Setelah memastikan ibunya sudah tertidur pulas, Nuansa lantas menulis sesuatu di sebuah kertas di bukunya, kemudian menyobek kertas tersebut dan meletakkannya di depan pintu kamar Durah. Gadis tersebut lantas kembali ke kamarnya untuk menggunakan celana panjang, jaket, dan sepatu, lalu ia keluar dari rumahnya dengan langkah yang sangat hati-hati. Dirinya juga menutup pintu rumahnya dengan sangat berhati-hati. Sembari pergi menjauh dari rumahnya, Nuansa teringat dengan apa yang dilakukannya siang tadi. ***FLASHBACK*** Setelah tidak berhenti bersih-bersih rumah dari pagi, Nuansa akhirnya bisa beristirahat setelah semua pekerjaannya selesai, ia juga sudah segar lagi karena sudah mandi tadi. "Nuansa," Durah memanggil Nuansa. "Ya, Ibu?" sahut Nuansa. "Bagaimana kabar Emma? Dan kasus pelecehan yang dia alami bagaimana?" "Aku belum berkomunikasi lagi dengannya, Ibu. Tapi, kalau untuk kasusnya sudah hampir selesai, aku mendapatkan informasinya dari Reynand. Tukang kebunnya sudah tertangkap juga, paling tinggal menunggu sidangnya saja. Eh, kalau begitu belum bisa dikatakan hampir selesai, ya? Hehehe," jawab Nuansa. "Syukurlah. Tapi, apa alasan mereka melakukan itu? Ihih melindungi Wan, kan?" "Ya. Dari hasil penyelidikan, mereka ternyata hanya sakit hati dengan sikap Emma yang dulu, Emma tidak pernah menghargai mereka. Meskipun memang mereka hanya orang yang bekerja di rumah Emma, tapi menurut mereka, Emma sama sekali tidak menghargai mereka sebagai orang yang jauh lebih tua. Ya ... kita tahulah bagaimana Emma yang dulu, tapi bukan berarti mereka pantas melakukan kejahatan padanya, kan? Menurut bibi Ihih, dia tidak tahu dengan rencana paman Wan yang berniat melecehkan Emma, tapi ketika paman Wan melakukannya, dia melindunginya dengan cara berpura-pura memihak Emma sehingga dia bisa menutupi segalanya. Tapi, tetap saja mereka sama-sama akan mendapatkan hukumannya, dan seharusnya Emma sendiri belajar banyak dari kasus ini, dia harus berubah menjadi jauh lebih baik, dan syukurlah dia memang sudah berubah." "Hmm, begitu, ya. Yang penting semuanya sudah jelas saja dan menemukan titik akhirnya. Apa yang kau katakan benar, meskipun Ihih dan Wan bersalah, tapi Emma tetap harus merasa bersalah juga dan berubah karenanya." "Ya." "Kalau begitu Ibu mau mandi dulu, ya. Sudah gerah sekali rasanya." "Ahaha, iya, Ibu." Durah kemudian pergi ke kamar mandi. Sesaat setelah Durah pergi, Nuansa kepikiran untuk menelpon Emma untuk menanyakan kabarnya, karena memang sudah jarang mereka berkomunikasi. Tidak butuh waktu lama agar Nuansa mendapat jawaban dari panggilannya. "Halo?" sapa Emma. "Iya, halo," balas Nuansa. "Ada apa, Nuansa? Bagaimana kabarmu?" "Aku baik. Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin bertanya bagaimana kabarmu." "Ah, aku baik juga. Bagaimana Neptunus? Sudah ada kabar?" Nuansa terdiam begitu mendengar pertanyaan Emma, dan tiba-tiba teringat sesuatu. "Engh, belum. Kau sendiri bagaimana? Kau berhasil mengurus bisnis orangtuamu?" ucap Nuansa. "Ya, tapi semuanya belum bisa kembalu seperti semula, aku bahkan harus memulai semuanya dari awal, aku menjual rumahku." "Benarkah? Tapi, kenapa?" "Rumah ini terlalu besar untuk aku huni sendirian, lagi pula uang dari hasil penjualannya lumayan juga untuk tabungan, kan?" "Ah, iya, iya, benar juga. Ngomong-ngomong, boleh aku bertanya sesuatu?" "Kau sudah bertanya-tanya dari tadi, jadi kenapa tidak?" "Ahaha, benar juga. Emma, apa kau tahu di mana lokasi tempat Tiana dibunuh?" "Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?" "Rumit untuk menjelaskannya meskipun hanya sedikit saja, tapi aku berjanji akan menjelaskan semuanya padamu suatu saat nanti, tapi saat ini, jawab saja pertanyaanku." "Aku tidak tahu, karena saat itu aku memusuhinya, kan? Jadi aku tidak mau tahu hal-hal tentangnya. Tapi, coba kau tanyakan pada Stephanie atau Zhenya." "Kau punya nomor kontak mereka?" "Engh, tidak, sejak aku memutus tali persahabatan aku dengan mereka, aku menghapus nomor kontak mereka. Maaf, ya, aku dulu memang menggila sekali, hahaha." "Ahahaha, tidak apa-apa. Aku coba cari tahu dari yang lain saja." "Oh, ok." "Baiklah, dadah." Mereka lalu memutuskan sambungan telepon itu. ''Siapa yang harus aku hubungi?'' batin Nuansa. ''Ah, Thomas!'' Nuansa pun lantas menelpon Thomas, dan Thomas langsung menjawab panggilannya. "Halo? Thomas, apa kau sibuk?" Nuansa langsung bertanya pada pria itu begitu panggilannya tersambung. "Sebenarnya iya, tapi karena kau yang menelpon, jadinya tidak," jawab Thomas. "Eh? Bagaimana bisa jadi seperti itu? Kalau kau sibuk aku akan memutuskan sambungan teleponnya, aku tidak mau mengganggu." "Tidak, tidak, kau tidak mengganggu." "Sungguh?" "Ya." "Baiklah, aku ingin bertanya padamu." "Bertanya apa?" "Apa kau punya-" ''Tunggu dulu, Thomas adalah ladang informasi, dia pasti tahu dimana Tiana dibunuh, jadi aku tidak perlu repot-repot bertanya pada Stephanie atau Zhenya,'' batin Nuansa. "Punya apa? Aku cuma punya hati," Thomas malah bernyanyi. "Maksudku ... apa kau tahu sesuatu?" tanya Nuansa. "Lagu Syahrini?" "Ish! Bukan! Apa kau tahu tempat Tiana dibunuh?" "Huh? Untuk apa kau ingin mengetahuinya?" "Tidak ada, aku hanya ingin tahu saja." "Aku tidak akan menjawabmu kalau kau main rahasia-rahasiaan." "Kau ini!" "Jelaskan saja ada apa." "Baiklah, baiklah. Jadi aku tadi tiba-tiba kepikiran untuk mendatangi lokasi tempat Tiana dibunuh, karena secara tidak sengaja aku berpikir kalau mungkin saja geng motor yang membunuhnya adalah geng motor yang sama dengan yang membunuh ayahku, jadi, aku berharap aku bisa mendapatkan hal-hal baru di tempat Tiana dibunuh," papar Nuansa. "Kau berniat untuk mendatangi tempat itu bersama paman Eugene?" "Tidak, aku tidak jadi menemuinya besok." "Kenapa?" "Bukan karena hal yang besar. Aku hanya merasa kalau aku harus melakukan penyelidikan lagi, tapi hanya sendirian, baru aku akan menemuinya." "Jadi kau berniat mendatangi tempat Tiana dibunuh sendirian?" "Ya." "Kapan?" "Malam ini, kurasa." "Kenapa harus malam?" "Memangnya apa urusanmu?" "Aku hanya bertanya. Aku hanya bingung kenapa kau suka beraktivitas malam-malam, apa jangan-jangan kau ini vampir, ya? Lalu kau ingin menemui vampir-vampir lainnya?" "Apa-apaan kau ini?! Mendatanginya pada malam hari lebih enak saja kurasa, suasananya pasti tenang dan sepi, jadi aku bisa berpikir dengan baik." "Tapi, apa kau tidak berpikir kalau arwah Tiana gentayangan di sana?" "Thomas! Kau ini apa-apaan?!" "Kau yakin ingin pergi sendiri?" "Iya." "Hmmm." Thomas kemudian memberi tahu tempatnya pada Nuansa. Nuansa pun berterima kasih padanya, dan tak lama setelah itu pembicaraan mereka selesai, bersamaan dengan kembalinya Durah. ***FLASHBACK SELESAI*** Kini, Nuansa sedang berjalan menuju tempat dimana Tiana dibunuh yang jaraknya sekitar 8km dari rumahnya. Tentunya ini akan menjadi perjalanan yang melelahkan, tapi sebisa mungkin Nuansa berusaha untuk sudah kembali ke rumahnya sebelum fajar terbit. Chapter 138 - Kau Seperti ... Setelah hampir 2 jam berjalan kaki, Nuansa akhirnya sampai di tempat dimana Tiana diserang oleh geng motor dulu. Rasanya kaki gadis itu seperti akan patah-patah karena telah menempuh jarak 8km hanya dengan berjalan kaki hampir tanpa berhenti. Nuansa lantas melihat jam di ponselnya, ternyata sudah pukul setengah sebelas, dan daerah ini sudah sangat sepi. Daerah ini cukup dengan dengan daerah perkotaan, jadi untuk sebuah daerah yang letaknya cukup dekat dari perkotaan, rasanya aneh bila pada jam segini daerah ini sudah sangat sepi, terlebih lagi Nuansa sebenarnya sedang berada di jalanan yang seharusnya masih ramai dilintasi oleh kendaraan, namun kenyataannya jalanan ini sangat sepi, hanya ada suara-suara jangkrik di dinginnya malam ini. Jalanan ini mungkin bukan sebuah jalan besar, tapi untuk sebuah jalan yang berada di dekat perkotaan, memang rasanya tak wajar jika pada jam segini sudah tidak ada aktivitas di sini, malahan seharusnya jalanan ini beserta kios-kios dan toko-toko yang ada di pinggirnya adalah tempat yang aktif selama 24 jam. Yap, jalan ini memiliki banyak kios juga toko di sisi kanan maupun sisi kirinya, mulai dari kios pulsa, kios mainan, sampai tempat tambal ban beserta bensin eceran. Ada pula minimarket yang juga sudah tutup, padahal biasanya minimarket tersebut buka 24 jam di daerah-daerah lain. Semuanya sudah tutup, hal ini pun membuat Nuansa merasa bingung, ia menyadari ada hal yang tidak beres di sini, tetapi gadis itu tetap berjalan ke depan, dan secara tidak sengaja, Nuansa melihat ada sebuah mobil terparkir di sisi kanan jalan, namun sepertinya tidak ada orang di dalam mobil tersebut, jadi Nuansa pun terus berjalan, hingga dirinya melihat ada satu toko bangunan yang baru saja tutup. Ada sepasang suami istri di depan toko bangunan itu, sang suami sedang mengunci pintu tokonya, sementara istrinya yang berada di dekat mobil mereka melihat Nuansa yang menghampiri mereka. "Ibu, Bapak, maaf, saya boleh bertanya?" ucap Nuansa pada sepasang suami istri paruh baya tersebut dengan sopan. "Ya, ada apa?" sahut si istri. "Saya belum pernah ke sini sebelumnya, apa jalanan ini memang sepi seperti ini atau bagaimana, ya? Soalnya saya sudah berjalan kaki cukup jauh dan ingin membeli minuman, tapi tidak ada satupun toko yang buka, bahkan minimarket yang biasanya saya lihat buka dua puluh empat jam di segala tempat, malah sudah tutup di sini," kata Nuansa. "Oh, iya, sejak terjadi kasus pembunuhan seorang gadis bernama Tiana itu, memang segala aktivitas di sini sangat dibatasi. Pada jam setengah sebelas malam semua toko harus tutup dan tidak boleh ada yang masuk ke jalan ini setelah jam sebelas malam," si suami menjawab pertanyaan Nuansa. "Ooh, begitu, ya," ujar Nuansa. "Tapi belakangan larangan tidak boleh ada yang masuk ke jalan ini setelah jam sebelas malam sudah tidak berlaku lagi, karena di sini sejak jam sepuluh sudah sangat sepi, tidak ada yang berani masuk ke sini kalau sudah cukup larut malam, jadi tanpa larangan itupun tidak ada yang melintas di sini pada jam sebelas malam," sambung si suami. "Ya, dan kau sebaiknya segera pergi dari sini, tidak baik ada seorang gadis yang berkeliaran di sini pada jam segini. Geng motor itu memang hanya pernah satu kali ada di sini, yaitu waktu mereka menyerang gadis bernama Tiana itu, tapi itu tidak menutup kemungkinan kalau sewaktu-waktu mereka akan muncul di sini secara tiba-tiba, kan? Apa kau tahu kalau kasus kematian Tiana tidak tuntas? Polisi tidak berhasil menangkap geng motor yang membunuhnya, jadi berhati-hatilah," si istri memperingati Nuansa. "Engh, begitu ya, Bu," sahut Nuansa. "Iya. Kami ingin pulang, kau mau ikut bersama kami atau tidak?" tawa Ibu tersebut. "Tidak usah, saya pulang sendiri saja," tolak Nuansa. "Kau yakin?" "Iya, adik saya akan menjemput saya nanti, tadi kami sebenarnya sedang dalam perjalanan pulang, tapi mendadak ban motor dia pecah dan hanya bisa diisi dengan nitrogen, jadi dia sedang mencari pom bensin, sementara saya datang ke sini untuk membeli minuman, tapi ternyata tidak ada apa-apa di sini. Terima kasih atas tawarannya, tapi, sepertinya lebih baik saya menunggu adik saya saja," ucap Nuansa dengan alasan palsu. "Ooh, begitu. Yasudah, jaga dirimu baik-baik, ya." Nuansa kemudian mengangguk pelan seraya tersenyum manis. Suami-istri itu lalu masuk ke dalam mobil mereka dan pergi dari sana. ''Jadi ini benar-benar tempat Tiana dibunuh? Dan kematian Tiana adalah alasan kenapa tempat ini menjadi sepi pada malam hari?'' batin Nuansa. Gadis itu hanya bisa mematung di depan toko bangunan tersebut. "Ibu itu bilang kalau geng motor yang membunuh Tiana tidak berhasil ditangkap oleh Polisi, itu adalah hal yang baru kuketahui sekarang. Kalau begitu, besar kemungkinannya memang geng motor yang membunuh Tiana sama dengan geng motor yang membunuh ayah. Si kutu busuk Arrayan itu, ya ..." monolog Nuansa. ''Dugaan Thomas benar, mereka kebal hukum, dan sepertinya ada Polisi yang bekerjasama dengan mereka, dan sudah pasti Polisi itu bukan Polisi bawahan seperti yang Thomas bilang. Ini permainan orang atas,'' pikir Nuansa. ''Tapi ... kuharap mereka muncul di sini sekarang juga.'' "Hei, kutu busuk! Muncul lah!" seru Nuansa, namun yang menjawabnya justru petir. Ya, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan deras, Nuansa baru menyadari bahwa awannya sangat gelap. "Astaga, bagaimana ini?" gumamnya, dia lantas berlari menjauhi toko bangunan tersebut dan terkejut karena ada seseorang di depannya. Pria itu berjalan menjauhi Nuansa menuju mobil yang dilihat Nuansa tadi sebelum sampai ke toko bangunan. "Hei! Apa kau si kutu busuk?!" pekik Nuansa. Namun pria tersebut tidak menjawab Nuansa dan malah semakin menjauhinya, menghampiri mobil tadi. "Kalau kau berhenti kuanggap tidak, tapi kalau kau tetap berjalan kuanggap iya!" tegas Nuansa. Mengejutkan, pria itu tetap berjalan dan akhirnya dia sampai di dekat mobilnya. Nuansa pun terkejut dengan respon pria tersebut yang membuatnya berpikir dua kali untuk memastikan apakah pria itu adalah Arrayan atau bukan. Gadis tersebut bahkan sampai menyipitkan kedua matanya agar bisa lebih fokus. "Tunggu sebentar, kau tidak terlihat seperti si kutu busuk kurang ajar itu," kata Nuansa yang berhenti melangkah begitu pria itu berhenti melangkah karena sudah sampai di mobilnya. Pria tersebut kemudian membuka pintu mobilnya. "Kau seperti ..." Nuansa mengamati pria itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya meskipun yang bisa dilihatnya hanya bagian belakang pria tersebut karena dia membelakangi Nuansa. "Kau ..." lirih Nuansa. "Neptunus," sambungnya. Chapter 139 - Semilir Malam (1) Pria yang dikejar Nuansa tadi langsung masuk ke dalam mobilnya begitu Nuansa menyebut nama Neptunus. "Hei, tunggu sebentar! Kau mengikutiku tadi?!" tanya Nuansa. "Itu artinya kau benar-benar Neptunus?!" lanjutnya. Pria itu tidak menjawab, dia menutup pintu mobilnya dan menyalakan mesinnya. Nuansa pun segera berlari menghampiri mobil itu, namun sudah terlambat, mobilnya sudah jalan lebih dulu, jadi sekarang Nuansa pun mengejarnya dengan kecepatan yang tak ada artinya dibandingkan kecepatan melaju mobil tersebut. Tanpa disadari gadis itu, ada sebuah motor yang melaju dengan kecepatan sedang ke arahnya. Motor itu sekarang berada beberapa puluh meter dari Nuansa, dan sang pengendara sempat menoleh ke kiri karena tiba-tiba ada lampu mobil yang menyinarinya. Mobil itu berada di sebuah depot isi ulang air mineral yang juga sudah tutup, depot isi ulang air mineral itu sendiri berada tepat di sebelah toko bangunan yang di hampiri oleh Nuansa tadi. Sesaat setelah pengendara motor tersebut menoleh ke arah lampu mobil tadi, lampu itu mati, yang berarti ada orang di dalam mobil yang berada di depot isi ulang air mineral tersebut. Si pengendara motor memilih untuk tidak memedulikannya dan akhirnya dua berhasil berada di depan Nuansa yang terkejut karena dihadang olehnya. "Siapa kau?" tanya Nuansa. Pengendara motor itu pun lantas membuka helmnya, dan ternyata dia adalah Thomas. "Ayo, naik," suruh Thomas. "Thomas? Kenapa kau ada di sini?" Nuansa kembali bertanya. "Naik saja dulu, kau mau kehilangan jejak orang itu?" ujar Thomas. "Ah, iya, iya. Terima kasih," ucap Nuansa sembari menaiki motor Thomas. Mereka kemudian mengejar mobil yang dikejar Nuansa dengan cara berlari tadi dengan kecepatan penuh, jadi Nuansa pun memeluk Thomas agar tidak jatuh. Ini adalah kali pertama Thomas dan Nuansa bisa seintim ini, dan entah kenapa Thomas merasa nyaman dengan pelukan Nuansa, terlebih lagi Nuansa juga menempelkan kepalanya ke badan Thomas dan membuat momen itu semakin intim. Nuansa mungkin hanya menganggap hal itu sebagai hal biasa, tapi tidak dengan Thomas. Namun pada kenyatannya, anggapan Nuansa lah yang mungkin benar. Mereka berdua akhirnya berhasil mendahului mobil yang dikejar Nuansa tadi dan menghadangnya, tetapi di pengendara mobil malah membelokkan mobilnya agar bisa lari dari Nuansa dan Thomas. Melihat hal itu, Nuansa pun tak tinggal diam, dia turun dari atas motor Thomas dan berdiri di depan mobil tersebut. Tentu saja Nuansa lebih cepat, karena kali ini mobil tersebut sedang dibelokkan, dan itu jauh lebih membutuhkan waktu dari pada sekedar melaju dengan kencang, jadi kali ini, Nuansa menang. Gadis itu lantas merentangkan kedua tangannya untuk membuat pertahanannya semakin lebar, dan mobil itu akhirnya tidak bergerak lagi meskipun mesinnya masih menyala. Walaupun mobil itu sudah berhenti melaju, tapi Nuansa tidak bisa melihat siapa pria yang ada di dalam mobil tersebut karena lampu mobil tersebut menyilaukan pandangannya. ''Jika dia adalah si kutu busuk, besar kemungkinannya dia akan menabrakku, jadi ini akan sangat beresiko. Tapi jika benar dia adalah Neptunus ... apa yang akan dilakukannya?'' batin Nuansa. Mobil tersebut lalu mundur, itu merupakan sebuah hal yang tidak diperkirakan oleh Nuansa sebelumnya. ''Dia mundur untuk menginjak gas dan menabrakku?'' pikir Nuansa. Mengejutkan, mobil itu justru kembali berbelok, namun kali ini ke arah Thomas. ''Dia berniat untuk menabrak Thomas?'' Nuansa masih bertanya-tanya di dalam hatinya. Menyadari bahwa mobil tersebut kembali ke arahnya, Thomas pun kemudian berjaga-jaga, apa lagi satu detik kemudian mobil itu mulai melaju. Awalnya memang melaju dengan kecepatan pelan, namun lama kelaman kecepatannya bertambah, memaksa Thomas untuk berpindah tempat dan membuat mobil itu sendiri akhirnya bisa melaju tanpa halangan lagi. Namun bukan Nuansa namanya jika menyerah begitu saja, dia kembali mengejar mobil tersebut dengan cara berlari sekencang yang dirinya bisa, meskipun ia tetap kalah kencang dari mobil itu, tapi Nuansa tetap berlari mengejarnya, hingga akhirnya gadis itu tersandung batu dan jatuh setelahnya. "Nuansa ..." lirih Thomas yang kemudian turun dari motornya, dan berniat untuk menghampiri Nuansa dengan langkah pelan, namun pria itu mematung saat melihat mobil yang ada di depannya dan Nuansa tersebut berhenti. Tampaknya Thomas terkejut, begitu pula dengan Nuansa. ''Di-dia berhenti?!'' kata Nuansa di dalam hatinya. Nuansa pun lantas berusaha untuk bangkit sembari merintih kesakitan dan dengan pandangan lurus menghadap mobil tersebut. Pada saat Nuansa berhasil berdiri dengan tegak, mobil itu kembali melaju, dan hal itu pun membuat Nuansa memikirkan sesuatu. "Dia berhenti untuk memastikan keadaanku?" monolog Nuansa. ''Apa itu benar-benar kau ... Neptunus?'' pikir gadis itu. Beberapa detik kemudian, petir menyambar sebuah pohon yang ada di sisi kiri jalan. Pohon yang berukuran besar itu tumbang, dan kebetulan posisinya berada sekitar 10 meter dari mobil yang diduga Nuansa dikendarai oleh Neptunus itu. Tentu saja hal itu membuat si pengendara mobil harus melakukan rem mendadak agar tak tertimpa pohon besar tersebut. Kelihatannya Dewi Fortuna sedang berpihak pada Nuansa. Nuansa pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini, dia berjalan pelan menghampiri mobil itu, disusul oleh Thomas yang juga melangkah pelan menghampiri Nuansa. Suasana terasa menjadi sangat dramatis karena si pengendara mobil tidak berbuat apa-apa lagi sekarang, sementara Nuansa yang melangkah dengan pelan terlihat berada di atas angin. Merasa tidak sabar dengan langkahnya, Nuansa akhirnya memutuskan untuk berlari meskipun kakinya masih terasa sangat sakit, dan beberapa saat setelah Nuansa berlari, mobil itu terlihat akan melakukan pergerakan lagi, namun sudah terlambat, Nuansa sudah berada di dekatnya, bahkan Nuansa menyentuh bagian belakang mobil tersebut sekarang. Melihat Nuansa yang akhirnya berhasil menghampiri mobil tersebut, Thomas pun berhenti melangkah untuk berjaga-jaga dari belakang jika seandainya pengendara mobil itu mengambil langkah yang tidak terduga. Sementara itu, setelah berhasil menyentuh mobil tersebut, Nuansa berhenti sebengar melangkah untuk mengatur pernapasannya, setelahnya, gadis tersebut melangkah dengan pelan menuju pintu mobil sopir. "Tidak ada jalan lagi," tegas Nuansa kepada pria yang mengendarai mobil itu. Nuansa lantas menarik handle pintu mobil tersebut, dan ternyata pintunya tidak terkunci. ''Tidak terkunci? Kenapa? Apa dia berniat untuk keluar dan menghampiri aku saat aku jatuh tadi? Lalu lupa mengunci pintu mobilnya?'' pikir Nuansa. Pintu mobil itu lantas terbuka, namun bukan Nuansa yang buka, melainkan pria yang mengendarainya. Thomas kemudian merasa tegang, namun Nuansa tidak. Pria yang mengendarai mobil tersebut pun lantas keluar dan menunjukkan dirinya, tapi Nuansa tidak sempat melihat wajah pria itu karena tiba-tiba kedua kakinya tidak bisa menopang tubuhnya, kemungkinan karena Nuansa memaksakan dirinya untuk berlari setelah terjatuh tadi. Nuansa pun kembali terjatuh, namun kali ini dirinya tidak benar-benar jatuh ke tanah. Pria itu menangkap tubuh Nuansa, Nuansa pun sekarang berada dalam dekapannya dan kepala gadis tersebut sekarang berada tepat di dada pria tersebut. Gadis itu bisa merasakan detak jantung pria tersebut sekarang yang terasa nyaman untuk di dengar, dan secara perlahan, Nuansa mengangkat kepalanya untuk melihat wajah pria itu. "Kau ..." lirih Nuansa. "Nep," sambungnya. Ya, pria itu adalah ... Neptunus Bimasakti. Chapter 140 - Semilir Malam (2) Thomas benar-benar tidak menyangka dengan sosok yang keluar dari mobil tersebut, ia pun hanya bisa mematung di tempatnya berdiri sekarang, hanya bisa terdiam, terlebih lagi Nuansa berada di pelukan orang itu sekarang. Sementara Nuansa lantas berusaha untuk kembali berdiri dengan tegak seperti sebelumnya. Gadis itu lalu menatap pria yang ada 1 meter di depannya. Ya, dia adalah Neptunus. Neptunus yang selama ini Nuansa cari dengan usaha yang sangat keras, akhirnya ia temukan di tempat ini, tempat dimana Tiana mendapatkan serangan dari sebuah geng motor yang kemungkinan besar geng motor yang sama dengan yang membunuh Arfan beberapa waktu lalu. Neptunus sendiri berdiri dengan tegak, ia terlihat sangat berbeda dari dirinya yang dulu. Fisiknya tetap sama, hampir tidak ada perubahan yang signifikan, namun sangat terasa kalau ada perubahan besar dari seorang Neptunus Bimasakti dari karakternya. Nuansa yang tadinya mulai mengembangkan senyumnya seraya berdiri dengan tegak dan menatap Neptunus, kini memudarkan senyumnya saat ia menyadari bahwa ada yang aneh dari Neptunus. Gadis tersebut sangat bisa merasakan perbedaan itu. Nuansa pun pada akhirnya hanya bisa terdiam sembari menatap Neptunus yang juga menatapnya. ''Fisiknya tetap sama, tapi ada yang berubah darinya, aku bisa merasakannya. Apa ini Neptunus yang asli? Yang artinya semua dugaan Thomas benar, bahwa selama ini kami tidak mengenal Neptunus yang sebenarnya karena dia berpura-pura menjadi orang lain untuk menutupi dirinya yang asli? Yang ternyata seperti ini?'' batin Nuansa yang sedikit merasa kecewa. "Kau menyukai Nuansa, huh?" tanya Eugene pada Thomas. Tiba-tiba saja Eugene hadir di sebelah Thomas. Thomas lalu melirik Eugene, dan Thomas sama sekali tidak terkejut dengan kehadirannya. "Kenapa kau berkata seperti itu?" Thomas bertanya balik pada Eugene. "Caramu melihat Neptunus menangkap Nuansa tadi bukan hanya sebuah tatapan yang mengartikan kalau kau terkejut karena ternyata orang yang ada di dalam mobil itu adalah Neptunus, ada hal lain di balik tatapanmu tadi," terang Eugene. "Humph, kau seperti pakar cinta saja," kata Thomas. "Begitulah, aku juga pernah seusiamu, aku pernah mengalami hal seperti itu." "Dan?" Eugene lalu melirik Thomas usai Thomas melontarkan pertanyaan seperti itu. "Entahlah, aku tidak tahu harus kujawab apa pertanyaanmu itu," jawab Eugene beberapa saat kemudian. Suasana kemudian menjadi hening sesaat. "Jadi kau paman Eugene, ya?" ujar Thomas, karena memang ini pertama kalinya mereka bertemu. "Hahaha, sudah kuduga kau sudah mengetahui siapa aku. Kalau saja aku menyalakan mesin mobilku tadi disaat yang tepat dan bukan disaat kau melintas, kau pasti akan terkejut dengan keberadaanku sekarang, tapi karena kau sudah melihatku tadi, kau jadi memberikan reaksi seperti ini," ucap Eugene. "Memangnya apa salahnya?" "Tidak ada, hanya saja mungkin akan lebih menarik kalau kau terkejut." "Oh iya, ngomong-ngomong, Nuansa pernah menceritakan tentangmu padaku. Kau Thomas, kan? Tampaknya kau sudah banyak membantu Nuansa, ya?" sambung Eugene. "Begitulah, meskipun aku tidak sehebat dirimu yang bahkan bisa mengendalikan situasi," sahut Thomas. "Hahaha, tapi harus kuakui kalau kau hebat juga." "Aku merasa tersanjung karena kesan pertamamu padaku seperti itu." "Sungguh, kau patut aku awasi." Thomas dengan wajahnya yang sudah sangat jutek kemudian kembali melirik Eugene. "Hahaha, bercanda. Aku akan menyelesaikan ini," imbuh Eugene, ia lantas berjalan menghampiri Nuansa dan Neptunus dengan menggunakan tongkat kruknya yang membantunya berjalan. "Syukurlah, akhirnya saat seperti ini tiba juga," kata Eugene dengan suara yang lantang, ia masih belum menyamai posisinya dengan Nuansa dan Neptunus. "Paman Eugene?" Nuansa tampak terkejut melihat kehadiran Eugene, begitu juga dengan Neptunus yang menatapnya dengan tatapan dingin. Eugene membalas tatapan dingin Neptunus dengan sebuah senyuman tulus, dia kemudian menepuk pundak Neptunus. "Ayahmu pasti sangat bangga padamu," ujar Eugene pada Neptunus. Mendengar hal itu, Neptunus pun lantas mengernyitkan dahinya. "Tidak apa-apa, aku mengetahui semuanya, kau tidak perlu lagi berlagak siap dibenci seperti itu," lanjut Eugene. "Apa maksudmu, Paman? Dan bagaimana bisa kau ada di sini?" tanya Nuansa pada Eugene. Eugene lantas melirik Nuansa. "Kupikir kau bisa langsung memahaminya seperti Thomas," ucap Eugene pada Nuansa. "T-Thomas?" Nuansa lalu menoleh ke arah Thomas yang ternyata sedang berjalan menghampiri mereka. "Neptunus, selama ini aku telah mengawasimu dan mengetahui hampir semua hal tentangmu, dan aku juga paham kenapa kau menjadi sangat egois dengan tidak menerima hubunganku dengan Bulan, kau sangat takut kalau hal-hal tentang sisi dirimu yang lain terbongkar, kan? Tapi kenapa kau tidak berusaha bekerjasama saja denganku? Bukankah itu akan membuat semuanya menjadi lebih mudah?" Eugene berbicara pada Neptunus yang terlihat semakin bingung dengan apa yang dikatakannya. "Apa maksudmu?" akhirnya Neptunus bersuara dengan bertanya pada Eugene. Seketika itu juga Nuansa seperti merasa lega karena akhirnya bisa mendengar suara Neptunus lagi. "Apa kau-" "Biar aku saja yang berbicara dengannya, kau dengarkan saja," Eugene menginterupsi Nuansa yang ingin bertanya pada Neptunus. Nuansa menuruti perkataan Eugene. "Mereka memaksamu untuk bergabung dengan mereka setelah mereka membunuh Tiana, kan?" tanya Eugene pada Neptunus. Neptunus terkejut mendengar pertanyaan Eugene. "Sejak kematian ayahmu, kau memiliki obsesi untuk menghabisi sebuah geng motor suatu hari nanti karena geng motor yang membunuh ayahmu sudah dihakimi, kan? Dan karena bukan kau yang menghakimi mereka, kau jadi merasa ada perasaan yang menggantung di hatimu, benar begitu? Kau merasa seharusnya kau juga salah satu orang yang menghakimi mereka, oleh karena itu kau memiliki obsesi itu, iya, kan?" jelas Eugene. "Kau selalu memikirkan masa depanmu, bagaimana kau akan hidup ketika kau dewasa, karena kau tidak ingin ada satu orangpun yang sadar akan obsesimu itu, tapi aku menyadarinya," lanjut Eugene. "Ketika kau mulai memasuki usia remaja, kau mulai sering keluar pada jam malam hanya untuk menemukan geng motor - geng motor yang bahkan tidak ada sangkut pautnya denganmu, dengan harapan kalau kau bisa memberantas mereka suatu saat nanti." "Mungkin awalnya itu terdengar seperti sebuah niat baik, tapi apa yang kau rasakan itu adalah nafsu membunuh, dan secara tidak langsung kau sebenarnya membuat nafsu untuk membunuh itu semakin lama semakin besar, dan menciptakan sisi gelap dari dirimu yang hampir secara keseluruhan menguasai dirimu, dan kau sadar kalau itu bisa membuat sifatmu yang tadinya merupakan seseorang yang ceria dan terlihat selalu bahagia-bahagia saja menjadi seseorang yang pendiam dan sangat mirip dengan seorang psikopat berdarah dingin. Tentu saja kalau kau berubah drastis seperti itu, orang-orang akan mulai curiga padamu, sementara kau tidak ingin ada satupun orang yang tahu tentang obsesimu, jadi kau berusaha untuk menjadi Neptunus yang biasa-biasa saja di hadapan semua orang, disaat sebenarnya kau sudah berubah menjadi pribadi yang pendiam dan sangat dingin." "Selama bertahun-tahun, kau harus berpura-pura menjadi dirimu yang lama, kau juga tahu betul bagaimana sifatmu jika kau yang sebenar-benarnya tidak berubah menjadi pribadi yang pendiam dan dingin. Ya, kau seharusnya menjadi seorang pria menyebalkan yang mesum, yang selalu ingin tahu ukuran BH gadis-gadis yang sedang di dekatinya, dan itu memang benar dirimu yang seharusnya meskipun kau melakoni sifat itu disaat kau sebenarnya tidak seperti itu. Kau bisa membuat orang-orang sama sekali tidak curiga dengan penciptaan karakter ''Neptunus dewasa'' yang kau bangun dengan sangat sempurna, karena ketika kau berpura-pura tetap menjadi dirimu yang penuh warna di hadapan orang-orang, kau sebenarnya lupa kalau kau memiliki sisi gelap yang sangat kuat, sehingga karaktermu yang diketahui orang-orang sebenarnya tercipta secara alami. Tapi sebenarnya mengembangkan dua Neptunus di dalam satu tubuh dengan perbedaan yang sangat jauh dengan sangat alami itu membuatmu seolah kehilangan jati dirimu sendiri, kau jadi tidak tahu siapa kau sebenarnya, kau tidak tahu kau ini sebenarnya yang mana, dan kemudian terciptalah hal bernama kepribadian ganda di hidupmu." "Terlahir dari rasa bingungmu yang bahkan tidak mengenal dirimu sendiri, kau jadi bersikap berbeda pada beberapa orang. Di lingkungan kampusmu kau dikenal sebagai sosok yang keren dan pria idaman, tetapi ketika kau sudah merasa sangat nyaman dengan seseorang di lingkungan kampusmu, kau akan menunjukkan dirimu yang penuh warna kepada mereka, yang pada dasarnya itulah karaktermu yang sebenar-benarnya, bagaimana kau ternyata orang yang menjengkelkan dan mesum. Aku sedikit kurang mengerti tentang hal itu, tapi dapat aku asumsikan bahwa ketika kau menunjukkan perubahan kepribadianmu kepada seseorang, itu menandakan kalau kau memiliki rasa nyaman dan kepercayaan yang tinggi pada orang itu, karena secara alami dirimu yakin kalau orang itu akan menerimamu bagaimanapun kau itu, tapi masalahnya tidak semuanya bisa menerimamu setelah melihat perubahanmu. Tiana bisa menerima bagaimana dirimu yang menyebalkan dan mesum, padahal sebelumnya dia mengenalmu sebagai sosok yang keren dan berbeda dari kepribadianmu yang menyebalkan itu, tapi dia tidak tahu kan bagaimana sisi gelapmu, jadi kita belum bisa mengasumsikan apakah dia benar-benar orang yang dapat menerimamu seutuhnya seperti yang dirimu yakini atau tidak." "Kepribadian yang kau tunjukkan padaku adalah gabungan dari tiga kepribadianmu, jadi sudah jelas kau tidak akan menunjukkan perubahan satu persatu padaku karena kau tidak percaya padaku meskipun aku tahu semuanya secara diam-diam. Lalu kau juga tidak mempercayai Vega dan ibumu, setelah sekian lama kau tidak menunjukkan sisi gelapmu pada mereka, dan lagi pula mereka kurang tahu tentang kepribadianmu di lingkungan kampusmu, dan merekapun tidak tahu kalau kau memiliki sifat mesum yang lumayan akut. Satu-satunya orang yang kau tunjukkan perubahanmu bahkan sejak awal kalian bertemu adalah Nuansa, dan dia selalu bisa menerima perubahanmu itu, kau sendiri tanpa kau sadari sangat mempercayainya dan sangat nyaman padanya. Jangan salah, tapi sebenarnya secara tidak langsung aku tahu tentang pertemuan pertama kalian, karena selama ini aku selalu mengawasimu, Neptunus, meskipun aku sedang berada di London sekalipun." "Pada pertemuan pertamamu dengan Nuansa, kau menampilkan kepribadianmu yang teman-temanmu tahu, kau sosok yang cool dan sebagainya, kemudian kau langsung merasa nyaman dengan Nuansa dan menunjukkan dirimu yang asli dengan menanyakan ukuran BHnya, dan dia bisa menerima dua kepribadianmu itu, dan sekarang, dia juga bisa menerima sisi gelapmu. Aku yakin kau memahaminya, kan?" Neptunus lantas hanya terdiam seraya menatap Nuansa. "Tidak juga," Nuansa mendadak buka suara. Gadis itu menatap Neptunus mata-ke-mata. Chapter 141 - Semilir Malam (3) "Di mana kau malam itu, Neptunus? Disaat aku tidak bisa melakukan apa-apa melihat ayahku yang berhadapan dengan ajalnya?" tanya Nuansa dengan suara bergetar menahan isak tangisnya mengingat malam dimana Arfan menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan putrinya sendiri. "Aku menghubungimu berkali-kali, tapi kau tidak menjawab satupun panggilanku," sambung Nuansa. "Nuansa, sebaiknya aku saja yang berbicara. Penjelasanku tentang Neptunus yang sebenarnya sudah selesai, itu hanya permulaan, kita akan mendapatkan jawaban dari pertanyaanmu itu nanti, sabar," Eugene menyela Nuansa. "Tidak, Paman. Kali ini saja, biarkan aku yang berbicara," ucap Nuansa. "Biarkan paman Eugene saja yang berbicara," Neptunus angkat bicara dengan suara yang bergetar bak orang yang menahan tangis, sama seperti Nuansa. Nuansa pun terkejut mendengar suara Neptunus yang bergetar seperti itu. ''Dia menahan tangis? Kenapa?'' batin Nuansa. Selain suara yang mendadak bergetar, Neptunus juga mendadak memalingkan tatapannya dari Nuansa dengan mata yang mulai berkaca-kaca. ''Dia ingin menangis. Ada apa denganmu, Neptunus?'' pikir Nuansa. Gadis itu tanpa sadar meneteskan air matanya yang ia berusaha tahan agar tidak menetes tadi, sama seperti Neptunus. Namun Nuansa gagal menahan air matanya. "Jadi, apa aku benar tentang dirimu, Neptunus?" tanya Eugene pada Neptunus. Neptunus hanya terdiam. "Aku anggap itu iya," kata Eugene. "Karena aku tahu kau pasti bingung kenapa aku bisa tahu semuanya, kan? Baiklah, aku akan menceritakannya secara lengkap, tapi sebelum itu, aku ingin mengatakan hal lainnya. Nuansa, kau perlu tahu kalau Neptunus memang bagian dari geng motor yang sudah membunuh ayahmu, tapi tentu saja Neptunus tidak bergabung dengan tujuan untuk membunuh ayahmu," sambung Eugene. Tidak ada yang menyahuti Eugene, hal ini pun membuat Eugene hanya bisa menghela napasnya. "Baiklah, semuanya bermula dari aku dan ayahmu, Neptunus. Kami dulu adalah sahabat dekat," jelas Eugene. "Apa?!" Neptunus terlihat tidak percaya. "Aku tahu kalau hal itu pasti sulit untuk dipercaya, tapi memang begitulah kenyataannya. Jauh sebelum aku bekerja sebagai seorang Detektif, aku dan Jupiter tergabung dalam sebuah kelompok mafia bernama Betelgeuse," terang Eugene. "Kelompok mafia?! Apa kau bercanda?!" Nuansa tampak sangat terkejut mendengar hal itu. "Menurutmu?" Eugene malah bertanya balik. "Entahlah, kau pernah mengendalikan situasi dengan kata-katamu, aku hanya tidak mau terjebak di kesalahan yang sama." "Kalau begitu kau harus lebih teliti." Nuansa lantas hanya terdiam. "Maksudmu?" Neptunus bertanya pada Eugene. "Dengarkan saja dulu cerita Paman Eugene, baru kau bisa menilainya," Nuansa menjawab pertanyaan Neptunus. ''Syukurlah dia mengerti, dia telah berkembang ternyata,'' pikir Eugene mengenai Nuansa. Neptunus tidak menyahuti Nuansa, ia hanya diam dan berniat ingin mendengarkan cerita Eugene saja. "Baiklah, aku akan menceritakannya dari awal, karena semuanya akan berhubungan dengan situasi di hari ini, termasuk dengan kematian ayahmu, Nuansa," ujar Eugene. "Aku akan mendengarkan," kata Nuansa. "Bagus. Sebelumnya aku ingin memberitahu dulu bahwa Betelgeuse bukanlah sebuah kelompok mafia yang menargetkan orang yang tidak bersalah. Betelgeuse merupakan sebuah kelompok mafia yang menculik, memeras, dan sesekali membunuh orang-orang kotor seperti koruptor dan gembong narkoba," papar Eugene. "Dan ayahku adalah bagian dari kelompok itu?" tanya Neptunus dengan nada bicara yang menjelaskan bahwa dirinya tidak percaya dengan cerita Eugene. "Aku tahu itu sulit dipercaya, tapi Betelgeuse sudah tidak aktif tiga tahun sebelum kelahiranmu, Neptunus, jadi wajar saja kalau kau tidak tahu apa-apa dan merasa sulit untuk percaya pada ceritaku," ucap Eugene. Neptunus lantas terdiam. "Aku akan lanjutkan ceritaku," kata Eugene usai diinterupsi oleh Neptunus tadi. "Betelgeuse memiliki sepuluh orang anggota, salah satunya aku. Kami semua adalah teman semasa sekolah, tapi memiliki berbagai macam latar kehidupan. Betelgeuse terbentuk karena para anggotanya sangat ramah dengan dunia narkoba dan korupsi, kecuali aku, maksudnya bukan mereka adalah koruptor dan pemakai narkoba, tapi keluarga mereka, di antaranya seperti orangtua mereka, juga anggota keluarga lain yang sangat dekat dengan mereka Neptunus, mungkin baik Bulan atau Jupiter tidak pernah mengatakan hal ini padamu, tapi sebagai informasi tambahan, kedua orangtua ayahmu adalah pengedar narkoba, sama sepertimu," sambung Eugene. "Neptunus adalah seorang pengedar narkoba?!" tanya Nuansa yang tampak terkejut setengah mati. Neptunus kemudian melirik Nuansa sesaat, lalu ia kembali memfokuskan pandangannya ke Eugene. "Bagaimana bisa kau tahu aku sampai sedalam itu?" tanya Neptunus pada Eugene. "Jupiter menyerahkan tanggung jawabnya sebagai ayahmu kepadaku, dan seorang ayah harus mengawasi anaknya, kan? Itulah yang kulakukan, walaupun aku tidak bisa melindungimu seperti bagaimana Jupiter melindungimu, tapi setidaknya, selama aku masih bernapas, aku tidak akan membiarkan kau kehilangan nyawamu bagaimanapun caranya. Aku adalah ayah yang buruk, sangat buruk jika dibandingkan dengan Jupiter, dan aku tahu kau bisa merasakannya. Bagaimana kau tidak bisa merasa kalau aku ini adalah orang yang bisa kau panggil dengan sebutan yang sama dengan yang kau gunakan kepada Jupiter sudah cukup untuk menjelaskan semuanya. Well, mungkin itu karena aku dan Bulan tidak pernah menikah, jadi aku akan menjadikan sikapmu kepadaku sebagai contohnya," jawab Eugene. "Kenapa ayahku menyerahkan tanggung jawabnya ke dirimu?" tanya Neptunus. "Karena dia tahu akan datang saat dimana kaulah yang akan menjadi incaran ''dia''." "''Dia''?" "Aku yakin kau sudah bertemu dengannya." "Jangan-jangan ..." "Ya, si gembong narkoba yang pernah kau temui itu, sampai sekarang dia adalah musuh terbesar Betelgeuse, dan kegagalan terbesar Betelgeuse adalah mengalahkan dia dan kerajaan narkobanya." "Tunggu sebentar! Aku sama sekali tidak mengerti dengan pembicaraan ini! Tolong jelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami dan dengan penjelasan yang jelas! Aku juga butuh kejelasan tentang Neptunus! Pertama kau bilang kalau dia adalah bagian dari geng motor yang telah membunuh ayahku, lalu mendadak kau bilang kalau dia adalah pengedar narkoba! Aku butuh penjelasan di sini! Dan ..." teriak Nuansa. "Dan apa itu artinya gaji-gaji yang pernah kau berikan padaku adalah hasil dari bisnis kotormu?" lanjut Nuansa, kali ini dia bertanya pada Neptunus sembari menangis. "Nuansa-" "Jelaskan!" Nuansa menginterupsi Neptunus. Neptunus terdiam. "Aku sudah membayangkan banyak hal dengan memiliki uang-uang itu yang kudapatkan dengan melewati hari-hari yang sangat kurindukan, aku memiliki ekspektasi yang sangat indah, tapi kenapa? Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Ayahku, yang kematiannya tidak kau pedulikan itu, selalu mengajariku untuk tidak menerima uang dari hasil bisnis yang kotor, jadi besok datanglah ke rumahku dan ambil semua uang-uang itu. Sudah cukup aku merasa sakit dan kecewa karenamu, dan aku tidak peduli lagi dengan ceritamu, Paman. Kau tidak memberikanku waktu untuk berbicara, tapi ini semua sudah cukup jelas bagiku, aku tahu kalau pada akhirnya kau hanya ingin mengendalikan situasi dan membuat seolah-olah semuanya baik-baik saja, padahal tidak, dan aku tidak ingin menangis lagi karena pria ini," ucap Nuansa seraya menunjuk Neptunus. "Aku kecewa padamu. Bagaimana bisa kau melakukan semua ini? Bukan ini Neptunus yang kukenal. Neptunus yang kukenal adalah sosok yang baik, yang suka menjahiliku dengan bau kedelai goreng, yang senang membantu ayahku di kebun, dan yang bertaruh denganku demi bisa mengetahui ukuran BHku, bukan yang bahkan tempat sampah saja tidak mau menampungnya," pungkas Nuansa yang kemudian membuang ludahnya, lalu menghapus air matanya dan pergi dengan cara berlari dari sana. ''Mungkin benar, seharusnya dari awal aku berpikiran negatif saja agar tidak merasakan sesak di dadaku ini,'' batin Nuansa.